• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan Raudal Tanjung Banua dalam arena sastra nasional ditandai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pergerakan Raudal Tanjung Banua dalam arena sastra nasional ditandai"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pergerakan Raudal Tanjung Banua dalam arena sastra nasional ditandai dengan mendirikannya Komunitas Rumah Lebah Yogyakarta pada tahun 1998, yaitu ketika kondisi sosial-politik Indonesia sedang caos. Hal tersebut sekaligus menandai pergerakan fenomena sastra pasca-Orde Baru. Maka dari sini pulalah karir sastra Raudal Tanjung Banua mulai merambah ke kancah nasional.

Sebelum berganti menjadi komunitas Rumah Lebah, komunitas ini bernama Lidi, yaitu komunitas yang lahir sebagai wadah pergerakan di Institut Seni Indonesia yang tergabung dalam Solideritas Mahasiswa Untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR), salah satu wadah perkumpulan serikat mahasiswa dari pelbagai kampus di Yogyakarta. Komunitas Lidi berdiri bersamaan dengan munculnya aksi-aksi pergerakan mahasiswa dalam menentang rezim Orde Baru pada tahun 1997, yaitu ketika masa moneter dan kondisi sosial politik Indonesia berada dalam situasi yang buruk.

SMKR bermarkas di gang Rode, Pakualaman. Di tengah perjalanannya, beberapa anggota Lidi memilih keluar, karena alasan yang sifatnya ideologis: Seni untuk Seni. Bagi sekelompok golongan, seni tidak dipakai untuk gerakan sosial. Maka seni senantiasa dikembalikan kepada seni itu sendiri. Perbedaan ideologis inilah yang membuat sebagian anggota Lidi memilih pisah. Beberapa nama anggota Lidi yang masih aktif saat itu adalah Raudal Tanjung Banua, Iwan RS, si Teng, Alferd, Herman, dan Mahendra. Maka sebagai pembeda bagi mahasiswa yang berideologi seni untuk seni, beberapa anggota Lidi membuat

(2)

2 Serikat Mahasiswa di kampus ISI, mengikuti beberapa kampus-kampus lain di Yogyakarta. Hal ini dilakukan sebagai bentuk sikap politis terhadap sebagian mahasiswa yang memilih aman dan pro terhadap Orde Baru.

Di setiap aksi demo, Komunitas Lidi kerap kali melakukan happening art atau performing art sebagai bentuk protes menentang rezim Orde Baru. Maka dari sinilah kemudian embrio komunitas Rumah Lebah lahir. Arena kekuasaan rezim Orde Baru lah yang membentuk semangat resistensi tersebut. Ini sejalan apa yang dikatakan Bourdieu, bagaimanapun habitus merupakan sesuatu yang mendasari, dan beroperasi dalam arena yang diartikan Bourdieu dan Wacquant (1996: 97) sebagai suatu jaringan, atau suatu konfigurasi dari relasi objektif antara berbagai posisi. Posisi ini secara objektif didefinisikan, dalam keberadaannya dan dalam determinasi-determinasi yang dipaksakannya kepada mereka yang menempatinya, agen atau institusi, oleh situasi aktual dan situasi potensial (situs) dalam struktur pembagian kekuasaan (atau modal) yang di dalamnya kepemilikan atas kekuasaan itu membuka akses ke dalam suatu keuntungan yang jadi taruhan di dalam arena. Dalam ilmu budaya ada dua arena yang saling beririsan, yakni arena kekuasaan dan arena sastra. Arena kekuasaan adalah ruang hubungan dari kekuatan antara agen atau antara lembaga umum yang memiliki modal yang diperlukan untuk menempati posisi dominan dalam berbagai bidang (terutama ekonomi atau budaya) (Bourdieu, 1995: 216).

Selanjutnya Bourdieu (219: 2013) mengatakan bahwa ciri posisi-posisi yang ditempati para intelektual dan seniman di arena kekuasaan bisa dikhususkan menjadi fungsi posisi-posisi yang mereka tempati di dalam arena sastra atau seni. Dengan kata lain, posisi arena sastra di dalam arena kekuasaan memengaruhi segala sesuatu yang terjadi pada arena kekuasaan. Untuk

(3)

3 memahami apa yang dikatakan atau yang dilakukan seniman dan penulis, kita harus memahami keanggotaan mereka di dalam semesta yang terdominasi dan besar-kecilnya jarak semesta ini dari kelas dominan, yaitu jarak keseluruhan yang berbeda-beda sesuai dengan ragam periode dan masyarakat, dan juga sesuai dengan ragam posisi dalam arena sastra.

Rumah Lebah beralamat di Gg. India No. 03 RT 05 RW 10 Dusun

Miri-Sawit, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Pada awal

kemunculannya, komunitas Rumah Lebah bergerak di bidang pertunjukan teater dan performing art. Di akhir tahun 1999, Rumah Lebah mengadakan pementasan pertamakali, berjudul ―Cinta Dalam Kardus‖ yang ditulis sekaligus disutradarai oleh Marhalim Zaini, dan ―Senja dengan Dua Kelelawar‖ karya Kirjomulyo disutradrai oleh Iwan RS.

Masa produktif Rumah Lebah berkisar antara tahun 1999-2000, yang diantaranya mementaskan lakon ―Penangkaran Buaya‖ yang ditulis dan disutradarai oleh Raudal Tanjung Banua sendiri. Lakon ―Penangkaran Buaya‖ dipentaskan di empat kota, diantaranya adalah Denpasar, Negare, Malang, dan Yogyakarta. Selain mementaskan beberapa lakon teater, Rumah Lebah melakukan berbagai kegiatan kebudayaan seperti diskusi sastra, dan juga mewadahi beberapa penulis yang bukunya dilouncing di Yogyakarta. Salah satu di antaranya kumpulan cerpen pertama Triyanto Triwikromo dengan judul ―Pintu Tertutup Salju‖ di Kedai Kebun (2000).

Masa produktif komunitas Rumah Lebah mulai mengendur ketika menginjak tahun 2000-an, karena beberapa anggotanya keluar. Ada banyak hal kenapa beberapa anggotanya memilih keluar dari Komunitas Rumah Lebah. Ada yang karena didropout (DO) dari kampus, ada yang sudah menyelesaikan

(4)

4 studynya, ada yang memilih terlibat di komunitas lain dengan alasan pada masa ini komunitas Rumah Lebah dipandang sudah tidak produktif lagi, dan atau ada alasan ideologis yang melatarbelakangi setiap anggotanya. Sehingga Raudal Tanjung Banua memutuskan Rumah Lebah menjadi komunitas terbuka.

Ketika rezim Orde Baru, kontrol kebudayaan baik film, sastra, seni rupa, teater berada dalam kontrol pemerintah. Pasca reformasi kontrol tersebut beralih pada komunitas-komunitas dan kelompok-kelompok raksasa yang

mempunyai kepemilikan modal1 yang mumpuni baik modal ekonomi, modal

sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Maka yang terjadi adalah pasar bebas. Semua dijual sebagai produk industri. Salah satu yang terkena dampaknya adalah sastra. Kuasa modal di sini berperan untuk menduduki posisi penting di dalam arena sastra Indonesia, sehingga para seniman/sastrawan keluar-masuk untuk mencari komunitas yang dianggap layak dan dapat membesarkan nama-nama mereka di panggung sastra nasional.

Gejala tersebut tumbuh berkembang di dalam arena sastra Indonesia. Silaturahmi sastra adalah bagian dari pertukaran modal para sastrawan muda terhadap sastrawan senior supaya mendapat legitimasi sebagai aktivis sastra/sastrawan muda. Selain keluar-masuk komunitas, gejala yang tumbuh berkembang saat ini adalah lahirnya komunitas-komunitas baru yang tumbuh berkembang di berbagai daerah, utamanya di Yogyakarta. Selain komunitas yang tumbuh berkembang, juga menjamurnya penerbit indie, dan sebagian melahirkan kerjasama berbentuk jurnal atau majalah sastra. Hal tersebut juga menandai lahirnya generasi baru, yaitu generasi pasca Orde Baru.

1

Kata modal dapat dikembangkan menjadi modalitas, yaitu modal yang tidak berbentuk uang. Menurut Bourdieu dalam wawancaranya dengan Cheelan Mahar (2009: 46), modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Dalam ranah inteletual Anda harus memiliki sebuah modal istimewa dan spesifik yaitu otoritas, prestise, dan sebagainya. Ini semua adalah hal-hal yang tidak dapat Anda beli, tapi seringkali dianugerahkan oleh modal ekonomi dalam ranah-ranah tertentu.

(5)

5 Pada tahun 2001, Rumah Lebah yang diketuai oleh Raudal Tanjung Banua tinggal menyisakan empat anggota, yaitu Raudal Tanjung Banua, Marhalim Zaini, Nur Wahida Idris, dan Eka Fadila. Lalu pada tahun pertengahan 2002, Marhalim Zaini lulus study di ISI dan membikin komunitas sendiri bernama Batu Kuala di Riau. Di tahun ini komunitas Rumah Lebah fakum, mandek, dan yang tersisa tinggal Raudal Tanjung Banua dan istrinya, Nur Wahida Idris.

Beberapa agen Rumah Lebah keluar mencari ladang baru sebagai tempatnya berproses. Di tahun-tahun inilah Rumah Lebah mengalami fakum yang panjang. Bisa dibilang secara struktur organisasi, Rumah Lebah sudah tidak ada. Namun Raudal Tanjung Banua tetap menjaga Rumah Lebah sebagai rumahnya berproses, sebab menurutnya di situlah ia lahir dan awal memulai geliat berkeseniannya di Yogyakarta.

Ketika Rumah Lebah menjadi komunitas terbuka pada tahun 2002, maka Rumah Lebah menjadi tempat singgah dan pergi para sastrawan muda kapanpun mereka mau. Tak ada kartu anggota, tak ada AD/ART. Sebab pada pasca-reformasi ini sastra menjadi arena terbuka. Kehidupan pers yang terkesan serba bebas-serba boleh ikut mendorong terjadinya perkembangan tersebut. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Hal ini dikarenakan perubahan sosial-politik pada dekade ini mempengaruhi peta arena kekuasaan sehingga memberikan pengaruh signifikan dalam perkembangan

pandangan hidup, termasuk seni/sastra di Indonesia. Karena pada

perkembangannya peta sastra Indonesia cenderung lebih cair dan tidak terkontrol oleh pihak pemerintah.

(6)

6 Peta perubahan ini didominasi oleh pihak-pihak swasta yang mempunyai modal ekonomi dan politik strategis dengan pemerintah maupun dengan funding-funding luar negeri yang semakin tidak terkontrol. Maka perubahan arena kekuasaan menjadi landasan penting bagi pertumbuhan para sastrawan dan seniman dalam mencari legitimasi kesenimanannya.

Maka apa yang dikatakan Bourdieu (104: 2014), bahwa habitus memberikan strategi bagi individu untuk mengatasi pelbagai situasi yang berubah-ubah dan tidak terduga. Lewat pengalaman-pengalaman masa lalu, habitus berfungsi sebagai matrik persepsi, apresiasi, dan tindakan. Dari sini Bourdieu ingin mengatakan bahwa sebuah tindakan tidak melulu dipengaruhi oleh kesadaran dan ketaatan terhadap aturan. Sisa-sisa masa lalu juga berperan membentuk tindakan-tindaan individu maupun kelompok.

Perubahan posisi ini memberi arah baru bagi Raudal Tanjung Banua dalam arena sastra. Bahwa adanya kecenderungan para sastrawan muda untuk mendapatkan modal budaya dengan cara mendatangi komunitas-komunitas dan sastrawan. Mencari legitimasi ke tokoh-tokoh yang dinggap membawa dampak di lingkup arena sastra.

Di tahun 2009, Raudal Tanjung Banua menerbitkan Jurnal Rumah Lebah (Ruang Puisi #1) untuk pertama kalinya. Penerbitan jurnal ini oleh Raudal dimaksudkan untuk mengukuhkan eksistensi Rumah Lebah di kancah arena sastra nasional. Jurnal ini menjadi modal simbolis, budaya, sekaligus modal sosial. Menurut Bourdieu, modal budaya meliputi ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial ialah

(7)

7 hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolis mengacu pada salah satu akibat dari kekuasaan simbolis yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. (Haryatmoko, 2003: 12).

Jurnal Rumah Lebah ini dikelola atas dukungan dari beberapa sastrawan senior yang sekaligus menjadi dewan redaksi, di antaranya adalah Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, Faishal Kamandobat, Nur Wahida Idris, dan Raudal sendiri. Bahwa yang lebih penting komunitas Rumah Lebah kini berada dalam bayangan nama Umbu Landu Paranggi, selaku dewan redaksi di Jurnal Rumah Lebah.

Umbu Landu Paranggi adalah salah satu guru Raudal Tanjung Banua ketika berkomunitas di Sanggar Minum Kopi, Bali. Maka dengan sendirinya Paranggi mensubsidi modal budaya sekaligus modal simbolis terhadap Jurnal Rumah Lebah. Hal ini merupakan bagian dari strategi investasi simbolis yang oleh Bourdieu dikatakan bahwa jenis strategi ini merupakan upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apresiasi yang paling cocok dengan properti mereka dan menghasikan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing (Fashri, 2014: 115).

Membicarakan Paranggi, tidak lepas dari komunitas Persada Studi Klub (PSK) yang produktif di tahun 1969 sampai 1977. Komunitas yang berumur delapan tahun ini telah melahirkan sastrawan-sastrawan besar dan karya-karyanya sudah berkali-kali mengalami cetak ulang. Sebut saja MH. Ainun

(8)

8 Najib, Linus Suryadi AG, Iman Budi Santoso, Korry Layun Rampan, dan masih banyak lagi (Anwar, 2015:1).

Pada tahun 2002, Raudal Tanjung Banua bersama Joni Ariadinata mendirikan Jurnal Cerpen Indonesia untuk pertama kalianya. Selain Jurnal Cerpen Indonesia (JCI), Raudal dan Joni juga mendirikan penerbitan AKAR Indonesia. Jurnal Cerpen Indonesia edisi pertama hingga edisi ketiga diterbitkan atas kerjasama AKAR Indonesia dengan Bentang Budaya. Kemudian edisi empat sampai edisi enam diterbitkan atas kerjasama AKAR Indonesia dengan Logung Pustaka dan edisi tujuh sampai duabelas diterbitkan oleh AKAR Indonesia seutuhnya. Menariknya para penulis dan redatur yang berkontribusi dalam Jurnal Cerpen tersebut tidak dibayar. Melalui modal sosial dan budaya Raudal dan Joni, Jurnal Cerpen Indonesia dihidupi oleh sastrawan-sastrawan di Indonesia sehingga terjadi subsidi silang Raudal Tanjung Banua dan Joni Ariadinata dengan para sastrawan tersebut.

Dari uraian tersebut, dapat dilihat bahwa Raudal Tanjung Banua mendirikan Rumah Lebah, AKAR Indonesia, Jurnal Cerpen Indonesia sebagai bagian dari strategi untuk meraih modal simbolis. Pertukaran modal dan subsidi silang modal para sastrawan muda pasca Orde Baru sangat menarik untuk diteliti. Pertama, Raudal Tanjung Banua adalah seorang sastrawan yang berkembang pasca Orde Baru. Kedua, Raudal Tanjung Banua menjadi bagian dari fenomena para sastrawan muda untuk memperoleh legitimasi dalam arena sastra Indonesia pasca Orde Baru.

Dengan mengamati fenomena di atas, maka penelitian ini memfokuskan kajiannya pada perjalanan Raudal Tanjung Banua di dalam arena sastra Indonesia. Penelitian ini mengkaji lebih dalam mengenai persoalan-persoalan

(9)

9 yang melingkupi wilayah arena sastra Indonesia berikut dengan berbagai strategi, trajektori, dan modalitas yang dilakukan Raudal Tanjung Banua untuk memperoleh modal simbolik dalam arena sastra Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dipaparkan di atas maka terdapat sejumlah permasalahan sebagai berikut.

(1) Bagaimana arena kekuasaan dan arena sastra Indonesia Pasca-Orde Baru yang melatarbelakangi pergerakan Raudal Tanjung Banua?

(2) Bagaimana dalam trajektorinya Raudal Tanjung Banua mengelola modalitasnya?

1.3 Landasan Teori

Untuk menjawab rumusan masalah dan mencapai tujuan yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra Pierre Bourdieu. Menurut Bourdieu (2009: 1) karyanya bisa dipandang bertujuan untuk mengatasi oposisi antara dua konsepsi pengetahuan ilmiah ini, dan mengubahnya menjadi sebuah hubungan dialektis antara struktur dan agensi.

Pendekatan sosiologi sastra Pierre Bourdieu di sini secara khusus mengacu pada pemikirannya mengenai arena produksi Kultural. Teori arena produksi kultural setidaknya menyotroti:

1. Teori ini tidak hanya menyoroti karya-karya yang relasinya bisa dilihat dalam ruang kemungkinan yang tersedia dan di dalam perkembangan historis ruang-ruang kemungkinan yang tersedia dan di dalam perkembangan historis ruang ruang kemungkinan tersebut,

(10)

10 tetapi juga menelisik para produsen karya berdasarkan strategi dan lintasan, habitus individu dan kelas serta posisi objektif mereka di dalam arena.

2. Teori ini mencakup analisis tentang struktur arena itu sendiri yakni posisi-posisi yang ditempati para produsen (seperti penulis-seniman) dan konsekrasi legitimasi yang membuat produk kultural sebagai produk kultural (publik, penerbit, kritikus, galeri, akademi dan sebagainya).

Teori ini mencakup analisis tentang posisi arena di dalam arena kekuasaan yang lebih luas. Singkatnya, teori arena produksi kultural meliputi analisis kondisi-kondisi sosial produksi, sirkulasi, dan konsumsi barang-barang simbolis.

Sosiologi sastra Bourdieu lahir dari penelitiannya terhadap dunia seni di Perancis pada pertengahan abad ke-19. Pada saat itu, dunia seni Perancis tengah tunduk pada kekuasaan agama dan ekonomi. Karya-karya seni mendapatkan apresiasi yang baik apabila mampu mencapai keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya dan tidak melanggar batas moral sesuai yang digariskan agama. Akibatnya, para seniman, termasuk sastrawan di dalamnya, diposisikan setara dengan tukang yang menciptakan barang sesuai keinginan pemesan. Seniman tunduk pada kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh para pemesan sehingga daya kreatif dan imajinatif mereka menjadi mandeg. Kemudian lahirlah tuntutan otonomi kebebasan bagi para seniman untuk menentukan bentuk-bentuk dan subjek seninya sendiri. Tuntutan tersebut merupakan awal dari proses otonomisasi yang panjang antara arena seni terhadap arena kekuasaan, baik politik maupun agama (Martini, 2003: 42—43).

(11)

11 Akan tetapi, dalam perkembangannya otonomisasi seni justru menunjukkan tingkat terdominasinya arena tersebut dalam arena kekuasaan ekonomi. Otonomisasi seni atau sastra hadir justru dicurigai sebagai strategi untuk menunda keuntungan ekonomi yang akan diraihnya. Otonomisasi arena sastra sekadar menjadi strategi untuk mencapai keuntungan dengan menolak keuntungan, dan mengubah keuntungan dari massa ke dalam masa. Artinya, keuntungan yang massif secara instan dihindari untuk mendapatkan keuntungan yang lebih langgeng. Dari itulah Bourdieu kemudian mulai menganalisis arena sastra untuk mengetahui bagaimana nilai suatu produk sastra diciptakan di dalam arena yang terdominasi kekuasaan.

Pemikiran mengenai arena produksi kultural muncul dalam serangkaian seminar yang dilaksanakan di École Nomale Supériure dan kemudian di Ecole Pratique des Hautes Études kira-kira tahun 1960-an. Sebagian kerja Bourdieu sebelum itu menggunakan pendekatan strukturalisme dalam studi etnografisnya tentang komunitas-komunitas petani di Aljazair. Melalui studi inilah Bourdieu menemukan keterbatasan strukturalisme dan mulai mengembangkan teori dan metodeloginya sendiri untuk mengatasi sejumlah dikotomi (individu dengan masyarakat, kebebasan dengan tanggung jawab dan sebagainya) yang menurutnya menghalangi perkembangan pendekatan ilmiah terhadap praktik sehari-hari yang dilakukan oleh manusia, entah di antara komunikasi praktis maupun produksi dan konsumsi budaya secara keseluruhan. Bourdieu memasukkan kategori-kategori tersebut ke dalam kategori dikotomi besar, yakni objektivisme dan subjektivisme.

Bagi Bourdieu (1990: 135) subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang membentuk kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan

(12)

12 sebaliknya, gagal mengenali realitas sosial di tataran tertentu yang dibentuk oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu-ondividu terhadap dunia sosial. Kelemahan dua pendekatan tersebut merambah juga dalam ilmu sastra, yakni pada analisis internal dan eksternal. Bourdieu mengkritik dua analisis tersebut seperti halnya ia mengkritik objektivisme dan subjektivisme.

Analisis internal dianggapnya lemah karena dalam kajiannya (1) menghilangkan keberadaan agen sosial sebagai produsen, (2) mengabaikan hubungan-hubungan sosial yang objektif tempat praktik sastra muncul, dan (3) menghindari pertanyaan krusial mengenai apa yang membentuk nilai sebuah karya sastra. Analisis internal yang dikritik Bourdieu meliputi teori-teori strukturalisme dan formalisme. Sementara itu, analisis eksternal memiliki sejumlah kelemahan karena memiliki sifat determinisme mekanistik yang tajam

sepeti terlihat dari sosiologi sastra Lucien Goldmann.2

Teori arena produksi kultural merupakan kelanjutan pemikiran Bordieu yang memfokuskan diri pada teori praktik sosial. Bourdieu melihat bahwa seluruh kehidupan sosial pada dasarnya bersifat praktik. Menurut Bourdieu, setiap masyarakat, setiap kebudayaan, dan setiap kelompok manusia yang mengakui diri sebagai satu kolektivitas memiliki teori tentang dunia tempat mereka di dalamnya.

Meskipun demikian, poin yang harus diperhatikan adalah bahwa mereka dikonstruksi dari dalam, melalui bagian dari kesibukan sehari-hari. Mereka tidak hanya memenuhi fungsi teoretis atau fungsional, mereka juga bicara tentang bagaimana melakukan dan tentang bagaimana mengetahui.

2 Kelemahan kedua analisis tersebut dapat dibaca pada ―Pengantar Pierre Bourdieu tentang Seni,

Sastra, dan Budaya‖ oleh Raudal Johnson yang menjadi kata pengantar buku Arena Produksi Kultural: Sebuah kajian Sosiologi Budaya (2010).

(13)

13 Menurut Bourdieu, hanya ketika orang melakukan sesuatu, orang mungkin mengetahui sesuatu itu. Hal yang kemudian ingin diketahui oleh Bourdieu adalah apakah yang memproduksi perilaku? Dalam kerangka ini Bourdieu setidaknya menggambarkan dua hal yang terkait dengan praktik sosial. Pertama, praktik berada dalam ruang dan waktu. Praktik sebagai salah satu fenomena sosial tidak dapat dipahami di luar konteks ruang dan waktu.

Kedua, praktik tidak secara sadar atau tidak sepenuhuhnya secara sadar dia diatur dan digerakkan. Tidak ada yang sepenuhnya acak dan kebetulan. Dalam hal ini, Bourdieu mencoba untuk mengetahui nalar praktik/logika praktik itu sendiri. Salah satu metafora yang digunakan Bourdieu adalah ―perasaan seperti dalam permainan‖ Penguasaan Praktik logika atau keharusan yang ada dalam permainan-suatu penguasaan yang didapatkan dengan pengalaman bermain, dan orang yang bekerja di luar kontrol dan wacana sadar (sebagaimana yang dilakukan oleh teknik tubuh (Bourdieu dalam Jankins, 2010: 99).

Aspek lain yang dari logika nalar praktik adalah improvisasi. Dalam hal ini, improvisasi merupakan eksploitasi masa jeda, interval, dan ketidakpastian, meskipun secara objektif waktu tidak dapat diputar, ditunda atau sebaliknya, perubahan keputusan bisa saja diambil dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, kondisi sosial-lah yang menentukan improviasi yang dilakukan sehingga improviasi bukanlah pilihan.

Dalam perkembangannya, Bourdieu menggagas sejumlah konsep untuk digunakan dalam mengkaji karya sastra. Konsep utama yang diciptakan adalah habitus yang didefinisikan Bourdieu (1990b: 53) sebagai sistem disposisi yang berlangsung lama, dapat berubah-ubah, struktur yang disusun untuk memengaruhi sebagai penyusun struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang

(14)

14 menghasilkan dan mengatur praktik serta gambaran-gambaran yang dapat disesuaikan secara objektif untuk mendapatkan hasil tanpa mensyaratkan kesadaran akan tujuan akhir atau penguasaan khusus atas operasi-operasi yang mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Apa yang dimaksud dengan disposisi adalah sikap, kecenderungan

dalam mempersepsi, merasakan, melakukan, dan berpikir, yang

diinternalisasikan oleh individu berkat kondisi objektif eksistensi seseorang. Disposisi berfungsi sebagai prinsip tak sadar tindakan, persepsi, dan refleksi. Jadi, disposisi yang telah diperoleh akan mengondisikan perolehan lebih jauh disposisi-disposisi baru (Haryatmoko, 2003:11). Dari definisi yang telah diberikan oleh Bourdieu, Harker (2009: 13—16) memberikan habitus kepada sejumlah hal yang mengacu kepada (1) sekumpulan disposisi yang tercipta dan tereformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal, (2) sesuatu yang bekerja pada tingkat bawah sadar, (3) pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia itu. Secara singkat, tesis sentral yang ingin ditekankan habitus adalah konstruksi pengantara, bukan konstruksi pendeterminasi. Dengan demikian, habitus menjadi sumber penggerak tindakan pemikiran dan representasi (Haryatmoko, 2003: 10).

Representasi agen-agen bervariasi menurut posisi mereka (dan kepentingan yang terkait dengan posisi itu), dan menurut habitus mereka– habitus sebagai sistem skema persepsi dan apresiasi terhadap praktik-praktik, struktur-struktur kognitif dan evaluatif yang mereka peroleh lewat pengalaman berada pada sebuah posisi sosial yang berlangsung lama. Habitus adalah sistem skema produksi praktik sekaligus sistem skema persepsi dan apresiasi atas

(15)

15 praktik. Di kedua dimensi ini, cara kerja habitus memperlihatkan posisi sosial di mana dia dibangun. Konsekuensinya, habitus memproduksi praktik dan representasi yang dapat diklasifikasi, yang dapat dipilah-pilah secara objektif. Selain itu, praktek dan representasi itu hanya dapat dikenali sebagai demikian oleh agen-agen yang menguasai kode, yakni skema klasifikatif yang diperlukan untuk memahami makna sosialnya (Bourdieu, 2011: 174).

Selanjutnya Bourdieu (2012: 5) mengatakan ruang pengambilan-posisi sastra atau seni—yaitu serangkaian manifestasi terstruktur agen-agen sosial yang terlibat di dalam arena sastra atau seni (selain di sini ada karya-karya sastra atau seni, ada juga tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan politik, manifesto-manifesto atau polemik-polemik dan seterusnya)—tidak bisa dipisahkan dari ruang posisi sastra atau seni yang ditentukan oleh kepemilikan modal spesifik (pengakuan) dalam jumlah tertentu sekaligus oleh pendudukan posisi yang sudah kokoh di dalam struktur distribusi modal spesifik.

Jenkins (2010: 107--108) memberikan pemaknaan yang lain terhadap habitus, yaitu (1) nalar sepele yang hanya ada selama ia ada ‗di dalam kepala‘ agen. (2) Habitus hanya ada di dalam, melalui, dan disebabkan oleh praksis agen dan interaksi antara mereka dan dengan lingkungannya, seperti cara berbicara, cara bergerak, cara membuat sesuatu, dan lain-lain. Dalam hal ini, habitus bukan hanya termanifestasi dalam perilaku melainkan juga merupakan suatu bagian integral darinya. (3) ‗Taksonomi praktis‘ yang ada pada inti skema generatif habitus berakar dari dalam tubuh sehingga segala hal yang ditangkap panca indra seorang agen akan diwujudkan dalam bentuk simbol seperti laki-laki/perempuan depan/belakang, atas/bawah dan lain-lain.

(16)

16 Bagaimanapun habitus merupakan sesuatu yang mendasari, dan beroperasi dalam arena yang diartikan Bourdieu dan Wacquant (1996: 97) sebagai suatu jaringan, atau suatu konfigurasi dari relasi objektif antara berbagai posisi. Posisi ini secara objektif didefinisikan, dalam keberadaannya dan dalam

determinasi-determinasi yang dipaksakannya kepada mereka yang

menempatinya, agen atau institusi, oleh situasi aktual dan situasi potensial (situs) dalam struktur pembagian kekuasaan (atau modal) yang di dalamnya kepemilikan atas kekuasaan itu membuka akses ke dalam suatu keuntungan yang jadi taruhan di dalam arena.

Dalam ilmu budaya ada dua arena yang saling beririsan, yakni arena kekuasaan dan arena sastra. Arena kekuasaan adalah ruang hubungan dari kekuatan antara agen atau antara lembaga umum yang memiliki modal yang diperlukan untuk menempati posisi dominan dalam berbagai bidang (terutama ekonomi atau budaya) (Bourdieu, 1995: 216). Dalam arena kekuasaan, arena produksi budaya, termasuk arena sastra, menempati posisi terdominasi. Dengan jelas, Bourdieu (1990a: 145) menyatakan bahwa ini adalah fakta umum yang tidak dapat dibantah dengan teori umum tentang seni dan kesusastraan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seniman dan penulis, dan secara umum intelektual, adalah fraksi terdominasi dari kelas dominan.

Dalam penelitian ini dominasi arena kekuasaan diungkap dengan cara menghubungkannya dengan arena sastra. Arena sastra didefinisikan sebagai arena kekuatan sekaligus arena pergulatan yang bertujuan mentransformasikan atau mempertahankan relasi kekuatan yang sudah ada, tempat sejumlah agen melibatkan kekuatan modalnya yang dia peroleh dari pergualatan sebelumnya lewat strategi-strategi yang orientasinya bergantung pada posisi masing-masing

(17)

17 dengan modal spesifiknya (Bourdieu, 1990a: 143 dan 2010: 4--5). Arena sastra juga berarti sebuah semesta sosial independen yang memiliki hukum-hukumnya sendiri terkait dengan keberfungsian anggota-anggotanya, hubungan-hubungan kekuasaannya yang spesifik, dan yang mendominasi dan yang didominasi (Bourdieu, 2010: 214).

Menurut Bourdieu (2010: 19—20) arena sastra sepanjang waktu adalah pergulatan antara dua prinsip hierarkis di atas, antara prinsip heteronom yang didukung oleh mereka yang mendominasi arena secara ekonomis dan politis (seperti seni borjuis) dengan prinsip otonom yang di dalamnya para pendukungnya yang dianugerahi modal spesifik cenderung mengidentifikasi diri dengan tingkat independensi dari ekonomi. Mereka melihat kegagalan temporal sebagai tanda keterpilihan dan sebaliknya memandang kesuksesan sebagai tanda kompromi.

Tingkat otonomi ini bergantung pada nilai yang direpresentasikan oleh modal spesifik penulis kepada fraksi-fraksi dominan dalam pergulatannya memelihara tatanan yang sudah mapan, dan yang lebih khusus lagi, dalam pergulatan di antara fraksi-fraksi yang ingin mendominasi arena kekuasaan, dan di sisi lain, dalam produksi dan reproduksi modal ekonomi (dengan bantuan para ahli dan kader-kadernya). Pihak yang menganut prinsip hierarki otonom kemudian berada di kutub otonom, sementara di sisi lain ada kutub heteronom yang memegang prinsip heteronom.

Pergulatan dua prinsip hierarkisasi atau dua kutub tersebut muncul dalam perebutan definisi mengenai sebutan penulis. Siapakah seseorang yang disebut sebagai penulis? Apakah ia yang mampu menulis sebuah karya yang laku di pasaran, tetapi tanpa puja-puji dari para ahli sastra? Atau, ia yang mampu

(18)

18 menulis sesuai selera atau nilai-nilai estetis dalam pandangan ahli sastra sehingga mendapatkan banyak penghargaan dari sisi kualitas? Dengan demikian, menurut Bourdieu (2010: 22) taruhan utama dalam pergulatan sastra adalah monopoli legitimasi sastra, yaitu, di antaranya, monopoli kekuasaan untuk mengatakan berdasarkan otoritas siapa yang berhak menyebut dirinya sebagai penulis. Atau dengan kata lain, soal monopoli atas semua kekuasaan untuk mengkonsekrasi produsen atau produknya dengan cara memberi kata pengantar, dengan melakukan studi, memberi penghargaan, dan sebagainya. Dalam hal ini kemudian terjadi pengalihan sebagian modal dari seorang pengarang terkenal kepada pengarang muda dan belum terkenal dengan memberinya review atau kata pengantar positif.3

Ketika definisi tentang penulis menjadi isu yang dipertaruhkan di dalam pergulatan setiap arena sastra, arena produksi kultural menjadi tempat-tempat bagi pergulatan-pergulatan ketika yang dipertaruhkan adalah kekuasaan untuk mengimposisi/memaksakan definisi dominan tentang penulis, dan karenanya, kekuasaan untuk membatasi populasi yang berhak ambil bagian di dalam pergulatan mendefiniskan penulis tersebut (Bourdieu, 2010: 22). Di sinilah peran suatu komunitas menjadi penting. Ia menjadi arena kultural yang dapat menganugerahi gelar penulis kepada agennya ketika arena sastra yang lebih luas belum mau memberi sebutan itu.

3 Lihat juga Salam dalam makalahnya ―Sosiologi Penyair dan Puisi, Sebuah Pembicaraan

Pengantar‖ (2011) yang juga memasukkan politik endorsment sebagai bagian dari pengalihan modal semacam ini. Di sisi lain, ia juga memasukkan politik biografi yang menjajarkan beragam penghargaan dan jejak pemuatan karya (misalnya dalam antologi cerpen atau puisi) sebagai bagian dari strategi untuk legitimasi. Meskipun biografi ini ditulis sendiri oleh penulis, ia sejatinya telah menyerap modal milik juri suatu perlombaan/ penghargaan atau redaktur media massa tertentu yang sudah dipandang sebagai ahli sastra. Dalam proses yang demikian, sejatinya juri dan redaktur media massa selalu mengalihkan sedikit modal yang dimilikinya untuk karya-karya dari pengarang muda.

(19)

19 Meskipun demikian, komunitas bukanlah satu-satunya arena yang memberi legitimasi bagi seseorang untuk disebut sebagai penulis atau tidak. Masih ada sejumlah pihak yang termasuk dalam arena sastra yang ada di luar komunitas yang turut berkontribusi terhadap layak atau tidaknya seorang agen disebut sebagai penulis. Dalam hal inilah Bourdieu (2010: 12) menganjurkan bahwa penelitian harus ditujukan pada semua pihak yang turut memberikan kontribusi bagi hasil suatu karya seni atau sastra, yaitu orang-orang yang memahami ide karya seni itu (para komposer atau pemain drama), orang yang menyediakan perlengkapan dan materi yang dibutuhkan (para pembuat alat musik), orang yang melaksanakannya (musisi atau aktor), dan orang-orang yang memberikan audiens pemahaman karya tersebut (kritikus dan ahli). Mereka adalah orang-orang yang diakui sanggup memberi modal simbolis pada para penulis atau pada komunitas tempat berkumpulnya para penulis.

Modal simbolis hanyalah salah satu dari berbagai jenis modal yang dirumuskan Bourdieu. Secara garis besar, modal diartikan Bourdieu (dalam Harker, 2009: 16--17) sebagai segala bentuk barang—baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan—yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu. Secara garis besar modal terbagi dalam empat jenis, yakni modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolis. Modal ekonomi meliputi alat-alat produksi dan materi. Modal budaya meliputi ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna

(20)

20 dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolis mengacu pada salah satu akibat dari kekuasaan simbolis yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolis dapat berupa kantor yang luas di kawasan elite, mobil mewah dan sopirnya, gelar pendidikan di kartu nama, dan bagaimana cara membuat tamu menanti (Haryatmoko, 2003: 12).

Modal harus ada dalam suatu arena agar arena tersebut memiliki arti. Modal juga dipandang sebagai basis dominasi. Menurut Bourdieu, beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya Adapun bagaimana ragam modal itu dipertaruhkan dalam suatu arena (sastra) itu bergantung strategi yang digunakan oleh agen. Strategi diartikan Bourdieu (1990b: 61) sebagai the product of the practice sense as the feel of game. Pada dasarnya strategi merupakan suatu praktik yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan atau melebarkan kekuasaan dalam suatu arena.

Bourdieu (1984: 125—131) membagi strategi ke dalam dua macam, yakni (1) strategi reproduksi yang merupakan sekumpulan praktik yang dirancang oleh agen untuk mempertahankan atau meningkatkan modal ke arah masa depan. (2) Strategi rekonversi yang merupakan sejumlah pergerakan agen dalam ruang sosial yang terstruktur dalam dua dimensi, yakni keseluruhan jumlah modal yang terstruktur dan pembentukan jenis modal yang dominan dan terdominasi. Selain kedua macam strategi tersebut, Bourdieu (1990b: 68) juga menyebut jenis strategi lain seperti strategi investasi biologis, strategi pewarisan, strategi pendidikan, strategi investasi ekonomi, dan strategi simbolis.

(21)

21 Strategi-strategi ini digerakkan sesuai dengan modal dan habitus yang dimiliki oleh agen di sebuah arena dari waktu ke waktu sehingga akan muncul trajektori. Trajektori didefinisikan Bourdieu (1995: 258—259) sebagai serangkaian posisi berturut-turut yang diduduki oleh agen atau kelompok agen di ruang yang berurutan. Menurutnya, setiap trajektori harus dipahami sebagai cara perjalanan atau perpindahan unik yang melalui ruang sosial. Di satu sisi, ada perpindahan agen yang dibatasi dalam sektor tunggal arena produksi kultural dan yang cocok untuk mengakumulasikan modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. Di sisi lain, ada perpindahan yang menyiratkan perubahan sektor dan konversi dari satu jenis modal tertentu ke modal yang lain, atau bahkan konversi modal simbolis menjadi modal ekonomi.

Dalam arena sastra, trajektori diartikan Bourdieu (2010: 252) sebagai deskripsi serangkaian posisi yang silih berganti ditempati seorang penulis di tengah keadaan arena sastra yang juga silih berganti. Trajektori para agen secara tidak langsung akan menunjukkan struktur arena sastra. Sementara itu, trajektori seorang agen (penulis) akan terlihat jelas dalam hierarkisasi yang ada dalam arena sastra, apakah ia berpindah sebatas dalam arena sastra atau keluar dari arena sastra dengan mengkonversikan modal simbolis yang dipunyainya ke dalam modal ekonomi.

Dengan masalah yang sudah diajukan tadi, diperlukan teori yang relevan untuk memecahkannya dan teori yang akan digunakan di dalam penelitian ini adalah konsep-konsep yang berhubungan dengan arena produksi kultural (sastra) Pierre Bourdieu. Adapun beberapa konsep yang perlu dijelaskan adalah arena, habitus, trajektori, modal, strategi.

(22)

22

1.4 Hipotesis

Berdasarkan pengamatan sementara, penelitian ini setidaknya mengadung beberapa hipotesis yang selanjutnya perlu dibuktikan dengan serangkaian kerangka teori maupun metodologi yang tepat. Hipotesis atas penelitian ini antara lain

1. Pasca peristiwa 1998, arena kekuasaan ditandai dengan turunnya derajat legitimasi kekuatan politis negara dan semakin berkuasanya sektor swasta dengan kekuatan ekonominya. Hal tersebut berdampak pada seni/sastra, sehingga melahirkan banyak komunitas dan agen yang ingin menempati posisi dalam arena sastra Indonesia.

2. Raudal Tanjung Banua melakukan serangkaian strategi dengan menggandeng kekuatan yang masih memiliki legitimasi untuk memperoleh posisi dalam arena sastra Indonesia.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode strukturalisme generatif yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu. Metode ini digunakan untuk mendeskripsikan, menganilisis dan memperhitungkan asal-usul seseorang dan asal-usul berbagai struktur serta kelompok sosial. Dalam kata lain, hubungan dialektis antara struktur objektif dengan representasi subjektif (Mahar, 2009:4). Melalui metode inilah strategi Raudal Tanjung Banua dalam arena sastra Indonesia dapat diketahui.

1.5.1 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan wawancara dan studi kepustakaan. Sementara itu, studi kepustakaan dilakukan dengan membaca

(23)

23 sejumlah buku sastra karya Raudal Tanjung Banua dan artikel yang memuat berita Raudal Tanjung Banua.

Data yang diambil tersebut berupa tulisan-tulisan mengenainya dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kehidupan Raudal Tanjung Banua, baik yang berasal dari pengamatan langsung penulis maupun dari data-data yang ada mengenai mereka atau tulisan-tulisan Raudal sendiri. Data tersebut juga penulis dapatkan dari wawancara yang melibatkan orang yang bersangkutan. Wawancara dilakukan karena data-data tertulis yang ada belum secara menyeluruh mengungkapkan perjalanan Raudal Tanjung Banua. Dengan wawancara diharapkan data-data yang belum muncul dapat digali sehingga melengkapi apa yang sudah ada.

Adapun data lain yang berupa tulisan terdiri dari dua macam. Pertama, Jurnal Rumah Lebah, Jurnal Cepen, dan karya-karya yang pernah dimuat di Media massa. Kedua, data mengenai kegiatan Raudal Tanjung Banua yang diambil dari sejumlah berita, beberapa artikel yang terdapat di media massa, seperti Kompas, Tempo, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Bernas, dan Minggu Pagi, serta dokumen pribadi milik Raudal Tanjung Banua.

1.5.2 Metode Analisis Data

Bourdieu mengembangkan sendiri untuk menganalisis hubungan relasional di dalam analisis produksi kultural. Setidaknya ada tiga tingkatan analisis yang dilakukan oleh Bourdieu yakni 1. Analisis sosial historis, menyoroti kondisi-kondisi sosial dan historis tentang produksi, sirkulasi dan penerimaan bentuk-bentuk simbolis. 2 analisis diskursif, atau analisis tentang struktur dan pengorganisasian internal bentuk bentuk simbolis dan 3

(24)

24 interpretasi/reinterpretasi yang melibatkan konstruksi kreatif makna yang memungkinkan. Oleh sebab itu, hal pertama yang dilakukan adalah menganalisis kondisi sosial historis produksi, sirkulasi dan penerimaan bentuk barang simbolis. Dalam hal ini, hal yang dilakukan adalah dengan mendeskripsikan kondisi arena sastra.

Karena konteks kemunculan Raudal Tanjung Banua Pasca Reformasi adalah pada pasca decade 2000an, maka analisis yang dilakukan adalah dengan mendeskripsikan arena sastra pasca decade 2000an, melihat hubungan relasional antara posisi-posisi dalam arena sastra termasuk juga mekanisme produksi, distribusi dan pemerolehan nilai simbolik sebuah karya sastra. Selain itu, dalam analisis ini juga menghubungan antara posisi arena sastra dengan arena kekuasaan di dalam relasinya dengan struktur kelas yang ada dalam masyarakat Indonesia. Analisis yang kedua adalah meneliti wacana atau tentang struktur dan pengorganisasian internal bentuk-bentuk simbolis. Di dalam hal ini, metode yang dilakukan adalah dengan menganalisis strategi dan trajektori yang dilakukan Raudal Tanjung Banua dalam rangka mencari modal simbolis, termasuk pengakuan terhadap komunitasnya sendiri dan karya-karya anggotanya dalam arena sastra.

Analisis model ketiga adalah reintrepretasi yang melibatkan konstruksi kreatif makna yang memungkinkan. Dalam hal ini, analisis yang dilakukan adalah menafsirkan atau membaca tujuan dibuatnya jurnal Rumah Lebah, AKAR Indonesia, dan Jurnal Cerpen Indonesia dalam hubungannya dengan arena sastra dan strategi serta trajektori yang dilakukan.

Untuk membantu penelitian ini, Studi kepustakaan dilakukan untuk mendukung data mengenai kondisi arena sastra Indonesia dan berbagai strategi

(25)

25 yang dilakukan oleh Raudal Tanjung Banua untuk memperoleh posisinya dalam arena sastra Indonesia.

Data-data yang sudah diperoleh kemudian melalui tahap penyaringan. Penyaringan mutlak dilakukan mengingat tidak semua informasi yang didapat dapat mendukung pemilihan data yang akurat. Terlebih, hanya data-data yang diperlukan yang kemudian digunakan untuk selanjutnya masuk tahap analisis. Setelah data disaring, tahap selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh. Analisis data menurut Moleong (2001:103) adalah proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan-satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja yang disarankan data. Pengorganisasian dan pengurutan data disesuaikan dengan konsep sosiologi sastra Bourdieu di antaranya, habitus, modal, arena, strategi, dan lain sebagainya.

Data-data yang telah diorganisasikan dan diurutkan tersebut kemudian dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan landasan teori yang digunakan. Deskripsi dan analisis tersebut terbagi dalam tiga bagian yang disarankan Bourdieu (1995:214) yakni (1) menganalisis posisi arena sastra dalam arena kekuasaan, dan evolusinya pada waktunya (2) menganalisis struktur internal arena sastra, dan (3) menganalisis asal-usul habitus, agen, modal, dan trajektori sosial dari arena sastra bersangkutan. Ketiga bagian tersebut diuraikan secara relasional. Setelah semua tahap dilalui, dilakukan penyimpulan.

1.6 Sistematika Penelitian

(26)

26 Bab I. Berupa pendahuluan yang berisi: (1) latar belakang penelitian; (2) rumusan masalah; (3) tujuan penelitian; (4) tinjauan pustaka; (5) landasan teori; (6) Hipotesis; (7) metode penelitian; dan (8) sistematika penyajian.

Bab II. Berisi uraian mengenai arena kekuasaan pasca Orde Baru dan arena sastra Indonesia yang melatarbelakangi Raudal Tanjung Banua mendirikan komunitas Rumah Lebah.

Bab III. Berisi uraian tentang konversi modal dan subsidi silang modal, habitus, strategi, dan lintasan Raudal Tanjung Banua dalam arena sastra Indonesia. Bab IV. Berisi Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan pengukuran tingkat curah hujan ini telah dilakukan secara rutin setiap hari dan hasilnya merupakan salah satu parameter yang diduga mempengaruhi fluktuasi radioaktivitas

Kondisi udara pengering pada suhu rendah diharapkan tidak akan merusak produk karaginan dan kelembaban udara yang rendah akan meningkatkan panas udara pengering tetapi desain

Proses validasi tersebut dengan membandingkan rata-rata pusat cluster akhir dengan data validasi yang diperoleh dari pedagang beras yaitu data validasi panjang

dihasilkan oleh sistem untuk memuaskan kebutuhan yang diidentifikasi. Output yang tak dikehendaki a) Merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindari dari sistem yang

Apabila pemenang lelang urutan pertama yang telah ditetapkan sebagai Penyedia mengundurkan diri dan atau tidak bersedia, maka yang akan ditetapkan sebagai Penyedia dapat

Beberapa faktor caregiver yang berhubungan dengan kekambuhan pasien skizofrenia adalah dukungan keluarga, pengetahuan tentang pengobatan skizofrenia, peristiwa kehidupan yang

Apabila instansi lain menyetujui Kerangka Kerja Teknis dan Rancangan Prakiraan Anggaran Biaya, maka dapat ditindaklajuti dengan penandatanganan kesepakatan atau perjanjian

a) Aplikasi digitalisasi plat nomor ini dapat membaca dan mengenali segmen tertentu pada image sebagai plat nomor. b) Pada saat pemindaian, jarak mempengaruhi kemampuan untuk