• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Kelapa Sawit yang Bertanggung Jawab

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pembangunan Kelapa Sawit yang Bertanggung Jawab"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Ringkasan Kebijakan

Pembangunan Kelapa Sawit yang

Bertanggung Jawab

Analisis tren pemanfaatan lahan dan kebijakan lingkungan pada industri

kepala sawit di indonesia

Pendahuluan

Kelapa sawit adalah salah satu produk pertanian andalan dan Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan tingkat produksi lebih dari 30 juta ton pada tahun 2015 meskipun tingkat produktivitasnya masih di bawah Malaysia. Lebih dari tujuh puluh persen (70%) dari total produksi diekspor ke pasar internasional dengan pasar ekspor utama India, Eropa, dan China, serta lebih dari 60 negara lainnya1.

Meningkatkan permintaan pasar dunia terhadap komoditi kelapa sawit, secara langsung akan mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk meningkat target produksi kepala sawit nasional melalui perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Kebijakan pemerintah yang mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit, ditangkap dengan baik oleh para pengusaha perkebunan kelapa sawit berskala besar. Pemerintah dan para pengusaha besar condong hanya menggunakan pertimbangan untung rugi secara finansial, sehingga seringkali luput mempertimbangkan bahwa perluasan lahan akan banyak mengorbankan hutan alam dan menyebabkan konflik tenurial2.

Deretan dampak negatif yang timbul akibat pembangunan kelapa sawit tersebut mendorong lembaga internasional, pasar, dan masyarakat luas menuntut agar praktek industrial perkebunan kelapa sawit dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah Indonesia sendiri merespon hal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian No. 19 Tahun 2011 junto No. 11 Tahun 2015 Tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Suistanable Palm Oil (ISPO). Rangkaian kebijakan ini bertujuan memastikan diterapkannya peraturan perundang-undangan terkait perkebunan kelapa sawit sehingga dapat diproduksi secara berkelanjutan, sekaligus demi mendukung komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun pertanyaannya kini, apakah setelah sistem ISPO berjalan enam (6) tahun efektif, tantangan pembangunan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan sudah terjawab? 3

1 Dikutip dari Kertas Posisi Kelompok Masyarakat Sipil Indonesia, 2017. Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia, Bogor.

2 Forest Watch Indonesia, 2014. Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013, Bogor 3 Forest Watch Indonesia, 2017. Enam Tahun ISPO, Bogor

Pernyataan:

Ringkasan kebijakan ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari studi ini adalah tanggung jawab penulis dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

(2)

“Ekspansi perkebunan kelapa sawit banyak dikritisi karena memberikan dampak negatif, terutama dalam bentuk penghancuran hutan dan pelanggaran hak asasi

manusia”

Pembangunan Kelapa Sawit

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang paling pesat bertumbuh dalam dua dasawarsa terakhir. Untuk periode waktu sepuluh tahun terakhir ini, luas perkebunan sawit menunjukkan tren yang meningkat secara signifikan. Diperkirakan luas perkebunan kelapa sawit meningkat hampir dua kali lipat, dari 6,7 juta hektar pada tahun 2007 menjadi 11,6 juta hektar pada tahun 2016. Jenis perkebunan besar yang dimiliki oleh swasta merupakan yang terluas, mencapai lebih dari 6,1 juta hektare. Sedangkan untuk kategori perkebunan rakyat seluas 4,7 juta hektare dan yang dimiliki oleh pemerintah dalam bentuk BUMN hanya sekitar 755 ribu hektare.

Gambar 1.Perkembangan Luas Kelapa Sawit di Indonesia Periode 2007-2016

Sumber : Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa Sawit 2014-2016

Jika dikaitkan dengan kebijakan penguasaan lahan perkebunan di Indonesia, perkembangan yang luar biasa ini diduga akibat inkonsistensi penerapan kebijakan penguasaan lahan. Karena sejak tahun 1998, pemerintah melalui Departemen Kehutanan dan Perkebunan mengatur pembatasan luas lahan perkebunan bagi satu perusahaan ataupun grup perusahaan maksimum 20.000 hektare dalam satu provinsi atau 100.000 hektare di seluruh Indonesia.4 Perubahan kebijakan di awal tahun 2007 mengenai pembatasan luas maksimum lahan perkebunan kelapa sawit adalah 100.000 hektare untuk satu perusahaan, tidak ada lagi pembedaan skala penguasaan lahan di tingkat provinsi atau nasional dan tidak ada pembatasan luas penguasaan lahan untuk grup perusahaan.5 Sangat kontras dengan temuan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, yang mengungkapkan sebanyak 25 kelompok perusahaan sawit yang dimiliki para taipan. Mereka telah menguasai 31 persen lahan atau seluas 5,1 juta hektare dari total area penanaman kelapa sawit di Indonesia6.

4 SK Menhutbun No. 728/kpts-II/1998 tentang Luas Maksimum Pengusahaan Hutan Dan Pelepasan Kawasan Hutan Untuk Budidaya Perkebunan

5 Peraturan Menteri Pertanian No 26/Permentan/OT.140/2/2007 Tentang Pedoman Perijinan Usaha Pertanian 6 Transformasi untuk Keadilan-Indonesia, 2016. Kendali Taipan atas Grup Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia

(3)

Salah satu penyebab kehilangan hutan alam atau deforestasi, disebabkan oleh pembukaan lahan untuk pembangunan kelapa sawit. Dari total ijin usaha perkebunan kepala sawit yang telah diterbitkan, ada sekitar 316 ribu hektare yang berada di kawasan konservasi dan lindung. Sekitar 215 ribu hektar di kawasan lindung dan sisanya 101 ribu hektare di kawasan konservasi. Di kawasan yang seharusnya dilindungi dari segala aktifitas eksploitasi hasil hutan berupa kayu.

Sedangkan sekitar 2,91 juta hektare yang berada di kawasan hutan produksi (+hutan produksi terbatas) yang seharusnya diperuntukkan untuk pemanfaatan kayu secara selektif. Sumbangan terbesar dari berasal dari Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sekitar 1,28 juta hektare dan Provinsi Papua sekitar 604 ribu hektare. Namun untuk IUP kelapa sawait yang berada di Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), Provinsi Papua-lah yang terbesar, yaitu sekitar 1,15 juta hektare. Provinsi Papua sudah menjadi destinasi untuk praktik land banking oleh perusahaaan-perusahan kelapa sawit. Kondisi ini sangat memprihatinkan bila nantinya hutan alam yang seharusnya dilindungi ataupun dimanfaatkan secara selektif, akan berubah menjadi lahan-lahan yang tidak berhutan dengan beroperasinya ijin-ijin usaha perkebunan kelapa sawit.

Gambar 2. Peta Sebaran IUP Kelapa Sawit di Kawasan Hutan

Sumber: Data sebaran perkebunan kelapa sawit 2015, Kompilasi Greenpeace 2015; Peta Kawasan Hutan dan Perairan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Tidak hanya itu, jenis perkebunan kelapa sawit yang tidak memiliki IUP, seperti kebun sawit plasma, swadaya dan juga kebun sawit ilegal milik perusahaan (tidak memiliki IUP), tersebar juga di setiap fungsi kawasan hutan dan lahan. Yang berada di kawasan lindung (HL) seluas 75,9 ribu hektare dan yang berada di kawasan konservasi (KK) seluas kurang lebih 87,05 ribu hektare. Sedangkan yang berada di kawasan hutan produksi (HP+HPT+HPK) sekitar 1,62 juta hektare. Riau merupakan provinsi yang paling banyak memiliki jenis perkebunan seperti ini, diperkirakan mencapai 1,52 juta hektare. Disusun oleh Sumatera Utara sekitar 1,08 juta hektare dan Sumatera Selatan sekitar 1,02 juta hektare. Dan bila diakumulasikan maka total luas perkebunan diluar (non) IUP Kelapa Sawit mencapai angka 7,08 juta hektare.

Kebakaran Hutan Akibat Ekspansi Kebun Sawit

Indonesia sudah dikenal memiliki sejarah panjang mengalami kebakaran hutan dan lahan. Pada tahun-tahun tertentu, seperti di tahun 1982-1983, 1997, 2014, dan 2015, di hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami kebakaran hebat. Kebakaran hutan di Riau di tahun 2014 memberikan dampak yang cukup besar hingga lintas negara. Kebakaran yang terjadi tersebut 99 persen dilakukan dengan sengaja untuk

(4)

membuka lahan perkebunan kelapa sawit7. Badan Nasional Penanggulang Bencana (BNBP) menyatakan bila ditotal maka kerugian finansial akibat kebakaran hutan dan lahan dari bulan Juni sampai Oktober tahun 2015, diperkirakan mencapai Rp. 221 triliun.8

Gambar 3. Perkiraan Kerugian Finansial Akibat Kebakaran Hutan9

Sumber: Diolah FWI, 2017

Pemerintah mengakui bahwa kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, merupakan yang terparah sepanjang sejarah kebakaran di Indonesia, mengalahkan kebakaran hebat tahun 1997 dan 201410. Penyebab utamanya adalah kesalahan pemerintah yang mengerluarkan kebijakan yang memperbolehkan ijin pengelolaan (sawit dan HTI) di lahan-lahan gambut11. Pasca kebakaran hebat di tahun 2015, kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang diharapkan dapat memperkuat aturan sebelumnya untuk mencegah agar kebakaran hutan dan lahan tidak terulang kembali.

7 http://www.jpnn.com/news/bnpb-99-kebakaran-hutan-di-riau-disengaja

8 Diunduh pada tanggal 02 Agustus 2017: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/12/20/nzms82359-bnpb-catat-kerugian-akibat-kebakaran-hutan-2015-rp-221-triliun 9 http://fwi.or.id/wp-content/uploads/2017/02/policybrief_HGU_final.pdf 10 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151021155255-20-86387/pemerintah-kebakaran-hutan-tahun-ini-lebih-parah-dari-1997/ 11 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20151021133853-20-86337/luhut-soal-kebakaran-hutan-ini-terparah-dalam-sejarah-ri/

(5)

Gambar 4: Aturan Pencegahan Kebakaran Hutan

Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2017

Hasil pantauan dengan menggunakan satelit, selama periode 2000-2016 ditemukan sebanyak 79.544 titik api (hot spot) yang berada di konsesi perkebunan kelapa sawit. Keberadaan titik api ini menunjukkan bahwa besarnya potensi kebakaran hutan dan lahan yang diakibatkan oleh praktik-praktik perkebunan sawit. Terbesar terjadi di tahun 2006 yaitu sekitar 12.450 titik api, dan kemudian diikuti di tahun 2015 yang diperkirakan mencapai angka sekitar 9.640 titik api yang sebagian besar berada di pulau Sumatera dan Kalimantan. Hanya saja di beberapa wilayah di Region Papua, seperti sekitar Merauke dan Sorong, menunjukkan tren yang meningkatkan akan sebaran titik api.

Tutupan Lahan di Konsesi IUP dan Non-IUP Kelapa Sawit

Pelepasan kawasan hutan tentu saja menyebabkan peluang kehilangan hutan alam primer dan sekunder semakin besar. Hasil análisis spasial dari tahun 2009 - 2015, disinyalir bahwa terdapat 457 ribu hektare hutan alam yang tutupan hutannya masih relatif bagus, telah berubah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Sekitar 27 ribu hektare dikategorikan sebagai hutan alam primer, dan sekitar 430 ribu yang tergolong hutan alam sekunder. Bila diakumulasikan maka perubahan tutupan lahan selama 6 tahun terakhir, ada sekitar 1,9 juta hektare yang telah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Kontribusi terhadap kehilangan tutupan tutup alam ternyata tidak hanya dari konsesi yang berbentuk IUP Kelapa Sawit. Ditemukan juga konsesi perkebunan lainnya di luar (non) yang berbentuk IUP kelapa sawit, berupa kebun sawit plasma, swadaya dan kebun sawit ilegal, yang menyebabkan deforestasi. Ada sekitar 181 ribu hektare hutan alam yang hilang dan berubah menjadi areal perkebunan.

Perluasan lahan perkebunan seharusnya tidak dilakukan pada lahan-lahan yang menurut fungsinya diperuntukkan untuk mempertahankan keberadaan hutan, terlebih yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan dan konservasi.

Tabel 1. Tutupan Hutan Alam pada IUP Kepala Sawit Berdasarkan Kawasan Hutan dan Lahan Tahun 2015

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

• Undang Undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan • Undang Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan • Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

• Undang Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup • Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

Peraturan dan Instruksi Presiden

• Peraturan Presiden RI No.6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman

• Peraturan Presiden RI No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/ atau pencemaran lingkungan hidup berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan

• Peraturan Presiden RI No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah anatara pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota

• Instruksi Presiden No.16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan • Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebaakran Hutan dan Lahan

Peraturan Menteri

• Permentan No.26/Permentan/O.T.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha

• Permentan No. 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan • Peraturan Menteri Pertanian No. 47/Permentan/ OT.140/4/2014 tentang Brigade dan Pedoman

Pelaksanaan Pencegahan serta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun

(6)

Tutupan Lahan Tahun 2015

Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain

Grand Total HL KK HPT HP HPK APL Hutan Alam Primer* 29,392 13,590 128,988 149,062 266,132 508,634 1,095,798 Hutan Alam Sekunder** 79,776 33,355 213,314 755,833 629,837 1,453,765 3,165,879 Perkebunan 23,854 10,892 83,749 351,111 573,249 4,596,880 5,639,736 Lainnya*** 82,057 43,342 170,771 1,059,065 1,285,424 6,455,121 9,095,780 Awan/No Data 9 3 28 0 0 465 505 Grand Total 215,088 101,183 596,850 2,315,071 2,754,643 13,014,865 18,997,699

Sumber: Data sebaran perkebunan kelapa sawit 2015, Kompilasi Greenpeace 2015; Peta Kawasan Hutan dan Perairan, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup

Justru tabel di atas memperlihatkan kondisi sebaliknya, dimana pada kawasan lindung dan konservasi terdapat areal-areal konsesi perkebunan sawit yang aktif. Di kawasan Lindung ada sekitar 23 ribu hektare konsesi kelapa sawit, sementara yang berada di kawasan konservasi ada sekitar 10 ribu hektare. Belum lagi ditambahkan dengan areal konsesi kelapa sawit yang berada di kawasan hutan produksi (+ terbatas), yang mencapai angka 434 ribu hektare. Sedangkan lahan APL yang diperuntukkan untuk IUP kelapa sawit, ternyata masih memiliki tutupan hutan yang cukup bagus, yang diperkirakan mencapai 1,96 juta hektare.

Konversi Hutan Alam Menjadi Konsesi Perkebunan Sawit

Dalam kurun waktu 2009 – 2015, aktivitas perkebunan di Indonesia telah merubah tutupan hutan alam seluas 639,331 hektare, atau sekitar 106 hektare untuk setiap tahunnya. Berdasarkan penguasaan lahannya, 457,724 hektare atau sekitar 72 persen konversi hutan alam berada di dalam wilayah IUP Kelapa Sawit. Kemudian ada sekitar 181,607 hektare atau sekitar 28 persen sisanya berada di luar (non) wilayah IUP Sawit. Hal ini menunjukkan bahwa konversi hutan alam untuk perkebunan dalam periode 2009-2015 sebagian besar dikontribusikan oleh IUP Kelapa Sawit. Walaupun demikian, tren kehilangan hutan alam dari wilayah di luar (non) IUP kelapa sawit juga mengalami peningkatan. Dalam artian bahwa perkebunan plama, swadaya ataupun perkebunan sawit ilegal akan menjadi salah satu ancaman bagi kelestarian hutan alam tersisa.

Bila dilihat dari sebarannya, maka lima (5) provinsi terluas dengan aktifitas konversi hutan alam menjadi non hutan di dalam konsesi IUP Kelapa Sawit yaitu: Kalimantan Barat (172,181 hektare), Kalimantan Timur (95,392 hektare), Kalimantan Utara (51,236 ha), Kalimantan Tengah (50,802 hektare), dan Papua (35,755 hektare). Sedangkan lima 5 provinsi terluas dengan konversi hutan alam menjadi non hutan, yang berada di luar (non) IUP Kelapa Sawit yaitu: Kalimantan Timur (34,999 hektare), Kalimantan Tengah (34,463 hektare), Kalimantan Barat (28,108 hektare), Riau (22,917 hektare) dan Aceh (9,715 hektare).

Kondisi Kelapa Sawit di Ekosistem Gambut

Lahan gambut sebetulnya langsung mengalami kerusakan ketika hutan di atasnya dibuka, apalagi ditambah dengan pengusahaan yang intensif melalui kanalisasi dan pengeringan. Lahan gambut yang sudah dibebani izin konsesi saat ini mencapai 2,4 juta hektare, termasuk konsesi pertambangan mineral dan batubara sekitar 295 ribu hektare (FWI, 2014). Bila ditilik dari intensitas pengelolaan, maka hutan tanaman industri dan perkebunan kelapa sawit memiliki peluang yang sangat besar untuk menyebabkan kerusakan lahan gambut secara masif, baik berupa penghilangan hutan alam maupun akibat kanalisasi dan pengeringan. Saat ini diperkirakan ada sekitar 2,57 juta hektare luas ijin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit yang tersebar pada tiga belas (13) provinsi, lokasinya berada di ekosistem gambut (Lampiran Tabel 2). Artinya ada sekitar 13,5 % dari total luas IUP Kelapa Sawit (18,9 juta hektare), yang berada di ekosistem gambut. Terbesar berada di Provinsi Riau dengan total luas kurang lebih 755 ribu hektare, di Kalimantan Barat

(7)

sekitar 742 ribu hektare, di Kalimantan Tengah sekitar 401 ribu hektare, di Papua dengan luas sekitar 196 ribu hektare, serta Kalimantan Timur 87 ribu hektare.

Gambar 5. Sebaran IUP Kelapa Sawit pada Ekosistem Gambut di 5 Provinsi

,

Sumber: Data sebaran perkebunan kelapa sawit 2015, Kompilasi Greenpeace 2015; Peta Restorasi Gambut, BRG; Peta BDLSP Kementerian Pertanian;

Ternyata tidak hanya konsesi yang berbentuk IUP Kelapa Sawit saja yang lokasinya berada di ekosistem gambut. Dari hasil kajian spasial, ditemukan juga konsesi perkebunan lainnya di luar (non) yang berbentuk IUP kelapa sawit yang berada di ekosistem yang rentan ini. Jenis perkebunan di luar (Non) IUP Kelapa Sawit dan berada pada areal gambut tersebar pada tujuh belas (17) provinsi dengan total luas sekitar 1,27 juta hektare. Terbesar berada di Provinsi Riau dengan total 586 ribu hektar, Sumatera Selatan dengan 177 ribu hektar, Sumatera Utara 139 ribu hektar, Jambi dengan sekitar 127 ribu hekatre, dan Kalimantan Tengah dengan luas kurang lebih 85 ribu hektare.

Inisiatif pemerintah

Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)

Deretan dampak negatif yang timbul akibat pembangunan kelapa sawit tersebut mendorong lembaga internasional, pasar, dan masyarakat luas menuntut agar praktek industrial perkebunan kelapa sawit dilakukan secara berkelanjutan. Pemerintah Indonesia sendiri merespon hal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian No. 19 Tahun 2011 junto No. 11 Tahun 2015 Tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Suistanable Palm Oil (ISPO).

Sertifikasi ISPO yang diharapkan menjadi tanda perbaikan tata kelola hutan dan lahan ternyata hanya sekedar memproduksi sertifikat-sertifikat ISPO bagi para pemegangnya tanpa disertai upaya signifikan untuk perbaikan tata kelola hutan dan lahan itu sendiri. Hingga enam tahun sistem sertifikasi ini diterapkan, belum juga kinerjanya dapat dibanggakan. Penerapan sistem ISPO dirasakan belum mampu menyentuh akar persoalan dalam mendorong perbaikan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia (FWI, 2017).

Sampai saat ini, implementasi sistem ISPO dinilai masih berjalan sangat lambat. Sampai tahun 2016, sekitar 800 perusahaan perkebunan kelapa sawit masih dalam tahap pendaftaran, sementara 115 perusahaan

755,972 742,038

401,187

196,956 98,765

(8)

lainnya masih dalam proses penilaian12. Banyaknya perusahaan yang belum mendapatkan sertifikat inidiperkirakan karena permohonan atau pengajuan sertifikat banyak menumpuk di sekretariat ISPO13. Kehadiran ISPO juga belum mampu menjawab konflik lahan yang marak terjadi akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit. Di sepanjang tahun 2015, Konsorsium Pembaruan Agraria (2015) mencatat telah terjadi sedikitnya 252 konflik agraria dengan total luasan wilayah konflik 400 ribu hektar dan melibatkan setidaknya 108. 714 kepala keluarga (KK). Setengahnya atau 127 konflik di antaranya terjadi di sektor perkebunan dengan total luas area konflik 302 ribu hektar.

Belum termasuk persoalan pembukaan dan persiapan lahan untuk perkebunan kelapa sawit selama ini masih banyak dilakukan dengan cara membakar lahan. Menurut pemerintah, 2,6 juta hektar lahan dan hutan telah terbakar antara bulan Juni dan Oktober 201514. Ini berarti areal seluas lebih dari empat kali luas Pulau Bali terbakar di lima (5) bulan saja. Artinya bahwa instrumen ISPO belum mampu mengarahkan perusahaan-perusahaan perkebunan sawit untuk menerapkan praktik yang lebih baik dengan cara tidak merusak ekosistem hutan melalui proses pembakaran lahan.

Restorasi Gambut

BRG telah menyelesaikan peta indikatif restorasi gambut dengan menetapkan 2. 492. 527 hektar areal terdegradasi yang perlu direstorasi. Sebanyak 30% dari 2,4 juta hektar lahan gambut ditargetkan mulai dilakukan pada tahun 2016, 20% prioritas restorasi lahan gambut masing-masing akan menjadi capaian target restorasi di tahun 2017, 2018, dan 2019, serta 10% di tahun 2020. Pada tahun ini pula disiapkan exit strategy dan kemudian dilanjutkan dengan program Percepatan Pengelolaan Tata Kelola Gambut Lestari di periode selanjutnya (BRG, 2016).

Sebanyak 87% dari areal prioritas restorasi gambut terdapat di kawasan budidaya, selebihnya 13% di kawasan lindung. Pemanfaatan gambut di areal budidaya terbanyak dilakukan oleh pemegang izin atau konsesi kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Hasil kajian spasial mengidentifikasi bahwa luas IUP Kelapa Sawit yang masuk ke dalam areal Restorasi Gambut yang telah dicanangkan BRG, ada sekitar 383 ribu hektare. Luas IUP Kelapa Sawit terbesar berada di Riau yaitu sekitar 189 ribu hektare, kemudian di Provinsi Kalimantan Tengah seluas kurang lebih 87 ribu hektare, dan di Provinsi Kalimantan Barat luasnya sekitar 49 ribu hektare. Sedangkan sisanya, sekitar 2,19 juta hektare, berada di luar areal Restorasi Gambut. Melalui kebijakan yang dikeluarkan oleh BRG, maka ada kewajiban bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menyusun rencana pengelolaan dan restorasi pada areal gambut yang berada di dalam konsesinya.

Beberapa perkebunan non IUP sawit, ada juga yang konsesinya berada di areal prioritas restorasi gambut. Tidak kurang dari 166 ribu hektare luas konsesi tersebut yang berhasil diindetifikasi. Terluas berada di Provinsi Sumatera Selatan ± 63 ribu hektare, kemudian Provinsi Riau seluas ± 42 ribu hectare, Kalimantan Selatan seluas ± 24 ribu hektare, dan Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah, masing-masing sekitar 15 ribu hektare.

Lemahnya implementasi kebijakan lingkungan

Kondisi carut-marut pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, memerlukan upaya pembenahan secara menyeluruh. Salah satu upaya yang harus dilakukan dalam pembangunan kelapa sawit, khususnya di

12www.mongabay.co.id/2016/08/12/aturan-ispo-bakal-jadi-perpres-bagaimana-soal-penguatan-standar/ 13http://www.beritasatu.com/kesra/232286-permentan-tentang-sertifikat-ispo-akan-diperbarui.html

14Disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam Pertemuan Forum Komunikasi Data dan Informasi Bencana di Jakarta tanggal 10 November 2015.

(9)

bagian hulu, adalah menata kembali peraturan atau kebijakan yang seharusnya dipatuhi, sehingga mampu mendorong inisiatif pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang baik.

Perencanaan dan perlindungan lingkungan hidup telah diatur dan tertuang dalam UU. No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Tahapan-tahapan mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan bahkan sampai penegakkan hukum juga telah dituangkan dalam kebijakan tersebut.

RPPLH Dalam Perencanaan

Suatu Wilayah

Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2009, bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Kebijakan ini berfungsi untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang akan kehidupan yang lebih baik.

Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. Mandat UU No. 32 Tahun 2009, kemudian diterjemahkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No 67/2012 untuk melakukan kajian lingkungan hidup strategis dalam penyusunan dan evaluasi rencana pembangunan di setiap daerah

AMDAL, Instrumen Lingkungan yang Diabaikan

AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan di Indonesia. AMDAL dibuat pada saat perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Dasar hukum AMDAL di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang "Izin Lingkungan Hidup" yang merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 tentang AMDAL.

(10)

Dalam prakteknya, instrumen AMDAL yang seharusnya dapat meminimalisir dampak lingkungan dari aktiftas eksploitasi sumberdaya alam, seperti perkebunan kelapa sawit, kerap kali hanya dijadikan syarat administrasi bagi suatu izin pemanfaatan lingkungan. Keberadaan AMDAL hanya menjadi sarat administrasi yang harus diselenggarakan oleh pengusung usaha untuk melegalkan aktifitas dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Tidak semua aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam

memerlukan adanya AMDAL. Untuk kasus tertentu, izin suatu lingkungan dapat diberikan bagi pemanfaat sumberdaya alam hanya sampai dengan dokumen UKL dan UPL. Syarat tersebut berlaku untuk kegiatan yang dampak lingkungannya lebih kecil dan kegiatan-kegiatan yang tidak tercantum dalam daftar wajib AMDAL sesuai dengan keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 05 tahun 2012.

KLHS sebagai Mandat Konstitusi

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Strategic Environmental Assessment (SEA) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS sendiri merupakan mandat dari Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dan kemudian dioperasionalkan melalui Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2016, tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Kedua peraturan ini mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.

Hasil KLHS seharusnya dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS ditemukan daya dukung dan daya tampung di suatu wilayah sudah terlampaui, maka kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan di wilayah tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS. Segala usaha dan/atau kegiatan yang melampaui ambang batas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, maka usaha/kegiatan tersebut tidak diperbolehkan lagi. Tetapi dalam prakteknya, KLHS hanya dianggap sebagai prasyarat administrasi dari suatu rencana pembangunan baik itu di level kabupaten, provinsi, ataupun nasional. Terbukti masifnya pembangunan perkebunan kelapa sawit, telah memperlihatkan bahwa KLHS tidak didayagunakan sebagai alat kontrol lingkungan. Untuk merespon kondisi carut marut ini, perlu ada upaya rekonsiliasi dalam pengelolaan dan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit.

(11)

Gambar 7. Rekonsiliasi Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit melalui Pendayagunaan KLHS

Sumber: Diolah dari UU No. 32/2009

Kebijakan Pengendalian Karhutla

Kebijakan pengendalian karhutla dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Instruksi Presiden tersebut menyerukan tentang pengendalian karhutla yang dilakukan melalui 3 kegiatan, yaitu: (a) pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan lahan; (b) pemadaman kebakaran hutan dan lahan; (c) penanganan pasca-kebakaran/ pemulihan hutan dan lahan. Kebijakan tersebut mengharuskan pemerintah melibatkan masyarakat dan stakhoder terkait dalam pengendalian karhutla. Selain itu, juga terdapat upaya penegakkan hukum dalam kasus karhutla. Kebijakan pengendalian karhutla di KLHK dilaksanakan oleh Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. Upaya pencegahan dan penanggulangan karhutla, tertuang pada PermenLHK Nomor P. 39/Menlhk-Setjen/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 – 2019. Penanganan Karhutla juga dilakukan oleh Kementerian Pertanian yang tertuang dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT. 140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Dalam kebijakan tersebut, setiap pemegang izin perkebunan diwajibkan untuk membuat pernyataaan kesanggupan memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran.

Pengendalian karhutla juga diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Peraturan-peraturan tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka pencegahan karhutla di lahan gambut dan upaya memperbaiki kembali ekosistem gambut yang rusak karena kebakaran hutan dan lahan.

Meskipun pemerintah telah berupaya melalui kebijakan pengendalian karhutla, tetapi hal tersebut belum maksimal dan belum menyentuh pada keseluruhan akar masalah penyebab karhutla. Pemerintah khususnya KLHK hanya terfokus pada daerah-daerah yang menjadi target penurunan hotspot di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Ketiga wilayah tersebut sesuai dengan Renstra KLHK tahun 2015-2019. Kegiatan-kegiatan mitigasi yang seharusnya dapat mengantisipasi semakin luasnya karhutla tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Di sisi lain, penegakan hukum belum optimal menjangkau korporasi yang secara sengaja melakukan pembakaran hutan dan ataupun lahan. Kegiatan pembakaran tersebut tentu bertentangan dengan UU No.

(12)

32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pada faktanya, pembakaran hutan dan lahan terus terjadi walaupun ketiga undang-undang tersebut jelas menyebutkan adanya larangan membakar hutan/lahan.

Rekomendasi

1. Mencabut dan melakukan penegakan hukum bagi ijin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit yang berada dalam kawasan hutan seluas 5,9 juta hektare, termasuk perkebunan kelapa sawit yang tidak memliki IUP (Non-IUP) yang berada di dalam kawasan hutan seluas 1,78 juta hektare

2. Mempertahankan areal yang masih memiliki tutupan hutan dan wilayah ekosistem gambut di dalam konsesi IUP Kelapa sawit, sebagai kawasan dengan nilai konservasi tinggi. Luas areal yang diindikasikan masih memiliki tutupan hutan dan berada di APL sekitar 1,96 juta hektare

3. Melakukan identifikasi lahan-lahan kritis dan tidak produktif lagi untuk dialokasikan bagi ijin-ijin usaha perkebunan sawit yang diberikan pada areal penggunaan lain (APL) namun masih memiliki tutupan hutan yang bagus

4. Menerbitkan kebijakan moratorium ijin baru untuk usaha kelapa sawit sebagai upaya penataaan ulang terhadap keterlanjuran perijinan

5. Melaksanakan mandat UU 32/2009 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 67/2012 untuk melakukan kajian lingkungan hidup strategis dalam penyusunan dan evaluasi rencana pembangunan di daerah

6. Membangun sebuah sistem informasi yang terintegrasi (spasial dan numerik) sebagai pra syarat untuk melakukan pengawasan yang efektif

Gambar

Gambar 1.  Perkembangan Luas Kelapa Sawit di Indonesia Periode 2007-2016
Gambar 2. Peta Sebaran IUP Kelapa Sawit di Kawasan Hutan
Gambar 3. Perkiraan Kerugian Finansial Akibat Kebakaran Hutan 9
Gambar 4: Aturan Pencegahan Kebakaran Hutan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Variabel kualitas lingkungan fisik digunakan sebagai variabel pengukur untuk mengetahui sampai sejauh mana faktor lingkungan fisik berpengaruh terhadap kualitas

Jangka waktu pembatasan kegiatan usaha hingga pencabutan izin usaha dalam ketentuan asuransi diatur dalam Pasal 42 ayat (1) juncto Pasal 42 ayat (4) Peraturan

Marinal Indoprima cukup baik dikarenakan tingkat kepuasan karyawan yang naik dan turun, retensi karyawan yang mengalami peningkatan yang tidak stabil,

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor risiko karakteristik seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,

Kandungan logam berat pada organ ternak sapi pedaging yang digembalakan disekitar tambang nikel maupun di luar tambang ini sering kali terjadinya cemaran akibat dari

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Graf kincir dengan m-bilah yang mempunyai vertex luar dari sebuah bilah yang sama, maka vertex-vertex tersebut harus berada pada partisi yang berbeda. Graf Kincir

Pemanfaatan gom xantan dalam pembuatan matriks nanopartikel untuk penghantaran insulin oral dilakukan oleh penelitian sebelumnya (Reddy, et al ., 2012) dengan konsentrasi 0,05