• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan Struktur dan Konstruksi Bangun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketahanan Struktur dan Konstruksi Bangun"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KETAHANAN STRUKTUR & KONSTRUKSI BANGUNAN PRA-MODERN SUNDA TERHADAP GEMPA BUMI

Adam Sapta Maulida1

Jurusan Arsitektur - Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

Universitas Pendidikan Indonesia

adam.s.maulida@gmail.com

Abstrak : Indonesia adalah negara kepulauan yang kaya akan budaya dan tradisi. Keanekaragaman budaya dan tradisi ini tercermin dalam realitas peradaban yang disebut arsitektur tradisional. Namun, di sisi lain Indonesia, seperti halnya negara-negara lain di Asia Tenggara adalah negara yang rawan akan bencana alam khususnya gempa bumi. Namun, masyarakat tradisional memiliki sebuah nilai kearifan lokal dalam menyikapi gempa bumi. Ada yang sifatnya tangible ada pula yang intangible knowledge. Semua nilai-nilai kearifan lokal itu apabila dikaji ternyata juga mewakili nilai-nilai yang sering diterapkan pada isu arsitektur berkelanjutan. Hidup bersama-sama dengan alam, bukan di atas alam adalah sebuah pemahaman sederhana tentang bagaimana masyarakat setempat bisa hidup dengan lebih bersahaja.

Kata kunci : gempa bumi, arsitektur Sunda, struktur dan konstruksi arsitektur tradisional Sunda.

PENDAHULUAN

Indonesia, seperti halnya negara-negara lain yang berada di Asia-Tenggara adalah negara-negara yang rawan akan bencana alam khususnya gempa bumi. Ini dikarenakan secara geografis, wilayah Indonesia terletak diantara tiga lempeng tektonik di dunia, yaitu : lempeng Australia di selatan, lempeng Euro-Asia di barat dan lempeng Samudera Pasifik di timur.

Dalam keadaan diam, sebuah bangunan pada dasarnya hanya menanggung beban gravitasi dan beban hidup (bila ada). Ketika terjadi gempa bumi, maka tanah akan bergetar dan pengaruh getaran ini akan diterima oleh bangunan mulai dari bagian paling bawah bangunan (pondasi) sampai ke bagian paling atas sebuah bangunan (atap). Jika suatu bangunan sangat kaku, maka bangunan itu akan sepenuhnya mengikuti gerakan dari permukaan tanah. Percepatan permukaan gempa bumi setempat adalah yang langsung memepengaruhi konstruksi bangunan dan mengakibatkan gaya horisontal maksimum pada konstruksi bangunan tersebut dan besarnya adalah sama dengan massanya dikalikan dengan

(3)

Pada hakikatnya, gempa bumi adalah getaran atau serentetan getaran dari kulit bumi yang bersifat tidak abadi / sementara dan kemudian menyebar ke segala arah (Howel, 1969). Para ahli menganggap bahwa setidaknya terdapat 4 sebab yang menimbulkan gempa bumi,

Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah menetapkan sebuah peraturan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang bisa diakibatkan oleh gempa bumi melalui SNI-176-2002 mengenai Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung. Namun, seringkali ketika gempa terjadi cukup besar tidak semua bangunan mampu menahan getaran yang diakibatkan oleh gempa sehingga bangunan-bangunan menjadi rusak dan mengakibatkan banyak korban jiwa.

Namun, masyarakat lokal pada suatu daerah, misalnya di tanah Sunda memiliki sebuah kearifan lokal dalam menghadapi bencana alam. Nilai-nilai kearifan lokal itu banyak diaplikasikan kepada bangunan-bangunan rumah tinggal dan terbukti mampu merespon gempa bumi dengan baik. Hal ini didukung oleh bukti bahwa pada saat terjadi gempa bumi tahun 2009, tidak ada satupun bangunan tradisional sunda yang runtuh akibat gempa bumi tersebut.

Kearifan lokal ini yang tercermin dalam realitas struktur dan konstruksi bangunan yang ringan dan fleksibel, melalui penelitian yang dilakukan oleh Nuryanto dkk.juga membuktikan bahwa konstruksi bangunan tradisional Sunda telah memenuhi persyaratan sebagai bangunan yang ramah terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi.

PERTANYAAN KAJIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur dan konstruksi dari arsitektur pra-modern Sunda dan ketahanannya dalam merespon gempa bumi yang sering

(4)

1. Apa itu gempa bumi dan bagaimana dampak yang ditimbulkan terhadap bangunan ? 2. Apa itu arsitektur pra-modern Sunda ?

3. Bagaimana struktur dan konstruksi arsitektur pra-modern Sunda mampu merespon bencana alam seperti gempa bumi ?

METODE PENULISAN

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif dan evaluatif dengan pendekatan teori kritis. Hal pertama yang dilakukan adalah membaca berbagai artikel dan

jurnal ilmiah mengenai gempa bumi dan arsitektur vernakular Sunda serta struktur dan konstruksi dari bangunannya. Setelah struktur dan konstruksi bangunan pra-modern Sunda mampu didefinisikan, langkah selanjutnya adalah membandingkannya dengan persyaratan konstruksi bangunan sederhana tahan gempa.

PEMBAHASAN

1. Gempa Bumi

Gempa bumi adalah getaran yang terjadi di permukaan bumi yang disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng bumi). Bumi ini walaupun padat tetapi selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan. (Henny Pratiwi Adi, dkk.)

(5)

Gambar 1.1 Tumbukan dua lempeng a) subduksi, b) obduksi

Sumber : Henny Pratiwi Adi, dkk.

Dalam beberapa kasus, gempa bumi juga bisa terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi atau lebih dikenal juga dengan istilah gempa vulkanik. Gempa ini bisa menjadi gejalan akan terjadinya letusan gunung berapi.

Dari pengertian di atas, maka gempa bumi dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu :

A. Gempa bumi tektonik

Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang disebabkan oleh pelepasan tenaga yang dihasilkan oleh geseran batuan pada retakan yang memanjang di sepanjang batuan yang merupakan bagian dari plat tekotinik. Tenaga ini dihasilkan oleh tekanan antara batuan yang dikenal sebagai rekahan tektonik. Untuk mempermudah pemahamannya, fenomena ini bisa dianalogikan seperti gelang karet yang ditarik kemudian dilepaskan secara tiba-tiba.

B. Gempa bumi vulkanik

Gempa bumi ini biasanya terjadi di wilayah yang dekat dengan gunung merapi dan

memiliki cara retakan memanjang yang sama dengan gempa bumi tektonik. Gempa ini disebabkan oleh pergerakan magka ke atas gunung berapi, dimana geseran

batu-batuan akan menghasilkan gempa bumi.

(6)

bangunan maupun infrastruktur bangunan. Beberapa jenis dampak yang ditimbulkan akibat goncangan gempa yang teramati antara lain :

- Keretakan tanah dan potensi kelongsoran - Semburan lumpur dingin

- Kerusakan bangunan

Dampak gempa bumi lainnya seperti kerusakan infrastruktur jalan, jaringan telepon, listrik, dan air minum relatif kecil kerusakannya, walau di beberapa lokasi listrik mengalami pemadaman.

Gambar 1.2 Keretakan tanah dan potensi longsor di kawasan bahu dan lereng jalan dari Bandung menuju Pangalengan.

Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB.

(7)

Gambar 1.3 Kerusakan Bangunan Masjid di Desa Cigalontang

Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB.

Gambar 1.4 Kerusakan Bangunan GOR PGRI di Desa Sodong Hilir

(8)

Gambar 1.5 Kerusakan Bangunan Sekolah di Desa Raksajaya

Sumber : Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempa Bumi Tasik Jawa Barat, ITB.

Dari ini dapat terlihat bahwa bangunan yang terbuat dari konstruksi semen dan beton bertulang mengalami kerusakan yang cukup parah dan disaat yang sama juga membahayakan penggunanya karena bisa tertimpa oleh reruntuhan bangunan.

2. Arsitektur Pra-modern Sunda

Saat isu mengenai sustainable architecture atau arsitektur berkelanjutan ramai dibahas dewasa ini, sebenarnya para leluhur sudah menerapkan nilai-nilai tentang arsitektur berkelanjutan sejak dulu melalui sebuah pengelolaan alam yang seimbang. “Hidup bersama

alam”, bukan “hidup di alam”, adalah sebuah manifestasi yang menunjukkan kesejajaran posisi antara manusia dan alam. Eksploitasi yang dibarengi dengan usaha konservasi yang selaras, memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam alam dengan bijak hanya untuk

kebutuhan hidup sehari-hari, itu semua dilakukan semata-mata agar keseimbangan alam terjaga. Karena jika alam rusak, maka manusia juga yang akan merugi. Salah satu bukti kearifan lokal ini dapat dilihat pada arsitektur pra-modern khas Sunda.

Secara eksplisit arsitektur tradisional Sunda yang paling khas terlihat adalah imah panggung atau rumah panggung yang memiliki ketinggian antara 40 – 60 cm. Panggung

(9)

Secara simbolik, didasarkan pada kosmologi masyarakat tatar Sunda dimana masyarakat setempat percaya bahwa dunia itu terbagi ke dalam tiga bagian : ambu handap, ambu luhur, dan ambu tengah. Ambu handap atau bagian bawah adalah tempat dimana roh-roh halus dan jahat tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal langsung bersentuhan dengan tanah. Ini juga sebabnya tiang / kolom bangunan tidak boleh langsung bersentuhan dengan tanah, harus diberi alas yang berfungsi untuk memisahkannya dari tanah yaitu berupa batu yang disebut dengan umpak. Ambu tengah adalah pusat alam semesta dan tempat dimana manusia tinggal. Kemudian ambu luhur atau dunia atas adalah tempat dimana roh-roh suci tinggal, oleh karena itu manusia tidak boleh tinggal di ambu luhur yang merupakan bagian atap bangunan.

Gambar 2.1 Ilustrasi Kosmologi Bangunan Pra-Modern Sunda

Sumber : Dokumentasi Penulis

Secara garis besar, masyarakat kampung adat Sunda juga biasanya membagi wilayah tempat tinggal mereka ke dalam tiga bagian. Seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga, Tasikmalaya. Tiga wilayah itu adalah : hutan larangan; peternakan, perkebunan, perikanan, dan sawah; dan hunian atau tempat tinggal warga.

(10)

malapetaka. Namun, dengan adanya hutan larangan ini juga membuktikan bahwa secara ekologi kampung adat Sunda sangat lestari.

Selain itu, masyarakat adat Sunda juga memiliki peternakan, perkebunan, perikanan dan persawahan yang membuktikan mereka sangat mandiri dan mampu merespon isu-isu ketahanan pangan. Padi-padi yang sudah dipanen biasanya disimpan di bagian kolong rumah untuk persediaan sampai panen selanjutnya.

Kemudian ada hunian atau tempat tinggal warga yang semuanya menggunakan konstruksi panggung yang sangat ringan dan fleksibel. Di Kampung Naga, Tasikmalaya,

terdapat lebih dari 100 unit hunian rumah panggung.

3. Struktur dan Konstruksi Rumah Adat Sunda

Bangunan adat Sunda dibuat dengan konstruksi dan konstruksi yang ringan dan sederhana.Yang paling khas dan dapat dilihat adalah konstruksi rumah panggung dengan ketinggian 40 – 60 cm. Materialnya terbuat dari material yang bisa ditemukan di sekitar lingkungan seperti batu belah yang langsung diambil dari sungai, bukit, atau gunung; seperti bambu, kayu, dan ijuk.

(11)

Gambar 3.1 Kampung Naga, Tasikmalaya

Sumber : Dokumentasi Penulis

Selain mampu merespon gempa, rumah dengan bahan bangunan tersebut akan lebih ringan dibanding rumah yang terbuat dari dinding tembok / beton dimana kondisi ini akan berpengaruh terhadap daya dukung bangunan terhadap potensi longsor. Ini dapat terlihat di

Kampung Naga, meskipun berada di lahan dengan kemiringan yang cukup tinggi tapi tidak pernah terjadi longsor.

Rumah adat Sunda, seperti yang bisa ditemukan di Kampung Naga secara struktur terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu struktur handap atau bawah dan struktur luhur atau bagian atas bangunan.

A. Struktur bawah bangunan

Struktur handap atau bawah bangunan terdiri dari lelemah atau tanah dasar dan

tatapakan atau pondasi. Rumah tradisional Sunda menggunakan pondasi yang disebut dengan

umpak. Umpak adalah jenis pondasi yang terbuat dari batu yang di atasnya diletakkan tihang

atau kolom yang terbuat dari kayu. Umpak sendiri, terbagi ke dalam tiga jenis yaitu : buleud, lisung dan balok.

Buleud dalam bahasa Sunda berarti bundar atau lingkaran. Sesuai namanya, pondasi

(12)

Gambar 3.2 Aneka jenis pondasi pada rumah adat Sunda

Sumber : Dokumentasi Penulis

Namun, di Kampung Naga Tasikmalaya, jenis pondasi yang paling sering ditemui adalah pondasi berbentuk balok dan lisung. Pondasi ini biasanya disimpan di atas permukaan tanah atau ditanam sebagian ke dalam tanah. Selain itu, karena rumah / pondasinya berbentuk

panggung, sehingga menciptakan sebuah ruang dibawah lantai yang disebut sebagai kolong. Ruang ini, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya adalah simbolisasi dari kehidupan

bawah dimana manusia tidak boleh tinggal disana kecuali yang sudah meninggal (dikubur), atau sebagai kandang hewan ternak seperti ayam / itik dan sebagai tempat penyimpanan kayu bakar.

Gambar 3.3 Pemanfaatan ruang kolong pada rumah adat Sunda.

Sumber : Dokumentasi Penulis

Jika pada bangunan modern kita mengenal istilah balok sloof sebagai sistem pengikat antar pondasi batu kali, maka pada bangunan adat Sunda menggunakan istilah balok

(13)

Gambar 3.4 Sistem pengikat pada pondasi rumah adat Sunda

Sumber : Dokumentasi Penulis

Semua material yang digunakan pada bagian handap bangunan adalah material lokal yang mudah ditemukan di lingkungan sekitar warga. Menurut kepercayaan masyarakat adat Sunda, material berat seperti batu tidak boleh digunakan untuk konstruksi bangunan bagian

(14)

Gambar 3.5 Batu kali sebagai tangga dan dinding penahan tanah di kampong adat Sunda Naga di Tasikmalaya

Sumber : Dokumentasi Penulis

Penggunaan batu tidak hanya terbatas untuk pondasi rumah saja, pada level kawasan, batu yang diambil dari kali /sungai juga digunakan sebagai tangga dan dinding penahan tanah untuk pengaturan terasering. Selain mudah dan murah, penggunaan batu dengan tekstur dan ukuran yang beragam juga menjadi keunikan dan keindahan tersendiri.

B. Struktur atas bangunan

Struktur luhur atau struktur bagian atas bangunan dibedakan ke dalam dua bagian :

(15)

Gambar 3.6 Struktur lantai pada rumah adat Sunda

Sumber : Ilustrasi ulang penulis berdasarkna Nuryanto (2006)

Gambar 3.7 Struktur lantai pada rumah adat Sunda (2)

Sumber : Ilustrasi ulang penulis berdasarkna Nuryanto (2006)

Gambar 3.8 Struktur lantai papan kayu pada rumah adat Sunda di Kampung Naga, Tasikmalaya

Sumber : Dokumentasi Penulis

(16)

lebih cepat, penggunakan paku juga cenderung lebih murah dan praktis daripada pasak dan tali.

Pada struktur lantai, masyarakat adat Sunda biasanya menggunakan tiga jenis lantai, yaitu : talupuh; papan dan bilik. Talupuh sendiri adalah lantai yang terbuat dari material bambu yang dirajam dengan ukuran tertentu sesuai kebutuhan (Nuryanto dkk.,2015). Jenis bambu yang digunakan biasanya dari jenis gombong dengan diameter 15-20 cm dan ketebalan 12-15 mm. Alasan menggunakan bambu ini adalah karena ketika bambu ini dirajam lebarnya bisa mencapai kurang lebih 30 cm.

Pada struktur atap, struktur lalangit dan rarangka pada dasarnya terbagi berdasarkan dua komponen : kuda-kuda dan langit-langit. Kuda-kuda terdiri dari dua komponen : nu mikul

atau dalam bahasa Indonesia berarti yang menopang dan nu dipikul atau yang ditopang. Oleh sebab itu, ukuran kayu untuk struktur nu mikul lebih besar dan tebal dibanding struktru nu dipikul yang ukurannya lebih kecil dan lebih ringan. Pada dasarnya, struktur atapnya hampir sama dengan struktur atap kayu yang kita ketahui pada bangunan modern, hanya istilahnya saja yang berbeda. Selain itu, sambungan yang digunakan juga tidak menggunakan plat bajat dan paku, tapi menggunakan ikatan tali ijuk / rotan dan teknik sambungan bibir lurus-berkait, miring-berkait, dan pen-lubang.

Gambar 3.9 Konstruksi atap pada rumah adat Sunda

Sumber : Ilustrasi ulang penulis berdasarka Nuryanto (2006)

(17)

panjang. Menurut keterangan salah satu warga di Kampung Naga, ijuk ini baru diganti minimal 30 tahun sekali. Bahkan ada yang lebih. Selain itu, di Kampung Naga dalam dilarang menggunakan penutup atap yang terbuat dari genteng / saripati tanah. Karena, dalam kepercayaan mereka menggunakan penutup atap dari genteng sama dengan mengubur diri hidup-hidup, karena hanya orang yang sudah mati yang tinggal di bawah tanah. (Nuryanto dkk.,2015)

4. Ketahanan Terhadap Gempa

Dari sisi material bangunan, rumah adat Sunda sudah memenuhi salah satu syarat

bangunan tahan gempa, yaitu terbuat dari material yang ringan seperti kayu dan bambu. Menurut Brostow dkk. (2010) keunggulan kayu sebagai material bangunan bahwa kayu terdiri dari dua bagian, bagian tengah dapat melawan kompresi dan bagian luar dapat melawan tensi / tegangan. Kayu juga memiliki kadar air yang lebih rendah yang membuatnya memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melawan kompresi.

Gambar 4.1 Tree trunk regions in compression and tension

Sumber : Nuryanto dkk melalui Brostow dkk. (2010)

(18)

Untuk sistem ikatan rumah panggung,masyarakat adat Sunda menggunakan ikatan pasak. Pada rangka lantai, dinding, kuda-kuda, dan balok disambung dengan sambungan pen and hole. Walaupun pada beberapa contoh rumah di kampung Naga sudah ada yang menggunakan paku untuk sambungan, tapi sebagian besar masih menggunakan teknik ikatan tradisional. Selanjutnya menurut Felix (1999) melalui Nuryanto (2015) sambungna pasak memiliki tingkat efisiensi hingga 60% lebih baik dibandingan dengan sambungan baut yang memiliki tingkat efisiensi hanya 30% saja.

KESIMPULAN

Masyarakat adat Sunda adalah masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Bukan di atas alam. Dengan pemahaman sederhana ini, mereka berusaha untuk terus memuliakan dan menjaga alam dari kerusakan. Menurut Pak Saria, warga kampung naga, ia mengatakan leuweung mah teu kudu dijagaan,tapi di antepkeun. Mun dijagaan justru matak ngarusak. Yang artinya bahwa hutan tidak perlu dijaga, tapi cukup didiamkan. Karena ketika dijaga, nanti justru akan merusak. Karena bagi mereka, alam bukanlah sesuatu yang bisa dieksploitasi sepuasnya. Nilai-nilai kearfian lokal ini yang juga tercermin dalam realitas struktur dan konstruksi rumah adat mereka.

Dengan rumah adat panggung, tidak ada satupun rumah warga yang hancur akibat gempa. Justru sebaliknya, berdasarkan wawancara penulis dengan Pak Saria (warga kampung naga), ketika terjadi gempa bumi warga khususnya anak-anak justru bergegas masuk ke dalam rumah dan menunggu datangnya gempa. Dan anak-anak merasa senang ketika terjadi gempa karena mereka seperti sedang enjot-enjotan atau seperti sedang melompat-melompat di dalam bangunan. Bagi mereka, gempa hanyalah sebuah fenomena alam yang wajar, bukan sebuah bencana alam yang perlu ditakuti.

Nilai kearifan lokal inilah yang perlu terus ada dan diaplikasikan pada bangunan-bangunan modern. Pemahaman untuk hidup bersama-sama dengan alam, bukan di atas alam, tapi merasa menjadi bagian dari alam, seperti yang masyarakat adat Sunda lakukan terbukti

membuat hidup mereaka tetap bersahaja, mengikuti ajraan dan tuntunan yang diwariskan leluhur mereka secara turun temurun dari generasi ke generasi.

(19)

gempa. Bangunan tersebut mampu bertahan dari goncangan gempa sebesar 7,3 SR. Tidak seperti bangunan non-vernakular lainnya yang justru banyak yang roboh.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

[1] Nuryanto. Maknun, Johar. Busono, Tjahyani. (2015). Konstruksi bangunan Tradisional Sunda Ramah Bencana. Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur, FPTK UPI.

[2] Adimihardja, Kusnaka dan Purnama Salura (2004). Arsitektur dalam Bingkai Kebudayaan. Cetakan Pertama. Bandung: CV. Architecture&Communication, Forish Publishing.

[3] Adimihardja, K. (2008). Dinamika Budaya Lokal. Bandung: Pusat Kajian LBPB.

[4] Brostow, W., Datashvili, T., and Miller, H. (2010). Wood and Wood Derived Materials. Journal of Materials Education Vol. 32 (3-4): 125 – 138.

[5] Canadian Wood Council. (2003). wood frame construction - meeting the challenges of Earthquakes, building performance series No.5. Canada; CWC

[6] Dep. PU. (2002). Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung: SNI-1726-2002. Bandung: Puslitbangkim PU.

[7] Nuryanto (2006): Kontinuitas dan Perubahan Pola Kampung dan Rumah Tinggal dari Kasepuhan Ciptarasa ke Ciptagelar, di Kab. Sukabumi (selatan), Jawa Barat. Tesis Riset Magister Arsitektur, Program Studi Arsitektur SAPPK-ITB, Bandung (tidak untuk diterbitkan);

[8] Nuryanto (2015): Arsitektur Nusantara, Seri Arsitektur Tradisional Sunda: Arsitektur Tradisional Sunda dalam Bingkai Arsitektur Nusantara: Pengantar Arsitektur Kampung dan Rumah Panggung. Buku Ajar Arsitektur Nusantara Program Studi Teknik Arsitektur, Departemen Pendidikan Teknik Arsitektur FPTK Universitas Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Grafindo Persada.

[9] Sharma, B., Gatoo, A., Bock, M., dan Remage, M. (2015). Engineered bamboo for structural applications. Construction and Building Materials 81 (2015) 66–73

(21)

[11] Triyadi, S dan Harapan, A. (2008). Kearifan Lokal Rumah Vernakular Di Jawa Barat Bagian Selatan dalam Merespon Gempa. Jurnal Sains dan Teknologi EMAS, Vol. 18, No. 2, Mei 2008

[12] Institut Teknologi Bandung (2009). Laporan Kajian dan Survey Awal Pasca Gempabumi Tasik Jawa Barat.

[13] Hermawan, Iwan. Bangunan Tradisional Kampung Naga : Bentuk Kearifan Warisan Leluhur Masyarakat Sunda. Balai Arekologi Bandung.

Gambar

Gambar 1.1  Tumbukan dua lempeng a) subduksi, b) obduksi
Gambar 1.2  Keretakan tanah dan potensi longsor di kawasan bahu dan lereng jalan dari Bandung menuju
Gambar 1.3  Kerusakan Bangunan Masjid di Desa Cigalontang
Gambar 1.5  Kerusakan Bangunan Sekolah di Desa Raksajaya
+7

Referensi

Dokumen terkait