• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Umur Kawin Pertama Dan Penggunaan Kontrasepsi Dengan Fertilitas Remaja Berstatus Kawin (Analisis Riskesdas 2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan Umur Kawin Pertama Dan Penggunaan Kontrasepsi Dengan Fertilitas Remaja Berstatus Kawin (Analisis Riskesdas 2010)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN UMUR KAWIN PERTAMA DAN PENGGUNAAN KONTRASEPSI

DENGAN FERTILITAS REMAJA BERSTATUS KAWIN (ANALISIS

RISKESDAS 2010)

The Relationship Between Age of First Marriage, Contraceptive Use and Fertility of

Currently Married Adolescent (Analysis of 2010 Riskesdas)

Yoni Malinda*

Program Pascasarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia *Email: yoni.malinda@gmail.com

Abstract

Background: Fertility of adolescents contributes greatly to the total fertility of Indonesia. Based on the 2007 Indonesia Demographic and Health Survey, the Age-Specific Fertility Rate (ASFR) of adolescents aged 15-19 years in 2002 to 2003 and 2007 remained unchanged, i.e. 51 births per 1.000 women.

Objective:To examine the relationship between age of first marriage and contraceptive use and fertility of currently married adolescent aged 15-19 years.

Methods:Data were derived from Riskesdas 2010, a cross sectional study. This analysis used information from 760 female adolescents. Odds Ratios (OR) were obtained from the bivariate and multivariate logistic regression after adjusting for region, education, employment, and economic status.

Results:The results indicate that age of first marriage was not significantly associated with fertility among adolescents (p>0,05). However, contraceptive use became a significant predictor (p<0.001) with OR=76.42 (95% CI of 36.10 to 161.04) indicated that the odds of having one or more children was 76 times higher in contraceptive users than those not using any contraceptives.

Conclusions: The principle of temporality in the study was not met since it was a cross sectional design and thereby adolescents who used contraceptive might be those with high fertility, to prevent them from having more children.

Key words: Adolescents, fertility, age of first marriage, use of contraceptive

Abstrak

Latar belakang: Fertilitas remaja masih berkontribusi besar terhadap fertilitas total di Indonesia. Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, Age-Specific Fertility Rate (ASFR) remaja usia 15-19 tahun pada tahun 2002-2003 dan 2007 tidak mengalami perubahan yaitu 51 per 1.000 perempuan.

Tujuan: Mengetahui hubungan faktor umur kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi terhadap fertilitas remaja pernah kawin usia 15-19 tahun.

Metode: Penelitian ini menggunakan data Riskesadas 2010. Desain studi penelitian adalah cross sectional dengan jumlah populasi studi 760 remaja. Odds Ratio (OR) diperoleh pada analisis bivariat dan multivariat dengan menggunakan logistik regresi setelah dilakukan adjustment pada tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, dan status ekonomi.

Hasil: Diperoleh hasil bahwa umur kawin pertama tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Sedangkan penggunaan kontrasepsi berhubungan dengan fertilitas remaja (p<0,001) dengan nilai OR=76,24 yang artinya remaja yang menggunakan kontrasepsi meningkatkan resiko 76,24 kali untuk mempunyai anak satu atau lebih dibandingkan yang tidak menggunakan (95% CI: 36,10-161,04).

Kesimpulan: Asas temporalitas pada penelitian ini tidak terpenuhi karena desain studi adalah crosssectional sehingga arti dari hubungan ini adalah remaja yang menggunakan kontrasepsi adalah mereka yang fertilitasnya tinggi untuk mencegah fertilitas yang lebih tinggi lagi.

Kata kunci: Remaja, fertilitas, umur kawin pertama, penggunaan kontrasepsi

(2)

PENDAHULUAN

Fertilitas adalah jumlah anak lahir hidup dari seorang wanita atau banyaknya bayi yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita ataupun sekelompok wanita.1 Umur kawin pertama dapat menjadi indikator saat dimulainya resiko kehamilan dan melahirkan. Perempuan yang kawin pertama pada usia muda mempunyai resiko terhadap kehamilan yang lebih lama daripada perempuan yang umur kawin pertamanya lebih tua.2 Melahirkan pada masa remaja, disertai kondisinya, merupakan faktor dasar yang menentukan kualitas hidup dan peranan perempuan di masyarakat. Adapun masalah utama fertilitas remaja, antara lain: 1) masalah kesehatan yang mengakibatkan angka kematian dan kesakitan ibu dan bayi tinggi, 2) masalah sosial-ekonomi yang berkaitan dengan rendahnya pendidikan dan kesempatan kerja, dan 3) masalah pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat.3

Dalam laporan UNFPA (2007) dijelaskan bahwa di dunia setiap tahun diperkirakan ada 14 juta perempuan remaja usia 15-19 tahun yang telah melahirkan. Perempuan yang tinggal di negara berkembang paling beresiko untuk mengalami kehamilan remaja. Angka fertilitas rata-rata (jumlah kelahiran per 1.000 perempuan muda) di antara usia 15-19 tahun di negara-negara berkembang lebih dari 5 kali lebih besar dibandingkan dengan negara maju.4 Di Indonesia, perempuan pernah menikah berusia 15-24 tahun pada tahun 2000 berkontribusi hampir 2,1 juta kelahiran pada fertilitas total Indonesia, dan jumlah ini akan terus meningkat sampai tahun 2020.5 Jika dilihat dari Total Fertility Rate (TFR) atau Angka Kelahiran Total per perempuan berdasarkan data SDKI 1997 dan SDKI 2002-2003 di Indonesia mengalami penurunan yaitu dari 2,78 menjadi 2,6.6,7 Tetapi pada SDKI 2007, TFR menunjukkan angka yang sama atau tidak ada perubahan seperti SDKI 2002-2003 yaitu 2,6 per perempuan.8 Sedangkan Age-Specific Fertility Rate (ASFR) pada remaja usia 15 -19 tahun juga menunjukkan pola yang sama seperti Total Fertility Rate (TFR) yaitu masing-masing 62, 51, dan 51 per 1.000 perempuan remaja pada SDKI 1997, SDKI 2002-2003, dan SDKI 2007.6,7,8 Berdasarkan data SDKI 2007, Total Fertility Rate (TFR) di negara Asia Tenggara menunjukkan

Indonesia memiliki angka Total Fertility Rate (TFR) yang sama terhadap Malaysia yaitu 2,6.8 Tetapi jika dilihat dari Age-Specific Fertility Rate (ASFR) pada remaja usia 15-19 tahun, Indonesia memiliki angka yang lebih tinggi dari Malaysia yaitu 51 per 1.000 perempuan remaja Indonesia dibandingkan 13 per 1.000 perempuan remaja Malaysia.9 Hal ini menunjukkan bahwa fertilitas remaja di Indonesia masih berkontribusi besar dalam mempengaruhi kondisi fertilitas di Indonesia. Berkaitan dengan Millenium Development Goals

(MDGs) pada goal kelima yaitu menurunkan angka kematian ibu, salah satu indikator dari target kedua (universal access kesehatan reproduksi) adalah tingkat kelahiran usia muda per 1.000 perempuan usia 15-19 tahun.10 Hal ini berarti fertilitas remaja mempunyai peran terhadap pencapaian MDGs khususnya goal kelima yaitu menurunkan angka kematian ibu dan juga goal keempat, yaitu menurunkan angka kematian bayi.

Faktor umur kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi mempengaruhi fertilitas remaja. Berdasarkan data SDKI 2007, 17 persen wanita yang saat ini berumur 45-49 tahun menikah pada usia 15 tahun.8 Hal ini menunjukkan bahwa masih ada perempuan yang menikah pada usia muda. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, seorang perempuan dapat menikah pada usia 16 tahun.11 Tetapi jika dilihat dari sudut pandang kesehatan, pernikahan di usia muda mempunyai dampak yang tidak baik bagi kesehatan. Umur kawin pertama dapat menjadi indikator saat dimulainya resiko kehamilan dan melahirkan pada remaja.2 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kehamilan remaja meningkatkan resiko kematian ibu dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan perempuan yang hamil di usia 20 tahun atau lebih.5 Mengenai kontrasepsi, program Keluarga Berencana berkontribusi besar dalam meningkatkan prevalensi penggunaan kontrasepsi sebesar 10-60 persen dan menurunkan fertilitas di negara berkembang dari 6 menjadi 3 kelahiran per wanita dalam 40 tahun terakhir.12 Walaupun Age-Specific Fertility Rate (ASFR) remaja berusia 15-19 tahun di Indonesia menurun dari tahun 1997 ke 2002-2003 dan tetap pada tahun 2007

(3)

berdasarkan data SDKI, tetapi penggunaan kontrasepsi di kalangan remaja berstatus kawin masih rendah. Pada data SDKI 2007 menunjukkan remaja yang menggunakan kontrasepsi yaitu 46,8 persen dan yang tidak menggunakan 53,2 persen.8 Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi lebih rendah daripada yang tidak menggunakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Alene, Degu dan Worku (2008) menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi menunjukkan hubungan signifikan dengan fertilitas perempuan dalam analisis bivariat (p=0,04) tetapi kurang signifikan (p=0,08) dalam analisis multivariat. Ada beberapa bukti

SDGD QLODL . EDKZD SHUHPSXDQ \DQJ

menggunakan kontrasepsi menurunkan resiko fertilitas yang tinggi dibandingkan dengan yang tidak menggunakan (OR=0,8; 95% CI: 0,58-1,04).13 Adanya masalah-masalah yang ditimbulkan dari fertilitas remaja ini membuat peneliti ingin meneliti hubungan antara umur kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi dengan fertilitas remaja berstatus kawin berusia 15-19 tahun dengan menganalisis data Riskesdas 2010.

METODE

Desain penelitian yang digunakan adalah studi analitik dengan pendekatan

crossectional. Dalam penelitian ini, peneliti ingin meneliti hubungan antara umur kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi dengan fertilitas remaja berstatus kawin usia 15-19 tahun dalam waktu yang bersamaan dengan menganalisis data sekunder Riset Kesehatan Dasar 2010 (Riskesdas 2010). Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juni tahun 2012. Sampel adalah seluruh responden perempuan remaja usia subur berusia 15-19 tahun yang berstatus kawin sampai pada saat diwawancara ketika survei dilakukan. Jumlah populasi studi dalam penelitian ini adalah 760 remaja dari 1160 populasi studi setelah dikurangi dengan kriteria eksklusi yaitu

missing dataGDQ UHVSRQGHQ PHQMDZDE ³WLGDN

WDKX´ $QDOLVLV XQLYDULDW GLFDUL KLWXQJDQ

proporsi dalam satuan persentase dan analisis bivariat dengan Chi-Square kemudian ukuran asosiasi dicari nilai Odds Ratio (OR). Pada analisis multivariat dicari adjusted OR dengan menggunakan regresi logistik. Selain itu, akan dicari ukuran dampak pada faktor

umur kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi dengan rumus sebagai berikut14:

PAR % = (

=

1

) x AR%

AR % = [ (OR-1)/ OR ] x 100

Konsep penelitian diambil berdasarkan modifikasi teori Davis dan Blake (1956) dan

Bureau of the Census (1996). Berdasarkan

model, fertilitas remaja dipengaruhi oleh

proximate determinants (eksposur hubungan

seksual, eksposur melahirkan); variabel sosial-ekonomi dan lingkungan; kematian dan kesakitan ibu dan bayi. Fertilitas remaja adalah jumlah anak lahir hidup dari seorang wanita remaja berstatus kawin usia 15-19 tahun dengan unit analisis yaitu Children

Ever Born (CEB). Fertilitas remaja sebagai

variabel dependen dan umur kawin pertama dan penggunaan kontrasepsi sebagai variabel independen. Sedangkan tempat tinggal, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi merupakan variabel kovariat. Pada analisis bivariat, variabel-variabel independen dilakukan pengkategorian menjadi dua seperti status pendidikan menjadi pendidikan rendah dan pendidikan tinggi. Pendidikan rendah terdiri dari tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD. Pendidikan tinggi terdiri dari tamat SLTP, tamat SLTA, dan tamat Perguruan Tinggi. Sedangkan status pekerjaan dikategorikan menjadi pertanian dan non-pertanian. Non-pertanian meliputi tidak bekerja, sekolah, nelayan, buruh, PNS/Pegawai, TNI/Polri, dan lainnya. Dan status ekonomi dikategorikan menjadi kekayaan rendah dan tinggi. Kekayaan rendah meliputi status sangat miskin dan miskin, sedangkan kekayaan tinggi meliputi status ekonomi sedang, kaya, dan sangat kaya. Pada analisis multivariat, model akhir akan diperoleh setelah melakukan pengontrolan terhadap variabel

confounding. Proses statistik dilakukan

dengan menggunakan software SPSS 13.

HASIL

Karakteristik Sosial-Demografi dan Fertilitas Pada Remaja

Tabel 1 menunjukkan bahwa proporsi remaja berstatus kawin usia 15-19 tahun yang bertempat tinggal di daerah pedesaan (67,4%) lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan (32,6%). Sedangkan status

(4)

pendidikan, proporsi pendidikan tertinggi terdapat pada remaja yang tamat SLTP (38,2%). Proporsi terendah terdapat pada yang tamat Perguruan Tinggi yaitu 0,1 persen. Pada status pekerjaan, proporsi tertinggi terdapat pada remaja yang tidak bekerja (65,8%). Proporsi terendah terdapat

pada jenis pekerjaan PNS/TNI/Polri/Pegawai yaitu 0,9 persen. Pada status ekonomi, proporsi tertinggi terdapat pada remaja yang berstatus ekonomi sangat miskin (27,6%). Proporsi terendah terdapat pada status kaya yaitu 7,4 persen.

Tabel 1. Proporsi Karakteristik Sosial-Demografi Pada RemajaBerstatus Kawin Usia 15-19 Tahun

Variabel Jumlah (n) Persentase (%)

Tempat Tinggal Perkotaan Pedesaan 248 512 32,6 67,4 Status Pendidikan Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Tamat PT 12 95 271 290 91 1 1,6 12,5 35,7 38,2 12,0 0,1 Status Pekerjaan Tidak kerja Sekolah Petani/Nelayan/Buruh Wiraswasta PNS/TNI/Polri/Pegawai Lainnya 500 10 128 36 7 79 65,8 1,3 16,8 4,7 0,9 10,4 Status Ekonomi Sangat miskin Miskin Sedang Kaya Sangat kaya 210 190 159 145 56 27,6 25,0 20,9 19,1 7,4 Total 760 100,0

Tabel 2 Proporsi Karakteristik Fertilitas Pada Remaja Berstatus Kawin Usia 15-19 tahun

Variabel Jumlah (n) Persentase (%)

Jumlah anak lahir hidup

0 194 25,5

1 522 68,7

2+ 44 5,8

Mean ± SD = 1.80 ± 0.52

Umur Kawin Pertama

” 46 6,1

15 ± 17 456 60,0

18 ± 19 258 33,9

Penggunaan Kontrasepsi

Sekarang menggunakan 423 55,7

Pernah/tidak menggunakan lagi 100 13,2

Tidak pernah sama sekali 237 31,2

(5)

Tabel 2 menunjukkan bahwa proporsi jumlah anak lahir hidup tertinggi pada remaja berstatus kawin usia 15-19 tahun terdapat pada remaja dengan jumlah anak 1 (68,7%). Proporsi terendah terdapat pada jumlah anak 2+ yaitu 5,8 persen. Pada umur kawin pertama, diketahui proporsi tertinggi terdapat pada rentang usia 15-17 tahun (60,0%). Proporsi terendah pada usia kurang dari 14 tahun yaitu 6,1 persen. Sedangkan penggunaan kontrasepsi diketahui proporsi tertinggi terdapat pada remaja yang sekarang menggunakan kontrasepsi (55,7%). Proporsi terendah terdapat pada remaja yang pernah atau tidak menggunakan kontrasepsi lagi (13,2%).

Hubungan Umur Kawin Pertama, Penggunaan Kontrasepsi, dan Faktor Sosial-Demografi dengan Fertilitas Remaja

Analisis bivariat menunjukkan bahwa umur kawin pertama berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan OR 2,38. Remaja yang menikah pada usia 10-14 tahun meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 2,38 kali dibandingkan remaja yang menikah pada usia 15-19 tahun (95% CI: 0,99-5,71). Sedangkan penggunaan kontrasepsi juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap fertilitas remaja (p<0,001). Remaja yang menggunakan kontrasepsi meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 63,90 kali dibandingkan yang tidak menggunakan (95% CI: 30,74-132,84). Pada hubungan ini, tidak terpenuhi asas temporality relationship

sehingga hubungan dapat diartikan bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi adalah mereka yang fertilitasnya tinggi (Tabel 3).

Sedangkan tempat tinggal tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Secara statistik, nilai OR yang diperoleh 0,89 menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di perkotaan menurunkan resiko mempunyai anak satu atau lebih 0,89 kali dibandingkan remaja yang tinggal di pedesaan (95% CI: 0,63-1,26). Sedangkan status pendidikan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap fertilitas remaja (p<0,05). Remaja yang berpendidikan rendah meningkatkan resiko mempunyai

anak satu atau lebih sebesar 1,73 kali dibandingkan remaja yang berpendidikan tinggi (95% CI: 1,24-2,41). Status pekerjaan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja. Remaja yang bekerja di sektor pertanian meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,50 kali dibandingkan remaja yang bekerja di sektor non-pertanian (95% CI: 0,90-2,49). Selain itu, status ekonomi juga secara signifikan berhubungan dengan fertilitas remaja (p<0,001). Remaja yang memiliki kekayaan yang rendah meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,80 kali dibandingkan remaja yang memiliki kekayaan tinggi (95% CI: 1,30-2,51) (Tabel 3).

Hubungan Umur Kawin Pertama dan Penggunaan Kontrasepsi dengan Fertilitas Remaja Pada Model Akhir

Pada model akhir tabel 3, diketahui bahwa umur kawin pertama menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05) dengan nilai OR 1,90 (95% CI: 0,66-5,47) setelah dikontrol dengan variabel penggunaan kontrasepsi, tempat tinggal, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi. Sedangkan penggunaan kontrasepsi berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,001) setelah dikontrol dengan umur kawin pertama, tempat tinggal, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi. Nilai

adjusted OR yang dihasilkan adalah 76,24 (95% CI: 36,10-161,04) yang berarti remaja yang menggunakan kontrasepsi meningkat- kan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 76,24 kali dibandingkan remaja yang tidak menggunakan. Pada hubungan ini, tidak terpenuhi asas temporality relationship

sehingga hubungan dapat diartikan bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi adalah mereka yang fertilitasnya tinggi. Sedangkan pada variabel sosial-demografi, tempat tinggal tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Sedangkan status pendidikan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan nilai OR 2,15 yang berarti remaja yang pendidikan rendah meningkatkan resiko mempunyai anak satu sebesar 2,15 kali dibandingkan remaja yang pendidikannya

(6)

tinggi (95% CI: 1,37-3,36). Status pekerjaan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan nilai OR 2,36 (95% CI: 1,26-4,43) yang berarti remaja yang bekerja sebagai petani meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 2,36 kali dibandingkan remaja yang bekerja di sektor non-pertanian. Sedangkan status ekonomi

juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan nilai OR 1,70 (95% CI: 1,10-2,63) yang berarti remaja yang memiliki kekayaan yang rendah meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,70 kali dibandingkan remaja dengan kekayaan tinggi (Tabel 3).

Ukuran Dampak

Setelah dilakukan perhitungan, diperoleh hasil PAR% yaitu 3,35 persen. Hal ini berarti persentase resiko mempunyai anak satu atau lebih di seluruh populasi studi remaja yang dapat dicegah dengan mengeliminasi umur kawin pertama 10-14 tahun adalah sebesar 3,35 persen. Sedangkan pada variabel penggunaan kontrasepsi, ukuran dampak tidak dapat dinilai karena temporal relationship tidak terpenuhi.

PEMBAHASAN

Umur kawin pertama berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05)

pada analisis bivariat dengan nilai OR=2,38 (95% CI: 0,99-5,71). Setelah dikontrol dengan variabel confounding, umur kawin pertama tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian lain yang menunjukkan bahwa umur kawin pertama berhubungan dengan fertilitas remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Gebremedhin dan Betre (2009) menemukan bahwa ibu dengan usia kawin pertama yang lebih besar atau sama dengan 18 tahun memiliki kecenderungan yang kurang untuk memiliki 5 atau lebih anak yang dilahirkan dibandingkan dengan ibu yang usia Tabel 3. Model Akhir Hubungan Antara Umur Kawin Pertama dan Penggunaan Kontrasepsi dengan

Fertilitas Remaja Berstatus Kawin Usia 15-19 tahun Variabel

Fertilitas Crude Adjusted

• anak

0

anak OR 95% CI OR 95% CI

Umur Kawin Pertama

10 ± 14 40 6 2,38b 0,99; 5,71 1,90 0,66; 5,47 15 ± 19 526 188 1,00 - 1,00 - Penggunaan Kontrasepsi Menggunakan kontrasepsi 415 8 63,90a 30,74; 132,84 76,24a 36,10; 161,04 Tidak menggunakan 151 186 1,00 - 1,00 - Tempat Tinggal Perkotaan 181 67 0,89 0,63; 1,26 0,83 0,51; 1,35 Pedesaan 385 127 1,00 - 1,00 - Status Pendidikan Pendidikan rendah 301 77 1,73b 1,24; 2,41 2,15b 1,37; 3,36 Pendidikan tinggi 265 117 1,00 - 1,00 - Status Pekerjaan Pertanian 87 21 1,50b 0,90; 2,49 2,36b 1,26; 4,43 Non-Pertanian 479 173 1,00 - 1,00 - Status Ekonomi Kekayaan rendah 319 81 1,80a 1,30; 2,51 1,70b 1,10; 2,63 Kekayaan tinggi 247 113 1,00 - 1,00 - Total 566 194

(7)

perkawinan kurang dari 18 tahun dengan OR 0,31.15 Dijelaskan bahwa umur kawin pertama dapat menjadi indikator saat dimulainya resiko kehamilan dan melahirkan. Perempuan yang kawin pertama pada usia muda mempunyai resiko terhadap kehamilan yang lebih lama daripada perempuan yang umur kawin pertamanya lebih tua. Dengan demikian perbedaan paritas ditentukan oleh panjang pendeknya masa resiko terhadap kehamilan.2

Dari hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan analisis univariat, ternyata banyak remaja yang menikah pertama kali pada rentang usia 15-17 tahun (60,0%). Angka ini masih jauh terhadap Sasaran Strategis Tahun 2010-2014 program Keluarga Berencana yaitu meningkatnya usia kawin pertama perempuan menjadi 21 tahun.16 Dari data SDKI 2007, perlu diketahui juga bahwa perempuan yang berusia 45-49 tahun menikah pertama kali pada usia 15 tahun (17,0%) dengan anak yang dilahirkan hidup sebanyak 10 anak atau lebih (3,2%).8 Hal ini membenarkan teori bahwa perempuan yang kawin pertama pada usia muda akan memperpanjang masa reproduksi. Berdasarkan sosial-demografi, remaja dengan umur kawin pertama 15-17 tahun banyak yang tinggal di daerah pedesaan dengan pendidikan tertinggi yang beragam yaitu tamat SD dan tamat SLTP. Sedangkan mengenai status pekerjaan, remaja dengan umur kawin pertama 15-17 tahun banyak yang tidak bekerja dengan status ekonomi sangat miskin. Dijelaskan bahwa remaja yang menikah di usia muda disebabkan oleh beberapa faktor antara lain status ekonomi, pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal.17 Literatur menunjukkan bahwa kemiskinan dapat meningkatkan resiko perkawinan anak dan dengan bekerja akan melindungi remaja dari perkawinan muda. Sebuah studi pada perempuan usia 20-24 tahun di 49 negara menunjukkan bahwa perkawinan anak sangat umum terjadi di antara perempuan muda yang sangat miskin yaitu 20 persen dari rumah tangga di setiap negara. Sebagai contoh, seorang perempuan dari rumah tangga yang sangat miskin di Senegal adalah 4 kali atau lebih untuk menikah di usia kurang dari 18 tahun dibandingkan remaja yang sangat kaya.17 Banyak keluarga menyatakan bahwa mereka

menikahi putri mereka di usia muda karena perempuan adalah beban ekonomi yang dapat dikurangi melalui pernikahan. Selain itu, di banyak negara, keluarga miskin menuai keuntungan ekonomi dari kekayaan atau mahar pengantin dengan menikahi anak perempuan di usia muda. Selain itu, kemiskinan tidak hanya memberikan kontribusi untuk meningkatkan resiko dari pernikahan dini, tetapi juga meningkatkan kemungkinan bahwa seorang gadis akan melahirkan pada usia muda dan cenderung memiliki anak lebih awal.17

Sedangkan pendapatan, di sisi lain, cenderung untuk melindungi perempuan dari pernikahan dini karena keluarga mungkin lebih bersedia untuk menunda pernikahan ketika seorang anak perempuan mendapatkan penghasilan.17 Sebagai contoh, hanya 31 persen anak perempuan yang meninggalkan pedesaan untuk bekerja di industri garmen di Bangladesh yang menikah pada usia 18 tahun dibandingkan dengan 71 persen anak perempuan yang tidak bekerja di komunitas yang sama.17 Serupa dengan status ekonomi, status pendidikan yang rendah merupakan faktor resiko untuk perkawinan anak, dan status pendidikan yang lebih tinggi merupakan faktor protektif bagi perempuan muda. Sebuah studi yang kuat menunjukkan bahwa tingkat sekolah yang lebih tinggi menurunkan resiko perkawinan anak.17 Di Tanzania, perempuan yang mengikuti sekolah menengah adalah 92 persen lebih rendah untuk menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan perempuan yang hanya bersekolah dasar.17 Pendidikan secara luas dikenal sebagai faktor yang paling signifikan untuk menunda usia pernikahan pada anak perempuan. Selama beberapa dekade terakhir, orang tua sudah mulai menilai pendidikan bagi anak-anak mereka, dan bersedia untuk menunda pernikahan putri mereka sehingga mereka dapat mencapai tingkat pendidikan tinggi.17 Diperkirakan bahwa pendidikan meningkatkan otonomi perempuan, memberikan mereka keterampilan negosiasi dalam memilih pasangan dan mempengaruhi waktu pernikahan. Pendidikan juga diyakini bisa meningkatkan aspirasi anak perempuan dan memperpanjang proses menemukan pasangan hidup yang ideal.17 Hubungan antara tempat tinggal perkotaan atau

(8)

pedesaan dan usia saat menikah berdasarkan literatur menunjukkan bahwa perempuan yang tinggal di daerah pedesaan meningkatkan kemungkinan menikah dini. Perempuan yang bertempat tinggal di pedesaan lebih cenderung untuk menikah 1,5 tahun lebih muda dibandingkan anak perempuan di daerah perkotaan.17

Perkawinan anak menjadi perhatian global karena adanya dampak buruk dari perkawinan anak yang terus diabaikan di negara berkembang. Jutaan pengantin anak, yang beberapa dari mereka baru saja melewati masa pubertas, tidak dapat mengakses kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Mayoritas dari mereka dibebani dengan peran dan tanggung jawab isteri dan ibu tanpa dukungan sumber daya atau kemampuan yang memadai.18 Studi statistik dari UNICEF mengenai perkawinan anak melaporkan bahwa praktik ini merupakan kejadian umum yang terjadi di Asia Tenggara, dimana lebih dari 48 persen dari perempuan berusia 15-24 tahun menikah sebelum mereka mencapai usia 18 tahun.18 Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, wanita yang menikah pada usia 16 tahun diperbolehkan untuk menikah11. Tetapi jika ditinjau dari sisi kesehatan, perkawinan remaja pada usia muda dapat menimbulkan resiko kematian jika remaja hamil dan melahirkan. Sehingga perkawinan anak tetap merupakan pelanggaran yang mengabaikan hak-hak kesehatan dan perkembangan anak perempuan dan wanita muda. Pemerintah sering tidak mampu untuk menegakkan hukum yang ada, atau memperbaiki perbedaan antara hukum nasional tentang usia perkawinan dengan hukum adat dan agama yang mengakar. Secara umum, jarang ada kemauan politik untuk bertindak ketika hal ini berhubungan dengan hak asasi manusia untuk perempuan dan anak perempuan. Selain itu, International Development Community umumnya telah gagal untuk menargetkan bantuan pembangunan untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.19

Sedangkan penggunaan kontrasepsi dari hasil analisis bivariat menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,001) dengan nilai OR=63,90 (95% CI 30,74-132,84). Setelah dikontrol dengan

variabel confounding juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,001) dengan nilai OR=76.24 (95% CI 36,10-161,04). Hal ini menunjukkan bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 76,24 kali dibandingkan yang tidak menggunakan. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alene, Degu dan Worku (2008) yang menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi berhubungan secara signifikan dengan fertilitas wanita, termasuk di dalamnya remaja usia 15-19 tahun, yang dalam analisis bivariat menunjukkan nilai p<0,05 (p=0,04) tetapi kurang signifikan pada analisis multivariat (p=0,08). Ada beberapa bukti

SDGD QLODL . EDKZD SHUHPSXDQ \DQJ

menggunakan kontrasepsi menurunkan resiko fertilitas yang tinggi dibandingkan yang tidak menggunakan (OR=0,8; 95% CI 0,58-1,04).13 Hubungan atau asosiasi pada faktor penggunaan kontrasepsi tidak memenuhi asas sebab akibat dikarenakan desain penelitian ini adalah crossectional

sehingga tidak diketahui mana yang terjadi terlebih dahulu, sebab atau akibat. Jadi pada penelitian ini, konsep kausalnya tidak bisa dijelaskan bahwa penggunaan kontrasepsi mencegah fertilitas tinggi yaitu mempunyai anak satu atau lebih. Tetapi justru remaja yang mempunyai fertilitas tinggi menyebabkan peningkatan pemakaian kontrasepsi. Oleh karena itu, penggunaan kontrasepsi merupakan konsekuensi dari fertilitas tinggi. Maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi adalah mereka yang fertilitasnya tinggi untuk mencegah fertilitas yang lebih tinggi lagi.

Pada saat remaja belum mempunyai anak, biasanya mereka cenderung tidak menggunakan kontrasepsi. Berdasarkan survei yang dilakukan di India pada tahun 1992-1993 menunjukkan bahwa 97 persen wanita tidak menggunakan kontrasepsi apapun sebelum anak pertama mereka lahir.18 Dengan kontrasepsi, jarak antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya dapat diatur (spacing) dan masa resiko terhadap kehamilan dapat dihentikan karena jumlah anak yang diinginkan sudah tercapai (stopping).2 Seperti yang diketahui, bahwa

(9)

alat kontrasepsi berasal dari upaya program Keluarga Berencana dalam menjarangkan atau merencanakan jumlah dan jarak kehamilan. Dijelaskan bahwa peningkatan dan perluasan pelayanan keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang tinggi akibat kehamilan yang dialami wanita di negara berkembang.20 Hal ini sesuai dengan masalah remaja yang dengan kehamilan dan melahirkan, dapat beresiko akan kesakitan dan kematian yang terjadi baik pada ibu maupun bayi sehingga penggunaan kontrasepsi merupakan upaya yang harus ditegakkan pada remaja. Jika dilihat dari distribusi frekuensi penggunaan kontrasepsi, diketahui dari hasil analisis penelitian bahwa proporsi remaja yang menggunakan kontrasepsi adalah 55,7 persen, pernah atau tidak menggunakan lagi 13,2 persen, dan tidak pernah menggunakan kontrasepsi adalah 31,2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pemakaian kontrasepsi pada remaja sudah tinggi sehingga resiko untuk mendapatkan anak lagi berkurang dan kesakitan juga kematian pada ibu remaja akibat kehamilan dan melahirkan dapat dicegah atau resikonya menurun.

Dari hasil analisis univariat, diperoleh informasi bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi memiliki karakteristik fertilitas lebih tinggi pada jumlah anak 1 (92,0%) dibandingkan jumlah anak lainnya dengan umur kawin pertama remaja antara 15-17 tahun (70,6%). Ditinjau dari karakteristik sosial-demografinya, diketahui bahwa remaja dengan rata-rata jumlah anak satu tersebut memiliki latar belakang bertempat tinggal di daerah pedesaan, status pendidikan terakhir adalah tamat SD, tidak bekerja, dan sangat miskin. Berdasarkan hasil analisis, remaja dengan anak 1 tersebut banyak yang menggunakan metode kontrasepsi modern yaitu jenis KB suntikan (92,0%) dibandingkan metode tradisional. Informasi ini merupakan temuan yang bertolak belakang dengan teori dari Phillips dan Ross (1992) yang menjelaskan bahwa tingkat pendidikan yang rendah pada wanita sering disebutkan sebagai faktor utama dari fertilitas tinggi dan permintaan yang rendah untuk melakukan program keluarga berencana di banyak negara berkembang.21 Hal ini terbantahkan ketika hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa remaja dengan status pendidikan rendah (tamat SD) sudah banyak yang menggunakan alat kontrasepsi dan bahkan sudah menggunakan jenis KB dengan metode modern dibandingkan tradisional. Dijelaskan bahwa di sebagian besar negara berkembang, kurang dari sepertiga pasangan telah dijangkau pelayanan Keluarga Berencana. Kemampuan wanita memanfaatkan pelayanan Keluarga Berencana tidak hanya berkaitan dengan kedekatan jarak, ketepatan waktu pelayanan dan kesesuaian lokasi, tetapi juga meliputi pengetahuan tentang pelayanan, penerimaan metode kontrasepsi, pelayanan yang disediakan, dan kurangnya kendala untuk memperoleh pelayanan.20 Dari data SDKI 2007, diketahui bahwa pengetahuan remaja di pedesaan mengenai metode kontrasepsi modern dan tradisional adalah 97,2 persen. Pada remaja pernah menikah yang tinggal di pedesaan, keterpaparan terhadap Keluarga Berencana lebih banyak diperoleh dari petugas Keluarga Berencana (3,9%) dan kepala desa (0,6%).8 Seperti yang diketahui, bahwa hasil penelitian menunjukkan jenis KB suntikan lebih banyak digunakan pada remaja dibandingkan jenis KB lainnya. Jika ditinjau dari data SDKI 2007, banyak pengguna metode suntikan membeli metode tersebut dari fasilitas pribadi (78,7%) dibandingkan fasilitas pemerintah dan tempat lain dan banyak dari mereka yang membayar lunas (67,0%). Tetapi pertimbangan ini belum tentu berlaku untuk remaja karena data hanya ditujukan pada seluruh pengguna kontrasepsi dan tidak spesifik untuk remaja. Tetapi dengan harga metode suntikan yang murah yaitu Rp15.000 (pada fasilitas pribadi) dan Rp14.000 (pada fasilitas pemerintah), remaja yang tinggal di pedesaan dan berstatus sangat miskin kemungkinan mampu untuk membeli metode tersebut karena rata-rata dari mereka berpendapatan walaupun hanya bekerja di sektor pertanian. Dan penggunaan metode suntikan ini hanya diberikan setiap satu atau tiga bulan untuk mencegah kehamilan. Jadi, banyak dari mereka yang menggunakan metode suntikan sebagai alat kontrasepsi mereka. Seperti penggunaan metode suntikan di Kenya juga telah meningkat secara dramatis dari kurang dari 1 persen di tahun 1984 menjadi 12 persen di tahun 1998. Remaja berusia 15-24 tahun hanya 10 persen yang menggunakan

(10)

metode suntikan di tahun 1989, tetapi naik dua kali lipat menjadi 22 persen di tahun 1998. Analisis pemilihan kontrasepsi di Kenya menemukan bahwa penggunaan metode suntikan terkait dengan penduduk desa dibandingkan perkotaan. Perempuan yang mempunyai paritas tinggi cenderung memilih metode suntikan dibandingkan pil. Tetapi tidak hanya metode suntikan saja yang direkomendasikan kepada remaja untuk digunakan. Mereka juga dapat memilih metode kontrasepsi yang lainnya.

Berdasarkan WHO (2004), metode kontrasepsi yang tersedia untuk remaja adalah metode dual dan dual proteksi, metode penghalang, kontrasepsi darurat, kontrasepsi oral kombinasi dosis rendah. kontrasepsi suntikan kombinasi, sistem pengiriman hormonal baru, pil progesteron, suntikan progesteron, implan progesteron, IUD, keluarga berencana alamiah, laktasi, saggama terputus, dan sterilisasi pria dan wanita (sterilisasi pria dan sterilisasi wanita jarang direkomendasikan walaupun secara medis dapat dilakukan pada remaja).22 Dijelaskan bahwa remaja berhak menggunakan setiap metode kontrasepsi dan memiliki akses ke berbagai pilihan kontrasepsi. Usia tidak menjadi alasan medis yang menghalangi pemberian metode apapun untuk remaja. Beberapa kondisi (misalnya, gangguan kardiovaskuler) yang dapat membatasi penggunaan beberapa metode kontrasepsi pada wanita yang lebih tua umumnya tidak akan mempengaruhi orang-orang muda karena kondisi ini jarang terjadi di kelompok usia ini. Isu sosial dan perilaku harus menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan kontrasepsi remaja.22 Sebagai contoh, di beberapa tempat, remaja juga beresiko terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk HIV. Walaupun mereka bebas memilih salah satu metode kontrasepsi yang tersedia di dalam komunitas mereka, dalam beberapa kasus, metode yang lebih tepat digunakan adalah metode yang tidak membutuhkan pemakaian harian. Remaja, menikah atau tidak, juga telah terbukti kurang toleran terhadap efek samping dan karena itu memiliki tingkat penghentian yang tinggi.22 Pemilihan metode juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti pola sanggama yang sporadis dan kebutuhan untuk menyembunyikan aktifitas seksual dan

penggunaan kontrasepsi. Misalnya, remaja yang aktif secara seksual yang belum menikah memiliki kebutuhan yang sangat berbeda dari mereka yang sudah menikah dan ingin menunda, menjarakkan atau membatasi kehamilan.22 Perluasan jumlah metode yang diberikan dapat menyebabkan meningkatnya kepuasan, penerimaan dan peningkatan prevalensi penggunaan kontrasepsi. Pendidikan yang layak dan konseling, baik sebelum maupun pada saat pemilihan metode dapat membantu remaja mengatasi masalah-masalah khusus mereka dan membuat keputusan dengan penuh kesadaran. Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari adanya biaya pada pelayanan dan metode sehingga tidak membatasi remaja dalam memilih kontrasepsi yang tersedia.22

Dengan adanya program Keluarga Berencana, remaja dapat menghindari kehamilan sehingga resiko akan kesakitan dan kematian ibu remaja dapat dicegah. Walaupun Sasaran Strategis Tahun 2010±

2014 program Keluarga Berencana belum tercapai yaitu menurunnya angka kelahiran total (TFR) menjadi 2,1 per perempuan dan meningkatnya rata-rata usia perkawinan pertama perempuan menjadi 21 tahun, tetapi dengan penggunaan kontrasepsi yang konsisten di antara remaja di masa yang akan datang dapat mencapai sasaran program dan membantu tercapainya Millenium Developmnet Goals (MDGs) khususnya goal keempat dan kelima yaitu menurunkan angka kematian anak dan ibu. Dan terus meningkatnya penggunaan kontrasepsi di kalangan remaja diharapkan dapat mempercepat pencapaian target baik dari program Keluarga Berencana maupun

Millenium Developmnet Goals (MDGs) dan program lain yang terkait.

Pada faktor sosial-demografi, tempat tinggal menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05) dengan nilai OR=0,83 (95% CI: 0,51-1,35). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alemayehu, Haider, dan Habte (2010) yang menemukan bahwa perempuan yang tinggal di pedesaan cenderung untuk fertil dibandingkan rekan-rekan mereka yang tinggal di daerah perkotaan.23 Tidak adanya hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dengan

(11)

fertilitas remaja ini dimungkinkan remaja tersebut bertempat tinggal di daerah kumuh perkotaan sehingga tidak ada beda antara fertilitas remaja di perkotaan dengan pedesaan. Dijelaskan bahwa dalam daerah perkotaan, perempuan miskin yang tinggal di daerah kumuh memiliki tingkat kesuburan yang lebih tinggi dibandingkan yang bukan tinggal di daerah kumuh.4

Status Pendidikan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,001). Remaja yang berpendidikan rendah (tamat SD) meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 2,15 kali dibandingkan remaja yang berpendidikan tinggi (95% CI: 1,37-3,36). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alemayehu, Haider, dan Habte (2010) yang menunjukkan bahwa remaja yang tamat SD adalah tiga kali (AOR=2,8; 95% CI: 1,7-4,5) lebih besar untuk melahirkan anak banyak dibandingkan mereka yang berpendidikan SLTP ke atas.23 Penelitian lain yang dilakukan Adioetomo (1984) yaitu setelah dilakukan standarisasi dengan umur kawin pertama, ditemukan pola hubungan yang negatif antara pendidikan dengan paritas. Hasil ini memberi kesan bahwa perempuan berpendidikan rendah menikah pada usia muda, dengan demikian masa resiko terhadap kehamilan lebih panjang dan paritasnya lebih banyak.2 Status pekerjaan menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan nilai OR=2,36 (95% CI: 1,26-4,43). Remaja yang bekerja di sektor pertanian meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 2,36 kali dibandingkan remaja yang bekerja di sektor non-pertanian. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hatmadji (1984) dan Adioetomo (1984) bahwa remaja yang bekerja di sektor pertanian cenderung untuk memiliki anak banyak. Sepertinya perempuan yang bekerja di sektor pertanian tidak merasakan adanya hambatan dengan jumlah anak yang banyak atau justru membantu pekerjaan di sektor tersebut.2 Status ekonomi menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan nilai OR=1,70. Remaja yang memiliki kekayaan yang rendah (sangat miskin dan miskin) meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,70

kali dibandingkan remaja yang memiliki kekayaan tinggi (95% CI: 1,10-2,63). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alemayehu, Haider, dan Habte (2010) yang menunjukkan tidak adanya hubungan antara status kekayaan dengan fertilitas remaja.23 Dijelaskan bahwa kemiskinan merupakan faktor resiko utama. Perempuan miskin memiliki kesempatan paling sedikit dalam hidup, dan karena itu mereka hanya mempunyai kemampuan minimal dan insentif untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, perempuan miskin jauh lebih mungkin untuk melahirkan pada masa remaja dibandingkan anak perempuan lain yang taraf hidupnya lebih baik.4

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini yaitu terdapatnya recall bias karena adanya pertanyaan mengenai masa lampau seperti pada umur berapa pertama kali remaja tersebut menikah sehingga ada kemungkinan responden tidak dapat mengingatnya. Selain itu terdapatnya confounders yaitu tempat tinggal, status pendidikan, status pekerjaan, dan status ekonomi. Walaupun semua variabel tersebut sudah dikontrol, akan tetapi masih ada residual confounding dari variabel lain yang tidak dinilai pada penelitian ini. Sedangkan generalisasi dalam penelitian ini dapat diterapkan pada remaja berstatus kawin usia 15-19 tahun di Indonesia karena data Riskesdas merupakan survei yang mewakili populasi di Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan karakteristitik sosial-demografi remaja, diketahui bahwa remaja berstatus kawin usia 15-19 tahun banyak yang tinggal di daerah pedesaan (67,40%), status pendidikan terakhir adalah tamat SLTP (38,20%), tidak bekerja (65,80%), dan sangat miskin (27,60%). Berdasarkan karakteristik fertilitas, diketahui bahwa banyak remaja yang mempunyai jumlah anak lahir hidup yaitu 1 anak (68,70%), menikah pertama kali pada rentang usia 15-17 tahun (60,00%), dan menggunakan kontrasepsi (55,70%).

Analisis bivariat menunjukkan bahwa tempat tinggal tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Sedangkan

(12)

status pendidikan berhubungan dengan fertilitas remaja (p<0,05) dengan nilai OR=1,73 yang berarti remaja berpendidikan rendah meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,73 kali dibandingkan remaja yang berpendidikan tinggi (95% CI: 1,24-2,41). Pada status pekerjaan menunjukkan adanya hubungan dengan fertilitas remaja dengan nilai OR=1,50 yang berarti remaja yang bekerja di sektor pertanian meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,50 kali dibandingkan remaja yang bekerja di sektor non-pertanian (95% CI: 0,90-2,49). Pada status ekonomi juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,001) dengan nilai OR=1,80 yang berarti remaja yang memiliki kekayaan rendah meningkatkan resiko mempunyai anak satu atau lebih sebesar 1,80 kali dibandingkan remaja yang memiliki kekayaan tinggi (95% CI: 1,30-2,51).

Model akhir menunjukkan bahwa umur kawin pertama tidak berhubungan secara signifikan dengan fertilitas remaja (p>0,05). Sedangkan penggunaan kontrasepsi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan fertilitas remaja (p<0,001) dengan nilai OR=76,24; yang artinya remaja yang mempunyai anak satu atau lebih meningkatkan penggunaan kontrasepsi sebesar 76,24 kali dibandingkan yang tidak menggunakan (95% CI: 36,10-161,04). Pada hubungan ini, tidak terpenuhi asas

temporality relationship karena desain studi

crossectional sehingga hubungan dapat diartikan bahwa remaja yang menggunakan kontrasepsi adalah mereka yang fertilitasnya tinggi untuk mencegah fertilitas yang lebih tinggi lagi. Ukuran dampak pada umur kawin pertama adalah 3,35 persen yang berarti persentase resiko mempunyai anak satu atau lebih di seluruh populasi studi remaja yang dapat dicegah dengan mengeliminasi umur kawin pertama 10-14 tahun adalah sebesar 3,35 persen.

Saran

Walaupun umur kawin pertama tidak berhubungan secara signifikan terhadap fertilitas remaja, tetapi umur kawin pertama pada remaja perlu mendapatkan perhatian karena sangat terkait terhadap kesehatan mereka. Saran bagi pemerintah adalah

mendukung penundaan pernikahan dini sebagai salah satu pencegahan kesakitan dan kematian pada ibu remaja dan anak. Salah satu program dari BKKBN yaitu Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) merupakan upaya untuk meningkatkan usia perkawinan pertama, sehingga mencapai usia minimal pada saat perkawinan usia 20 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria. Salah satu kendala dalam pelaksanaan program PUP di lapangan adalah belum direvisinya Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 yang membolehkan perkawinan pada usia 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria.24 Jadi sangat diharapkan perhatian dan peran pemerintah terhadap urusan ini. Selain itu, dari segi sosial, pemerintah perlu meningkatkan kesempatan pendidikan remaja dengan memberikan beasiswa sekolah sampai SLTA kepada remaja yang tidak mampu sehingga diharapkan remaja yang sedang menamatkan sekolahnya dapat menunda pernikahan di usia muda. Seperti program yang dilaksanakan di Bangladesh yaitu The Female Secondary School

Assistance Program (FSSAP) yang

menunjukkan bahwa beasiswa sekolah sangat besar pengaruhnya terhadap keputusan orangtua untuk tetap menyuruh anak perempuan mereka bersekolah.

Bagi Kementerian Kesehatan RI, meningkatkan informasi atau promosi kesehatan dan pelayanan kesehatan reproduksi remaja yang bertujuan untuk menekan fertilitas tinggi pada remaja agar lebih memadai terutama di wilayah pedesaan, khususnya pelayanan kesehatan reproduksi remaja pada fasilitas kesehatan di tingkat pelayanan dasar; dan tidak hanya ditangani oleh lembaga swadaya masyarakat kota besar. Bagi BKKBN, melakukan penyampaian informasi secara konsisten yang ditujukan pada remaja yang mempunyai tingkat fertilitas tinggi (mempunyai anak satu atau lebih) untuk menggunakan alat kontrasepsi dengan tujuan menekan tingkat fertilitas yang lebih tinggi lagi melalui media seperti poster, pamflet, penyuluhan di kantor desa, dan lainnya; peningkatan pelayanan (seperti konseling) dan akses; kemudahan biaya; dan penyebarluasan informasi melalui suatu pertemuan dengan tokoh masyarakat (tidak personal contact saja).

(13)

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada pihak Balitbangkes, Kemenkes RI yang telah memberikan data Riskesdas 2010 yang penulis butuhkan sebagai sumber data dalam penelitian ini. Dan terima kasih juga kepada Ibu dr. Asri C. Adisasmita, MPH, PhD yang telah memberikan banyak masukan selama proses pengerjaan penelitian ini. Kepada teman-teman seangkatan Pascasarjana Epidemiologi Komunitas FKM UI yang terlibat selama proses penelitian yang tidak bisa disebutkan satu per satu disini, penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan terutama dukungan selama proses pengerjaan penelitian ini. Semoga informasi penelitian yang diperoleh memberikan banyak manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ritonga, A. Kependudukan dan lingkungan hidup (2nd ed.). 2001. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 2. Ananta, A. Kecenderungan dan faktor penentu

fertilitas dan mortalitas di Indonesia. 1995. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan Republik Indonesia/BKKBN.

3. Bureau of the Census. Trends in adolescent fertility and contraceptive use in the developing world. 1996. Washington (DC): U.S. Government Printing Office.

4. UNFPA. Giving girls today and tomorrow: breaking the cycle of adolescent pregnancy. 2007. New York, USA: UNFPA, the United Nations Population.

5. POLICY Project and STARH Program. Adolescent and youth reproductive health in Indonesia; status, issues, policies, and programs. 2004. Indonesian Reprinting. 6. Badan Pusat Statistik-Statistics Indonesia

(BPS), National Family Planning Coordination Board, Ministry of Health, ORC Macro. Indonesia Demographic and Health Survey 1997. 1998. Calverton, Maryland: BPS and Macro.

7. Badan Pusat Statistik-Statistics Indonesia (BPS), National Family Planning Coordination Board, Ministry of Health, ORC Macro. Indonesia Demographic and Health Survey 2002-2003. 2003. Calverton, Maryland: BPS and Macro.

8. Badan Pusat Statistik-Statistics Indonesia (BPS), National Family Planning Coordination Board, Ministry of Health, ORC Macro. Indonesia Demographic and Health Survey

2007. 2008. Calverton, Maryland: BPS and Macro.

9. WHO. World health statistics. 2010. Geneva: World Health Organization.

10. United Nations and BAPPENAS. Millennium development goals (2nd ed.). 2008. United Nations & Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

11. Republik Indonesia. Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. 1974. Lembaran Negara RI Tahun 1974 No. 1. Menteri/Sekretaris Negara RI. Jakarta.

12. WHO. Family planning: the unfinished agenda. [www.who.int/reproductivehealth/publications/ general/lancet_3.pdf].

13. Alene, Degu, G., and Worku, A. Differentials of fertility in North and South Gondar zones, Northwest Ethiopia: A comparative cross-sectional study. BMC Public Health, 2008; 8: 397.

14. Zheng, T. Principle of epidemiology. 1998. Yale University School of Public Health. 15. Gebremedhin, S., and Betre, M. Level and

differentials of fertility in Awassa Town, Southern Ethiopia. African Journal of Reproductive Health, 2009; 13(1): 93-112. 16. BKKBN. Arah kebijakan dan strategi BKKBN

tahun 2013. 2012. Jakarta: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional.

17. USAID and ICRW. New insights on preventing child marriage. 2007. The United States Agency for International Development. 18. UNICEF. Early marriage: a harmful traditional

practice, a statistical exploration. 2005. New York, USA: The 8QLWHG 1DWLRQV &KLOGUHQ¶V

Fund.

19. IPPF and the Forum on Marriage and the Rights of Women and Girls. Ending child marriage: a guide for global policy action. 2006. London: International Planned Parenthood Federation.

20. Koblinsky, M., Timyan, J., dan Gay, J. Kesehatan wanita sebuah perpektif global (1st ed.). 1997. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

21. Phillips, J., and Ross, J. Family planning programmes and fertility.1992. United States, New York: Oxford University Press.

22. WHO. Contraception: issues in adolescent health and development. 2004. Geneva: World Health Organization.

23. Alemayehu, T., Haider, J., and Habte, D. Determinants of adolescent fertility in Ethiopia. Ethiop. J. Health Dev., 2010; 24(1): 30-38. 24. Sriudiyani, I.A., dan Soebijanto. Perkawinan

muda dikalangan perempuan: mengapa?. Policy Brief Puslitbang Kependudukan-BKKBN, 2011; 1(6): 1-4

Gambar

Tabel 2 Proporsi Karakteristik Fertilitas Pada Remaja Berstatus Kawin Usia 15-19 tahun

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dikarenakan semakin lama waktu fermentasi akan menyebabkan lebih banyak energi yang dibebaskan oleh jamur yaitu dengan mendegradasi berbagai sumber energi yang

terhadap perekonomian wilayah tersebut. Selain berpotensi dalam perekonomian Provinsi dalam artian kontribusinya terhadap PDRB, menurut BPS Provinsi Jawa Timur pada tabel

Keterangan pada hasil foto panoramik menunjukkan adanya impaksi pada gigi 38 dan 48 (mesioangular). Berdasarkan analisa sefalometri disimpulkan bahwa hubungan skeletal klas II

Kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat dapat diungkapkan melalui karya sastra, dengan menginterpretasikan makna yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Karya sastra

Seluruh informasi yang dipublikasikan dalam presentasi ini disajikan untuk tujuan informasi saja dan bukan merupakan dokumen resmi, pernyataan, dan/atau perjanjian yang sah

Untuk menentukan kata dasar dari kata berimbuhan ini dengan menghilangkan semua imbuhan (afiks) baik yang terdiri dari awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks)

Peserta didik berdiskusi untuk mendapatkan klarifikasi tentang pencatatan jurnal penyesuaian dari soal jurnal penyesuaian yang telah diberikan guru. Data collection

4.2. Untuk perangkat lunak yang dikembangkan internal, DBMS yang dipergunakan harus memakai standar yang dipergunakan IPB, yaitu: Ms. Access, MySQL, PostgreSQL, Ms. Format