• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Ada 3 tujuan partisipasi politik yang dikemukakan Sanit (1985), yaitu: dibina atau dikembangkan oleh penguasa, dan sebagainya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Ada 3 tujuan partisipasi politik yang dikemukakan Sanit (1985), yaitu: dibina atau dikembangkan oleh penguasa, dan sebagainya."

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Partisipasi Politik

1. Pengertian Partisipasi Politik

Partisipasi politik dilakukan untuk mempengaruhi penguasa baik dalam artian memperkuatnya, maupun dalam pengertian menekannya sehingga memperhatikan atau memenuhi kepentingan pelaku partisipasi (Sanit, 1985). Ada 3 tujuan partisipasi politik yang dikemukakan Sanit (1985), yaitu:

a. Memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang disusunnya. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk mengirim utusan pendukung ke pusat pemerintahan, membuat pernyataan mendukung kebijaksanaan pemerintah, memilih calon yang ditawarkan oleh organisasi politik yang dibina atau dikembangkan oleh penguasa, dan sebagainya.

b. Partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan penguasa, mengubah atau memperbaiki kelemahan tersebut. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk petisi, resolusi, mogok, demonstrasi protes, dan sebagainya. Di dalam partisipasi ini disalurkan kepentingan para peserta partisipasi tersebut beserta keinginan masyarakat yang diwakilinya.

(2)

c. Partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga terjadi perubahan pemerintah atau sistem politik. Mogok, pembangkangan politik, huru-hara dan pemberontakan bersenjata dapat merupakan usaha untuk mencapai maksud tersebut. Apabila partisipasi yang pertama menghasilkan kekuatan pemerintah dan penguasa, maka yang kedua dan ketiga melemahkannya.

Huntington (1990) menyebutkan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik adalah aktivitas dalam kegiatan pemilihan, lobbying, kegiatan organisasi, mencari koneksi (contacting) dan tindak kekerasa (violence). Dalton (1996) “We can organize potential of participation into three grouping: personal characteristic, group effects and political attitudes”. Kita bisa mengatur potensi partisipasi menjadi tiga kelompok: karakteristik personal, efek kelompok, dan sikap politik, hal ini semakin memperkuat bahwa adanya keterkaitan antara karakteristik personal, pengaruh kelompok, dan sikap politik terhadap partisipasi politik.

Kesadaran dan partisipasi anggota-anggota kelompok, menciptakan ikatan-ikatan dan loyalitas-loyalitas yang saling bersaing. Individu-individu yang mengalami tekanan-tekanan dari berbagai pihak lebih kecil kemungkinannya untuk berpartisipasi dengan cara lainnya dalam politik dibandingan dengan mereka yang bebas dari tekanan-tekanan semacam itu Huntington dan Nelson (1990).

Herbert McClosky (1972) mengatakan “The Term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a

(3)

of public policy”. Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui bagaimana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, secara langsung dan tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. Begitu pun dengan yang dijelaskan Norman Nie dan Verba (1975) “By political participation we refer to those legal activities by private citizen which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personel and/or the action they take”. Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka.

Hal yang serupa disampaikan oleh Huntington dan Nelson (1977) “By political participation we mean activity by private citizen designed to influence government decision making. Participation maybe individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective, or ineffective”. Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal efektif atau tidak efektif.

Budiardjo (1998) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jelas memilih pemimpin negara, dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini

(4)

mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.

Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa partisipasi politik merupakan suatu bentuk atau tindakan dari individu, bisa secara perorangan atau berkelompok, melalui cara damai atau kekerasan, untuk mengubah, mempengaruhi, menekan suatu kebijakan, menentukan suatu pilihan, melakukan suatu komunikasi, serta melaksanakan protes, terhadap suatu pemerintahan. Yang dalam kaitan hal ini, mahasiswa merupakan pihak yang melakukan suatu tindakan partisipasi tersebut, dan menjalankan suatu bentuk perlakuan partisipasi politiknya dalam sebuah aksi, yang mengkritisi suatu kebijakan atau sistem yang diberlakukan oleh pemerintah dimana dalam ruang lingkup kampus adalah pemerintahan mahasiswa.

2. Bentuk Partisipasi Politik

Huntington dan Nelson (1990) membedakan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kategori sebagai berikut:

a. Kegiatan pemilihan, yaitu segala bentuk kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan pemilu. Kegiatan pemilihan umum mencakup pemberian suara, sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil

(5)

b. Lobbying, yaitu tindakan dari seseorang atau pun sekelompok orang untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.

c. Kegiatan Organisasi, menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuan utamanya adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah.

d. Mencari Koneksi (Contacting), merupakan tindakan perorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu orang atau segelintir orang. e. Tindak kekerasan (Violence), yaitu cara-cara kekerasan untuk

mempengaruhi pemerintah. Penggunaan kekerasan mencerminkan motivasi-motivasi partisipasi yang cukup kuat. Kekerasan dapat ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah (huru-hara, pemberontakan) atau mengubah seluruh sistem politik dengan cara revolusi.

Kemudian Dalton (2009) mengelompokkan bentuk partisipasi politik sebagai berikut:

a. Voting, yaitu bentuk-bentuk partisipasi politik yang terkait dengan pemilihan (voting/electing). Voting adalah bentuk yang paling sederhana untuk mengukur partisipasi.

b. Campaign activity, yaitu aktivitas kampanye yang mewakili bentuk-bentuk partisipasi yang merupakan perluasan dari pemilihan (extension of

(6)

electoral participation). Termasuk di dalamnya bekerja untuk partai atau seorang kandidat, menghadiri pertemuan-pertemuan kampanye, melakukan persuasi terhadap orang lain untuk memilih, dan segala bentuk aktivitas selama dan antara pemilihan.

c. Communal Activity, Bentuk-bentuk partisipasi ini berbeda dengan aktivitas kampanye karena aktivitas komunal mengambil tempat di luar setting pemilihan (out side electoral setting). Termasuk keterlibatan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang interest dan concern dengan kebijakan umum seperti kelompok studi lingkungan, kelompok wanita, atau proteksi terhadap konsumen.

d. Contacting personal on personal matters. Bentuk partisipasi ini berupa individu melakukan kontak terhadap seseorang terkait dengan suatu materi tertentu yang melekat pada orang tersebut. Diperlukan inisiatif dan informasi yang tinggi terkait isu yang spesifik, dalam kontak yang bersifat perseorangan ini. Bentuk partisipasi ini seringkali digunakan untuk membangun pengertian, kepercayaan, mencari koneksi, ataupun membangun jaringan.

e. Protest, yaitu bentuk-bentuk partisipasi yang unconventional seperti demonstrasi dan gerakan protes. Walaupun individu-individu yang memilih bentuk partisipasi ini sering berada di luar jalur/saluran yang normal, namun mereka seringkali menjadi bagian penting dalam proses demokratisasi.

(7)

3. Tingkat Partisipasi Politik

Tingkat partisipasi politik mengacu pada frekuensi dilakukannya, bentuk-bentuk partisipasi politik di suatu komunitas. Dalam bentuk-bentuk yang paling sederhana, tingkat partisipasi diukur dari presentasi orang yang memberikan suara dalam sebuah proses pemilihan (Huntington dan Nelson, 1990).

Dalam negara-negara demokratis, umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Tingginya tingkat partisipasi menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik, serta ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya, tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena diartikan banyak warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan (Budiardjo, 1998).

McClosky (1972) berpendapat bahwa ada yang tidak ikut dalam pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ia pun mengemukakan bahwa sikap acuh tak acuh malahan dapat dianggap sebagai hal positif karena memberikan fleksibilitas kepada sistem politik.

Huntington dan Nelson (1990) mengungkapan pemungutan suara merupakan suatu fenomena yang sudah meluas di masyarakat yang berbeda satu sama lain. Banyak orang juga melakukan kegiatan-kegiatan politik lain di samping dan di atas memberikan suara. Diungkapkan juga bahwa pemungutan suara hanya salah satu dari bentuk suatu partisipasi politik, dimana terdapat tingkatan lain pada partisipasi politik diluar dari pemilihan suara, karena masih

(8)

banyak bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Bukan berarti tingkat pemilihan suara yang rendah menandakan banyak individu yang tidak ikut berpartisipasi dalam politik, melainkan mungkin individu tersebut berpartisipasi dalam politik melalui bentuk lain dari partisipasi politik.

Frekuensi partisipasi politik adalah suatu pembawaan untuk bekerja secara kolektif, artinya suatu sikap umum yang lebih menyukai pemecahan yang dicari secara kolektif, dan bukannya secara individual, bagi masalah-masalah yang menonjol yang menyangkut pribadi dan yang ada kaitanya dengan komunitas. Hal ini lah yang mendorong tingkat dan mutu partisipasi dan memperkuat pembawaan-pembawaan individual dalam bentuk-bentuk kegiatan politik lainnya Huntington dan Nelson (1990).

Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa tingkat partisipasi politik dapat diartikan bagaimana cara warga negara menaruh perhatian terhadap masalah kenegaraan, serta presentasi orang dalam berpartisipasi politik memalui bentuk-bentuk partisipasi politik, mengenai sikap acuh tak acuh bukan berarti hal negatif karena tidak tertarik atau kurang paham mengenai permasalahan politik, melainkan ini merupakan hal positif yang dapat memberikan fleksibilitas kepada sistem politik.

4. Prediktor Partisipasi Politik

Barry dan Rosenwein (1985) mengemukakan bahwa faktor individu (personal factor) dan faktor lingkungan (environmental factor) adalah dua faktor penting untuk mengerti dan menjelaskan tingkah laku politik (political behavior).

(9)

Dalton (1996) mengungkapkan variabel-variabel yang mempunyai hubungan dengan tingkat pada bentuk-bentuk partisipasi dengan istilah prediktor partisipasi “We can organize potential predictors of participation into three grouping: personal characteristic, group effect, and political attitudes”. Kita dapat mengatur prediktor potensi partisipasi menjadi tiga kelompok: karakteristik personal, efek kelompok, dan sikap politik. Teori dari Dalton tersebut yang akan menjadi fokus penelitian untuk mengetahui bagaimana partisipasi politik mahasiswa.

5. Karakteristik Personal

Nie dan Verba (1975) mengungkapkan beberapa karakteristik sosial, indikator status sosial yang berpengaruh pada tingkat dan bentuk-bentuk partisipasi politik adalah usia, ras, pendidikan, jenis kelamin, daerah tempat tinggal, status perkawinan, kelas sosial orang tua atau individu itu sendiri. Sementara Dalton (1996) memberi penekanan pada status gender sebagai salah satu karakteristik personal yang mungkin mempengaruhi aktivitas politik. Hal ini didukung dengan sejumlah penelitian yang telah menunjukkan bahwa wanita enggan mengakui wanita lain sebagai pemimpin (Dowling, 1992).

Peneliti-peneliti politik memberikan tekanan pada status sosial sebagai karakteristk personal yang sangat terkait dengan tindakan politik. Status sosial adalah variabel potensial penyebab partisipasi Dalton (1996). Penekanan ini menjadikan karakteristik sosial sebagai faktor penting dalam mendorong munculnya partisipasi politik.

(10)

Franklin dan rekan-rekannya dalam Dalton dan Klingermann (2007) menemukan bahwa pendapat karakteristik sosial (termasuk kelas sosial, pendidikan, pendapatan, religiusitas, wilayah, dan gender) memiliki dampak penurunan pada preferensi partisipan dalam demokrasi barat dari waktu ke waktu.

Kebanyakan partisipasi politik melibatkan suatu kolektifitas, dalam hal menganalisa partisipasi, terdapat banyak hal yang melandasinya, seperti kelas sosial, kelompok atau komunal, lingkungan, partai, dan golongan. Hal-hal tersebut dapat menjadi landasan yang cukup besar terhadap partisipasi politik, yang meliputi hal mana yang relatif penting dalam penyelanggaraan partisipasi dan bagaimana kaitan landasan-landasan tersebut, satu sama lain (Huntington dan Nelson, 1990).

Salah satu temuan utama dari generasi terakhir penelitian pemilihan menyatakan bahwa posisi sosial tidak lagi menentukan posisi politik Dalton dan Klingemann (2007). Pada lingkup mahasiswa di universitas tidak ada rentangan yang jauh, atau dapat dilakukan tidak terlalu bervariasi dalam hal usia, kelas sosial, ataupun status perkawinan. Berdasarkan hal terebut, penelitian ini tidak menggunakan karakteristik personal sebagai variabel dalam penelitian.

B. Group Effect

1. Pengertian Kelompok

Kelompok merupakan inti kehidupan dalam masyarakat. Dari kelompok kita memperoleh orientasi kita ke dunia. Para ahli sosiologi menggunakan banyak definisi untuk kelompok, tetapi pada umumnya kelompok didefinisikan sebagai

(11)

orang-orang yang memiliki persamaan tertentu dan percaya bahwa persamaan di antara mereka bersifat signifikan (Henslin, 2007).

Definisi yang luas dikemukakan pula oleh Sherif dan Sherif (1956), bahwa kelompok sosial adalah suatu kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Hal ini berarti kelompok sosial dapat terdiri dari dua individu saja, misalnya sepasang suami istri.

Johnson dan Johnson (2012) mendefinisikan sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaanya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Rumusan Johnson & Johnson ini dengan sendirinya hanya terbatas pada kelompok kecil.

Sementara Sears, Freeman dan Peplau (1991) mempersempit pengertian kelompok, yaitu sebagai kelompok kecil yang bertatap muka, saling berinteraksi, dan saling menyadari keberadaannya, hanya merupakan salah satu jenis saja, misalnya tim dan keluarga. Definisi ini pun mempersempit pengertiannya pada suatu kelompok kecil.

Johnson dan Johnson (2012) Kelompok dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang memengaruhi satu sama lain. Sekelompok orang

(12)

bukanlah suatu kelompok, kecuali jika mereka memengaruhi dan dipengaruhi satu sama lain dan, bagaimanapun juga, karakter dasar yang menjelaskan suatu kelompok adalah pengaruh antar pribadi. Shaw (1976) mengatakan, suatu kelompok adalah dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dalam hal-hal tertentu sehingga setiap orang memengaruhi dan dipengaruhi oleh orang lain.

2. Group Effect

Gerungan (2004) mengatakan bahwa pengaruh kehidupan kelompok yang makin kokoh terhadap kegiatan individu anggotanya adalah bahwa pada mereka akan timbul suatu sense of belongingness yang ternyata mempunyai arti yang cukup mendalam pada kehidupan individu. Sense of belongingness merupakan sikap peranan bahwa ia termasuk di dalam suatu kelompok sosial, di dalamnya ia mempunyai peranan dan tugas sehingga ia pun merasakan semacam kepuasan dirinya, bahwa dirinya berharga sebagai anggota kelompok tersebut. Ini menunjukkan adanya pengaruh kelompok dalam kehidupan individu anggotanya.

Kohesi kelompok adalah hubungan yang menggantungkan antar anggota dari suatu kelompok dan menghasilkan keinginan untuk tetap berada dalam kelompok. Kohesi kelompok yang tinggi ditandai dengan kemudahan dalam menetapkan tujuan, kemudahan dalam mencapai tujuan dan penerimaan yang lebih besar yang dipengaruhi oleh anggota kelompok (Jhonson dan Jhonson, 2012).

Kelompok sering diminta untuk melaksanakan berbagai aktivitas. Sebuah aktivitas penting yang sering diminta untuk dilakukan oleh kelompok, terutama aktivitas politik. Kelompok politik sering kali bertanggung jawab untuk membuat

(13)

diasumsikan membuat keputusan yang lebih baik daripada individu. Kelompok dapat mengumpulkan semua sumber daya terbaik yang dapat ditawarkan oleh anggota kelompok individual (Cottam dkk, 2012).

Kelompok memiliki pengaruh yang tinggi terhadap konformitas seseorang, hal ini ditunjukkan dalam eksperimen Asch yang menggambarkan kekuatan tekanan teman sebaya, dan eksperimen Milgram yang menggambarkan pengaruh wewenang. Keduanya memperlihatkan bagaimana mudahnya kita tunduk pada pikiran kelompok, semacam visi terowongan kolektif (Henslin, 2007).

Berdasarkan beberapa teori mengenai group effect, peneliti menyimpulkan bahwa group effect merupakan dorongan yang berasal dari kelompok yang melatarbelakangi motif seseorang dalam mengambil keputusan. Cara apa yang dipakai kelompok dalam mencapai tujuan bersama atau penghargaan akan menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Cara saling ketergantungan meliputi sumber-sumber, peran, dan tugas saling ketergantungan (yang bersamaan dan tidak berdiri sendiri satu sama lain (Johnson dan Johnson, 2012).

3. Aspek-aspek Group Effect

Aspek-aspek group effect berdasarkan teori dinamika kelompok (Johnson dan Johnson, 2012).

a. Perhatian

Berpikir secara mendasar akan efektif jika para anggotanya memberikan perhatian terhadap ide dari anggota lainnya. Perhatian dapat didefinisikan sebagai kemungkinan bahwa seseorang anggota kelompok akan menggunakan ide dari pembicara sebelumnya sebagai dasar untuk

(14)

mengembangkan ide-ide baru. Secara umum dapat disimpulkan bahwa semakin besar perhatian seseorang terhadap anggota kelompoknya, maka semakin baik pula hasil yang dicapai kelompok tersebut, dalam mencari ide. Hal ini semakin jelas karena anggota kelompok bersifat heterogen dengan pengetahuan dan pandangan yang berbeda-beda.

b. Keterikatan

Attachment adalah suatu hubungan yang kuat dari beberapa orang yang masing-masing melakukan suatu tindakan untuk melanjutkan hubungan mereka. Semakin kuat saling ketergantungan positif dan hasil entitatif, semakin kuat pula ciri kelompok, ciri sosial yang diperoleh dari keanggotaan kelompok, harga diri yang diperoleh dari keanggotaan kelompok, kualitas kelompok, pengaruh kelompok dalam setiap pandangan anggotanya, perbedaan dan kejelasan batas di dalam dan di luar kelompok, bias dalam kelompok, harga diri yang mudah diserang dalam kelompok (misalnya prasangka dalam kelompok dapat terlihat sebagai ancaman bagi harga diri seseorang), perasaan empati satu sama lain, menolong dan mendukung tindakan anggota yang menunjang.

c. Rasa Identifikasi

Sejajar dengan pembentukan struktur kelompok, timbul pada sikap perasaan anggotanya yang disebut sikap perasaan in-group. Sikap perasaan in-group berkaitan dengan seluk-beluk usaha dari orang-orang yang dipahami dan dialami oleh anggota pada interaksi di dalam kelompoknya.

(15)

terhadap kelompok. Anggota kelompok yang berpikir bahwa perannya tidak penting dalam kelompok akan menghambat kesuksesan kelompok, sementara itu seseorang yang menganggap kontribusinya unik akan meningkatkan usahanya. Ketika tujuan, tugas, sumber, dan peran saling ketergantungan dapat dimengerti dengan jelas, setiap individu menyadari bahwa kontribusi unik mereka diperlukan untuk kesuksesan kelompok. d. Pengalaman Pengambilan Keputusan

Diskusi kelompok cenderung menghasilkan keputusan yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh para anggotanya yang berpikir secara individu, dan diskusi kelompok menghasilkan pemikiran yang lebih mendalam dibandingan dengan pemikiran individu karena adanya diskusi yang memungkinkan munculnya ide-ide yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh para anggotanya. Dalam kelompok, pemecahan masalah yang buruk lebih mudah dikenali dan kemudian ditolak oleh anggota kelompok yang lain. Dalam kelompok, suatu potensi kesalahan dapat dikoreksi (karena biasanya lebih mudah untuk melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan diri sendiri). Kelompok mempunyai ingatan akan fakta dan kejadian yang lebih kuat daripada perorangan. Dalam pengambilan keputusan kelompok, sejumlah informasi dapat diketahui oleh seluruh anggotanya, akan tetapi ada beberapa informasi yang hanya diketahui oleh satu atau beberapa anggotanya saja. Ketika anggota kelompok saling membagi informasi dengan bebas, mereka cenderung menghasilkan keputusan yang lebih baik. Kualitas dari keputusan

(16)

kelompok tergantung pada informasi unik yang dimiliki anggota dan juga pada rangkuman informasi yang dimiliki semua anggota.

e. Referensi Kelompok

Kita diciptakan tidak untuk berdiri sendiri, tetapi untuk mempunyasi relasi yang baik dimana satu sama lain harus saling memperhatikan. Penilaian sosial individu terhadap orang lain meningkatkan atau menurunkan rasa suka terhadap sesama. Penilaian sosial semacam ini merupakan hasil dari proses penerimaan dan penolakan. Proses penerimaan didasarkan pada individu yang mendorong pencapaian tujuan sebagai hasil dari saling ketergantungan yang positif. Proses penolakan dihasilkan dari tidak adanya interaksi berdasarkan perspektif yang negatif atau tidak adanya saling ketergantungan.

f. Mobilisasi

Kontribusi memerlukan pengorbanan fisik, waktu, dan mental individu, maka anggota kelompok berhak bebas bergerak mendorong kontribusi dari orang lain. Kegagalan kita sendiri buruk, tetapi kegagalan orang lain seperti kegagalan kita lebih buruk. Berbagi tanggung jawab yang dihasilkan oleh saling ketergantungan sosial akan menambah istilah “harus” untuk memotivasi angota kelompok, satu orang melakukan satu tugas, memberikan kontribusi, dan memberikan kepuasan kepada temannya. Pertanggung jawaban kelompok muncul ketika kinerja kelompok dinilai dan hasilnya dikembalikan lagi ke semua anggotanya

(17)

individu muncul ketika prestasi setiap individu dinilai dan hasilnya dikembalikan lagi ke individu dan kelompok untuk dibandingkan dengan penilaian standar, dan anggota diberi tanggung jawab oleh anggota lainnya untuk berkontribusi demi kesuksesan kelompok.

C. Mahasiswa

1. Pengertian Mahasiswa

Secara umum mahasiswa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya selalu dalam ikatannya dengan perguruan tinggi (Sarwono, 1978). Perguruan tinggi didefinisikan sebagai lembaga pendidikan formal diatas sekolah lanjutan atas yang terutama memberikan pendidikan teori dari suatu ilmu pengetahuan disamping mengajaran suatu ketrampilan (skill) tertentu (Sarwono, 1978). Dengan demikian, batasan mahasiswa adalah “setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di suatu tempat pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi”.

2. Aktivis Mahasiswa

Tugas pokok mahasiswa adalah studi untuk mendapatkan keahlian dan keterampilan berdasarkan suatu atau sejumlah ilmu tertentu. Namun, sebagaimana golongan lain, mahasiswa tidak kehilangan haknya untuk berpolitik (Sanit, 1999). Sarwono (1978) mengungkapkan selain mengikuti pelajaran-pelajaran di perguruan tinggi, ada sebagian mahasiswa yang memanfaatkan pengetahuan dan kemudaannya untuk beraktivitas politik.

Mahasiswa adalah kelompok yang mempunyai kedudukan khusus dalam masyarakat. Kombinasi antara taraf pengetahuannya dan kemudaannya

(18)

menyebabkan mahasiswa menjadi kelompok yang peka, kritis dan karena itu mudah terdorong untuk berbuat sesuatu. Baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang telah terbukti bahwa kelompok mahasiswa seringkali merupakan kekuatan sosial yang mampu mendorong terjadinya perubahan sosial (Sarwono, 1978).

Mahasiswa yang „terjun‟ ke dunia politik umumnya bergabung dengan organisasi mahasiswa, dan melalui organisasi-organisasi inilah mereka menjalankan hak mereka untuk berpolitik dengan berpartisipasi pada berbagai kegiatan dalam rangka menciptakan perubahan sosial. Kegiatan-kegiatan yang demikian didefinisikan oleh Oskamp (1984) sebagai „aktivisme‟. Activism, any activities directed at accomplishing sosial change or attacking social problems. Aktivisme, kegiatan apapun yang ditujukan untuk mencapai perubahan sosial atau menangani masalah sosial.

Dalam penelitian ini aktivis mahasiswa akan didefinisikan sebagai mahasiswa yang berpartisipasi pada kegiatan kelompok dalam rangka menciptakan perubahan sosial atau menanggapi suatu masalah sosial, serta menjalankan hak mereka untuk berpolitik.

3. Tipe dan Karakteristik Mahasiswa

Sarwono (1978) dalam penelitiannya membagi mahasiswa kedalam tiga tipe mahasiswa dalam kerangka gerakan protes mahasiswa, yaitu non-aktivis, aktivis dan pemimpin. Penelitian tersebut berhasil menjelaskan karakteristik setiap tipe mahasiswa tersebut.

(19)

a. Tipe mahasiswa yang studi oriented. Perhatian utama mahasiswa tipe ini adalah keberhasilan studi. Mereka mempunyai kecemasan (anxiety) yang tinggi terhadap kegagalan studi dan waktu-waktunya disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, membaca buku wajib, dan mempersiapkan ujian. b. Tipe mahasiswa yang sering diistilahkan sebagai „anak kantin‟. Perhatian

utama mahasiswa tipe ini adalah kesenangan (fun). Waktu-waktunya lebih banyak dihabiskan untuk duduk-duduk dan berbincang-bincang, biasanya di kantin, mengenai hal-hal yang menyenangkan, seperti perkembangan musik, isu-isu selebritis, dan sebagainya. Bagi mereka studi adalah tugas yang harus dilewati dengan usaha (effort) seminimal mungkin.

c. Tipe mahasiswa yang sering diistilahkan „anak musholla‟. Mahasiswa tipe ini sangat concern dengan aktifitas-aktifitas kerohanian. Waktu-waktu selepas studinya banyak dihabiskan untuk mengurusi aktivitas-aktivitas kerohanian. Mereka biasanya mengadakan pertemuan-pertemuan di musholla atau mesjid. Dalam pandangann mahasiswa tipe ini, menjadi manusia baik yang tidak memisahkan antara kehidupan keseharian dan kebahagiaan ruhani adalah hal utama dalam hidup.

d. Tipe mahasiswa „aktivis‟. Mahasiswa tipe ini biasanya menghabiskan waktu dengan aktivitas-aktivitas kemahasiswaan. Mereka biasanya sangat sering duduk-duduk dan berbincang-bincang di ruang/kantor organisasi kemahasiswaan yang diikutinya. Pada tingkat elite/pemimpinnya, biasanya mempunyai wawasan yang cukup luas tentang perkembangan politik

(20)

kontemporer. Mereka biasanya lebih peka dan kritis terhadap perkembangan kejadian-kejadian politik dibanding mahasiswa lainnya.

4. Partisipasi Politik Aktivis Mahasiswa

Partisipasi politik dalam penelitian ini melingkupi mahasiswa. Berbagai teori yang memiliki lingkup lebih luas dipresentasikan ke dalam kehidupan politik mahasiswa. Hal ini seperti yang dilakukan dalam beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian ini akan melihat bagaimana kehidupan politik mahasiswa dalam bentuk partisipasi politik. Penelitian ini menggunakan teori-teori dalam lingkup yang luas yang kemudian dipresentasikan ke dalam lingkup yang lebih sempit, yaitu kehidupan mahasiswa.

Lipset (1968) berpendapat bahwa mahasiswa dapat diperhitungkan sebagai kelompok yang mempunyai kekuatan politik oleh karena “students as a stratum are more responsive to political trends, to change in mood, to opportunities for action, than almost any other group in the population”. Siswa sebagai strata yang lebih responsif terhadap tren politik, untuk mengubah keadaan, peluang untuk tindakan, dari hampir semua kelompok dalam populasi.

Sanit (1993) menjelaskan bahwa karakteristik mahasiswa merupakan faktor pendorong bagi meningkatnya peranan mereka dalam kehidupan politik angkatan muda.

a. Sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horizon yang luas di antara keseluruhan untuk lebih mampu bergerak diantara lapisan masyarakat.

(21)

b. Sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang di antara angkatan muda. Didampingi oleh sosialisasi politik yang diperoleh melalui berbagai organisasi mahasiswa, baik yang merupakan kelompok dari angkatan muda yang mempunyai pengetahuan sosial dan politik yang relatif lebih banyak. c. Kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan

mahasiswa. Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga sosial lainnya, maka universitas lebih kentara maknanya bagi pembentukan akulturasi sosial dan budaya dalam kalangan angkatan muda.

d. Mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestius di dalam masyarakat, dengan sendirinya merupakan elite di antara angkatan muda karena mahasiswa merupakan jumlah terkecil dari angkatan muda yang mempunyai latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikan yang lebih baik di antara angkatan muda. Dan adalah jelas bahwa mahasiswa pada umumnya mempunyai pandangan yang lebih luas dan jauh ke depan serta ketrampilan berorganisasi yang lebih baik di antara angkatan muda.

e. Meningkatnya kepemimpinan mahasiswa di kalangan angkatan muda tidak terlepas daripada perubahan kecenderungan orientasi universitas. Pemerintah membutuhkan bantuan universitas untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai daerah dan desa. Mahasiswa sebagai komponen

(22)

universitas memiliki kesempatan terbesar dalam memberikan perhatian kepada masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

E. Kerangka Pemikiran

Secara umum mahasiswa adalah suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya selalu dalam ikatannya dengan perguruan tinggi (Sarwono, 1978). Kelompok merupakan inti kehidupan dalam masyarakat. Dari kelompok kita memperoleh orientasi kita ke dunia. Para ahli sosiologi menggunakan banyak definisi untuk kelompok, tetapi pada umumnya kelompok didefinisikan sebagai orang-orang yang memiliki persamaan tertentu dan percaya bahwa persamaan di antara mereka bersifat signifikan (Henslin, 2007).

Budiardjo (1998) mendefinisikan partisipasi politik sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jelas memilih pemimpin negara, dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). latar belakang terjadinya suatu partisipasi politik mahasiswa adalah hal-hal yang termasuk dalam bentuk-bentuk partisipasi politik, seperti yang diungkapkan oleh Dalton (2009) yaitu voting, campaign activity, communal activity, contacting on personal on personal matters, dan protest.

Kelompok sering diminta untuk melaksanakan berbagai aktivitas. Kelompok-kelompok sering diasumsikan membuat keputusan yang lebih baik daripada individu. Kelompok dapat mengumpulkan semua sumber daya terbaik yang dapat ditawarkan oleh anggota kelompok individual (Cottam dkk, 2012).

(23)

Segala kegiatan yang dilakukan mahasiswa di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat merupakan bentuk partisipasi politik, yang ada di lingkup kampus. Dan mahasiswa tersebut tergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Pada Universitas Mercu Buana Jakarta Barat, seluruh mahasiswa-mahasiswinya menghimpun diri dalam organisasi kemahasiswaan, yang ada di tiap fakultas dan jurusan. Kehidupan mahasiswa di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat memiliki unsur-unsur bentuk partisipasi politik dan hal ini terlihat jelas, khususnya pada kegiatan kelembagaan mahasiswa. Kegiatan seperti PEMILU (Pemilihan Umum), kampanye, komunal (seperti aktif untuk terlibat dengan lembaga di luar kampus), rapat, serta aksi protes, merupakan hal-hal yang sangat terlihat jelas dalam kehidupan organisasi mahasiswa yang terhimpun dalam suatu kelompok kelembagaan mahasiswa. Terkait dengan pembahasan tersebut peneliti ingin melihat bagaimana kelompok-kelompok mahasiswa yang ada di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat, memiliki dan memberikan pengaruh terhadap anggota-anggotanya dan pengaruh tersebut dapat mempengaruhi partisipasi politik mahasiswa di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat.

Hal ini yang kemudian menjadikan mahasiswa Universitas Mercu Buana Jakarta Barat memiliki karakteristik kehidupan kelompok yang menarik dengan berbagai fenomena yang melingkupinya.

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran

Partisipasi Politik Mahasiswa di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat Group Effect

(24)

F. Hipotesis

Hipotesis dari simpulan diatas yaitu adanya hubungan yang signifikan antara group effect dengan partisipasi politik mahasiswa di Universitas Mercu Buana Jakarta Barat.

Referensi

Dokumen terkait