• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Inovasi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sistem Inovasi Daerah"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sistem Inovasi Daerah

Oleh:

Ratnawati Muyanto Researcher KPPOD

K

onsep sistem inovasi daerah bukan merupakan barang baru dalam

wacana publik pembangunan ekonomi daerah di Indonesia, terutama setelah sistem otonomi daerah diberlakukan sejak 2001. Rencana pembangunan wilayah industri yang terintegrasi adalah salah satu contohnya. Namun, sepuluh tahun telah berlalu tanpa adanya satu perwujudan nyata dari berbagai wacana publik tersebut. Tanpa menampik adanya berbagai kendala teknis dan politis di tingkat kabupaten/kota, kita harus mulai bertindak untuk mewujudkan sistem inovasi daerah tersebut. Dengan adanya sistem inovasi daerah yang permanen dan integratif maka pertumbuhan ekonomi daerah yang berkesinambungan dapat tercapai.

Sistem inovasi daerah telah diterapkan di Negara maju seperti Jerman (salah satu pusat inovasi terbaik berada di wilayah Baden Woerttemberg) dan Amerika (Silicon Valley adalah salah satu contoh). Apakah ciri yang mudah dikenali dari kedua wilayah tersebut? Mereka memiliki produk yang telah dikenal luas di seluruh dunia seperti Porche, Bosch, Mercedes Benz, General Electric, dan

Hewlett-Packard. Bahkan kinerja ekonomi derah Baden Wurttemberg melampaui

keseluruhan Jerman (Tabel 1) menjadikan kita perlu menganalisa faktor pendorong keberhasilanya. Patut disadari bahwa keberadaan kedua pusat

(2)

2

Tabel 1. Kinerja Ekonomi Wilayah Baden Woerttemberg

Sumber: G. Fuchs / S. Wassermann

Indikator

Baden Wurttemberg

Jerman

Intensitas Riset (% PDRB) 3.9 2.3

Penduduk bekerja (% penduduk usia 15-64) 69.5 65.4

Tingkat pengangguran 5.1 8.9

Aplikasi Paten per 1 juta penduduk 416.3 227.3

inovasi tersebut bukanlah terletak di Ibukota Negara bersangkutan. Hal ini bisa dijadikan pemicu motivasi bagi para pemangku kepentingan yang berada di luar pulau Jawa yang relatif telah berkembang seperti Kota Makassar; Kota Manado; Kota Denpasar; Kota Balikpapan; Kota Palembang; dan Kota Medan. Lantas, bagaimana sejarah sistem inovasi dikembangkan di kedua Negara tersebut?

Faktor Keberhasilan Baden Wurttemberg

Pertama, daerah ini merupakan satu

kesatuan wilayah administrasi dan politik di selatan Jerman. Hal ini tentunya memudahkan koordinasi antara berbagai pembuat keputusan publik karena memiliki hierarki organisasi yang relatif lebih jelas dan tegas dibandingkan dengan bentuk kerjasama antara wilayah administrasi yang horizontal. Bentuk organisasi publik ini lebih efisien dan efektif dalam mengkomunikasikan ide dan mengendalikan konflik yang terjadi pada tingkatan yang lebih rendah.

Kedua, memiliki fokus pengembangan

industri tertentu. Baden Wurttemberg (BW) memfokuskan diri kepada industri teknologi menengah seperti mesin.

Ketiga, BW memiliki faktor budaya keahlian

teknik yang telah berkembang di masyarakatnya sejak lebih dari tujuh dasawarsa. Etos kerja yang sangat tinggi, keahlian teknik yang tinggi, dan orientasi kepada kesempurnaan produk merupakan karakter masyarakat BW.

Keempat, lembaga pendidikan dikembangkan

menurut kebutuhan dunia industri. Di BW jumlah sekolah kejuruan teknik tinggi dan lanjutan jumlahnya melebihi sekolah tinggi untuk melakukan riset. Tanpa mengurangi kebutuhan akan kegiatan penelitian murni, namun pemfokusan pendidikan kejuruan mendorong tenaga kerja menjadi sangat ahli di spesifik pembuatan mesin tertentu. Sedangkan pihak universitas terfokus pada pengembangan inovasi teknologi.

Kelima, industri BW memiliki hubungan

yang baik antara produsen dan konsumen khususnya pada industri kendaraaan dan teknik elektro. Tentunya hal ini pun bukan tanpa peranan pemerintah setempat, penyediaan tempat layanan konsumen menjadi salah satu cara yang dilakukan.

Keenam, adanya organisasi yang

menjembatani pengusaha dan pekerja (asosiasi bisnis dan serikat pekerja), bank lokal yang membiayai riset perusahaan, komite inovasi dan

(3)

3

Grafik 1. Proporsi Kesuksesan Produk Terhadap Proposal Inovasi

Sumber: Dickmans

penelitian teknologi.

Apa yang kemudian bisa diterapkan kepada Indonesia dimana tingkat pendidikan masih rendah? Tentunya hal ini bukanlah isu karena kota-kota yang disebut di bagian atas telah memiliki universitas dengan kapabilitas untuk melakukan riset dan pengembangan aplikasi teknologi. Peranan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah menjadi penghubung antara pihak akademis dengan pihak swasta dalam melakukan pengembangan inovasi.

Kedua, diharapkan Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/kota dapat memberikan subsidi kepada pihak yang telah melakukan inovasi teknologi dan inovasi produk dengan melalui tender publik sehingga diketahui oleh sang inovator dari daerahnya dan luar daerahnya, asalkan proses produksi pasti akan dilakukan di daerah tersebut. Perlu ditekankan disini bahwa si inovator bukan merupakan pihak dengan kemampuan pendanaan yang cukup namun

memiliki inovasi yang baik. Misalnya, inovasi pengolahan kotoran hewan yang bisa dijadikan pupuk, bahkan dimungkinkan si inovator memiliki ide secara garis besarnya saja (paten sederhana) kemudian pengembangan mesin dikerjakan oleh universitas-swasta-pemerintah. Tapi, usaha menjembatani komunikasi tersebut haruslah menjadikan pemerintah sebagai ujung tombaknya (menangkap dinamika ide masyarakat kemudian mengolahnya menjadi inovasi riil). Namun demikian, bukan berati setiap ide inovasi berujung kepada produksi massal yang sukses.

Perhatikan Grafik 1 yang menunjukkan bahwa keberhasilan produk di pasaran tidak mencapai lebih dari 1% dari proposal inovasi (di Jerman). Artinya adalah walau di negara maju sekalipun terdapat perbedaan yang cukup besar antara proposal inovasi dan kesuksesan produk. Namun demikian, “kegagalan” tersebut tidaklah menyurutkan proses penciptaan inovasi karena menariknya insentif yang diberikan pemerintah

(4)

4

sehingga mendorong individu tetap berkarya.

Sistem Inovasi di Indonesia

Dengan segala bentuk peraturan yang te-lah ada untuk mendukung sistem inovasi daerah seperti UU 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Teknologi telah mewajibkan Pemda untuk menga-lokasikan anggaran untuk kegiatan yang mendu-kung (pasal 22 ayat 1). Tentunya besaran anggaran pemerintah tidak akan pernah cukup untuk dapat membiayai proposal inovasi sehingga pihak swasta akan selalu dibutuhkan. Model pembiayaan ber-sama swasta dan pemerintah dapat dikembangkan disini.

Bila dilihat secara nasional jumlah penga-juan paten dalam negeri memang masih rendah sekali dibandingkan dengan paten luar negeri menurut data tahun 2011 menurut Direktorat Hak Kekayaan Intelektual (Tabel 2). Ironisnya, selama kurun waktu empat bulan terakhir di tahun 2011 menurut data online yang tersedia di Ke-menhumham, pengajuan paten secara nasional

menurut propinsi hanya berasal dari Jawa Timur (1 aplikasi); Jawa Tengah (1 aplikasi); dan NTB (1 ap-likasi). Hal ini sangat memprihatinkan karena ham-pir tidak ada pengajuan di hamham-pir 90% propinsi di Indonesia.

Sistem Inovasi adalah Politik

Berdasarkan pengalaman sejarah di Negara ekonomi maju, sistem inovasi bukanlah merupakan hasil karya seorang peneliti yang bekerja seorang diri di laboratorium. Sistem inovasi tidak akan pernah sukses tanpa keterlibatan berbagai aktor politik di dalamnya. Pengusaha mampu menginvestasikan jumlah dana yang besar karena adanya jaminan investasi dan struktur insentif yang menguntungkan yang diberikan pemerintah.

Seorang Kepala Daerah yang cukup berwibawa dan berintegritas tentunya memiliki kemampuan lebih besar untuk meyakinkan pelaku bisnis. Hal ini sepertinya mudah dituliskan namun pasti akan lebih sulit untuk diterapkan terutama bila tidak ada kemauan dan komitmen politik baik pada tingkat nasional maupun daerah.

Tabel 2. Jumlah Paten yang Disetujui HKI. 2011

(5)

5

Komitmen politik yang konsisten untuk mendorong perkembangan inovasi produk teknologi menjadi lebih penting daripada proses ilmiah penciptaan inovasi itu sendiri. Bila pemerintah daerah mampu menjadikan sistem penelitian teknologi terintegrasi di wilayahnya maka percepatan perkembangan teknologi lebih cepat daripada pekerjaan seorang dosen di laboratorium.

Setelah satu dasawarsa terlewati, otonomi daerah harus bergerak maju ke tingkatan implementasi kebijakan yang benar-benar dapat menciptakan

kesinambungan kinerja ekonomi. Tanpa ini, niscaya

siklus politik akan lebih

mendominasi daripada siklus bisnis tanpa dampak positif riil yang dapat terasa nyata kepada masyarakat luas. Sistem inovasi ini pun relatif memerlukan biaya politik yang rendah, karena tidak perlu pencetakan kaos; penyewaan orkes organ tunggal; pembagian sembako; dan pemborosan bahan bakar untuk arak-arakan mengelilingi daerah pemilihan. Sebaliknya biaya yang dikeluarkan seperti penggalian ide dari masyarakat, pengembangan pusat inovasi sederhana bekerjasama dengan universitas, dan pencetakan dokumen untuk disebarkan kepada pihak swasta. Seorang Kepala Daerah yang memiliki kemauan dan kemampuan untuk menciptakan sistem inovasi ini akan memiliki reputasi publik yang baik sekaligus melakukan kerja nyata bagi penciptaan kinerja ekonomi.

Kesimpulan

Sistem Inovasi Daerah merupakan hal besar yang memerlukan usaha keras pemerintah karena adanya keterbatasan pendanaan dan sumberdaya manusia dalam pengembangan teknologi di Indone-sia. Namun demikian, tantangan tersebut bukanlah seharusnya menyurutkan komitmen untuk memulai kerja nyata bagi seluruh Kepala Daerah karena fase kedua otonomi daerah tidak bo-leh lagi bergerak pada tataran politik yang menyesatkan kinerja ekonomi seperti penyalahgunaan anggaran publik, penempatan pegawai negeri yang tidak pro-fessional, pemenangan tender proyek kepada pihak pendukung kampanye, dan sebagainya. Patut disadari, persaingan ekonomi global saat ini tidak lagi datang dari Eropa dan Amerika, melainkan dari Cina yang berada pada posisi benua yang sama, kebudayaan yang hampir serupa, dan etos kerja yang sama. Artinya adalah marjin kesem-patan memenangkan pasar persaingan global men-jadi lebih tipis bagi Indonesia bila tidak segera mela-kukan usaha sistemik perbaikan sistem inovasi karena pun Cina telah melakukan sistem inovasi daerahnya semenjak lebih dari dua dasawarsa.

(6)

6

Referensi

Bathelt, Harald. Buzz-and-Pipeline Dynamics: Toward a Knowledge-Based Multiplier Model of Clusters. Geography Compass (Vol. 1, No. 6) pp. 1282-1298. 2007

Cooke, Philip. Regional Innovation System, Cluster, and Knowledge Economy. Center for Advanced Study.University of Wales.Cardiff.UK.2004

Fuchs, G. and Wassermann, S. The Regional Innovation System of Baden-Württemberg: Lock-In or Break Through? Stuttgarter Beiträge zur Risiko- und Nachhaltigkeitsforschung N. 2. Stuttgart: Institut für Sozialforschung der Universität Stuttgart. 2004

Gambar

Tabel 1. Kinerja Ekonomi Wilayah Baden Woerttemberg
Grafik 1. Proporsi Kesuksesan Produk Terhadap Proposal Inovasi
Tabel 2. Jumlah Paten yang Disetujui HKI. 2011

Referensi

Dokumen terkait

Kapasitas gateway internet PT Telkom juga sebagai yang terbesar di Indonesia, saat ini sudah lebih dari 106,4 Gbps merupakan salah satu dari rentetan langkah menuju perusahaan

Riam Odong ditemukan 3 jenis bambu dari 2 genus yang berbeda yaitu genus Dendrocalamus terdiri dari Dendrocalamus asper (Schultes f.) Backer ex heyne (bambu poring), genus

Guru juga hendaknya memiliki strategi mengajar yang merangsang kreativitas seperti memberikan umpan balik terhadap hasil kerja anak, memberikan hadiah tetapi tidak berupa

Sesuai dengan Pasal Pasal 154 ayat (2) KUHPerdata, keterangan ahli dapat diberikan dalam bentuk tertulis (surat) ataupun lisan yang dikuatkan dengan sumpah. Dalam perkara

Penelitian ini membahas masalah unsur leksikal yang berfungsi sebagai pengungkap modalitas dalam bahasa Inggris, yaitu yang berupa kata kerja bantu modal dan

secara tegas, demi menjamin kepastian hukum dan keadilan; (2) Hakim harus bisa memilah mana yang benar secara hukum, Ditjen HKI bisa memberikan sertifikat paten sederhana

Populasi dalam penelitian ini adalah Kabupaten/Kota yang telah melakukan inovasi di daerahnya, sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah inovasi yang dilakukan oleh

Pada penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Karaduman (2013) yang berjudul “The effect of social media on personal branding efforts of top level