73
PANCA YAMA BRATA SEBAGAI LANDASAN KEPEMIMPINAN KELIHAN DESA
ADAT DESA PECATU KECAMATAN KUTA SELATAN KABUPATEN BADUNG
Oleh :
I Nyoman Sulastra
ABSTRAK
Di dalam suatu negara manapun yang ada di belahan dunia ini tetap memerlukan
seorang pemimpin untuk menggerakan suatu tatanan kehidupan. Kepemimpinan
merupakan pola untuk menggerakan setiap individu untuk bisa hidup saling bekerja
sama dan mentaati norma-norma agar keberlangsungan suatu organisasi tetap berjalan
sesuai harapan atau kehendak masyarakat.
Mahendra (2001) menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah seni menggerakan
orang lain guna mencapai tujuan tertentu atau tujuan bersama. Senada dengan defenisi
ini, Cahyono (1983) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai seni (art) untuk
menciptakan kepatuhan orang lain pada pemimpin. Kepatuhan orang lain yang
dimaksud adalah kepatuhan bawahan/staf atau anggota suatu kelompok, tentu atas
pengaruh, arahan atau panutan yang diberikan oleh pemimpin itu sendiri.
Belakangan ini banyak fenomena yang terjadi seorang politikus merangkap
sebagai Kelihan Desa Adat. Dari segi politik seseorang mungkin dapat menggerakan
agung krama melalui kebijakan yang mengarah sosial, ekonomi, politik untuk
mencapai suatu tujuan. Disisi lain rencana kerja yang harus di jalankan lebih banyak
mengenai sosial, budaya dan agama. Kondisi yang mendua akan sangat sulit bagi
seorang Kelihan Desa Adat untuk melaksanakan kepemimpinan yang berkeadilan.
Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Kelihan Desa Adat tentang
agama, adat dan budaya tetap kena imbas oleh ranah politik. Padahal seorang pemimpin
Desa Adat dituntut untuk bersikap adil sesuai dengan ajaran Yama Brata yaitu seorang
pemimpin (Kelihan Desa Adat) harus mampu berlaku adil dan tegas, memberi sanksi
kepada yang bersalah dan memberi penghargaan kepada yang berprestasi.
Panca Yama Brata Merupakan landasan dan pengendalian bagi setiap agung
krama (Kelihan Desa Adat dan prajuru) agar mampu melaksanakan segala
swadarmanya yang bertalian dengan Tri Hita Karana. Ajaran ini meminimalisir
penyalahgunaan wewenang bagi pemimpin dan mampu membangun kehidupan yang
harmonis antara Kelihan Desa Adat dengan Tuhan, anatara Kelihan Desa Adat dengan
agung krama, antara Kelihan Desa Adat dengan palemahan (lingkungan)
ABSTRACT
In any country in this part of the world, we still need a leader to drive a life
order. Leadership is a pattern to move each individual to be able to live in collaboration
with one another and obey norms so that the sustainability of an organization continues
according to the expectations or wishes of the community.
Mahendra (2001) states that leadership is the art of moving other people to
achieve certain goals or common goals. In line with this definition, Cahyono (1983)
states that leadership is an art to create the obedience of others to the leader. Other
74
people's compliance is the obedience of subordinates / staff or members of a group, of
course with the influence, direction or role models given by the leader himself.
Recently, there have been many phenomena that have occurred as a politician
who doubles as the Kelihan Desa Adat. From a political point of view, someone may
be able to move the agung krama through policies that lead social, economic, and
political to achieve a goal. On the other hand, the work plan that must be carried out is
more social, cultural and religious. The ambiguous condition will be very difficult for
an Kelihan Desa Adat to carry out a just leadership.
The policies implemented by the Kelihan Desa Adat regarding religion, customs
and culture are still affected by the political realm. Where as a traditional village leader
is required to be fair in accordance with the teachings of Yama Brata, namely that a
leader (Kelihan Desa Adat) must be able to act fairly and firmly, give sanctions to the
guilty and reward those who excel.
Panca Yama Brata Is the foundation and control for every agung krama
(Kelihan Desa Adat and prajuru) so that they are able to carry out all their self-help
related to Tri Hita Karana. This teaching minimizes abuse of authority for leaders and
is able to build a harmonious life between Kelihan Desa Adat and God, between
Kelihan Desa Adat and agung krama, between Kelihan Desa Adat and Palemahan
(environment).
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Di dalam suatu negara manapun yang ada di belahan dunia ini tetap memerlukan seorang pemimpin untuk menggerakan suatu tatanan kehidupan. Kepemimpinan merupakan pola untuk menggerakan setiap individu untuk bisa hidup saling bekerja sama dan mentaati norma-norma agar keberlangsungan suatu organisasi tetap berjalan sesuai harapan atau kehendak masyarakat.
Seorang pemimpin, harus memiliki kelebihan daripada orang yang dipimpin, seperti kelebihan menggunakan pikirannya, rohania dan badaniah. Seseorang selalu bisa menjadi pemimpin, dengan kata lain predikat sebagi pemimpin tidaklah langgeng (suatu saat akan mengalami perubahan atau pergantian). Sebab ia selalu harus berhubungan dengan orang lain atau bawahannya. Ketika bawahaannya itu berganti, maka ada kemungkinan ia tidak lagi menjadi pemimpin, bahkan kemungkinan
merosot menjadi bawahan. Agar lama dapat bertahan di kursi pemimpin, maka pemimpin itu harus selalu belajar, mendalami sifat-sifat atau dasar yang menjadi landasan kepemimpinan, rajin membaca dan menambah ilmu pengetahuan (wiratmaja, 1995 : 21). Menurut Oka Mahendra dalam Werdinaya (2005).
Sebagai pemimpin, tugas adalah kewajiban untuk melaksanakan aturan itu. Tugas harus didahulukan daripada wewenang, sebab hal ini lebih edukatif. Dengan demikian pemimpin lebih diingatkan kepada tugasnya dan kemudian baru berhak menggunakan wewenangnya. Seorang pemimpin akan tetap menjadi pemimpin, apabila ia tetap mempertahankan kelebihannya, kelebihan terhadap orang lain seperti memiliki keluhuran budi pekerti, moral yang baik, kesederhanaan, keuletan dan sebagainya. Pemimpin merupakan jabatan profesionalisme bagi seorang yang dalam status sosial dapat mengangkat harkat dan martabatnya. Sehingga banyak orang mendambakannya sebab jabatan itu menjanjikan
75 berbagai macam kenikmatan. (Oka Mahendra,2001)
Terkait dengan uraian diatas, etika dalam hal ini ajaran Panca Yama Brata merupakan rambu-rambu yang dapat menuntun karakter manusia menjadi anggota masyarakat yang santun, menjadi bangsa yang mulia, juga menuntun seseorang mempersatukan dirinya dengan makhluk sesamanya dan akhirnya menuntun mereka menjadi kesatuan jiwatman dengan paramatma, Subagiastha dalam Sulastra (2018). Etika Hindu (Panca Yama Brata) memiliki nilai yang esensial kepemimpinan dalam menuntun setiap manusia agar hidup saling rendah hati, saling mengingatkan dan saling menghormati. Ajaran Panca Yama Brata merupakan rambu-rambu yang sangat luhur dan masih relevan dengan perkembangan zaman yang digunakan oleh setiap pemimpin sebagai landasan dalam mengatur suatu organisasi, seperti Banjar, Desa Adat, Sekaa Taruna-Taruni.
Keberhasilan suatu organisasi seperti yang penulis sebutkan diatas, lebih banyak ditentukan oleh kemampuan seorang pemimpin. Pemimpin dapat digambarkan sebagai seorang nahkoda kapal. Kemampuan seorang nahkoda untuk membawa seluruh crew kapal sampai ke tempat tujuan ditentukan kecermatan, kecepatan dan ketepatan dalam mengarahkan kapalnya sampai ke tempat tujuan yang telah ditentukan (Susila & Karmini, 2019). Belakangan ini banyak fenomena yang terjadi seorang politikus merangkap sebagai Kelihan Desa Adat. Dari segi politik seseorang mungkin dapat menggerakan agung krama
melalui kebijakan yang mengarah sosial, ekonomi, politik untuk mencapai suatu tujuan. Disisi lain rencana kerja yang harus di jalankan lebih banyak mengenai sosial, budaya dan agama. Kondisi yang mendua akan sangat sulit bagi seorang Kelihan Desa Adat untuk melaksanakan kepemimpinan yang berkeadilan.
Kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan oleh Kelihan Desa Adat tentang agama, adat dan budaya tetap kena imbas oleh ranah politik. Padahal seorang pemimpin Desa Adat dituntut untuk bersikap adil sesuai dengan ajaran Yama Brata yaitu seorang pemimpin (Kelihan Desa Adat) harus mampu berlaku adil dan tegas, memberi sanksi kepada yang bersalah dan memberi penghargaan kepada yang berprestasi. Karena begitu penting esensi ajaran Panca Yama Brata sebagai landasan kepemimpinan bagi Kelihan Desa Adat maka ajaran ini perlu untuk dikaji dengan judul : Panca Yama Brata sebagai landasan kepemimpinan bagi Kelihan Desa Adat di Desa Pecatu Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Pengkajian ini tidak semata-mata bertitik tolak dari Panca Yama Brata sebagai landasan kepemimpinan Kelihan Desa Adat, hal ini dilatarbelakangi untuk mendorong agung karma Desa Adat Pecatu agar setiap tindakannya dilandasi oleh nilai-nilai Panca Yama Brata (Suadnyana, 2020).
II. PEMBAHASAN 2.1 Konsepsi Kepemimpinan Hindu
Kepemimpinan merupakan
76 mengkoordinasikan serta mengarahkan suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Ada mengintepretasikan kepemimpinan itu sebagai seni, dan ada pula yang memandang serta menekankan kepemimpinan itu sebagai kemampuan seseorang di dalam memimpin suatu kelompok masyarakat atau suatu lembaga organisasi tertentu (Wibawa, 2020).
Triguna (2003) mengemukakan bahwa kepemimpinan (leadership) memiliki sifat universal, artinya ditemukan dan diperlukan dalam setiap kegiatan atau usaha bersama. Kepemimpinan akan ditemukan dalam berbagai kesatuan sosial. Kepemimpinan terkait dengan kualitas kemampuan individu dalam menciptakan hubungan harmonis antara pemimpin dengan pengikutnya.
Mahendra (2001) menyebutkan bahwa kepemimpinan adalah seni menggerakan orang lain guna mencapai tujuan tertentu atau tujuan bersama. Senada dengan defenisi ini, Cahyono (1983) menyatakan bahwa kepemimpinan sebagai seni (art) untuk menciptakan kepatuhan orang lain pada pemimpin. Kepatuhan orang lain yang dimaksud adalah kepatuhan bawahan/staf atau anggota suatu kelompok, tentu atas pengaruh, arahan atau panutan yang diberikan oleh pemimpin itu sendiri (Kemenuh, 2020).
Kepemimpnan juga berarti proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja sama antusias untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Gunadha, 2000). Menurut Wiratmaja dalam Werdinaya (2005)
bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mengkoordinasikan dan menggerakan beberapa orang serta golongan. Dengan demikian pemimpin itu harus mempunyai kemampuan untuk merencanakan, mengkoordinasikan, mampu menggerakan orang lain serta dapat melakukan pengawasan (Hadriani, 2020).
Selanjutnya yang dimaksud Kepemimpinan Hindu menurut Triguna (2003) adalah kepemimpinan yang mampu mengoperasionalkan prinsip-prinsip kehalusan budi dalam mengendalikan pengikutnya. Seorang pemimpin Hindu harus tetap menjunjung tinggi konsepsi Tri warga yaitu dharma, arta dan kama. Dalam kepemimpinan Hindu ditegaskan pentingnya seorang pemimpin memiliki pengetahuan filsafat (anviksiki), pengetahuan Veda (trayi), ekonomi (varta) dan politik (dandaniti). Pengetahuan filsafat dan Veda membantu menajamkan dan menyehatkan pikiran pemimpin, sehingga mampu membuat kebijakan menyenangkan hati rakyat. Sedangkan pengetahuan ekonomi (varta) dan politik (dandaniti) akan memberikan landasan kesejahteraan dan berbagai metode yang relevan untuk mencapai kesejahteraan itu.
Kepemimpinan Hindu adalah seni atau proses mempengaruhi orang lain atau kelompok orang agar mau bekerja sama dalam rangka mewujudkan suatu tujuan yang dilandasi dengan prinsip-prinsip ajaran Hindu. Ajaran Hindu yang dimaksud adalah pengetahuan filsafat (anviksiki) atau tattwa jnana, pengetahuan Veda (Veda Trayi, Catur
77 Veda, Pancama Veda), pengetahuan ekonomi (varta), pengetahuan politik hukum (Nitisastra atau Dandaniti). Itu semua harus dipelajari oleh seorang pemimpin Hindu. Menurut Kautilya dalam Triguna (2003) bahwa seorang pemimpin Hindu harus mampu memandang jabatan yang diduduki itu bersifat manusiawi dan bukan sebagai lembaga yang bersifat ilahi. Kepemimpinan Hindu harus mendasarkan diri pada dasar-dasar nilai-nilai kemanusiaan. Kautilya juga menekankan bahwa seorang pemimpin Hindu hendaknya mencari kebahagiaan dan kemakmuran dalam kebahagiaan dan kemakmuran rakyatnya. Seorang pemimpin Hindu hendaknya melakukan kebijakan bukan pada hal-hal yang disenangi pemimpin, tapi lebih baik berpihak pada hal-hal yang merupakan harapan rakyat (Ningrum, 2020).
Dalam upaya untuk melakukan swadharma dan memenuhi kehendak agung krama Desa Adat, maka sorang kelihan Desa Adat sebagai moncol Desa. Ajaran Panca Yama Brata yang merupakan salah satu ajaran etika dapat dijadikan sesuluh. Ajaran Panca Yama Brata dimuat dalam sastra Hindu seperti dalam kutipan berikut :
Ahimsa brahmacaryam ca, Satyam awyawaharikam, Astainyam ite panca ite, Yama Rudrana bhasitah. Artinya :
Ahimsa namnya tidak membunuh, Brahmacari namanya tidak mau beristri,
Satya namanya tidak berkata bohong, Astainyam namanya tidak mencuri, Awyamaharikam tidak beselisih Wrhaspatitattwa dalam Sumawa (1995)
Ajaran Panca Yama Brata merupakan pengendali atau rambu-rambu bagi seorang kelihan Desa Adat dalam merealisasikan seluruh janji-janjinya sebelum memangku jabatannya. Jabatan sebagai kelihan Desa Adat merupkan kedudukan yang sangat mulia. Ajaran Panca Yama Brata dapat dipilah yakni :
1. Ahimsa
Ahimsa artinya tidak membunuh atau menyakiti. Ahimsa adalah salah satu ajaran kesusilaan yang sangat mulia sebagai dasar bagi setiap pemimpin baik dari tingkat organisasi banjar, sekaa sampai tingkat agung krama Desa Adat agar segala swadharmanya selalu ada di jalan dharma. Ahimsa tidak semata-mata tidak membunuh atau menyakiti makhluk hidup, tetapi yang lebih utama adalah pemimpin dalam hal ini seorang Kelihan Desa Adat melakukan kewajiban tidak menginterpensi keberlangsungan kehidupan sosial, Seperti ketika menjelang datangnya perhelatan politik lima tahunan seorang Kelihan Desa Adat tidak memaksa agung krama agar memilih salah satu peserta pemilu (salah satu partai politik). Ajaran ahimsa merupakan ajaran kasih sayang atau welas asih antara Kelihan Desa Adat dengan agung krama yang dipimpinnya. Kelihan Desa Adat memberikan kebebasan berdemokrasi bagi setiap anggota masyarakat melalui
undang-78 undang yang telah ditetapkan dengan batas-batas tertentu (Srilaksmi, 2020).
Bagi seorang Kelihan Desa Adat memancarkan welas asih kepada setiap agung krama tanpa memandang perbedaan tingkat sosial lapisan masyarakat, hal ini akan mampu mewujudkan kehidupan yang harmonis antara agung krama dengan sesamanya, dengan seisi alam. Pahalanya bagi seorang Kelihan Desa Adat melakukan swadharma dengan dilandasi oleh ajaran ahimsa begitu juga bagi agung krama segala yang diingini, semua tujuannya, segala yang dipikirkan dengan mudah akan tercapai. Hal ini telah ditegaskan di dalam Kitab Sarasamuscaya XI.149 sebagai berikut : Orang yang ahimsa ia akan mendapat pahala kecantikan,
Keindahan, kesempurnaan yang tanpa cacat, panjang usia,
Kepandaian, keberhasilan, kesaktian maupun ingatan yang tajam.
Melakukan swadharma dengan landasan kasih sayang, saling menghargai diantara sesama pasemetonan, kesempurnaan dalam kerja dan langkah-langkah yang ada kaitannya dengan Desa Adat akan dapat tercapai. Begitu pula rasa hormat agung krama dengan pemimpinnya semakin menebal.
Memberikan perintah kepada agung krama diakukan dengan sikap welas asih, dan bagaimana memberi perintah kepada bawahan agar bawahan tidak merasa diperintah tetapi bawahan telah menyadari apapun diperintahkan, itu merupakan suatu kewajiban dan tanggung jawab yang harus diselesaikan
sebagai seorang pemimpin yang ideal. Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang mapu menjadi dan memberikan keteladanan, selalu mengusahakan kesejahteraan bagi agung krama (sukanikang rat), dan menghindari bentuk kesenangan pribadi (agawe sukaning awak) secara berlebihan.
2. Satya
Satya merupakan salah satu ajaran etika yang artinya kesetiaan dan kejujuran. Setia kepada kewajiban, setia kepada teman termasuk setia kepada masyarakat akan memberikan kebahagiaan bagi seseorang yang melakukan. Terkait dengan kepemimpinan bagi kelihan Desa Adat, seorang kelihan adat harus menepati janji-janjinya yang telah dirancang sedemikian rupa agar agung krama hidupnya menjadi harmonis. Ingkar terhadap janji-janjinya merupakan perbuatan adharma maka dari itu harus dihindari. Dalam memimpin agung krama, Kelihan Desa Adat harus selalu menunjukkan solidaritas antara sesame prajuru (pengurus) dengan masyarakat yang mengarah kepada keberlangsungan pembangunan yang terpolakan kedalam ajaran Tri Hita Karana. Pembangunan dalam konteks ajaran agama Hindu menyangkut pembangunan dalam bidang fisik dan pembangunan dalam bidang rohani, hal ini sejalan dengan arah pembangunan nasional yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya. Kesetiaan terhadap swadharma yang dilakukan oleh Kelihan Desa Adat dalam membangun agung krama yang sejahtera memiliki sinergisitas dengan sastra agama Hindu yakni:
79 Yan ring janma manusa brahma sira lwih,
Kunang ring teja Sang Hyang Aditya sira lwih, Yan ring awayawa yan panipadadi hulu ikang wisesa,
Yapwan ring dharma nghing ksatyan wisesa.
Sarasamuscaya,130. Artinya :
Kalau diantara manusia, Brahmana itu utama, Diantara semua bersinar, matahari yang utama, Diantara semua anggota badan, seperti tangan, kaki, dan lain-lainnya kepala itulah yang utama, Jika mengenai dharma maka satya yang mengatasi segala-galanya.
Berdasarkan isi kitab Sarasamuscaya bahwa kesetiaan merupakan landasan yang paling pundamental bagi Kelihan Desa Adat yang harus dilakukan dalam upaya mengisi dan menjawab semua harapan agung krama. Kesetiaan terhadap pikiran (hrdaya), kesetiaan terhadap warga (satya mitra), kesetiaan terhadap kata-kata (satya wecana), kesetiaan terhadap janji (satya semaya), kesetiaan terhadap perbuatan (satya laksana) merupakan kunci sukses dalam melaksanakan semua program pembangunan. Falsafah kehidupan dalam masyarakat adat Bali sangat membantu Kelihan Desa Adat bersama seluruh prajuru dalam upaya menciptakan kehidupan yang jagadhita diantaranya : pertama, asah-asih-asuh direalisasikan melalui sifat yang saling membina, saling tresna dan saling mengingatkan antara sesama agung krama.
Kelihan Desa Adat wajib menjadi panutan bagi para yowana, dan para yowana wajib Anjali dengan parajuru. Kedua, paras-paros sarpanaya, sagalak-sagilik-saguluk salunglung sabayantaka, yang direalisasikan dalam pola hidup, kebersamaan dalam mencapai kedamaian dan ketentraman baik dalam suasana suka dan dukha. Ketiga, agawe sukaning len yang tercermin dalam pola hidup selalu hormat dan ramah dengan orang lain serta tidak membuat orang lain tersinggung, Jro Suadnyana (Dalam jurnal Pariksa Volume IV, No 1 April 2020).
Pandangan kehidupan masyarakat bali diatas wajib dilaukan Kelihan Desa Adat bersama agung krama untuk memperkuat kerukunan hidup beragama dengan mengedepankan filosofi manyama braya, merajut kembali nilai-nilai tradisional yang telah berakar dengan tidak mengubur kearifan lokal dengan budaya kurang relevan dengan tradisi setempat akhirnya mengubah pandangan agung krama yang sudah bersatu baik dalam suka dan dukha menjadi tidak pragmatis. Nilai-nilai kearifan lokal merupakan perekat yang sangat esensial dalam menjaga budaya setempat dan memfilter budaya asing.
3. Asteya atau Astenya
Asteya artinya tidak mencuri milik orang lain atau tidak memperkosa milik orang lain. Asteya dalam kaitannya dengan kepemimpinan baik sebagi pimpinan organisasi tradisional seperti Desa Adat merupakan ajaran yang melarang kepada setiap pemimpin untuk tidak menyalahgunakan wewenangnya. Fakta
80 menunjukkan sudah banyak kepala daerah (Gubernur, Bupati) ataupun anggota DPR yang sudah sering keluar masuk jeruji besi akibat dari menggunakan wewenang yang lepas dari landasan hukumnya. Bagi seorang Kelihan Desa Adat beserta pengurusnya melakukan swadharma dengan landasan asteya, hal ini sudah bekerja sesuai dharma. Dharma dapat sebagai rambu-rambu bagi pemimpin bagaimana selayaknya seorang Kelihan Desa Adat bekerja atas dasar bhakti (cinta) dan lascarya (Untara, 2020)
Setiap rencana kerja sesuai dengan tupoksinya sebelum direalisasikan, terlebih dahulu disampaikan dihadapan agung krama. Program kerja harus mendapatkan persetujuan agung krama melalui pasangkepan Desa Adat. Bagi pimpinan Desa Adat, melakukan swadharma dengan mengacu kepada ajaran asteya maka korupsi, penyalahgunaan wewenang semakin dapat dikubur dalam-dalam. Kinerja yang subhakarma menuntun setiap moncol Desa Adat ke jalan yang merupakan harapan agung krama. Hal ini sesuai dengan isi Kekawin Ramayana Sarga XXIV sair 18 :
Prehen temen dharma dhumaranang sarat, Saraga sang sadhu sireka tutana,
Tan artha tan kama pidonya tan yasa, Ya sakti sang sajjana dharma raksaka.
(Mantra. Ida Bagus, 2002 : 22) Artinya :
Utamakan benar-benar dharma yang melindungi dunia ini,
Turutilah kehendak orang budiman, yang tidak suka akan artha,nafsu dan kemasyuran,
Kesaktian orang budiman ialah sebagai pelindung dharma.
Melaksanakan dharma untuk menjaga kedamaian masyarakat adat, sifat cinta akan Desa Adat dan sifat mengutamakan kepentingan agung krama (kepentingan umum) menuntun manah untuk tidak melakukan korupsi dan akan mempertebal sifat-sifat utama dan mengarahkan setiap pikiran kelihan Desa Adat menuju brahman.
Seorang pimpinan yang memiliki pikiran cinta terhadap Desa Adatnya, mengutamakan kebajikan untuk kesejahteraan umum, pikirannya akan berkembang lebih besar lagi. Sungguh bahagianya suatu Desa Adat mempunyai pemimpin memiliki sifat bhakti (cinta) akan Desa Adat nya dan mempunyai jiwa pengabdi.
Sebaliknya pemimpin yang hanya mengutamakan kepentingan sendiri yang dinamakan agawe sukaning awak jiwa dan nama besarnya akan runtuh di mata masyarakat adat. Hal ini sesuai dengan isi kitab manu smrti,IV,170 :
Adharmiko naro yo hi, Yasya capyanrtam dhanam, Hingsaratacamyohnityam, Nehasan sukhamedhate.
81 Artinya :
Seorang yang tidak menjalankan dharma atau orang yang mendapat kekayaan dengan jalan curang dan orang yang suka menyakiti makhluk lain tidak pernah berbahagia di dunia ini. Jiwa seorang pemimpin mengabdi demi memperkaya diri dengan mengambil druwen desa (kekayaan agung krama), maka seseorang akan kedudukannya semakin merosot. Tidak hanya masyarakat adat saja yang dirugikan, nilai-nilai sosial atau kearifan lokal akan ikut terancam seperti menyama braya, saling tikul timikul, saling sumbah dan lain sebagainya. Padahal nilai-nilai sosial budaya yang dimaksud di atas merupakan pondasi yang sangat kokoh bagi kehidupan agung krama.
III. KESIMPULAN
Panca Yama Brata Merupakan landasan dan pengendalian bagi setiap agung krama (Kelihan Desa Adat dan prajuru) agar mampu melaksanakan segala swadarmanya yang bertalian dengan Tri Hita Karana. Ajaran ini meminimalisir penyalahgunaan wewenang bagi pemimpin dan mampu membangun kehidupan yang harmonis antara Kelihan Desa Adat dengan Tuhan, anatara Kelihan Desa Adat dengan agung krama, antara Kelihan Desa Adat dengan palemahan (lingkungan).
DAFTAR PUSTAKA
Bhae tandes.2007 Astdasa kotamaning prabhu 18 Rahasia sukses pemimpin
Besar Nusantara Gajah Mada Ceo Agung Majapahit. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama
Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2004. Pokok-pokok Filsafat Hukum.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Kajeng, Inyoman DKK. 2005 Sarasamuscaya Denagn Teks Bahasa Sanskerta dan Jawa kuna. Surabaya. Pramita.
Keraf, A. Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta. Penerbit Bukuku Kompas
Mufid, Muhamad. 2009. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta : Kencana Pranda Media Group.
Pudja, G. 1985 Sarasamuscaya. Jakarta. Departemen Agama RI.
Pudja, G. 1998 Bhagavadgita (Pancama Veda). Surabaya. Pramita.
Severi, Wener J. Dan James W. Tankard, Jr. 2011. Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Masa. Jakarta. Kencana Perdana Kencana Group.
Subagiasta, I Ketut. 2009. Reformasi Agama Hindu Dalam Perubahan Sosial Di Bali 1950-1959. Surabaya Pramita.
Triguna, I.B.Y. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Darama.
Werdinaya, I Ketut,2005. Konsepsi Kepemimpan Hindu Dalam kitab Ramayana dan Implementasinya di Korem/163 Wirasatya Denpasar
Hadriani, N. L. G. (2020). TRANSFORMASI
HUKUM HINDU DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DI
TENGAH DINAMIKA KEHIDUPAN
SOSIAL BUDAYA. Maha Widya Bhuwana: Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya, 2(2), 23-31.
Kemenuh, I. A. A. (2020). Ajaran Karma Phala Sebagai Hukum Sebab Akibat Dalam Hindu. Pariksa, 4(1), 22-29.
Ningrum, P. A. P. (2020). Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengancaman
82 Yang Ditujukkan Dengan Ucapan Dan Hinaan. Pariksa, 4(1), 39-45.
Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Pembelajaran Abad 21 Dan Pengembangan Program Studi Filsafat Hindu Di Stahn Mpu Kuturan Singaraja. PINTU: Jurnal Penjaminan Mutu, 1(2).
Susila, I. N. A., & Karmini, N. N. (2019). NILAI-NILAI PANCASILA DALAM CERITA RAKYAT BALI SEBAGAI
PEMBELAJARAN DAN PENANAMAN
KARAKTER BANGSA. Suluh Pendidikan, 17(2), 101-114.
Srilaksmi, N. K. T. (2020). Fungsi Kebijakan Dalam Negara Hukum. Pariksa, 4(1), 30-38.
Untara, I. M. G. S. (2020). Strategi
Pengelolaan Prodi Filsafat Hindu Stahn
Mpu
Kuturan
Singaraja
Dalam
Meningkatkan Mutu Pembelajaran Daring
Pasca
Covid
19.
PINTU:
Jurnal
Penjaminan Mutu, 1(2).
Wibawa, G. Y. S. (2020). URGENSI PENGATURAN KEWENANGAN DESA ADAT DALAM MENUNJANG ERA NEW NORMAL KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI. VYAVAHARA DUTA, 15(2), 85-98