• Tidak ada hasil yang ditemukan

CARE GIVER COPING EFFORT MERAWAT PENDERITA RETARDASI MENTAL DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT DI KOTA KEDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CARE GIVER COPING EFFORT MERAWAT PENDERITA RETARDASI MENTAL DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT DI KOTA KEDIRI"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

CARE GIVER COPING EFFORT MERAWAT PENDERITA RETARDASI MENTAL DITINJAU DARI ADVERSITY QUOTIENT DI KOTA KEDIRI

Byba Melda Suhita, Intan Fazrin STIKes Surya Mitra Husada Kediri

bybamelda@yahoo.co.id, fazrin_smile@yahoo.co.id

ABSTRAK. Keterbelakangan mental atau biasa disebut retardasi mental adalah salah satu bentuk gangguan dengan karakteristik penderitanya memiliki tingkat kecerdasan (IQ) dibawah rata-rata . Permasalahan yang dihadapi oleh keluarga terutama care giver salah satunya adalah tingkat stress yang muncul dalam perawatan. Dalam kondisi tersebut keluarga akan berjuang untuk mengatasi masalah dalam perawatan anggota keluarganya dengan retardasi mental. Kemampuan daya juang (Adversity Quotient) keluarga akan terlihat pada cara keluarga dalam memberikan perawatan bagi keluarganya yang mengalami retardasi mental yang tentunya hal ini nantinya juga akan berpengaruh pada mekanisme koping keluarga yang merawat. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan adversity quotient keluarga dengan mekanisme coping keluarga dalam merawat anggota keluarganya yang menderita retardasi mental di Kota Kediri.

Desain penelitian yang digunakan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga menderita retardasi mental di Kota Kediri dengan tehnik pengambilan sampel purposive sampling. Pengumpulan data menggunakan kuisioner dan analisa data menggunakan uji statistik Spearman Rank ( α = 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar care giver yang merawat penderita retardasi mental memiliki adversity quotient kategori champers, yaitu 26 responden (53,1%) dan sebagian besar keluarga menggunakan mekanisme koping berbasis emosi (emotional focused coping), yaitu 28 responden (57,1%). Hasil analisis menunjukkan hubungan yang signifikan (p-value < α) dan negatif (rho = -0,425) antara adversity quotient dengan care giver coping effort pada keluraga dalam merawat penderita retardasi mental di Kota Kediri.

Keluarga mempunyai peran dalam mengadakan komunikasi yang efektif dengan penderita sehingga terjalin komunikasi yang baik. Hubungan saling percaya ini merupakan dasar utama untuk membantu mengungkapkan dan mengenal perasaan, mengidentifikasi kebutuhan dan masalahnya, mencari alternatif pemecahan masalah serta mengevaluasi hasilnya sehingga keluarga dapat membantu penderita retardasi mental dengan maksimal.

Kata Kunci: Adversity Quotient, Retardasi mental, Keluarga, Coping Effort

PENDAHULUAN

Tidak semua individu dilahirkan dalam keadaan normal. Beberapa di antaranya memiliki keterbatasan baik secara fisik maupun psikis, yang telah dialami sejak awal masa perkembangan. Keterbelakangan mental merupakan salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di bawah 75) (Wiwin, 2006)

Penderita keterbelakangan mental memiliki fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada dibawah rata-ata, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitan dan berpengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku secara periode perkembangan. Anak retardasi mental memiliki kemampuan intelektual yang rendah yang membuat anak mengalami keterbatasan dalam bidang ketrampilan, komunikasi, perawatan diri, kegiatan sehari-hari, kesehatan, dan keselamatan (Mansjoer, 2005)

Menurut penelitan World Health Organization (WHO) tahun 2006, jumlah Tunagrahita seluruh dunia adalah 3 % dari total populasi. Anak retardasi mental adalah anak yang memiliki IQ 70 ke bawah. Jumlah penyandang retardasi mental 2,3% atau 1,92 % anak usia sekolah menyandang retardasi mental dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan 40% atau 3:2. Pada data pokok Sekolah Luar Biasa terlihat dari kelompok usia sekolah, jumlah penduduk Indonesia yang menyandang kelainan adalah 48.100.548 orang, jadi estimasi jumlah penduduk di

(2)

Indonesia yang menyandang retardasi mental adalah 2% x 48.100.548 orang = 962.011 orang (Kemis, 2013). Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial RI Tahun 2006 jumlah penyandang cacat adalah 2.364.000 jiwa termasuk penyandang tunagrahita. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional jumlah siswa Sekolah Luar Biasa Retardasi Mental menurut jenjang pendidikan di Indonesia pada tahun 2007/2008 mencapai 4.253 anak, sedangkan di Jawa Timur berjumlah 748 anak (Kemdiknas, 2008). Tetapi prevalensi anak retardasi mental di jawa timur pada tahun 2012 yaitu sudah berjumlah 125.190 anak (Zakarya, 2013)Di jawa timur pada tahun 2012 jumlah anak yang mengalami retardasi mental adalah 125.190 anak(Zakarya, 2012). Berdasarkan data yang diperoleh dari LSM Rumah Kasih Sayang Kabupaten Ponorogo tahun 2012 terdapat 100 orang penderita retardasi mental dan terbanyak di desa Sidoharjo kecamatan Jambon terdapat 81 orang yang mengalami retardasi mentaldan berada di rentan sedang sampai berat. Untuk Kota Kediri sebagian besar penderita dirawat di SLB Putra Asih Kota Kediri dengan jumlah terakhir siswa sejumlah 75 siswa, meliputi tingkatan SD, SMP dan SMA.

Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan utama dalam kehidupan anak yang mengalami retardasi mental. Konsep pemikiran keluarga terutama orangtua tentang anak idaman yaitu keturunan yang sehat fisik maupun mental, ini mempengaruhi reaksi orangtua terhadap anak retardasi mental. Reaksi umum yang terjadi pada orang tua pertama kali adalah merasa kaget, mengalami goncangan batin, takut, sedih, kecewa, merasa bersalah, malu, dan menolak karena sulit mempercayai keadaan anaknya. Permasalahan lain yang dihadapi orang tua adalah tingkat stres yang tinggi dan trauma terhadap kehadiran anaknya. Hal seperti ini tentunya tidak mudah diterima oleh para orang tua, dimana anaknya mengalami gangguan dan keterlambatan dalam perkembangannya (Somantri, 2007). Dari studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada tanggal 1 Februari sampai tanggal 8 Februari 2014 berikut salah satu wawancara dengan keluarga penderita retardasi mental.“ cilikane sehat mas bayine gedi gek lincah,terus umur setaun iku perkembangane mulai ketinggalan karo konco-koncone, kancane wes mlayu sek panggah lungguh ae,aku sempat bingung mas nyapo anakku iki kok maleh ngene,kok bedo karo kancane sing sak umurane, kenek penyakit opo,yo rodok kecewa mas jane tapi wong anak iku titipan yo tak openi kanti ikhlas wae. yo sing ngedusi yo aku karo bapake mas sabendino”.

Orang tua dari anak retardasi mental berada dalam situasi yang sulit. Karena sikap masyarakat, mereka mungkin merasa malu karena anak mereka cacat dan perasaan malu itu mungkin mengakibatkan anak itu ditolak secara terang-terangan atau tidak terang-terangan. Banyak keluarga yang secara drastis mengubah cara hidup mereka karena kehadiran anak yang cacat mental itu dalam keluarga dan hampir sama sekali menarik diri dari kegiatan-kegiatan masyarakat. Dalam situasi yang demikian, anak tersebut mungkin menyadari bahwa dia-lah yang menjadi penyebabnya (Hurul, 2008)Selama ini masih banyak orang yang menyamaratakan orang retardasi mental dengan orang bodoh, tidak berguna, orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dan hanya mampu untuk menyusahkan orang lain. Tidak semua anggapan dan persepsi tentang orang retardasi mental itu benar (Wiwin, 2006) . Dalam kondisi tersebut akan membuat keluarga berjuang untuk mengatasi masalah dalam perawatan anggota keluarganya yang mengalami retardasi mental, dan hal ini tidaklah mudah. Adversity Quotient adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup untuk bertahan hidup. Adversity Quotient (AQ) adalah ukuran atau standar yang dipakai untuk menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi dan bertahan terhadap kesulitan hidup dan tantangan yang dialami. Kemampuan menghadapi semua kesulitan tersebut sebagai suatu proses untuk mengembangkan diri, potensi, dan mencapai tujuan. Adversity Quotient adalah kecerdasan yang muncul karena tekanan, kesulitan dan penderitaan (Stoltz. 2005). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan adversity quotient dengan care giver coping effort dalam merawat anggota keluarga yang menderita retardasi mental di Kediri.

METODEPENELITIAN Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian korelasional, dengan pendekatan cross sectional, yaitu pengukuran variabel dilakukan dalam waktu bersamaan (Watik, 2003). Penelitian

(3)

ini dilaksanakan pada Bulan April 2016 di Kediri tepatnya di SLB Putra Asih . Variabel penelitian independen : adversity quotient (X) sedangkan variabel dependennya adalah care giver coping

effort (Y). Pada penelitian ini data yang digunakan adalah jenis data primer.

Populasi, Sampel dan Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga dengan anggota keluarga penderita retardasi mental di Kota Kediri, dengan menggunakan teknik purposive sampling diperoleh sampel 49 responden.

Kriteria inklusi sampel penelitian: 1. Bersedia menjadi responden

2. Keluarga / Care Giver tinggal satu rumah dengan penderita retardasi mental 3. Mampu berkomunikasi dengan baik

4. Bisa baca tulis

Pengambilan sampel menggunakan kuesioner dan uji statistic yang digunakan adalah Spearman Rank ( α = 0,05).

HASILDANPEMBAHSAN HASIL

Tingkat Stress Care Giver yang Merawat Anggota Keluarga dengan Skizofrenia

Tabel 1. Karakteristik Variabel Tingkat Stress Care Giver yang Merawat Anggota Keluarga dengan Skizofrenia di Kota Kediri

N o. Adversity Quotient F % 1 Quitters 0 0,0 2 Champers 26 53, 1 3 Climbers 23 46, 9 Total 49 100 .0

Berdasarkan tabel 1 diatas diketahui bahwa sebagian besar care giver memiliki adversity quotient dalam merawat penderita retardasi mental dalam kategori champers, yaitu 26 responden (53,1%).

Adversity Quotient Care Giver yang Merawat Anggota Keluarga dengan Skizofrenia Tabel 2. Karakteristik Variabel Adversity Quotient Care Giver yang Merawat Anggota Keluarga

dengan Skizofrenia di Kota Kediri N o. Care Giver Coping Effort F % 1 Emotional Focused Coping 28 57, 1 2 Problem Focused Coping 21 42, 9 Total 49 100 .0

Berdasarkan tabel 2 diatas diketahui bahwa sebagian besar care giver menggunakan mekanisme koping berbasis emosi (emotional focused coping), yaitu 28 responden (57,1%).

(4)

Analisis Data

Pengujian hipotesis penelitian terkait care giver coping effort merawat penderita retardasi mental ditinjau dari adversity quotient dilakukan menggunaka uji korelasi spearman rank pada taraf signifikan 5% yang diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3. Hasil Analisis Care Giver Coping Effort Merawat Penderita Retardasi Mental Ditinjau Dari Adversity Quotient di Kota Kediri Tahun 2016

Adversity Quotient

Care Giver Coping Effort

Total Emotional Focused Coping Problem Focused Coping F % F % F % Champers 20 40,8% 6 12,2% 26 53,1% Climbers 8 16,3% 15 30,6% 23 46,9% Total 28 57,1% 21 42,9% 49 100,0% rho = 0,425 p-value = 0,002 α = 0,05

Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden yang memiliki adversity quotient kategori champers cenderung menggunakan emotional focused coping dalam merawat penderita retardasi mental, yaitu 20 responden (40,8%). Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan (p-value < α) dan negatif (rho = -0,425) antara adversity quotient dengan care giver coping effort pada keluraga dalam merawat penderita retardasi mental di Kota Kediri tahun 2016.

PEMBAHASAN

Adversity Quotient Care Giver yang Merawat Penderita Retardasi Mental di Kota Kediri Adversity quotient keluarga yang merawat penderita retardasi mental di Kota Kediri

diketahui bahwa sebagian besar care giver memiliki adversity quotient dalam kategori champers, yaitu 26 responden (53,1%).

Stoltz (2006) mengungkapkan Adversity quotient merupakan faktor yang paling menentukan bagi kesuksesan jasmani maupun rohani, karena pada dasarnya setiap orang memendam hasrat untuk mencapai kesuksesan. Secara sederhana adversity quotient dapat didefinisikan sebagai kecerdasan individu dalam menghadapi kesulitan-kesulitan, hambatan-hambatan maupun tantangan dalam hidup (Agustian (2007). Untuk mendapatkan Adversity quotient yang tinggi, seorang individu harus mampu mengubah kebiasaan-kebiasaan pola pikirnya untuk memperoleh keberhasilan. Perubahan ini diciptakan dengan mempertanyakan pola-pola lama dan secara sadar membentuk pola-pola baru (Supardi, 2013).

Tingkat adversity quotient pada responden yang merawata penderita retardasi mental tergolong campers. Hal tersebut berarti tingkat adversity quotient keluarga secara umum tergolong sedang. Campers adalah golongan yang merasa cukup dengan apa yang sudah dicapai dan mengabaikan kemungkinan untuk melihat atau mengalami apa yang masih mungkin terjadi. Masih menunjukkan inisiatif, semangat dan usaha. Masih mengerjakan apa yang perlu dikerjakan. Belajar memetik kepuasan dengan mengorbankan pemenuhan, dan cenderung menjadikan rasa takut dan kenyamanan sebagai motivasi (Stoltz, 2007).

Meningkatkan optimisme merupakan salah satu cara untuk meningkatkan adversity quotient pada keluarga yang merawat anggota keluarga penderita retardasi mental. Dengan demikian, maka

care giver tidak sekedar menjadi campers yang hanya melakukan sesuatu yang dirasa perlu, seperti

merawata dan mengasuh anak sekedar untuk menjaga kesehatan anak tetapi menjadi climbers (memiliki skor AQ yang tinggi) yang mampu memotivasi diri sendiri, memiliki semangat tinggi dan berjuang untuk menyembuhkan retardasi mental pada anak yang diasuhnya.

Retardasi mental kelainan genetik yang dimanifestasikan dengan fungsi intelektual dibawah rata-rata serta terdapat deficit dalam perilaku adaptif. Kejadiannya dimulai pada masa anak-anak dengan karakteristik adanya penurunan intelegensi dan ketrampilan adaptif serta ganguan perkembangan secara umum. Semakin meningkatnya kejadian retardasi mental, menimbulkan

(5)

beragam permasalahan khususnya bagi anak dan keluarga. Dampak negatif tidak hanya dirasakan oleh anak tetapi juga dirasakan oleh keluarga. Orangtua yang memiliki anak dengan retardasi mental, mengalami depresi mengenai ketidakpastian masa depan anak serta jangka waktu sampai kapan anak akan tergantung pada orang tua. Masalah psikososial yang paling sering ditemukan pada keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental adalah adalah kecemasan dan persepsi beban. Kecemasan merupakan pengalaman individu yang bersifat subyektif yang sering bermanifestasi sebagai perilaku yang disfungsional yang diartikan sebagai perasaan kesulitan dan kesusahan tehadap kejadian yang tidak diketahui dengan pasti. Kecemasan sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara usia, jenis kelamin, status ekonomi, tingkat pendidikan, sedangkan faktor dari anak adalah usia anak dan tingkatan retardasi mental. Keluarga merupakan system pendukung yang harus dapat bertahan dalam situasi apapun dengan menggunakan sumber kekuatan yang ada dalam keluarga. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat kecemasan yang juga dapat menurunkan beban keluarga dalam merawat anak dengan retardasi mental adalah psikoedukasi keluarga. Psikoedukasi adalah suatu bentuk pendidikan ataupun pelatihan terhadap seseorang atau keluarga dengan gangguan psikiatri yang bertujuan untuk proses perawatan dan rehabilitasi. Sasaran dari psikoedukasi keluarga adalah untuk mengembangkan dan meningkatkan penerimaan keluarga terhadap penyakit ataupun gangguan yang dialami, meningkatkan partisipasi keluarga dalam terapi, dan pengembangan mekanisme koping ketika keluarga menghadapi masalah yang berkaitan dengan perawatan anggota keluarga tersebut.

Care Giver Coping Effort Keluarga Dalam Merawat Penderita Retardasi Mental di Kota Kediri

Care Giver Coping effort keluarga dalam merawat penderita retardasi mental di Kota Kediri

diketahui bahwa sebagian besar care giver menggunakan mekanisme koping berbasis emosi

(emotional focused coping), yaitu 28 responden (57,1%).

Hasil penelitian didapatkan bahwa semua partisipan mempunyai masalah yang sama, yaitu menghadapi kondisi anak yang tidak dapat diobati dan hanya bisa dilakukan dengan terapi rutin agar pertumbuhan dan perkembangannya optimal sesuai dengan kondisi anak tersebut serta ditambah dengan adanya stesor lain seperti, biaya, pandangan masyarakat terhadap dirinya serta kekhawatiran akan masa depan anak. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) dalam Nasir & Muhith, (2011)

Strategi koping keluarga merupakan upaya penting yang harus dilakukan oleh anggota keluarga (Stuart dan Sundeen, 2006). Pearlin dan Schooler (1978) mengungkapkan strategi-strategi koping yang digunakan keluarga dapat menurunkan stressor-stressor yang muncul. Sehingga dalam membantu proses penyembuhan pasca perawatan dirumah sakit, keluarga sangat dianjurkan menggunakan strategi-strategi koping keluarga.

Tindakan kasar, bentakan, atau mengucilkan malah akan membuat penderita semakin depresi bahkan cenderung bersikap kasar. Akan tetapi terlalu memanjakan juga tidak baik. Koping keluarga sangat penting untuk membantu pasien bersosialisasi kembali, menciptakan kondisi lingkungan suportif, menghargai pasien secara pribadi dan membantu pemecahan masalah pasien. Psikoedukasi juga efektif terhadap perubahan penurunan beban. Persepsi beban yang berlebihan akan dirasakan oleh keluarga dalam perawatan anak dengan retardasi mental saat banyak permasalahan yang timbul akibat ketergantungan anak tersebut. Dampak negatif yang terjadi pada keluarga akan dirasakan sebagai beban subyektif dan beban obyektif. Salah satu beban subyektif yang paling sering dirasakan adalah kecemasan dan stigma, sedangkan beban obyektif yang paling sering dirasakan oleh responden adalah beban ekonomi dalam merawat anak dengan retardasi mental. Beban yang paling berat yang dirasakan oleh keluarga adalah beban financial dalam merawat anak dengan retardasi mental. Dampak dari persepsi beban yang tidak dikelola dengan baik akan mempengaruhi produktivitas, kualitas hidup dan fungsi keluarga yang menjadi tidak optimal. Harus dilakukan pada proses pendidikan yaitu adopsi, implementasi dan maintenance/ pemeliharaan. Pemeliharaan ini dapat dilakukan dengan latihan yang rutin agar menjadi suatu kebiasaan, sehingga jika pendidikan kesehatan hanya dilakukan sesaat dan tidak dicontohkan cara

(6)

untuk melakukan manajemen persepsi beban, maka keluarga akan tetap kesulitan untuk mengatasi masalah-masalah psikososial dalam keluarga.

Hubungan Adversity Quotient Dengan Care Giver Coping Effort Dalam Merawat Anggota Keluarga Yang Menderita Retardasi Mental di Kota Kediri

Hasil tabulasi silang menunjukkan bahwa responden yang memiliki adversity quotient kategori champers cenderung menggunakan emotional focused coping dalam merawat penderita retardasi mental yaitu 20 responden (40,8. Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan (p-value < α) dan negatif (rho = -0,425) antara adversity quotient dengan care giver

coping effort pada keluraga dalam merawat penderita retardasi mental di Kota Kediri tahun 2016.

Perawatan sehari-hari pada anak retardasi mental yang terjadi di dalam keluarga, lebih banyak dilakukan oleh ibu dibandingkan ayah (Sethi, Bhargava, & Dhiman, 2007). Hal ini dikarenakan membesarkan dan merawat anak secara turun-temurun merupakan tanggung jawab utama bagi ibu selaku perempuan dan hal ini merupakan fenomena yang bersifat universal antar budaya (Gottlieb & Rooney, 2004). Penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia oleh Eliseba (2007) menunjukkan bahwa pada awalnya ibu mengalami kesulitan dalam menerima kenyataan bahwa anak mereka mengalami retardasi mental. Mereka merasakan emosi-emosi negatif misalnya kekecewaan, rasa malu, putus asa, tertekan dan sedih. Ibu yang memiliki anak retardasi mental memerlukan penyesuaian emosional yang cukup besar karena mereka harus berusaha untuk berdamai dengan perasaan-perasaan negatif yang muncul dalam diri mereka.

Penggunaan jenis strategi koping yang berpusat pada emosi (emotional focus coping) digunakan juga pada pertama kali orang tua mengetahui anak terdiagnosa retardasi mental dan ketika kondisi lingkungan yang tidak mendukung, dimana sebagian masyarakat memandang dirinya dengan sebelah mata. Kondisi yang memprihatinkan dalam kemampuan berkomunikasi, akademis, dan keterampilan sosial pada anak retardasi mental membuat mereka memiliki tingkat ketergantungan yang lebih tinggi terhadap orang yang merawatnya dibandingkan dengan anak normal lainnya. Dalam hal ini, orangtua memiliki peranan yang penting bagi anak tersebut yaitu berperan sebagai family caregiver. Tugas caregiving yang dilakukan ibu bisa berupa pemberian bantuan dalam tugas-tugas dasar perawatan diri anak, misalnya aktivitas makan, mengenakan pakaian, mandi, toileting, dan juga tugas-tugas instrumental, misalnya terkait pengelolaan keuangan, transportasi, kegiatan perbelanjaan, aktivitas memasak, dan pekerjaan rumah tangga. Pada awalnya ibu mengalami kesulitan dalam menerima kenyataan bahwa anak mereka mengalami retardasi mental. Mereka merasakan emosi-emosi negatif misalnya kekecewaan, rasa malu, putus asa, tertekan dan sedih. Ibu yang memiliki anak retardasi mental memerlukan penyesuaian emosional yang cukup besar karena mereka harus berusaha untuk berdamai dengan perasaan-perasaan negatif yang muncul dalam diri mereka. Ibu yang memiliki anak retardasi mental berusaha untuk mengatur emosi-emosi negatif mereka terkait dengan kehadiran anak retardasi mental di dalam keluarga agar mereka bisa dengan lebih mudah mencari solusi dari setiap masalah yang muncul saat melakukan perawatan dan pengasuhan terhadap anak retardasi mental tersebut. Keluarga mempunyai peran efektif dalam mengadakan komunikasi yang efektif dengan penderita maupun dengan terapis (dokter ataupun perawat) sehingga terjalin komunikasi yang baik. Komunikasi yang terjalin baik akan menciptakan suasana saling percaya dan keterbukaan antara penderita retardasi mental dengan keluarga dan terapis. Hubungan saling percaya ini merupakan dasar utama untuk membantu mengungkapkan dan mengenal perasaan, mengidentifikasi kebutuhan dan masalahnya, mencari alternative pemecahan masalah serta mengevaluasi hasilnya. Proses ini harus dilalui oleh penderita retardasi mental dan keluarga, sehingga keluarga dapat membantu penderita dengan cara yang sama.

KESIMPULAN

1. Sebagian besar care giver yang merawat penderita retardasi mental memiliki adversity quotient dalam kategori champers, yaitu 26 responden (53,1%)

2. Sebagian besar keluarga dalam merawat penderita retardasi mental menggunakan mekanisme koping berbasis emosi (emotional focused coping), yaitu 28 responden (57,1%).

(7)

3. Responden yang memiliki adversity quotient kategori champers cenderung menggunakan

emotional focused coping dalam merawat penderita retardasi mental. Hasil uji korelasi

menunjukkan hubungan yang signifikan (p-value < α) dan negatif (rho = -0,425) antara

adversity quotient dengan care giver coping effort pada keluraga dalam merawat penderita

retardasi mental di Kota Kediri tahun 2016. DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zaidin. 2010. Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta:EGC.

Anggarini, Rima. 2013. Persepsi Orang Tua Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu). Diakses pada tanggal 19 Desember 2013. Efendi, Muhammad. 2009. Pengantar Psikopedagigik Anak Berkelainan. Jakarta: PT Bumi Aksara Hidayat, A. Aziz Alimul. 2007. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba

Medika.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya: Health Books Publishing.

Hurul, Ein. 2008. Kesehatan Mental Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental. (http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2008/artikel_10502106.p df). Diakses pada tanggal 19 Desember 2013.

Kemis, dan Ati Rosmawati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunagrahita. Jakarta: PT Lixima Metro Media

Mansjoer, Arif. 2005. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid 1. Jakarta: Media Ausculapius FKUI. Maramis, Willy F. dan Albert A. Maramis. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.

Surabaya: Airlangga University Press.

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Saleba Medika

Pieter. 2011. Pengantar Psikologi Untuk Perawat. Jakarta: Kencana

Setiadi. 2008. Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Iilmu. Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Perawat. Jakarta: EGC

Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi Dalam Praktik. Jakarta: EGC. Walgito,Bimo.(2007).Pengantar Psikologi Umum. (Edisi Revisi).Yogyakarta: Andi Offset

Wiwin, dkk. 2006. Penerimaan Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami Keterbelakangan Mental.

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Penerimaan/Keluarga/Terhadap/20Individu/yang/Mengala mi/Keterbelakangan/Mental.pdf ). Diakses pada tanggal 19 Desember 2013.

Referensi

Dokumen terkait

Ciri-ciri usaha mikro adalah jenis barang/ komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti; tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat

NYAK

Berdasarkan penelitian pada bidang komersial dan pengembangan bisnis Perum Bulog divisi regional jawa barat pada hasil rancangan Enterprise Architecture menggunakan TOGAF ADM,

[r]

[r]

Imam Basuki 32 Nanang Suryana 33 Amran Nangasan 34 Azwir Arifin 35 Kornat Rumapea 36 Kukuh Prio Sembodo 37 Prio Kusdianto 38 Arya Bagiastra 39 Rarindra Mulia. 40 I Dewa Putu

[r]

Bahwa dalam rangka kelancaran proses Belajar Mengajar untuk Program Studi D-ll PGSD Penjas Swadana kelas B, E dan F FIK-UNY Kampus Yogyakarta perlu ditetapkan nama Dosen pengajar