• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN Emboli air ketuban atau amniotic fluid embolism (AFE) merupakan suatu sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN Emboli air ketuban atau amniotic fluid embolism (AFE) merupakan suatu sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 I. PENDAHULUAN

Emboli air ketuban atau amniotic fluid embolism (AFE) merupakan suatu sindrom katastrofik yang terjadi selama kehamilan dan persalinan atau segera setelah melahirkan (postpartum).1

AFE dimulai dengan masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi ibu dan ditandai dengan tiba-tiba mengalami dyspnea berat, takipnea, dan sianosis selama persalinan, persalinan atau nifas dini, mekanisme yang jelas. Selain itu, unsur-unsur cairan ketuban telah diisolasi dalam darah dan sputum ibu hamil yang tidak memiliki bukti klinis AFE. Pada beberapa wanita AFE dapat menyebabkan derajat ringan disfungsi organ sementara di lain itu dapat menyebabkan koagulopati, kolaps kardiovaskular, dan kematian.2

Emboli cairan ketuban pertama kali dilaporkan oleh Ricardo Meyer pada tahun 1926. Dilaporkan lagi dalam percobaan pada hewan laboratorium dengan Warden pada tahun 1927. Pentingnya kondisi ini dan penelitian awal tidak didirikan sampai 1941, ketika Steiner dan Lushbaugh melaporkan temuan klinis dan patologis dari 42 wanita yang mati mendadak selama atau setelah persalinan. Histopatologi dari pembuluh darah paru dari wanita-wanita termasuk musin, materi eosinofilik amorf, dan sel skuamosa. Temuan ini membentuk "klasik" Temuan patologis di AFE.2,3,4

Karena AFE sangat jarang, tidak ada lembaga tunggal memiliki pengalaman yang cukup untuk menilai faktor risiko, menentukan patofisiologi dan klinis, atau mengevaluasi strategi manajemen. Clarke et al, di Amerika Serikat, dan Tuffnell di Inggris telah membentuk registri nasional untuk dicurigai AFE. Kriteria masuk terdiri dari kehadiran empat faktor berikut2 :

1. Hipotensi akut atau serangan jantung 2. Hipoksia akut

3. Koagulopati atau perdarahan klinis yang parah karena tidak adanya penjelasan lain

4. Semua ini terjadi selama persalinan, persalinan caesar, atau pelebaran dan evakuasi atau dalam waktu 30 menit setelah melahirkan dengan ada penjelasan lain untuk temuan klinis.

(2)

2 AFE juga merupakan penyebab penting kematian maternal di negara-negara berkembang. AFE memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas dan morbiditas AFE telah menurun secara dramatis akhir-akhir ini, dimana dilaporkan mortalitas maternal adalah sekitar 16%.1

Patofisiologi AFE sampai saat ini tetap belum jelas. AFE terjadi ketika terdapat kerusakanpada barier antara sirkulasi maternal dan cairan amnion. Kedua proses yang berbeda yang mengancam nyawa terjadi secara simultan atau sebagai suatu sebab-akibat, yaitu kolaps cardiorespiratorik dan koagulopati.5

Sampai saat ini pun, emboli air ketuban merupakan penyebab kematian utama selama persalinan dan jam-jam pertama pasca persalinan, serta tetap sebagai kegawat daruratan obstetric yang fatal dan tidak dapat dicegah. Di samping kemajuan teknologi dalam critical care life support, maternal mortality rate emboli air ketuban tetap tinggi, sekitar 61%; sebagian besar yang selamat memiliki kerusakan neurologis permanen akibat hypoxia (permanent

hypoxia-induced neurological damage). Mortalitas fetal sekitar 21% dan 50% dari yang

berhasil selamat mengalami kerusakan neurological permanen.2,4

II. DEFINISI

Emboli cairan amnion adalah masuknya cairan amnion ke dalam sirkulasi ibu menyebabkan kolaps pada ibu pada waktu persalinan dan hanya dapat dipastikan dengan autopsi. Emboli air ketuban dapat terjadi setiap saat waktu kehamilan. Untuk terjadinya emboli ini harus ada hubungan langsung antara air ketuban dan pembuluh darah ibu.6,7

III. EPIDEMIOLOGI

Emboli cairan amnion merupakan komplikasi yang sangat mematikan selama kehamilan, hal ini pertama kali di deskripsikan oleh Steiner dan Lushbough. Pada studi awal dilaporkan terdapat 86% kematian akibat emboli cairan amnion dan lebih lanjut dilaporkan terdapat penurunan terhadap kematian akibat penyakit ini sebanyak 61%. Akan tetapi peningkatan kelangsungan hidup

(3)

3 disertai dengan adanya gangguan neurologis permanen didapatkan sebanyak 24 %. Walaupun demikian, hanya 15 % pasien yang masih dapat bertahan hidup dengan adanya gangguan neurologis tersebut. Tidak ada faktor predisposisi dari emboli cairan amnion yang dihubungkan dengan adanya kala yang berkepanjangan, saat melahirkan serta penggunaan oksitosin. Kebanyakan kasus emboli cairan amnion terjadi selama persalinan aktif, meskipun kasus yang didapatkan paling lama terjadi 90 menit postpartum.2,8,9,10

Insidensi terjadinya AFE yang sebenarnya tidak diketahui secara pasti akibat ketidakakuratan pelaporan kematian maternal, kurangnya data dari kasus-kasus non-fatal, dan fakta bahwa AFE sulit untuk dideteksi dan tetap merupakan diagnosis eksklusi. Pada tahun 1979, penelitian yang dilakukan oleh Morgan dari 272 kasus, dilaporkan insidensi AFE berkisar antara 1 : 8000 – 30.000 dan 1 : 80000, dengan mortalitas maternal sebesar 86%. AFE juga merupakan penyebab kematian maternal sebesar 10% di USA. Burrow dan Khoo (1995) mempublikasikan 10 kasus AFE dengan angka mortalitas maternal sebesar 22%.11,12,13

Angka kematian ibu secara keseluruhan dalam registri Clarke adalah 61%, terhitung sekitar 10% dari seluruh kematian ibu di Amerika Serikat dan mengakibatkan defisit neurologis permanen hingga 85% dari korban. Inggris melaporkan angka kematian dari 37% dengan 7% dari korban selamat yang memiliki gangguan neurologis.2,8,14

Luaran janin miskin jika terjadinya AFE adalah sebelum pengiriman sementara janin hidup dalam rahim. Clarke et al., melaporkan 79% dari janin selamat tetapi hanya 50% dari mereka dengan kondisi neurologis normal. Dalam registri Inggris 87% dari janin selamat, dengan 29% dari korban mengembangkan ensefalopati iskemik hipoksia.2,4,12

IV. ETIOLOGI

Sindrom emboli cairan ketuban telah dikaitkan dengan embolisasi akut cairan ketuban dan puing-puing yang berasal dari janin ke dalam sirkulasi vena ibu, dengan terjadinya obstruksi mikrovaskuler paru. Saat mencapai paru-paru,

(4)

4 bahan ini dianggap menghasilkan transien sehingga terjadi vasospasme dari pembuluh darah paru, hipertensi pulmonal, gagal jantung kanan, dan hipoksia. Clark et al. tidak setuju dengan hipotesis ini. Mereka merasa bahwa, pada beberapa individu, tidak peduli seberapa kecil jumlah cairan ketuban yang terlibat, paparan sederhana dari sirkulasi ibu ke cairan ketuban memicu kaskade patofisiologis yang mirip dengan anafilaksis atau syok septik yang menghasilkan derangements fisiologis karakteristik sindrom ini.15

Ini akan menjelaskan pengamatan bahwa puing-puing janin tidak terlihat pada otopsi dalam semua kasus di mana tidak ada keraguan, secara klinis, bahwa pasien dengan emboli cairan ketuban. Dalam 22 kasus yang di otopsi dalam penelitian oleh Clark et al., 6 dari individu (27%) tidak didapatkan adanya unsur janin (sel skuamosa, rambut, tetesan lemak, mucin atau trofoblas) yang diidentifikasi pada paru-paru. 15

Etiologi dari emboli air ketuban adalah :4,13,16 a. Multiparitas dan Usia lebih dari 30 tahun

Shock yang dalam yang terjadi secara tiba – tiba tanpa diduga pada wanita yang proses persalinanya sulit atau baru saja menyelesaikan persalinan yang sulit . Khususnya kalau wanita itu multipara berusia lanjut dengan janin yang amat besar, mungkin sudah meningal dengan meconium dalam cairan ketuban, harus menimbulkan kecurigaan, pada kemungkinan ini (emboli cairan ketuban)

b. Janin besar intrauteri

Menyebabkan rupture uteri saat persalinan, sehingga cairan ketubanpun dapat masuk melalui pembuluh darah.

c. Kematian janin intrauteri

Juga akan menyebabkan perdarahan didalam, sehingga kemungkinan besar akan ketuban pecah dan memasuki pembuluh darah ibu, dan akan menyubat aliran darah ibu, sehingga lama kelamaan ibu akan mengalami gangguan pernapasan karena cairan ketuban menyubat aliran ke paru, yang lama kelamaan akan menyumbat aliran darah ke jantung, dengan ini bila tidak tangani dengan segera dapat menyebabkan iskemik bahkan kematian mendadak.

(5)

5 e. Kontraksi uterus yang kuat

Kontraksi uterus yang sangat kuat dapat memungkinkan terjadinya laserasi atau rupture uteri, hal ini juga menggambarkan pembukaan vena, dengan pembukaan vena, maka cairan ketuban dengan mudah masuk ke pembuluh darah ibu, yang nantinya akan menyumbat aliran darah, yang mengakibatkan hipoksia, dispue dan akan terjadi gangguan pola pernapasan pada ibu.

f. Insidensi yang tinggi kelahiran dengan operasi

Dengan prosedur operasi tidak jauh dari adanya pembukaan pembuluh darah, dan hal ini dapat terjadi ketuban pecah dan masuk ke pembuluh darah ibu.

g. Kematian selama aborsi

Sementara emboli cairan amnion biasanya merupakan komplikasi kehamilan, dan dapat dihubungkan dengan kematian yang dalam aborsi. Dari tahun 1972 sampai 1978, 12% dari semua kematian yakni 15 kasus aborsi legal disebabkan oleh emboli cairan amnion.15

Beberapa individu menunjukkan gejala simptomatis setelah melahirkan 3, 9 dan 12 jam kemudian. Kematian akibat penyakit ini sangat cepat, ada yang meninggal sebelum mengeluarkan janin, 4 jam setelah melahirkan, dan bahkan ada yang meninggal setelah 24 jam.15

Tidak ada kematian yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 12 minggu. Pada umur kehamilan 21 minggu atau lebih, terdapat risiko kematian adalah 24 kali dari umur kehamilan 13-15 minggu. Hal ini dikaitkan bahwa volume rata-rata cairan ketuban adalah sekitar 50 ml pada usia kehamilan 12 minggu dan 400 ml pada pertengahan kehamilan.15

V. FAKTOR RESIKO

Secara normal, air ketuban tidak masuk ke dalam sirkulasi maternal karena terdapat aman di dalam uterus, dilindungi oleh kantung ketuban. Perihal kenapa masuknya air ketuban terjadi pada beberapa wanita dan tidak pada yang lainnya, belum dapat dimengerti. Banyak faktor yang dipertimbangkan berhubungan dengan meningkatnya risiko kejadian AFE, antara lain :4,23,24

(6)

6 1. Overdistensi uterus akibat his/kontraksi persalinan berlebih, yang umumnya terjadi pada penggunaan obat-obatan perangsang persalinan yang tidak terkontrol.

2. Rupture uteri 3. Multiparitas

4. Kehamilan lewat waktu

5. Fetal distress, ditemukannya mekonium atau tinja janin dalam air ketuban, di mana janin dalam keadaan kekurangan oksigen. Air ketuban yang penuh dengan kotoran bayi inilah yang sering kali menimbulkan kefatalan pada kasus-kasus AFE.

6. Persalinan buatan 7. Janin laki-laki

8. Usia maternal yang lanjut 9. Sectio caesaria

10. Polihydramnion

11. Laserasi serviks yang luas

12. Solusio plasenta dan plasenta previa 13. IUFD

14. Bayi besar 15. Eklampsia

(7)

7 VI. PATOMEKANISME

Emboli cairan amnion

Blok mekanik Pelepasan mediator endogen

Obstruksi vena pulmonal vasospasme vena pulmonal

Hipertensi pulmonal akut Hipoksemia Gagal jantung kanan

Mati

Bertahan

Gagal ventrikel kiri Edema pulmonal Kelemahan neurologis DIC

Bertahan (40-75%)

Mati

(8)

8 Emboli cairan amnion muncul dari adanya gangguan antara cairan ketuban dan sirkulasi vena ibu. Patogenesis emboli cairan amnion masih belum diketahui, tapi diperkirakan bahwa cairan memasuki sirkulasi maternal melalui saluran vena dalam rahim berikut kontraksi uterus yang kuat. Hal ini terkait dengan pecahnya membran dan plasenta atau trauma pada uterus sedangkan kepala janin dipengaruhi di luas panggul. Dalam situasi ini kontraksi rahim diperkirakan untuk memaksa cairan ketuban ke dalam pembuluh darah rahim sistemik.17

Diagnosis postmortem tergantung pada deteksi histologis bahan janin dalam arteri paru ibu. mekanisme kematian tidak meyakinkan diketahui, tetapi mungkin berkaitan dengan kombinasi faktor termasuk vasokonstriksi refleks dan bronkokonstriksi, mungkin sebagai reaksi terhadap zat vasoaktif, dan obstruksi fisik paru microvaskuler.18

Bukti emboli cairan amnion dapat diperoleh antemortem melalui demonstrasi sel skuamosa janin dalam darah yang didapatkan diambil melalui kateter arteri paru-paru. Diagnosis postmortem bertumpu pada pemeriksaan histologis dari paru-paru, dengan demonstrasi skuamosa janin sel epitel, lanugo, mekonium, dan / atau musin dalam paru arteries. Musin ini berasal dari saluran usus janin.18

Seorang wanita hamil muda menjadi dyspneu dan hipotensi selama persalinan. Dia segera menjadi tidak responsif dan meninggal meskipun dilakukan resusitasi yang adekuat. Hal ini diduga kuat akibat emboli cairan amnion. Pada otopsi, pemeriksaan paru-paru menunjukkan tersebarnya arteriol paru yang dibalut dengan sel skuamosa dan beberapa puing inflamasi (Gambar 1). Perhatikan tidak adanya inti dalam sel-sel ini, karakteristik deskuamasi sel skuamosa janin. Adanya persamaan deskuamasi sel endotel arteri pulmonalis ibu dengan emboli sel skuamosa. Akan tetapi, sebuah petunjuk yang berguna untuk membedakan keduanya adalah bahwa sel-sel endotel biasanya memiliki inti, sedangkan sel skuamosa tidak terdapat inti. Pada (Gambar 2) Perhatikan bahwa nukleus diidentifikasi dalam dua sel endotel pada kasus yang sama. Dapat juga melakukan pewarnaan imunohistokimia dengan cytokeratin, yang akan diserap pada sel skuamosa tetapi tidak akan memberi warna pada sel endotel (Gambar 3).18

(9)

9 Perhatikan rambut (lanugo) dalam arteriol paru lain (Gambar 4). Musin sering terlihat pada kasus-kasus emboli cairan ketuban, tapi mungkin sulit untuk mendemonstrasikan. Mucin dapat dikonfirmasi pada pewarnaan Alcian blue, yang akan memperlihatkan musin menyerap warna menjadi biru (Gambar 5). Atau, noda musin dapat digunakan. Komponen cairan ketuban dapat diidentifikasi dalam rahim dan pembuluh darah serviks. Gambaran musin berwarna biru pada pewarnaan Alcian blue di pembuluh darah dalam rahim kasus yang sama dapat diidentifikasi (Gambar 6).18,19

Gambar 1. Arteriol paru yang dibalut dengan sel skuamosa dan beberapa puing inflamasi3

(10)

10 Gambar 3. Pewarnaan imunohistokimia dengan cytokeratin, tampak warna diserap

pada sel skuamosa dan warna tidak terserap pada sel endotel3

Gambar 4. Tampak rambut (lanugo) dalam arteriol paru lain3

(11)

11 Gambar 6. Gambaran musin berwarna biru pada pewarnaan Alcian blue

di pembuluh darah dalam rahim3

VII. GEJALA KLINIS

Salah satu faktor utama yang membuat AFE sangat mengenaskan adalah tidak dapat diprediksi sama sekali. Meskipun sebagian besar kasus terjadi saat onset persalinan, beberapa insiden terjadi di luar persalinan. Pengecualian pada onset waktu adalah jarang, tetapi beberapa kasus telah dilaporkan terjadi pada periode post-partum lambat, setelah kelahiran seksio cesarean, amniocentesis, pelepasan plasenta, atau dengan aborsi terapeutik. Beberapa kasus juga berhubungan dengan trauma abdominal, cervical suture removal, ruptur uterus, atau intrapartum amnioinfusion.4

Pada beberapa laporan kasus, pasien yang digambarkan memiliki gangguan pengembangan saluran napas berupa sesak napas akut, beberapa kali disertai batuk, diikuti dengan hipertensi berat. Gejala dan tanda yang mengindikasikan kemungkinan diagnosis amniotic fluid embolism adalah12,20 :  Hipertensi : penurunan tekanan darah yang signifikan dengan hilangnya

pengukuran diastolik.

 Susah napas : sesak napas dan takipnea mungkin terjadi.  Kejang : kejang tonik klonik dapat perlihat pada 50% pasien.  Batuk : biasanya merupakan manifestasi dari sulit bernapas.

 Sianosis : seperti perjalanan hipoksia atau hipoksemia, sirkumoral dan sianosis perifer, dan perubahan membrane mukus.

(12)

12  Edema paru : dapat diidentifikasi dari foto thoraks yang berlebihan setelah

melahirkan.  Henti jantung

 Atoni Uteri : biasanya merupakan akibat dari perdarahan

Manifestasi klasik AFE yang digambarkan diatas dapat dijelaskan lagi sebagai dyspnea yang tiba-tiba, dan tidak terduga, kegagalan respiratorik, hipotensi yang diikuti oleh kolaps kardiovaskular, DIC, perubahan status mental dan kematian. Menurut Morgan, gejala klinik distress pernafasan terjadi pada 51% pasien, hipotensi 27%, abnormalitas koagulopati 12%, dan kejang 10%. Analisis Clarke’s national registry (1995) menunjukkan gejala klinik AFE yang terjadi sebelum persalinan adalah kejang (30%), dyspnea (27%), bradikardi fetal (17%), dan hipotensi (13%). Gejala klinik AFE yang terjadi setelah persalinan, 54% menunjukkan koagulopati yang mengakibatkan perdarahan postpartum.21

Terdapat tiga fase AFE yang diidentifikasi. Fase pertama meliputi :4 1. Sistim respirasi berupa distress pernafasan dan sianosis

2. Hemodinamik berupa edema pulmonal dan syok hemoragik 3. Neurologis berupa konfusi dan koma

Jika pasien bertahan hidup melewati fase kardiorespiratorik, 40%-50% akan masuk ke dalam fase kedua, yang dikarakteristik oleh koagulopati, perdarahan, dan syok. Pada fase kedua, gagal jantung kiri merupakan tanda yang jelas dan yang paling sering dilaporkan. Peningkatan tekanan kapiler pulmonal dan central venous pressure merupakan karakteristik edema pulmonal. Pada fase ketiga, gejala akut telah dilewati dan kerusakan terhadap sistim otak, paru-paru, dan ginjal telah terjadi. Pasien meninggal akibat kerusakan otak dan paru-paru berat. Infeksi dan kegagalan multi organ dapat menyebabkan kematian.4

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis AFE dilakukan atas dasar presentasi klinis. Tanda-tanda awal mungkin sering terlihat pada elektrokardiogram (takikardia dengan pola regangan

(13)

13 ventrikel kanan dan perubahan gelombang ST-T) dan pulse oximetry dapat menunjukkan penurunan mendadak dalam saturasi oksigen. Ini diikuti dengan hipotensi berat dan kolaps kardiovaskular yang terkait dengan gangguan pernapasan berat. Ada subset dari pasien yang perdarahan berat dengan DIC mungkin merupakan tanda pertama. Namun, diagnosis definitif biasanya dibuat oleh demonstrasi bahan cairan ketuban dalam sirkulasi maternal dan dalam arteri kecil, arteriol, dan kapiler pembuluh paru.2

Pengenalan dan diagnosis AFE dengan segera sangat penting untuk memperbaiki prognosis maternal dan fetal. Sampai saat ini, diagnosis pasti AFE dibuat hanya setelah otopsi maternal menunjukkan adanya sel skuamous, lanugo, atau material fetal dan air ketuban lainnya di dalam vaskulatur arterial pulmonal. Metode pewarnaan khusus untuk squamos keratin harus digunakan pada beberapa bagian dari paru-paru untuk diagnosis positif.24

Squama janin telah ditemukan di dahak ibu dalam beberapa kasus. Alat diagnostik tambahan untuk konfirmasi emboli cairan ketuban yang dicurigai secara klinis meliputi2:

1. Foto toraks: Dapat menunjukkan pembesaran atrium kanan dan ventrikel dan arteri pulmonalis menonjol proksimal dan edema paru.

2. Lung Scan: Dapat menunjukkan beberapa daerah berkurang radioaktivitas di bidang paru-paru.

3. Tekanan vena sentral (CVP) dengan kenaikan awal karena hipertensi pulmonal dan akhirnya penurunan yang mendalam karena perdarahan parah.

4. Profil Koagulasi: Biasanya pada kehamilan, faktor pembekuan darah meningkat. Namun, dengan emboli cairan ketuban, bukti koagulasi intravaskular diseminata terjadi kemudian dengan kegagalan darah untuk membeku, penurunan jumlah trombosit, penurunan fibrinogen dan afibrinogenemia, PT berkepanjangan dan PTT, dan kehadiran produk degradasi fibrin.

(14)

14 Dengan demikian, yang bisa dilakukan adalah diagnosis klinis. Karena secara garis besar air ketuban menyerbu pembuluh darah paru-paru, maka amat penting untuk mengamati gejala klinis si ibu. Apakah ia mengalami sesak napas, wajah kebiruan, terjadi gangguan sirkulasi jantung, tensi darah mendadak turun, bahkan berhenti, dan atau adanya gangguan perdarahan.25

Dampak yang ringan biasanya hanya sebatas sesak napas, tapi yang berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Dahulu, ditemukannya sel skuamosa atau debris lain yang berasal dari janin di sirkulasi paru sentral dianggap patognomonik untuk emboli cairan amnion. Selain itu beberapa penelitian memperlihatkan bahwa sel skuamosa, trophoblast dan debris lain yang berasal dari janin mungkin sering ditemukan disirkulasi sentral wanita dengan kondisi selain emboli cairan amnion.8

IX. TEMUAN OTOPSI

Diagnosis emboli cairan ketuban dibuat dari hasil otopsi dengan kombinasi terdapatnya tanda dan gejala klinis dan terdapatnya musin yang berasal dari mekonium, sel-sel skuamosa janin, rambut lanugo, atau gelembung-gelembung lemak vernix di pembuluh darah paru. Material ini biasanya dapat dilihat pada pewarnaan hematoksilin dan eosin. Musin hampir selalu terdapat, dengan elemen seluler yang terlihat jarang.15

Seperti yang ditunjukkan oleh Clark et al., Dalam sejumlah besar kasus di mana tidak ada keraguan klinis bahwa pasien telah memiliki emboli cairan ketuban, tidak terdapat unsur janin yang diidentifikasi. Hal ini terutama terdapat pada kematian selama awal kehamilan yang disebabkan oleh karena kurang unsur-unsur dalam cairan ketuban pada tahap ini.15

Adanya sel skuamosa dalam sirkulasi arteri paru di otopsi secara umum telah dianggap sebagai salah satu elemen patognomonik emboli cairan ketuban. Sebuah studi oleh Clark et al. untuk melihat apakah sel-sel skuamosa selalu terdapat dalam sirkulasi paru-paru ibu dari semua wanita hamil, menunjukkan bahwa sel skuamosa dalam darah 16 wanita hamil menjalani katerisasi arteri paru untuk berbagai indikasi medis.15

(15)

15 Fakta yang lebih menarik bahwa sel-sel skuamosa yang juga diidentifikasi dalam darah 17 pasien yang tidak hamil, meskipun perbedaan jumlah sel antara pasien hamil dan tidak hamil signifikan. Sel-sel skuamosa pada pasien yang tidak hamil tampaknya datang dari tusukan vena. Dengan demikian, deteksi sel skuamosa saja dalam darah arteri paru tidak akan cukup untuk mendiagnosis emboli cairan amnion.15

Sama halnya didapatkannya sel-sel skuamosa tidak patognomonik dari emboli cairan amnion, begitu pula dengan didapatkannya sel-sel trofoblas. Sel-sel trofoblas dapat ditemukan dalam darah dan paru-paru dari wanita yang tidak menderita emboli cairan ketuban.15

(16)

16 DAFTAR PUSTAKA

1. Mieczyslaw and Waldemar. A new approach to the pathomechanism of

amniotic fluid embolism: unknown role of amniotic cells in the induction of disseminated intravascular coagulation. Asian Pacific Journal of

Reproduction. 2012. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.apjr.net/Issues/201204/PDF/18.pdf.

2. Rudra A, Chatterjee S, Mitra J. Amniotic Fluid Embolism. Indian Journal of Critical Care Medicine. 2009. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.ijccm.org/article.asp?issn=0972-5229;year=2009;volume=13; issue=3;spage=129;epage=135;aulast=Rudra

3. Mieczyslaw. Amniotic Fluid Embolism: Literature Review and An

Integrated Concept of Pathomechanism. Open Journal of Obstetrics and

Gynecology. 2011. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.scirp.org/journal/PaperDownload.aspx?DOI=10.4236/ojog.20 11.

4. Toy, Harun. Amniotic Fluid Embolism. Harran University Medical Faculty Department of Gynecology and Obstetric Turkey. 2009. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.bioline.org.brpdfgm09024.

5. Tsunemi, T et all. An Overview of Amniotic Fluid Embolism : Past,

Present and Future Directions. The Open Women’s Health Journal. 2012.

6. Prawirohardjo, Sarwono. Emboli Cairan Ketuban. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawihardjono. 2010. Hal 409-410. 7. Mochtar R. Emboli Cairan Ketuban. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. EGC. Hal

391-393.

8. Dedhia dan Mushambi. 2007. Amniotic Fluid Embolism. Management and Trustees of the British Journal of Anaesthesia. Cited : July 1st 2014. Available from: http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/7/5/152.full 9. Anonymous. Amniotic Fluid Embolism. Cited : July 3rd 2014. Available

from:

http://www.csh.org.tw/dr.tcj/educartion/f/web/Amnionic%20fluid%20emb olism/index.htm

10. Knight M et all., 2013. Amniotic Fluid Embolism Incidence, Risk Factors

And Outcomes : A Review and Recommendations. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://biomedcentral.com/1471-2393/12/7

(17)

17 11. Tsokos, M. Amniotic Fluid Embolism. In : Forensic Pathology Reviews.

Volume 3. USA : Humana Press. 2005. p : 368

12. Moore LE. Amniotic Fluid Embolism. 2012. Cited : July 1st 2014. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/253068-overview#showall

13. Amnion Fluid Embolism. In : Oxford Handbook of Obstetrics and

Gynaecology.

14. Gei AF., Vadhera RB., Hanskin GD.. Embolism During Pregnancy:

Thrombus, Air, and Amniotic Fluid. Anesthesiology Clinic of North

America. 2003. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://ape.med.miami.edu/Doc/Resident%20Web%20Site%20Articles/Coa gulation/embolism%20during%20preg,%20thrombus,%20air,%20amnioti c%20fluid%202003.pdf

15. DiMaio VJ, DiMaio D. Amniotic Fluid Embolism. In : Forensic Pathology

Second Edition. Practical Homicide Investigation. 2001. P : 472-476

16. Hacker and Moore’s. Amniotic Fluid Embolism. In : Essential of

Obstetrics and Gynecology. Hal 132-135

17. Sarvesvaran R. Medicolegal Aspect of Embolism With A Case Illustration. Malaysian J Pathology. 1991. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.mjpath.org.my/past_issue/MJP1991.2/medico%20legal%20as pects%20of%20embolism%20with%20a%20case%20illustration.pdf 18. Dolinak D, Matshes E, Lew E. Amniotic Fluid Embolism. In : Forensic

Pathology Principle and Practice. USA : Elsevier Inc. 2005. p : 511-512

19. Sheaff MT, Hopster DJ. Post Mortem Technique Handbook. Edisi 2. USA : Springer. 2005. p : 231-233

20. Amniotic Fluid Embolism Management. Perinatal and Maternal Mortality.

Cited : July 3rd 2014. Available from:

https://www.hqsc.govt.nz/assets/PMMRC/Publications/afe-management-advice-from-pmmrc-nov09.pdf

21. Moore J dan Baldisseri M. 2005. Amniotic Fluid Embolism. University of Pittsburgh Medical Center. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://ape.med.miami.edu/doc/resident%20web%20site%20articles/afe/afe %20review%202005.pdf.

22. Dobbengarodes, YA. Responding to Amniotic Fluid Embolism. AORN Journal. 2009. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.aorn.org/

(18)

18 23. Kramer MS et all. Amniotic Fluid Embolism : Incidence, Risk Factors And

Impact On Perinatal Outcome. BJOG An International Journal of

Obstetrics and Gynaecology. 2012. Cited : July 3rd 2014. Available from: http://www.bjog.org..

24. Knight B. Amniotic Fluid Embolism. In : Simpson’s Forensic Medicine. Edisi 7. New York : Oxford University Press.

25. Benson MD, Current Concepts of Immulogy and Diagnosis in Amniotic

Fluid Embolism. Clinical and Development Immunology. 2012. Cited :

Gambar

Tabel 1. Faktor Resiko AFE
Diagram 1. Patomekanisme emboli cairan amnion. 8
Gambar 1. Arteriol paru yang dibalut dengan sel skuamosa dan beberapa puing  inflamasi 3
Gambar 4. Tampak rambut (lanugo) dalam arteriol paru lain 3

Referensi

Dokumen terkait