• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaming Culture dalam Kapitalisme Global

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Gaming Culture dalam Kapitalisme Global"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Gaming Culture

dalam

Kapitalisme Modern

Priska Sabrina Luvita

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Gaming Culture bukanlah suatu fenomena yang baru tetapi tidak juga

merupakan fenomena yang lama terjadi di dunia internasional. Lebih tepatnya

fenomena ini tanpa disadari sudah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat internasional, terutama Asia Pasifik sebagai tempat penghasil

teknologi game tercanggih di dunia. Arus globalisasi, yang seringkali dijelaskan

sebagai sebuah konsep abstrak yang menggambarkan berbagai proses ekonomi,

sosial, dan budaya yang berbeda beredar secara masif dan cepat ke seluruh

dunia seiring dengan tergerusnya batas-batas antar negara1 berkontribusi secara

langsung atas kemunculan apa yang disebut sebagai Cyberculture yang

mewadahi juga di dalamnya gaming culture ini. Namun, arus globalisasi ini membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih rapuh dalam jeratan kapitalisme

beserta industrinya di dunia.

Revolusi game di mana muncul dan maraknya game online yang dimotori

oleh industri game Korea Selatan yang memegang 30% dari pasar PC Games di

dunia2, menjadi sebuah fenomena Hallyu (Korean Wave) yang tidak tampak di

permukaan Hallyu mainstream –seperti penyebaran K-Drama maupun K-Pop. Terlebih lagi, tidak kalah dengan penyebaran Hallyu mainstream, gaming culture

yang disebarkan industri-industri Korea Selatan juga menjalar di dalam

kehidupan masyarakat Asia Pasifik dan memberikan harapan dan penghargaan

bagi para gamer (terutama di Korea Selatan) untuk hidup berpenghasilan

1 Daniel H. Nexon dan Iver B. Neumann. “Harry Potter and International Relations”. Rowman &

Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006), 81.

2Introduction”. Lihat di http://asiaenglish.visitkorea.or.kr/ena/CU/CU_EN_8_9.jsp diakses pada hari

(2)

dengan menjadi pro-gamer. Membuat Korea Selatan mendapat sebutan sebagai Pro Gaming’s Promised Land atau Gaming’s Jerusalem oleh IGN Entertainment, sebuah divisi News Corporation yang fokus kepada media, distribusi digital, dan

teknologi game.3

Mengingat semakin banyaknya media, majalah, online game, dan segala

hal yang mendorong masyarakat Asia Pasifik untuk terus mengamati dan

mengeksplorasi hobby-nya bermain game, bahkan mungkin memunculkan harapan untuk hidup dari penghasilan bermain game, fenomena ini

sesungguhnya merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas, terlebih

karena fenomena ini merupakan yang ada dan tumbuh di dalam kehidupan

masyarakat sehari-hari dan industri kultur dunia yang berlandaskan kapitalisme,

atau yang beberapa tokoh mendefinisikannya sebagai kapitalisme modern. Serta

karena masyarakat sekarang ini cenderung bersikap taken for granted dalam

memandang fenomena gaming culture ini sehingga penting untuk mengungkap

apa yang sebenarnya terjadi di dalam fenomena ini.

I.2. Perumusan Masalah

1. Bagaimana fenomena gaming culture yang didorong Korea Selatan ini

bergerak dalam logika kapitalisme modern?

3Kate O'Halloran, “Pro Gaming's Promised Land”.

Lihat di

(3)

BAB II PEMBAHASAN

II.1. Korea Selatan, Asia Pasifik, dan Kemunculan Online Game ,

Korea Selatan memiliki peran yang penting dalam mengembangkan

sekaligus menyebarkan gaming culture ini ke seluruh dunia, terutama game online, tidak hanya Asia Pasifik, tetapi juga di dunia.4 Ini adalah setelah revolusi

game yang dulunya didominasi oleh perusahaan Jepang yang mempromosikan

console game sebagai wahana permainan elektronik. Namun, seiring

perkembangannya console game ini mulai digeser oleh game online yang

menawarkan interaksi di dalam dunia game sesama antar pemain dan

peningkatan rasa kebersamaan dengan berbagi suka dan duka antar sesama

pemain .5 Dan perlahan, terjadi pergerakan yang massa yang besar untuk mengkonsumsi game online yang disajikan sebagian besar oleh Korea Selatan.

Hal yang berarti menciptakan ruang dan waktu untuk internet dapat terbentuk

dalam kehidupan sehari-hari.6

Korea Selatan mulai perannya tersebut tak lama setelah terbentuknya

hi-speed internet broadband pada akhir tahun 1990an.7 Tetapi ternyata awal

mengapa Korea Selatan menggunakan media PC (Personal Computer) untuk

bermain game disebabkan oleh dinamika hubungan dengan tetangga satu

kawasannya, yaitu Jepang. Sampai dengan tahun 1990 di saat sedang maraknya

video game console dari Jepang di pasar dunia, Korea Selatan melakukan ban

(larangan) untuk masuknya Nintendo dan game console lainnya –karena dianggap sebagan Budaya Jepang, dan berlakunya Larangan Import Produk

4 Larissa Hjorth dan Dean Chan (ed.), Gaming cultures and place in Asia -Pacific (Routledge: New

York, 2009), 21-22.

5Kevin Krolijki, “

Japan's video game visionary: the console is dying”, lihat di

http://www.reuters.com/article/2010/04/07/us-japan-kojima-idUSTRE6362GF20100407 diakses pada hari Sabtu, 30 Juni 2012, pukul 13.18 WIB. Untuk lebih lanjut mengenai “keunggulan” game online, dapat dilihat di “Introduction”. Ibid.

6

David Bell, Cyberculture theorists : Manuel Castells and Donna Haraway (Routledge: New York, 2007), 48.

(4)

Kultur Jepang di Korea Selatan sejak lepas dari jajahan Jepang.8 Sedangkan pada

tahun 1994 Korea Selatan memiliki membuat sebuah kebijakan kulturan akan

komitmennya untuk ikut ke dalam globalisasi yang dipelopori oleh Presiden Kim

Young-Sam.9 Hal yang membuat Korea Selatan terjepit antara trend kultur dunia

akan video game console dan komitmen akan globalisasinya. Sangat sebuah

moment yang baik mengingat pemerintah China dengan banyaknya human

resource yang aktif bermain game, melakukan larangan masuknya video game

console dari Jepang pada tahun 2000.10 Maka kemudian, dengan kekuatan

manufaktur produk-produk elektronik dan semi-konduktor, Korea Selatan

mengembangkan game-nya sendiri dengan wahana PC sehingga memudahkan

akses masyarakat untuk memainkannya.

Dan kemudian dengan dukungan dari pemerintah Korea Selatan dan

perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan seperti NCsoft dan Nexon, online

game yang diwadahi oleh PC ini berkembang ke seluruh dunia, dengan konsumsi

Asia sebagai penggeraknya. 50% dari total online gamer berasal dari Asia, diluar

Jepang, terutama dari Korea Selatan, China, dan Taiwan.11 Dan menurut DFC

Intelligence Online Game Market Forecasts, total pelanggan online game pada

tahun 2005 bernilai 2 Millyar US Dollar (US$) dan diperkirakan untuk tumbuh

menjadi 6,8 Millyar US$ pada tahun 2011.12 Perkembangan yang menciptakan

fenomena bermunculannya penelitian-penelitian tentang gaming culture di

Asia, maupun belahan dunia lain.

II.2. Gaming Culture dan Kapitalisme Modern

Dari penjabaran singkat di atas, kemunculan internet di era globalisasi

dan game culture terutama online game Korea Selatan dengan tipe MMOG

(Massively Multiplayer Online Game) kemudian mendorong terbentuknya sebuah

8John Sexton, “Console Gaming in Korea under the “Japanese Cultural Imports

Ban””. Lihat di http://www.azubu.com/board_view/articles/board_id/10000000001470/re_url/featured/ diakses pada hari Minggu, 1 Juli 2012, pukul 17.58 WIB.

9 Larissa Hjorth dan Dean Chan (ed.), Ibid., 62.

10Brian Ashcraft, “Why Are Consoles Banned in China?”.

Lihat di http://kotaku.com/5587577/why-are-consoles-banned-in-china diakses pada hari Senin, 2 Juli 2012, pukul 13.21 WIB.

11David Cole, “Online Games Boom: Who Benefits?”. Lihat di

http://www.businessweek.com/stories/2006-03-08/online-games-boom-who-benefits-businessweek-business-news-stock-market-and-financial-advice diakses pada hari Senin, 2 Juli 2012, pukul 10.54 WIB.

(5)

masyarakat suatu network society yang terstrukturisasi di dalam kekuatan

oposisi bipolar antara Net jaringan dan Self identitas . Walaupun hal

tersebut tidak menunjukkan tidak digambarkan sebagai sebuah masalah

ataupun konflik yang diakibatkan kapitalisme modern.13 Tetapi perubahan

interaksi antar manusia yang digantikan (atau diperantarai) oleh benda seperti

PC yang menjadi hal yang normal dalam gaming culture ini menjadi apa yang

disebut Marx sebagai fetisme komoditas14 atau Reification15 (kesalahpahaman

melihat suatu yang abstrak menjadi suatu yang kongkret) oleh Herbert Marcuse

di dalam kapitalisme modern.

Kapitalisme moden atau kapitalisme kontemporer merupakan sebuah

teori yang dikembangkan oleh Herbert Marcuse, seorang pengikut Mazhab

Frankfurt.16 Teori tersebut diungkapkannya saat melihat kekompleksan dari

kapitalis dan kontrol sosial dari kapitalisme pada masyarakat modern (modern

society) yang tercampur dalam media massa dan budaya populer.17 Kapitalisme

modern ini juga mampu menciptakan kebutuhan palsu dan melakukan penindasan secara individual maupun sosial.18 Tidak hanya itu, dengan

konsumeritas dan kemakmuran yang dihasilkan oleh perekonomian

masayarakat kapitalis modern, dengan tingkat pengendalian ideologis dari

budaya populer, meng inklusi masyarakat yang tertindas dan tereksploitasi di dalamnya (atau apa yang disebut Marx sebagai kelas pekerja)19. Membuat kelas masyarakat ini tidak lagi menjadi ancaman bagi kaum kapitalisme modern.

Apa yang disebut sebagai kebutuhan palsu ini ternyata menjadi suatu

hal yang tidak asing didengar, yaitu dari kebutuhan untuk bermain game (baik

sebagai refreshment dalam menjalani hari atau tanpa alasan apapun), perasaan

dibutuhkan untuk bermain game online yang bersifat MMOG bersama gamer

lain, maupun kebutuhan lainnya. Dan hal ni tidak terjadi khusus pada gaming

culture, kebutuhan palsu ini juga menjalar ke seluruh kehidupan masyarakat

13 George Ritzer dan Zeynep Atalay (ed.). Reading in Globalization: Key Concepts and Major Debates

(Inggris: Wiley-Blackwell A John Wiley & Sons, Ltd., Publication, 2010), 254.

14 Dominic Strinati. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer , trans. Abdul Muchid

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),100.

15 George Ritzer dan Zeynep Atalay (ed.).Ibid., 252. 16 Dominic Strinati. Ibid., 103.

17 Ibid., 104. 18

Ibid., 104 atau lihat juga di Herbert Marcuse, “Ecology and the Critique of Modern Society”, CNS Journal of Socialist Ecology, 3 (3), (1992): 44.

(6)

modern sekarang, yaitu kebutuhan untuk memiliki PC atau ponsel tertentu untuk mensuport gaya hidup misalnya. Akibat dari kebutuhan palsu pada

gaming culture ini beragam tentunya, tetapi beberapa yang paling fatal seperti

withdrawal syndrome, kematian (bagi para intense gamer), dan bahkan

pembunuhan (seorang ibu terlalu fokus pada kebutuhannya untuk bermain

game online sampai membuat bayinya mati kelaparan)20

Hal yang penting adalah industri budaya ini akan menjamin penciptaan

dan pemenuhan kebutuhan palsu, dan menindas

kebutuhan-kebutuhan sejati .21 Contohnya sudah sedikit disinggung pada pembahasan sebelumnya, yaitu munculnya banyak majalah dan website untuk membahas

game online dan perkembangannya, bahkan terus-menerusnya dilakukan inovasi

game online untuk menopang keberlangsungan masyarakat untuk ingin

bermain game. Hal ini menjadi lahan profit baru untuk pemenuhan kebutuhan

masyarakat yang dibentuk oleh kapitalisme.

Dan hal yang menarik adalah pemerintah Korea Selatan yang menjadi

garda depan penyebaran gaming culture memberikan tujuan atau justifikasi

bagi kebutuhan palsu tersebut, seperti mengangkat derajat pekerjaan para

selebritis Hallyu di mata masyarakat dengan mengatakan bahwa, Becoming a

celebrity is harder than being admitted to Seoul University. .22 Hal yang sama

dilakukan untuk gamer muda Korea Selatan, yaitu menjadikan pro-gamer

sebagai sebuah profesi yang serius , bahkan elit karena menghasilkan banyak

uang dan memerlukan dedikasi tinggi ; seperti layaknya seorang atlet olahraga, seorang selebritis.23 Dapat dilihat betapa komitmen nya pemerintah Korea Selatan untuk mengkomoditaskan masyarakatnya sendiri sebagai selebritis yang

menarik banyak penggemar dan pengikut budaya ini, budaya Korea Selatan , mengingat Korea Selatan menganggap video game console Jepang sebagai

budaya Jepang .

20Carolyn Sun, “Online Craving”. Lihat di

http://www.thedailybeast.com/newsweek/2011/10/16/south-korea-s-video-game-addiction.html, diakses pada hari Senin, 2 Juli 2012, pukul 11.39 WIB.

21

Dominic Strinati. Ibid., 107.

22Government launches seminar programs for parents of idol trainees

http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-of-idol-trainees diakses pada hari Jumat, 6 Januari 2012, pukul 10.26 WIB.

23Jennifer Veale, “

Where Playing Video Games Is a Life”. Lihat di

(7)

Dengan diakuinya profesi ini, dalam logika kapitalisme yang

men-Tuhan-kan uang, tentunya seorang gamer biasa dapat terus mengeksplorasi hobinya

untuk bermain game dalam usaha suatu saat untuk menjadi pro-gamer atau

setidaknya berpenghidupan dari hobi tersebut. Seorang gamer akan terus

butuh bermain game, hal itu akan menjadi mimpi nya. Dan dengan diselenggarakannya turnamen-turnamen game di Korea Selatan (untuk game

Starcraft sendiri, Korea Selatan memiliki 5 liga utama) yang ditayangkan di 5

stasiun televisi nasional Korea Selatan24, keahlian dan keberhasilan para

pro-gamer yang diberitakan secara terus-menerus menjadikan generasi muda Korea

Selatan, bahkan dunia bermimpi menjadi seorang pro-gamer.

Dengan semakin mendunianya stasiun televisi Korea Selatan dan

penyebaran Hallyu mainstream yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

dunia, terutama Asia, gaming culture ini juga dapat mengontrol kehidupan

masyarakat untuk memapankan kapitalisme modern yang tengah berlangsung

secara semakin kompleks di dunia ini, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya

terjadi. Membuat masyarakat hanya memiliki peran terbatas sebagai konsumen

pasif yang suaranya terbungkam sebagai komoditas bagi kapitalisme modern.

Sebuah momok dari kemajuan industri saat ini, yaitu: alienasi penuh yang

menurunkan nilai manusia.25 Dan gaming culture ini tengah hidup dan tumbuh

di setiap sendi masyarakat Asia Pasifik. Apakah kemudian akan terjadi

standarisasi yang sama seperti yang dilakukan Korea Selatan terhadap gaming

culture di negaranya pada Asia Pasifik? Walaupun, hari ini belum terjadinya hal

tersebut di Asia Pasifik. Asia yang menjadi konsumen terbesar onling game,

semakin banyaknya bermunculan PC Bang/Room (Internet Café, ataupun

War-Net game) di Asia Pasifik dan komitmen negara-negara Asia Pasifik dengan

kemajuan IT membuat kita harus waspada akan fenomena gaming culture ini

sekarang, maupun di masa depan.

24South Korea: World’s Fastest Internet, PC Gaming Capital. Lihat di

http://www.cleancutmedia.com/internet/south-korea-worlds-fastest-internet-pc-gaming-capital diakses pada hari Senin, 2 Juli 2012, pukul 12.29 WIB.

(8)

BAB III KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa fenomena Gaming Culture yang telah menjalar di kehidupan sehari-hari masyarakat dunia, terutama Asia merupakan

sebuah fenomena penyebaran budaya Hallyu (Korean Wave) yang dimotori oleh

pemerintah Korea Selatan dan beberapa perusahaan besar dari Korea Selatan

dengan mempertimbangkan dinamika kawasannya, terutama hubungan dengan

Jepang dan China. Hal yang membuat gaming culture dari Korea Selatan

merupakan PC Based game atau online game dan menyebarkannya ke seluruh

dunia dengan memanfaatkan kemunculan hi-speed internet broadband.

Hal yang ditawarkan oleh online game ini adalah interaksi di dalam dunia game sesama antar pemain dan peningkatan rasa kebersamaan dengan

berbagi suka dan duka antar sesama pemain , membuat perubahan interaksi

sosial antar masyarakat modern dengan benda mati PC atau alat lainnya . (al

ini disebut Herbert Marcuse sebagai reification yang menjadi salah satu akibat

dari kompleksitas kapitalisme modern di era globalisasi.

Hal lain yang menjadi pembeda kapitalisme modern adalah kapitalisme

modern ini menciptakan kebutuhan palsu dengan kontrol media massa dan

budaya populer. Dalam hal gaming culture merupakan kebutuhan untuk terus

bermain game, rasa dibutuhkan untuk terus bermain game, dan lain-lain yang seringkali berakibat fatal bagi kehidupan. Tetapi kapitalisme modern ini akan

terus menjamin penyediaan kebutuhan palsu ini sehingga masyarakat akan terus

terjerat di dalamnya. Dan pemerintah Korea Selatan bahkan memberikan

tujuan bagi para gamer di dunia (terutama Korea Selatan) untuk terus mengeksplor hobinya dengan diangkatnya derajat para pro-gamer sebagai

sebuah profesi yang elit.

Menjadikan masyarakat teralienasi secara penuh dalam kehidupan

kapitalisme modern dan membuat kapitalisme modern hidup tanpa takut adanya

ancaman dari kelas masyarakat. Komitmen Asia Pasifik pada industri )T

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Bell, David, Cyberculture theorists: Manuel Castells and Donna Haraway

(Routledge: New York, 2007),

Hjorth, Larissa dan Chan, Dean (ed.), Gaming cultures and place in Asia-Pacific

(Routledge: New York, 2009),

Marcuse, (erbert, Ecology and the Critique of Modern Society , CNS Journal of Socialist Ecology, 3 (3), (1992): 29-48.

Nexon, Daniel H. dan Neumann, Iver B. Harry Potter and International Relations .

Rowman & Littlefield Publihers, inc (Amerika Serikat, 2006)

Strinati. Dominic, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer,

trans. Abdul Muchid (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009),

Ritzer, George dan Atalay, Zeynep (ed.). Reading in Globalization: Key Concepts

and Major Debates (Inggris: Wiley-Blackwell A John Wiley & Sons, Ltd.,

Publication, 2010),

http://www.allkpop.com/2011/12/government-launches-seminar-programs-for-parents-of-idol-trainees

http://www.azubu.com/board_view/articles/board_id/10000000001470/re_ur

l/featured/

http://asiaenglish.visitkorea.or.kr/ena/CU/CU_EN_8_9.jsp

http://www.businessweek.com/stories/2006-03-08/online-games-boom-who-benefits-businessweek-business-news-stock-market-and-financial-advice

http://www.cleancutmedia.com/internet/south-korea-worlds-fastest-internet-pc-gaming-capital

http://kotaku.com/5587577/why-are-consoles-banned-in-china

http://pc.ign.com/articles/122/1220527p1.html

http://www.reuters.com/article/2010/04/07/us-japan-kojima-idUSTRE6362GF20100407

http://www.thedailybeast.com/newsweek/2011/10/16/south-korea-s-video-game-addiction.html

Referensi

Dokumen terkait

pelayanan publik dengan lebih wajar, nilai yang dihasilkan mencakup seluruh beban yang terjadi tidak hanya jumlah yang telah dibayarkan, tetapi dengan

Kecakapan kognisi dalam berfikir kreatif meliputi : (1) mengidentifikasi masalah dan peluang (2) mengajukan pertanyaan yang lebih baik dan berbeda (3) menilai

Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, menugaskan kepada dosen-dosen yang tercantum dalam Lampiran Surat Tugas ini, untuk menjadi Dosen

Sesuai dengan Keputusan MENPAN nomor 63 tahun 2004 penyelenggaraan aktivitas pelayanan dinilai baik jika memenuhi berbagai asas pelayanan sebagai berikut antara lain

Sejalan dengan fungsi Bappenas sebagai Instansi Pembina Jabatan Fungsional Perencana dan sebagai Instansi Penyelenggara Diklat Perencanaan Pembangunan, di dalam rencana

Selanjutnya, sebagai media penciptaan realitas sosial, bahasa dalam iklan digunakan untuk membentuk citra pada suatu produk.. Pencipataan realitas sosial tersebut berhubungan

Iklan kondom Sutra Fiesta di media cetak di tampilkan secara berbeda dan unik dibandingkan dengan kondom lain yang pernah ditampilkan sebelumnya, yaitu dengan menampilkan

Telkom untuk mengungguli promosi yang dilakukan oleh pesaing, meningkatkan pembayaran berlangganan untuk membantu Langit Musik dalam pembayaran royalti,