• Tidak ada hasil yang ditemukan

JBSP JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JBSP JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA"

Copied!
186
0
0

Teks penuh

(1)

JBSP

JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA

JILID 4, NOMOR 2, OKTOBER 2014, Hlm. 145-326 ISSN 2089-0117

Terbit dua kali setahun pada bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian atau hasil pemikiran di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. ISSN 2089-0117

Ketua Penyunting M. Rafiek

Wakil Ketua Penyunting Zulkifli

Penyunting Pelaksana Rusma Noortyani

Noor Cahaya Dwi Wahyu Candra Dewi

Pelaksana Tata Usaha Noor Fajriah

Pembantu Pelaksana Tata Usaha Almaidah

Rezeki Amelia Dana Aswadi

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Ruang bidang Akademik Program Studi Magister Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kode Pos 70123, Gedung Sekretariat Bersama Lt. II Jl. Brigjend. H. Hasan Basry Telepon/Fax. (0511) 3308295. Homepage: http://lmu-efgp.unlam.ac.id, E-mail: pm_pbsid@yahoo.co.id.

JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA diterbitkan sejak 1 April 2011 oleh Program Studi

Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) dengan Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI) Cabang Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin dan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Daerah Banjarmasin.

Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan oleh media yang lain. Naskah diketik di atas kertas HVS kuarto dengan jarak 1 spasi sepanjang maksimum 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada halaman belakang (Petunjuk bagi Calon Penulis JBSP). Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya. Isi artikel ilmiah (tulisan) sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

(2)

JBSP

JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA

ISSN 2089-0117

JILID 4, NOMOR 2, OKTOBER 2014, Hlm. 145-326

DAFTAR ISI

Kesantunan Linguistik Kalimat Imperatif oleh Guru dan Pengasuh kepada Anak Didik Di Taman Penitipan Anak (TPA) Sanggar Rubinha Samarinda

Ali Kusno (Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur) 149-162

Pemerolehan Fonologi Anak di Tiga PAUD Kecamatan Banjarmasin Utara

M. Rafiek dan Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat) 163-188 Kajian Bentuk, Makna, dan Fungsi Dindang

Marfuah (SMAN 2 Kandangan) 289-202

Situasi Diglosia pada Penutur Bahasa Ngaju di Kecamatan Katingan Tengah

Kabupaten Katingan Kalteng

Lili Agustina dan Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat) 203-212 Nilai EQ dan Pendidikan Karakter dalam Novel 5 CM karya Donny

Dhirgantoro

Lita Luthfiyanti (Rumah Matahari Kabupaten Banjar) 213-232

Kesantunan Berbahasa dalam Komunikasi Antarguru di SMK Negeri 1 Martapura

Marny Rustina (SMK Negeri 1 Martapura) 233-242

Tinjauan Intrinsik Drama Bila Malam Bertambah Malam dan Edan karya Putu Wijaya

Dapy Fajar Raharjo (LPMP Kalimantan Tengah) 243-258

Implikatur yang Terungkap dalam Film Habibie dan Ainun

Fithratun Nisa dan Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat) 259-268 Kesantunan Berbahasa di Lingkungan Keluarga Masyarakat Dayak Ngaju,

Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kuala Kapuas

Lastaria dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat) 269-284 Representasi Kekuasaan dalam Novel Ayat–Ayat Cinta karya Habiburrahman

El Shirazy

Hasbi Wayhie (MAN 2 Model Banjarmasin) 285-294

Kesantunan Direktif Bahasa Banjar dalam Interaksi antara Guru dan Murid di SD Negeri Handil Bakti

(3)

Nilai Pendidikan Karakter dalam Novel “Layang-Layang Putus” karya Masharto Alfathi

Mayang Muhairinnisa (Rektorat Universitas Lambung Mangkurat) 301-312 Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Percakapan pada Pertunjukan

Mamanda

Noor Indah Wulandari dan Sarbaini (Universitas Lambung Mangkurat) 313-324 Indeks Pengarang JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA

(JBSP) Jilid 4 (Tahun 2014) 324.1 Indeks Mitra Bebestari JURNAL BAHASA, SASTRA, DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) Jilid 4 (Tahun 2014) 324.2

(4)
(5)

KESANTUNAN LINGUISTIK KALIMAT IMPERATIF OLEH GURU DAN

PENGASUH KEPADA ANAK DIDIK DI TAMAN

PENITIPAN ANAK (TPA) SANGGAR RUBINHA

SAMARINDA (LINGUISTIC POLITENESS OF IMPERATIVE SENTENCES

BY TEACHERS AND CAREGIVERS TO LEARNERS AT TPA RUBINHA

STUDIO SAMARINDA)

Ali Kusno

Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur Jalan Batu Cermin 25, Sempaja Utara, Samarinda

e-mail alikusnolambung@gmail.com Abstract

Linguistic politeness of Imperative Sentences by Teachers and Caregivers to Learners At TPA (TPA) Rubinha Studio Samarinda. Politeness research examines the use of language in a particular language community. This study takes the descriptive qualitative research as its method-ology. This study relates to the use of verbal language. The data is collected by participant observa-tion technique while the data analysis technique is using an interactive model. Based on the re-search concluded that, first, teacher and mother of caregivers use a long speech. As long an utter-ances could be uttered then the more polite it be. Second, teachers and caregivers mother use a sequence of utterances. The use of verbal sequence determines the meaning of an utterance. Third, teacher and mother caregivers use intonation in speaking subtle language, while the kinesthetic cues that follow the speech is usually on the face expression of anger or annoyance. Fourth, teachers and caregivers mother use the expression form of the word politeness marker such as please, come on, try it, and it’s okay.

Key words: politeness, linguistics, imperative sentences Abstrak

Kesantunan Linguistik Kalimat Imperatif oleh Guru dan Pengasuh kepada Anak Didik Di Taman Penitipan Anak (TPA) Sanggar Rubinha Samarinda. Penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian ini berhubungan dengan pemakaian bahasa tutur. Pengumpulan data dengan teknik pengamatan berperan serta, sedangkan teknik analisa data menggunakan model interaktif. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa, pertama, guru dan pengasuh menggunakan tuturan yang panjang. Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santun. Kedua, guru dan bunda pengasuh menggunakan urutan tuturan. Penggunaan urutan tutur menentukan makna sebuah tuturan. Ketiga, guru dan bunda pengasuh menggunakan intonasi dalam bertutur dengan bahasa yang halus, sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya pada eskpresi wajah yang menunjukkan marah atau jengkel. Keempat, guru dan pengasuh menggunakan ungkapan penanda kesantunan berupa kata tolong, ayo, coba, dan tidak apa-apa.

Kata-kata kunci: kesantunan, linguistik, kalimat imperatif

PENDAHULUAN

Anak-anak saat ini, tutur katanya cenderung mengabaikan nilai-nilai kesantunan. Kondisi tersebut mudah ditemukan di lingkungan rumah maupun sekolah. Terlebih lagi saat anak

(6)

berbicara dengan teman-teman sebaya cenderung mengabaikan kesantunan tuturan. Sering anak-anak mengobrol menggunakan kata-kata kasar, sedangkan orang tua yang harusnya memberikan contoh yang baik bagi anak, justru mempertontonkan tuturan yang tidak santun. Ada contoh nyata seperti tuturan Ibu pada anaknya, “Eh, bodoh betul. Sudah dibilangin

berkali-kali jangan mainan air”. Secara tidak sadar orang tua memberikan contoh tuturan yang tidak

santun bagi anak.

Seorang anak yang dapat bertutur santun akan lebih disukai teman-temannya. Dalam kehidupan sosial, orang akan lebih simpatik pada lawan tutur yang santun. Anak yang dibiasakan sejak dini bertutur santun akan lebih mudah bersosialisasi. Anak akan relatif mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selain itu, Anak akan lebih bisa supel dan menghargai orang lain.

Yahya (2011: 1) mengungkapkan bahwa keluarga mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Keluarga merupakan tempat tumbuh kembangnya anak yang pertama. Keluarga tempat anak mendapatkan pengaruh pada masa yang sangat penting dan paling kritis. Kebiasaan yang dikembangkan dalam sebuah keluarga akan membentuk kepribadian seorang anak termasuk bahasa. Pergaulan dalam keluarga dengan penggunaan bahasa yang baik dan santun akan mendorong anak menggunakan bahasa yang santun pula. Sebaliknya, apabila orang tua memberikan contoh yang kurang baik dalam bertutur, anak pun akan menirukannya. Kesibukkan sebagian besar masyarakat perkotaan, seperti di Samarinda, membuat sebagian orang tua memasukkan anak ke taman penitipan anak (TPA). Orang tua dalam memilih taman penitipan anak harus memastikan bahwa anak mendapatkan pendidikan yang baik. Salah satu penitipan anak yang menekankan penanaman kebiasaan kesantunan berbahasa adalah TPA Sanggar Rubinha Samarinda.

Khususnya dalam aktivitas bahasa tutur, di lingkungan TPA tersebut, melibatkan peserta tutur di antaranya, pengasuh, pengajar atau guru, anak-anak, dan orang tua. Usia anak di TPA tersebut bervariasi antara dua bulan sampai dengan tujuh tahun. Interaksi yang paling sering adalah antara pengasuh dan guru dengan anak.

Peran pengasuh dan guru sebagai model dalam bertutur harus benar-benar memperha-tikan kesantunan. Anak akan belajar bahasa dari yang diucapkan oleh guru dan pengasuh. Anak berada di TPA tersebut rentang waktu antara pukul 08.30-16.30 WITA. Hal itu memung-kinkan terjadi interaksi yang intens. Peran peserta tutur khususnya guru dan pengasuh sangat mempengaruhi perkembangan bahasa anak-anak, termasuk pembiasaan kesantunan dalam bertutur.

Selama ini TPA Sanggar Rubinha telah memberikan perhatian khusus terkait kesantunan berbahasa anak. Pihak lembaga menyadari bahwa masa anak-anak merupakan masa emas pembentukan perkembangan bahasa. Berbagai pengarahan dan pelatihan dilakukan terhadap guru dan pengasuh mengenai perilaku dan tuturan yang santun. Meskipun berstatus guru dan pengasuh, saat berinteraksi dengan anak harus memperhatikan kesantunan.

Pembiasaan kesantunan tersebut dimulai dari tuturan guru dan pengasuh. Saat di lingkungan TPA, guru dan pengasuh banyak menggunakan kalimat perintah atau imperatif kepada anak-anak. Penggunaan kalimat imperatif meskipun ditujukan kepada anak-anak harus memperhatikan kesantunan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan mengulas tentang kekhasan penggunaan bahasa imperatif oleh guru dan pengasuh kepada anak-anak di TPA Sanggar Rubinha Samarinda. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi para orang tua agar dapat menerapkan pola asuh yang sama dengan yang dilaksanakan di TPA.

Santun dalam KBBI (http://kbbi.web.id) dimaknai sebagai halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan, sedangkan bahasa sopan santun (http://kbbi.web.id)

(7)

dimaknai sebagai ragam bahasa yang dipakai dalam situasi sosial yang mewajibkan adanya norma sopan santun. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa kesantunan bahasa merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam situasi sosial yang mewajibkan adanya kehalusan budi bahasa dan mengedepankan kesantunan.

Kesantunan dalam bertutur perlu dibiasakan sejak dini di lingkungan keluarga maupun pendidikan. TPA memegang peranan sebagai pendamping dalam menumbuhkan kesantunan anak dalam berbahasa. Menurut Rahardi (2009: 35), penelitian kesantunan mengkaji peng-gunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya.

Adapun yang dikaji dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Wijana dan Rohmadi (2009: 51) mengungkapkan bahwa sebagai retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur.

Kesantunan khususnya dalam kalimat perintah atau permintaan memiliki dasar-dasar pertimbangan tersendiri. Keraf (Rahardi, 2005: 27) menjelaskan bahwa kalimat perintah sebagai kalimat yang mengandung perintah atau permintaan agar orang lain melakukan sesuatu, seperti yang diinginkan oleh orang yang memerintahkan. Seseorang yang menggunakan kalimat imperatif harus menggunakan kalimat yang jelas agar yang diinginkan dapat dipahami dan dilaksanakan oleh lawan tutur.

Kalimat perintah, menurut Keraf (Rahardi, 2005: 27), dapat berkisar antara suruhan yang sangat kasar sampai dengan permintan yang sangat halus. Lebih lanjut, pakar ini menyatakan bahwa perintah mengandung ciri-ciri sebagai berikut: (1) menggunakan intonasi keras, terutama, perintah biasa dan larangan, (2) kata kerja keras, terutama, perintah biasa dan lara-ngan, (2) kata kerja yang mendukung isi perintah itu, biasanya kata dasar, dan (3) menggunakan partikel pengeras-lah.

Kalimat perintah dalam bahasa Indonesia memiliki bermacam-macam jenis. Keraf dalam Rahardi (2005: 27-28) mengungkapkan bahwa kalimat perintah dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yakni (1) perintah biasa, (2) permintaan, (3) perintah mengizinkan, (4) perintah ajakan, (5) perintah bersyarat, (6) perintah sindiran, (7) perintah larangan, (8) perintah harapan, dan (9) seru. Rahardi (1999: 23) menyimpulkan kesantunan linguistik tuturan imperatif bahasa Indonesia mencakup hal-hal berikut: (1) panjang-pendek tuturan, (2) urutan tuturan, (3) intonasi tuturan dan isyarat-isyarat kinestetik, (4) pemakaian ungkapan penanda kesantunan. Terdapat sedikitnya sepuluh macam ungkapan pemarkah yang dapat menentukan kesantunan lingustik tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia. Pemarkah-pemarkah kesantunan linguistik tuturan imperatif tersebut adalah tolong, mohon, silakan, mari, biar, ayo, coba, harap, hendak (lah/nya), dan

sudi kiranya, dan sudi kiranya/ sudilah kiranya/ sudi apalah kiranya. Penggunaan penanda-penanda

tersebut dalam tuturan imperatif akan menciptakan kesantunan.

Selain itu, menurut Chaer (dalam Masfufah, 2013: 103), ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan dalam kesantunan bertutur, yaitu (1) identitas sosial budaya para partisan (penu-tur dan lawan tu(penu-tur), (2) topik tu(penu-turan, (3) konteks waktu, situasi, dan tempat penu(penu-turan berlangsung. Selain itu, menurut Chaer (dalam Masfufah, 2013: 103) juga dipengaruhi oleh tujuan tuturan. Oleh karena itu, hal-hal pokok tersebut menjadi pertimbangan kesantunan dalam tuturan.

(8)

Orang-orang yang berjarak sosial tinggi lazimnya menggunakan tuturan-tuturan yang santun, sebaliknya pihak yang secara sosial dan kultural berada pada posisi lebih rendah akan menggunakan tuturan yang lebih santun lagi (Rahardi, 2009: 28). Khususnya interaksi yang terjadi di TPA Sanggar Rubinha Samarinda, apabila mengacu pada aturan kesantunan bertutur guru dan pengasuh secara etika tidak perlu bertutur terlalu santun kepada anak. Namun, tuturan imperatif yang disampaikan guru dan pengasuh kepada anak-anak memiliki kekhasan. Tuturan harus mempertimbangkan bahwa yang disampaikan hakikatnya bukan tuturan dari orang dewasa kepada anak-anak. Tuturan yang disampaikan tersebut merupakan ‘membahasakan anak-anak’. Guru dan pengasuh bertutur untuk mengajarkan anak-anak tuturan layaknya anak-anak kepada orang dewasa. Jadi tuturan yang disampaikan guru dan pengasuh merupakan prinsip kesantunan yang harus dijalankan anak-anak ketika bertutur dengan orang dewasa.

METODE

Pendekatan dan Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif, yakni prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan tentang sifat individu, keadaan, gejala dari kelompok tertentu yang dapat diamati (Moleong, 1994: 6). Desain penelitian menggunakan desain penelitian studi kasus dalam arti penelitian difokuskan pada satu fenomena saja yang dipilih dan ingin dipahami secara mendalam, dengan mengabaikan fenomena-fenomena lainya (Sukmadinata, 2008: 99). Penelitian ini memfokuskan fenomena penggunaan kesantunan bahasa guru dan pengasuh kepada anak didik di TPA Sanggar Rubinha Samarinda.

Data dan Sumber Data

Penelitian ini berhubungan dengan penggunaan bahasa di lingkungan TPA Sanggar Rubinha. TPA Sanggar Rubinha terletak di Jalan Kulintang 34, Samarinda, Kalimantan Timur. Pemilihan TPA tersebut karena pertimbangan salah satu TPA favorit di Samarinda, jumah siswa 34 anak didik dengan variasi usia antara 3 bulan s.d. 7 tahun, dan memiliki program khusus terkait pengembangan dan pendampingan bahasa anak. Sumber data penelitian ini adalah penggunaan tuturan dikhususkan pada tuturan antara guru dan pengasuh kepada anak didik.

Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan teknik pengamatan berperan serta. Menurut Denzin (Mulyana, 2010: 163) pengamatan berperan serta adalah strategi lapangan dengan responden dan informan, partisipasi dan observasi langsung dan introspeksi. Peneliti terlibat langsung dalam kegiatan belajar, bermain, dan aktivitas lain di TPA Sanggar Rubinha antara tanggal 20-25 Oktober 2014. Dasar yang dipakai dalam penentuan tuturan yang dijadikan data di antaranya variasi bahasa dan variasi penutur.

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrument (paricipant-observer). Peneliti sebagai instrumen memiliki kelebihan dapat langsung melihat, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi dalam interaksi guru dan pengasuh dengan anak didik.

(9)

Analisis Data

Teknik analisa data menggunakan model interaktif, seperti yang dikemukakan Miles & Huberman (2007: 19-20), yang terdiri atas tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data.

HASIL

Guru dan pengasuh TPA Sanggar Rubinha dalam berinteraksi dengan anak didik memperhatikan kesantunan linguistik dalam setiap tuturan imperatif. Berikut ini hasil penelitian penggunaan tuturan imperatif guru dan pengasuh terhadap anak didk yang dikelompokkan berdasarkan jenis perintah yang digunakan.

1. Penggunaan tuturan panjang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan adanya penggunaan tuturan panjang antara guru dan pengasuh TPA Sanggar Rubinha kepada anak didik. Berikut ini data hasil penelitian tuturan panjang sebagai penanda kesantunan dalam berbagai tuturan imperatif tersebut adalah sebagai berikut:

a. Penggunaan tuturan panjang perintah biasa

(1)“Ryu, kalau tapenya dipakai mainan, nanti rusak. Ryu nanti tidak bisa nonton lagu. Sudah, tidak boleh mainan!”

Informasi tuturan:

Dituturkan oleh salah seorang Bunda pengasuh saat melihat Ryu memain-mainkan VCD yang biasa dipakai untuk menyetel video lagu-lagu dan film.

Pada tuturan (1) tersebut, pengasuh memberikan perintah kepada Ryu (2,6 tahun) agar tidak memain-mainkan pemutar VCD. Pengasuh menggunakan tuturan yang panjang dengan menyampaikan Ryu, kalau tapenya dipakai mainan, nanti rusak, Ryu nanti tidak bisa

nonton lagu.

b. Penggunaan tuturan panjang permintaan

(2)“Anak-anak, kertasnya berserakan banyak gitu. Bunda minta tolong dirapikan ya kertas-kertasnya.”

Informasi tuturan:

Dituturkan pengasuh kepada anak-anak pada sore hari setelah selesai bermain membuat topi dari koran. Sobekan-sobekan kertas berhamburan.

Pada tuturan (2) tersebut, pengasuh meminta anak-anak membereskan kertas sisa mainan. Pengasuh menggunakan tuturan panjang permintaan dengan menyampaikan, Bunda minta

tolong dirapikan ya kertas-kertasnya.

c. Penggunaan tuturan panjang perintah mengizinkan

(3)Anak: “Bunda, Naya boleh mainan krayon kah?”

Bunda : “Boleh, tapi krayonnya tidak boleh tercecer ya. Nanti dimakan adik-adik yang kecil.” Informasi tuturan:

Dituturkan oleh Naya, siswa yang berusia 7 tahun dan duduk di kelas 1 SD. Dia meminta izin kepada pengasuh untuk bermain krayon yang ada di kelas.

Pada tuturan (3) tersebut, pengasuh mengizinkan Naya (7 tahun) yang meminta izin untuk bermain krayon. Pengasuh menggunakan tuturan panjang perintah mengizinkan, boleh,

(10)

d. Penggunaan tuturan panjang perintah ajakan

(4)“Baim, Baim kan paling besar. Ayo ajarin Adik-adik merapikan mainannya.” Informasi tuturan:

Disampaikan guru kepada Baim setelah bermain untuk merapikan mainan untuk memberi contoh adik-adik yang kecil.

Pada tuturan (4) tersebut, guru memberikan perintah ajakan kepada Baim (5 tahun) untuk bisa memberi contoh adik-adik yang lain merapikan mainan. Tuturan tersebut merupakan ajakan merapikan mainan.

e. Penggunaan tuturan panjang perintah bersyarat

(5)“Dzakiyah, sudah lapar kan? Cepat ke dapur makan sama teman-teman. Kalau tidak makan nanti tidak dijemput Abi.”

Informasi tuturan:

Disampaikan pengasuh kepada Dzakiyah setelah bangun tidur siang. Dia terlihat duduk bengong. Bunda memerintahkan agar Dizakiyah segera makan dengan teman-teman lainnya. Kalau tidak mau makan tidak dijemput Abi (Ayah).

Pada tuturan (5) tersebut, pengasuh menyampaikan tuturan panjang berisi perintah agar Dzakiyah (4 tahun) ke dapur untuk makan bersama teman-teman. Kenyataannya Dzakiyah susah makan. Oleh karena itu, pengasuh menuturkan syarat kalau ingin dijemput Abi harus makan terlebih dahulu.

f. Penggunaan tuturan panjang perintah sindiran

(6)“Hayo, Tania pintar ya. Susu adiknya dibuang-buang. Nanti Bunda bilangkan Mama, ya.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan pengasuh kepada Tania yang membuang-buang susu Adik Aisha.

Pada tuturan (6) tersebut, pengasuh menyindir Tania (2,2 bulan) dengan mengatakan Tania

pintar ya, yang sebenarnya sebaliknya. Tania telah membuang-buang susu Adik Aisha.

Pengasuh menambahkan sindiran nanti Bunda bilangkan Mama ya. g. Penggunaan tuturan panjang perintah larangan

(7)“Memei, Zea. tidak mainan pintu ya. Tangannya kejepit itu nanti. Kalau berdarah bunda biarin saja, ya?”

Informasi tuturan:

Disampaikan oleh Guru saat Memei dan Zea memain-mainkan pintu kamar.

Pada tuturan (7) tersebut, guru memberikan larangan kepada Memei (2,5 tahun) dan Zea (1,6 tahun). Keduanya sedang asyik memain-mainkan pintu kamar. Sudah berkali-kali kejadian tangan anak terjepit pintu. Ketika melihat kedua anak itu bermain pintu, guru melarang dengan tuturan tidak mainan pintu, ya. Pemberian penjelasan tambahan tangannya

kejepit itu nanti, kalau berdarah bunda biarin saja ya?

h. Penggunaan tuturan panjang perintah harapan

(8)“Ayo, kakak-kakak yang besar sholat dulu, biar jadi anak yang sholeh.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan guru untuk mengajak anak-anak yang besar untuk sholat.

Pada tuturan (8) tersebut, guru menyampaikan perintah kepada anak didik untuk sholat dzuhur berjamaah. Pemberian perintah tersebut disertai dengan harapan biar jadi anak yang

(11)

i. Penggunaan tuturan panjang seru

(9)“Dahlan! Mukul-mukul lagi ya! Kan Bunda sudah bilang tidak pukul-pukul! Bunda tidak mau temenan kalau Dahlan pukul-pukul gitu!”

Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan guru kepada Dahlan yang baru saja memukul Yasmin.

Pada tuturan (9) tersebut, guru memberikan tuturan panjang seru karena Dahlan (2,5 tahun) memukul Yasmin (4 tahun). Dahlan, sebagai anak yang baru masuk, memiliki kebiasaan memukul teman. Kejadian tersebut merupakan yang kesekian kalinya. Guru memberikan peringatan keras dengan sedikit membentak Dahlan! Mukul-mukul lagi ya! Kan Bunda sudah

bilang tidak pukul-pukul! Selain itu, guru juga memberikan peringatan bunda tidak mau temenan kalau Dahlan pukul-pukul gitu!

2. Penggunaan urutan tuturan

Berikut ini penggunaan tuturan yang mengubah urutan tuturan sebagai penanda kesantunan dalam tuturan imperatif di TPA Sanggar Rubinha.

a. Penggunaan urutan tuturan perintah biasa

(10) “Hannil, bukunya bisa rusak kalau dibanting-banting gitu. Ayo dirapikan.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan pengasuh kepada Hannil yang membanting-banting buku bacaan.

Pada tuturan (10) tersebut, pengasuh memberikan perintah kepada Hannil (6 tahun) untuk merapikan buku-buku yang berserakan di kelas. Sebelumnya Hannil membanting-banting buku. Hannil membuat buku berserakan. Pengasuh terlebih dahulu memberikan peringatan

Hannil, bukunya bisa rusak kalau dibanting-banting gitu.

b. Penggunaan urutan tuturan permintaan

(11) “Zea, kenapa Ryu digigit? Coba bunda gigit tangannya (pura-pura menggigit). Sakit tidak? Sakitkan kalau digigit. Zea mau digigit? Ndak kan? Kalau gitu Zea tidak boleh gigit teman ya! Paham!”

Informasi tuturan:

Dituturkan guru yang sambil menahan emosi karena Zea menggigit temannya Ryu hingga menyisakan bekas gigitan di tangan.

Pada tuturan (11) tersebut, guru meminta Zea (1,6 tahun) untuk tidak menggigit kalau gitu

Zea ndak boleh gigit teman ya! Permintaan tersebut didahului tuturan Zea, kenapa Ryu digigit. Coba bunda gigit tangannya (pura-pura menggigit). Sakit tidak? Sakitkan kalau digigit. Zea mau digigit? Tidak kan?

c. Penggunaan urutan tuturan perintah mengizinkan

(12) “Fadlan, Fadlan sarapan dulu ya sebelum belajar.” Informasi tuturan:

Dituturkan oleh guru pendamping saat Fadlan (3 tahun) baru datang. Sebelum ikut gabung belajar diminta sarapan dahulu.

Pada tuturan (12) tersebut, guru pendamping memberikan izin kepada Fadlan (3,8 tahun) untuk belajar dengan catatan sarapan terlebih dahulu. Tuturan pemberian izin tersebut didahului pernyataan agar Fadlan sarapan terlebih dahulu.

(12)

d. Penggunaan urutan tuturan perintah ajakan

(13) “Siapa yang pengen mendapat balon dan kue ulang tahun? Sini ayo kumpul.” Informasi tuturan:

Dalam suasana acara ulang tahun salah satu anak di Taman Penitipan Anak Sanggar Rubinha.

Pada tuturan (13) tersebut guru mengajak anak-anak untuk berkumpul. Ajakan tersebut didahului dengan tuturan siapa yang pengen mendapat balon dan kue ulang tahun?

e. Penggunaan urutan tuturan perintah bersyarat

(14) “Anak yang sholeh harus duduk. Ayo duduk.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan guru pada saat anak-anak belajar.

Pada tuturan (14) tersebut, guru mengajak anak-anak untuk duduk. Ajakan tersebut didahului dengan tuturan bersyarat, anak yang sholeh harus duduk. Ayo duduk.

f. Penggunaan urutan tuturan perintah sindiran

(15) “Kotor ya kamarnya. Madhan mainin bedak ya. Bunda marah nanti. Informasi tuturan:

Dituturkan saat pengasuh melihat Madhan yang menghamburkan bedak di kamar.

Pada tuturan (15) tersebut, pengasuh menyindir Madhan (2,2 tahun) yang sedang asyik bermain bedak di kamar. Pengasuh menyindir dengan tuturan, kotor ya kamarnya. Madhan

mainin bedak ya.

g. Penggunaan urutan tuturan perintah larangan

(16) “Ahmad kalau tidak mau terkunci, pas mau mandi bilang sama Bunda. Jangan mandi sendiri.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan kepada Ahmad setelah terkunci di kamar mandi.

Pada tuturan (16) tersebut, berisi perintah larangan untuk Ahmad (4 tahun) jangan mandi

sendiri. Tuturan larangan tersebut diawali dengan tuturan Ahmad kalau tidak mau terkunci, pas mau mandi bilang sama Bunda.

h. Penggunaan urutan tuturan perintah harapan

(17) “Kak Yasmin, nanti kalau sudah sampai rumah, bilang sama mama ya. Yasmin sudah gede Ma. Yasmin sudah ndak pakai pampers. Yasmin malu.

Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan pada Yasmin yang mau pulang agar menyampaikan ke mama Yasmin kalau Yasmin tidak mau pakai pampers lagi.

Pada tuturan (17) tersebut, berisi perintah harapan untuk Yasmin (4 tahun) agar menyam-paikan ke Mama, kalau Yasmin sudah tidak pakai pampers lagi. Tuturan tersebut didahului dengan tuturan pengantar, Kak Yasmin, nanti kalau sudah sampai rumah, bilang sama mama ya,

Yasmin sudah gede Ma.

i. Penggunaan urutan tuturan panjang seru

(18) “Tu kan puppup di celana. Jadi bau kan kamarnya. Kenapa Baim tidak bilang-bilang. Kalau mau pup bilang Bunda. Cepat ke kamar mandi, dibersihkan!”

Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan Bunda pengasuh kepada Baim yang buang air besar di celana.

Pada tuturan (18) tersebut, berisi perintah seru kepada Baim karena buang air besar di celana. Perintah tersebut berupa, cepat ke kamar mandi dibersihkan! Tuturan tersebut didahului

(13)

dengan tuturan, tu kan pupup (buang air besar) di celana; Jadi bau kan kamarnya? Kenapa Baim

tidak bilang-bilang? Kalau mau pup bilang Bunda.

3. Intonasi dan isyarat-isyarat kinestetik

Lawan tutur guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha Samarinda adalah anak-anak. Oleh karena itu, guru dan pengasuh dituntut untuk dapat bertutur dengan bahasa yang halus mempertimbangkan psikologis anak. Sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya sebatas pada eskpresi wajah.

4. Penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan

Berikut ini data tuturan yang menggunakan penanda kesantunan dalam tuturan imperatif di TPA Sanggar Rubinha.

a. Ungkapan penanda kesantunan perintah biasa

(18) “Kak Kalista, Bunda minta tolong ambilkan kaset CD di meja itu Sayang” Informasi tuturan:

Dituturkan Guru yang meminta Kalista (2,7 tahun) untuk mengambilkan kaset di meja.

b. Ungkapan penanda kesantunan permintaan

(19) “Jihan, tolong ambilkan tisu ya!” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan bunda meminta tolong Jihan (2,2 tahun) mengambilkan tisu untuk mengelap ingus Adik Arnest (9 bulan).

c. Ungkapan penanda kesantunan mengizinkan

(20) “Fayadh mau kue? Sana ambil di meja dekat tv. Ambil saja tidak apa-apa.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan Bunda pengasuh kepada Fayadh (3,5 tahun) yang terlihat malu-malu ingin makan kue yang ada di meja.

d. Ungkapan penanda kesantunan perintah ajakan

(21) “Jihan, Ayo main sama teman-teman di bawah.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan guru kepada Jihan (2,2 tahun) diajak untuk ikut belajar dengan teman-teman di ruang belajar di lantai 1.

e. Ungkapan penanda kesantunan perintah bersyarat

(22)”Tolong mainannya dirapikan dulu sebelum nonton bareng.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaikan bunda pengasuh agar anak-anak merapikan mainan sebelum menonton film sama-sama.

f. Ungkapan penanda kesantunan perintah sindiran

(23)”Ya Allah. Siapa yang tadi numpahin minum. Ayo dibersihkan dulu.” Informasi tuturan:

Tuturan disampaian bunda pengasuh saat melihat lantai basah karena tumpahan minuman.

g. Ungkapan penanda kesantunan perintah larangan

(24)”Ayo dengarkan ya. Tidak boleh buka-buka lemari, ya.” Informasi tuturan:

(14)

h. Ungkapan penanda kesantunan perintah harapan,

(25)”Tolong yang habis mainan, jangan lupa dirapikan, ya.” Informasi tuturan:

Harapan disampaikan guru kepada anak-anak agar merapikan mainan setelah selesai dipakai.

i. Ungkapan penanda kesantunan panjang seru

(26)”Coba yang mau kue angkat tangan!” Informasi tuturan:

Seruan disampaikan guru saat akan membagikan kue.

PEMBAHASAN

Guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha menggunakan kesantunan linguistik tuturan imperatif saat bertutur dengan anak-anak. Hal itu merupakan salah satu upaya menanamkan kesantunan bahasa bagi anak didik. Pembiasaan kesantunan bahasa kepada anak dengan memberikan teladan bahasa yang santun merupakan langkah yang tepat. Tuturan imperatif yang digunakan guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha memiliki kekhasan sebagai berikut.

1. Penggunaan tuturan panjang

Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, semakin pendek sebuah tuturan akan cenderung semakin tidak santunlah tuturan itu. Panjang pendek tuturan berhubungan sangat erat dengan masalah kelangsungan dan ketidak-langsungan dalam bertutur (Rahardi, 2005: 119). Berikut ini tuturan panjang sebagai penanda kesantunan dalam tuturan imperatif oleh guru dan pengasuh kepada anak didik di TPA Sanggar Rubinha.

Penggunaan tuturan panjang perintah biasa. Pemberian perintah biasa dengan disertai alasan akan membuat anak lebih mudah menerima. Selain itu, penggunaan tuturan panjang sebelum memberikan perintah sekaligus mengajarkan anak didik kesantunan dalam tutur. Bentuk tuturan seperti itu disampaikan pengasuh kepada Ryu dengan menyampaikan Ryu,

kalau tapenya dipakai mainan, nanti rusak, Ryu nanti ndak bisa nonton lagu. Tuturan panjang, yang

berisi akibat yang ditimbulkan, dapat dipahami anak. Setelah memahami tuturan tersebut, anak pun mau menerima perintah yang disampaikan.

Penggunaan tuturan panjang permintaan. Penggunaan kalimat permintaan dengan tuturan panjang berisi alasan menunjukkan kesantunan dalam tutur. Bentuk tuturan seperti itu disampaikan pengasuh saat meminta anak-anak membereskan kertas sisa mainan. Sebelum menyampaikan permintaan, pengasuh menggunakan tuturan panjang, anak-anak, kertasnya

berserakan banyak gitu.

Penggunaan tuturan panjang perintah mengizinkan. Pemberian izin, disertai syarat yang harus dipenuhi, memberikan gambaran kesantunan tuturan. Pengasuh mengizinkan Naya yang meminta izin untuk bermain krayon. Pengasuh menggunakan tuturan panjang dengan menyampaikan bahwa boleh, tapi krayonnya ndak boleh tercecer ya, nanti dimakan

adik-adik yang kecil. Tuturan panjang pengasuh tersebut telah memenuhi unsur kesantunan.

Penggunaan tuturan panjang perintah ajakan. Penggunaan tuturan panjang pada perintah ajakan memberikan kesan santun sehingga tuturan terasa bukan sebagai perintah. Contoh tuturan guru memberikan perintah ajakan kepada Baim untuk bisa mengajari adik-adik yang lain merapikan mainan. Tuturan perintah ajakan dengan tuturan panjang ‘Baim,

Baim kan paling besar’ telah menunjukkan kesantunan.

Penggunaan tuturan panjang perintah bersyarat. Penggunaan tuturan panjang sekaligus berisi perintah bersyaratdapatmenimbulkan kesantunan tuturan. Tuturan perintah seperti itu

(15)

disampaikan pengasuh kepada Dzakiyah agar ke dapur makan dengan teman-teman. Pengasuh menuturkan syarat kalau ingin dijemput Abi harus makan terlebih dahulu. Perintah bersyarat dengan tuturan panjang tersebut membentuk kesantunan berbahasa.

Penggunaan tuturan panjang perintah sindiran. Perintah sindiran, dengan tuturan panjang, menimbulkan kesantunan. Pengasuh menyindir Tania dengan mengatakan ‘Tania

pintar ya dan nanti Bunda bilangkan Mama ya’ karena telah membuang-buang susu Adik Aisha.

Penggunaan sindiran tersebut terbukti dapat dipahami dan menghentikan tingkah Tania. Penggunaan tuturan panjang perintah larangan. Penggunaan tuturan panjang pada perintah larangan menimbulkan kesan yang santun. Guru memberikan perintah larangan kepada Memei (2,5 tahun) dan Zea (1,6 tahun). Keduanya sedang asyik bermain pintu kamar. Guru melarang dengan tuturan ‘ndak mainan pintu ya dan tangannya kejepit itu nanti, kalau

berdarah bunda biarin saja ya?’ Selain bertujuan menghentikan kedua anak memainkan pintu,

juga memberikan gambaran akibat kalau tidak mematuhi larangan tersebut.

Penggunaan tuturan panjang perintah harapan. Penggunaan tuturan panjang pada perintah harapan dapat menimbulkan kesan santun. Saat guru menyampaikan perintah kepada anak-anak untuk sholat dzuhur berjamaah. Pemberian perintah tersebut disertai dengan harapan. Selain bertujuan memberikan perintah juga memberikan harapan yang memotivasi anak-anak untuk mematuhi perintah tersebut. Penggunaan tuturan tersebut menjadikan tuturan menjadi santun.

Penggunaan tuturan panjang seru. Pemberian seruan tersebut sebagai bentuk peringatan keras, namun tetap menggunakan tuturan panjang sebagai bagian kesantunan tutur. Penggunaan tuturan keras jarang digunakan guru dan pengasuh, kecuali sudah benar-benar keterlaluan. Guru TPA Sanggar Rubinha memberikan tuturan panjang seru kepada anak. Dahlan, sebagai anak baru masuk, memiliki kebiasaan memukul teman. Pengasuh memberikan peringatan keras dengan sedikit membentak dan memberikan peringatan.

2. Penggunaan urutan tuturan

Hymes (Rahardi (2005: 121) menyampaikan bahwa konsep mnomonik “SPEAKING”, dalam teori etnografi komunikasi, bahwa urutan tutur (acts sequence) menentukan makna sebuah tuturan. Sebuah tuturan yang sebelumnya kurang santun dapat menjadi santun ketika tuturan itu ditata kembali urutannya. Penataan ulang tuturan berpengaruh terhadap maksud yang ingin disampaikan. Dengan demikian, urutan sebuah tuturan ikut mempengaruhi kesantunan sebuah tuturan. Tuturan yang mengubah urutan tuturan sebagai penanda kesan-tunan dalam tuturan imperatif di TPA Sanggar Rubinha Samarinda adalah sebagai berikut.

Penggunaan urutan tuturan perintah biasa. Penggunaan tuturan perintah biasa dengan mengubah susunan tuturan dapat menjadikan tuturan perintah terasa lebih santun. Pengasuh memberikan perintah kepada Hannil untuk merapikan buku-buku yang berserakan di kelas. Pengasuh merubah tuturan perintah dengan terlebih dahulu memberikan peringatan.

Penggunaan urutan tuturan permintaan. Sebuah permintaan akan lebih santun apabila urutannya disesuaikan. Tuturan saat guru meminta Zea untuk tidak menggigit teman, di-dahului dengan uraian akibat menggigit. Tuturan itu dapat dipahami anak untuk tidak diulang lagi sekaligus menimbulkan kesantunan.

Penggunaan urutan tuturan perintah mengizinkan. Tuturan perintah mengizinkan akan lebih santun apabila merubah urutan tuturan. Pola tersebut dipakai guru TPA Sanggar Rubinha. Seperti saat Fadlan menyampaikan keinginan untuk ikut belajar. Pemberian izin tersebut didahului pernyataan agar Fadlan sarapan terlebih dahulu. Tuturan tersebut menimbulkan kesan perintah mengizinkan menjadi lebih santun.

(16)

Penggunaan urutan tuturan perintah ajakan. Perintah ajakan akan lebih halus apabila urutan tuturannya diubah. Contoh tuturan guru mengajak anak-anak untuk berkumpul. Aja-kan tersebut didahului dengan tuturan yang menarik untuk anak dengan menawarAja-kan kue. Anak-anak suka rela berkumpul sesuai dengan perintah ajakan guru tersebut.

Penggunaan urutan tuturan perintah bersyarat. Tuturan perintah dengan mendahulukan syarat memberikan kesan santun pada tuturan. Saat guru TPA Sanggar Rubinha mengajak anak-anak untuk duduk didahului dengan tuturan syarat agar disebut anak sholeh. Anak-anak suka dipuji sebagai Anak-anak soleh. Anak-Anak-anak dengan senang hati melakukan perintah guru agar disebut anak sholeh.

Penggunaan urutan tuturan perintah sindiran. Perintah sindiran akan menjadi santun dengan merubah urutan tuturan. Pengasuh menyindir Madhan yang sedang asyik bermain bedak di kamar. Pengasuh menyindir dengan tuturan kotor ya kamarnya. Madhan mainin bedak

ya. Tuturan yang berisi sindiran tersebut efektif membuat Madhan berhenti bermain bedak

sekaligus menjadikan tuturan yang santun.

Penggunaan urutan tuturan perintah larangan. Pembalikan urutan tuturan perintah larangan dengan diawali tuturan lain membuat tuturan menjadi santun. Contoh tuturan berisi perintah larangan untuk Ahmad (4 tahun) agar tidak mandi sendiri. Tuturan larangan tersebut diawali dengan tuturan lain Ahmad kalau tidak mau terkunci, pas mau mandi bilang sama Bunda. Penggunaan urutan tuturan perintah harapan. Tuturan berisi perintah harapan disampai-kan dengan pengubahan susunan adisampai-kan menimbuldisampai-kan kesantunan. Contoh tuturan berisi perintah harapan untuk Yasmin untuk menyampaikan ke orang tua kalau Yasmin sudah tidak pakai pampers lagi. Tuturan tersebut didahului dengan pengantar tuturan lain. Hal itu menjadikan tuturan santun dan memperhalus perintah harapan yang disampaikan.

Penggunaan urutan tuturan seru. Tuturan seru sebenarnya cenderung kasar terlebih kepada anak-anak. Pengasuh mengurangi kesan tersebut dengan melakukan perubahan urutan tuturan. Contoh tuturan perintah seru pengasuh kepada Baim karena buang air besar di celana. Situasi tersebut memaksa pengasuh menggunakan perintah seru. Perintah tersebut berupa

cepat ke kamar mandi, dibersihkan! Tuturan tersebut didahului dengan tuturan lain tu kan pupup (buang air besar) di celana; Jadi bau kan kamarnya? Kenapa Baim tidak bilang-bilang? Kalau mau pup bilang Bunda. Situasi tutur seperti itu memang memicu emosi dan memungkinkan pengasuh

menggunakan perintah seru. Perubahan urutan tutur dapat memperhalus tuturan seru apalagi disampaikan kepada anak-anak.

3. Intonasi dan isyarat-isyarat kinestetik

Menurut Sunaryati (Rahardi, 2005: 123) intonasi adalah tinggi rendah suara, panjang-pendek suara, keras-lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan. Penggunaan intonasi pada tuturan turut berperan dalam menciptakan kesantunan sebuah tuturan imperatif. Selain intonasi, kesantunan penggunaan tuturan imperatif dalam bahasa Indonesia juga dipengaruhi oleh isyarat-isyarat kinestetik yang dimunculkan melalui bagian tubuh penutur. Lawan tutur guru dan pengasuh di TPA Sanggar Rubinha adalah anak didik. Guru dan pengasuh untuk dapat bertutur dengan intonasi suara yang lemah mempertimbangkan psikologis anak, sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya sebatas pada eskpresi wajah dan gerakan tangan yang mengikuti tuturan. Apabila terdapat anak yang mela-kukan kesalahan atau tidak menurut, guru dan pengasuh menunjukkan ekspresi wajah marah atau jengkel. Anak-anak sudah dapat memahami dan menangkap pesan isyarat kinestetik yang disampaikan guru dan pengasuh. Lamanya interaksi yang terjalin membuat guru, penga-suh, dan anak saling memahami satu sama lain, termasuk isyarat kinestetik masing-masing.

(17)

4. Penggunaan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan

Secara linguistik, kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Dari bermacam-macam penanda kesantunan itu dapat disebutkan beberapa sebagai berikut:

tolong, mohon, silakan, mari, biar, ayo, coba, harap, hendak (lah/nya), dan sudi kiranya, dan sudi kiranya/ sudilah kiranya/ sudi apalah kiranya.

Ungkapan penanda kesantunan contoh tuturan di lingkungan TPA Sanggar Rubinha digunakan sebagai penanda kesantunan perintah biasa, permintaan, mengizinkan, ajakan, bersyarat, sindiran, larangan, harapan, panjang seru. Berbagai penanda yang digunakan di antaranya tolong, ayo, coba, dan tidak apa-apa. Penggunaan penanda yang dominan adalah kata

tolong. Anak-anak di TPA Sanggar Rubinha Samarinda dibiasakan dalam aktivitas yang

melibatkan orang lain menggunakan kata tolong. Hal itu dimulai dari pemberian contoh tuturan-tuturan yang disampaikan oleh guru dan pengasuh.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Penggunaan bahasa tutur khususnya kalimat imperatif guru dan pengasuh kepada anak-anak di TPA Sanggar Rubinha memiliki kekhasan. Berdasarkan penelitian kekhasan tersebut adalah: pertama, guru dan pengasuh menggunakan tuturan yang panjang. Semakin panjang tuturan yang digunakan akan semakin santunlah tuturan itu. Penggunaan tuturan yang panjang tersebut menggunakan berbagai variasi antara lain tuturan panjang perintah biasa, tuturan panjang permintaan,tuturan panjang perintah bersyarat, tuturan panjang perintah sindiran, tuturan panjang perintah larangan, tuturan panjang perintah harapan, dan tuturan yang panjang seru.

Kedua, guru dan pengasuh menggunakan urutan tuturan. Penggunaan urutan tutur (acts sequence) menentukan makna sebuah tuturan. Variasi penggunaan urutan tuturan tersebut di

antaranya urutan tuturan perintah biasa, urutan tuturan permintaan, urutan tuturan perintah mengizinkan, urutan tuturan perintah ajakan, urutan tuturan perintah bersyarat, urutan tuturan perintah sindiran, urutan tuturan perintah larangan, urutan tuturan perintah harapan, dan urutan tuturan panjang seru.

Ketiga, guru dan pengasuh menggunakan intonasi dan isyarat-isyarat kinestetik. Lawan

tutur dalam lingkup TPA Sanggar Rubinha adalah anak didik. Oleh karena itu, guru dan pengasuh dituntut untuk dapat bertutur dengan bahasa yang halus. Sedangkan isyarat kinestetik yang mengikuti tuturan biasanya pada eskpresi wajah. Apabila terdapat anak yang melakukan kesalahan atau tidak menurut guru dan pengasuh cukup menunjukkan ekspresi wajah marah atau jengkel, anak-anak sudah bisa memahami dan mengikutinya.

Keempat, guru dan pengasuh menggunakan ungkapan-ungkapan penanda kesantunan.

Kesantunan dalam pemakaian tuturan imperatif bahasa Indonesia sangat ditentukan oleh muncul atau tidak munculnya ungkapan-ungkapan penanda kesantunan. Berbagai penanda yang digunakan di antaranya adalah tolong, ayo, coba, dan tidak apa-apa. Penggunaan penanda yang dominan adalah kata tolong. Anak-anak di TPA Sanggar Rubinha dibiasakan dalam aktivitas yang melibatkan orang lain menggunakan kata tolong. Hal itu dimulai dari pemberian contoh tuturan-tuturan yang disampaikan oleh guru dan pengasuh.

Saran

Anak pada usia pra-sekolah mengalami perkembangan bahasa yang luar biasa. Momen-tum tersebut harus dimanfaatkan dengan baik untuk menstimulasi bahasa anak termasuk

(18)

tuturan yang santun. Orang tua sebagai pihak paling bertangggung jawab harus memberikan perhatian dan waktu ekstra untuk menstimulasi bahasa anak. Orang tua, apabila pertimbangan kesimbukan, harus menyerahkan kepada pihak yang dirasa mampu seperti memasukkan ke Taman Penitipan Anak. Bahasa tutur, terutama tuturan imperatif orang tua, guru, maupun pengasuh meskipun disampaikan kepada anak, justru harus memperhatikan kesantunan. Tuturan yang disampaikan akan menjadi model bagi anak untuk menirukannya.

DAFTAR RUJUKAN http://kbbi.web.id. Santun. Diakses 28 Oktober 2014.

______________. Bahasa Sopan Santun. Diakses 28 Oktober 2014.

Masfufah, Nurul. 2013. ‘Ketidaksantunan Berbahasa di SMA N 1 Surakarta: Sebuah Kajian Sosiopragmatik’. Dalam Yudianti Herawati (Ed). Benua Etam: Bunga Rampai Penelitian

Kebahasaan dan Kesastraan. 99-122. Yogyakarta: Azzagrafika.

Miles, Matthew B. dan A. Micheal Huberman. 2007. Analisis Data Kualitataif. Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI-Press.

Mulyana, Deddy. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Moleong, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Rahardi, R. Kunjana.1999. Imperatif dalam bahasa Indonesia. Humaniora. Vol. 11. Nomor 2. Yogyakarta: FIB UGM.

Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik, Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Yogyakarta: Erlangga.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Wijana, I Dewa Putu dan Mohammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Praqmatik: Kajian Teori

dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.

Yahya, Agus Shaleh. 2011. Pengaruh Pola Asuh Orang Tua Siswa Pekerja Genting terhadap Motivasi

Belajar dan Moral Siswa di MTs Negeri Sukaraja Kabupaten Majalengka. Tesis. Cirebon:

(19)

PEMEROLEHAN FONOLOGI ANAK DI TIGA PAUD KECAMATAN

BANJARMASIN UTARA (PHONOLOGY ACQUISITION OF CHILDRENS

OF THREE PAUD IN NORTH BANJARMASIN SUBDISTRICT)

M. Rafiek dan Rusma Noortyani

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos

70123, e-mail rfk012@yahoo.co.id Abstract

Phonology Acquisition of Childrens of Three PAUD in North Banjarmasin Subdistrict. This study aims to describe and explain the child’s acquisition of phonology in early childhood subdistrict of North Banjarmasin. This study uses Jakobson’s theory of universal structural theory. The method used in this study is a qualitative research method to approach language acquisition. This study used cross-sectional techniques. The results of this study are minimal pairs of conso-nants and vowels children in the district of North Banjarmasin. In addition, there are also children of early childhood language phoneme distribution in the district of North Banjarmasin, involving vowels, diphthongs, and consonants.

Key words: phonology acquisition, minimal pairs, phoneme distribution Abstrak

Pemerolehan Fonologi Anak di Tiga PAUD Kecamatan Banjarmasin Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan pemerolehan fonologi anak di PAUD kecamatan Banjarmasin Utara. Penelitian ini menggunakan teori Jakobson tentang teori struktural universal. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan pemerolehan bahasa. Penelitian ini menggunakan teknik cross sectional. Hasil penelitian ini adalah pasangan minimal konsonan dan vokal anak PAUD di kecamatan Banjarmasin Utara. Selain itu, ditemukan pula distribusi fonem bahasa anak PAUD di kecamatan Banjarmasin Utara, yang menyangkut vokal, diftong, dan konsonan.

Kata-kata kunci: pemerolehan fonologi, pasangan minimal, distribusi fonem

PENDAHULUAN

Pemerolehan bahasa anak menurut Dharmawijono dan Suparwa (2009: 73-80) sekurang-kurangnya ada empat, yaitu diferensiasi fonologi, diferensiasi morfologi, diferensiasi leksikal, dan diferensiasi semantik. Penelitian pemerolehan bahasa meliputi pemerolehan fonologi, pemerolehan morfologi, pemerolehan sintaksis, dan pemerolehan semantik. Pemerolehan fonologi berupa pemerolehan bunyi bahasa, baik menyangkut huruf vokal maupun konsonan. Pemerolehan fonologi ini dimulai sejak anak mulai bisa berbicara hingga anak bisa mengucap-kan kosakata pertama. Clark dan Clark (1977: 375-376) menyebut pemerolehan fonologi ini dengan bunyi-bunyi pertama atau bunyi-bunyi ujaran. Namun Clark dan Clark (1977: 381) juga mengutip hasil penelitian Shvachkin pada tahun 1973 tentang pemerolehan fonologi anak Rusia. Jadi, Clark dan Clark juga mengakui adanya istilah pemerolehan fonologi.

Steinberg, Nagata, dan Aline (2001: 5) menyebut pemerolehan fonologi sebagai urutan pemerolehan konsonan dan vokal. Jakobson (dalam Steinberg, Nagata, dan Aline, 2001: 5) menjelaskan tentang teori berdasarkan teori fitur distinktif tentang oposisi fonologis yang

(20)

berupaya untuk memprediksi urutan pemerolehan bunyi-bunyi ujaran. Clark dan Clark (1977: 380) mengatakan bahwa anak tidak hanya belajar untuk mempersepsi dan mengidentifikasi perbedaan segmen-segmen fonetik tetapi juga belajar kaidah-kaidah fonologis untuk meng-kombinasikan segmen-segmen ke dalam urutan-urutan.

Teori pemerolehan fonologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural universal dari Jakobson (1968). Teori struktural universal Jakobson ini mencoba menjelaskan tentang pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yaitu hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi (Chaer, 2009: 202). Menurut Jakobson (Chaer, 2009: 202), ada dua tahap dalam pemerolehan fonologi, yaitu (1) tahap membabel prabahasa dan (2) tahap pemerolehan bahasa murni. Jakobson (Chaer, 2009: 205) menyatakan bahwa yang menentukan urutan munculnya bunyi-bunyi adalah seringnya bunyi-bunyi itu muncul dalam bahasa-bahasa dunia.

Menurut Chaer (2009: 204), jika suatu bahasa memiliki bunyi hambat velar seperti [g], bahasa itu pasti mempunyai bunyi hambat alveolar seperti [t] dan bunyi hambat bilabial [b]. Chaer (2009: 204) menyatakan bahwa jika suatu bahasa memiliki bunyi hambat alveolar [t] dan [d], bahasa itu juga pasti mempunyai bunyi hambat bilabial [b] dan [p], tetapi belum tentu bahasa itu memiliki bunyi velar [g] dan [k]. Chaer (2009: 204) juga menyatakan bahwa jika suatu bahasa memiliki konsonan frikatif [v] dan [s], bahasa itu pasti mempunyai konsonan hambat seperti [t] dan [b].

Chaer (2009: 205) menyatakan bahwa:

kontras vokal pertama yang diperoleh anak-anak adalah kontras vokal lebar [a] dengan vokal [i]. Lalu diikuti kontras vokal sempit depan [i] dengan vokal sempit belakang [u]. Sesudah itu baru antara vokal [e] dengan vokal [u] dan vokal [o] dengan vokal [e].

Jakobson dan Hall (dalam Chaer, 2009: 204) menyatakan bahwa pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial), sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai dengan satu vokal lebar, biasanya bunyi [a]. Oleh karena itu, bunyi pertama yang diucapkan oleh seorang bayi adalah ma atau pa. Hal ini diperkuat oleh Dardjowidjojo (2003: 244) yang menyatakan bahwa konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bi-labial nasal serta vokalnya adalah /a/.

Menurut Dardjowidjojo (2003: 246), anak mula-mula menguasai bunyi konsonan bilabial dengan vokal /a/, kemudian alveolar dan velar. Dardjowidjojo (2003: 246) menyatakan bahwa yang universal itu adalah urutan pemunculan bunyi-bunyi bahasa itu. Bunyi /r/ muncul pada Echa saat dia berusia 4 tahun 9 bulan (Dardjowidjojo, 2003: 246). Akan tetapi adik Echa, Dira, telah dapat mengucapkan bunyi /r/ pada usia 3 tahun (Dardjowidjojo, 2003: 246). Dalam proses pemerolehan fonologis, produksi tuturan anak merupakan hasil aplikasi sistem fonologi nurani yang dimilikinya kepada representasi fonologi yang didapatinya setelah mendengar ucapan orang dewasa (Yulianto, 2004: 285).

Lust (2006:176) menyatakan seperti di bawah ini tentang pemerolehan fonologi setelah usia 12 bulan (1 tahun).

Consistent with Jakobson’s theory, acquisition of phonology after the first twelve months repre-sents a linguistic, not merely a motoric, challenge for children. They gradually extend their pho-netic repertoire; many of the fundamental phopho-netic dimensions Jakobson identified may guide the course of this language acquisition. …. Development over the first twelve months in acquisition of phonology does not simply reflect maturation, …. . (Konsisten dengan teori Jakobson,

(21)

motorik, tantangan untuk anak. Mereka secara setahap demi setahap memperpanjang repertoire fonetik; banyak dimensi fonetik fundamental Jakobson diidentifikasi akan memandu jalan pemerolehan bahasa ini. …. Perkembangan setelah 12 bulan pertama dalam pemerolehan fonoogi tidak mudah merefleksikan maturasi (kedewasaan), …. .

METODE

Penelitian menggunakan pendekatan pemerolehan bahasa dan berjenis penelitian kualitatif. Pendekatan pemerolehan bahasa ini dipilih karena dinilai tepat untuk meneliti pemerolehan bahasa dengan aspek fonologi pada anak usia PAUD. Dalam pendekatan peme-rolehan bahasa terdapat teknik cross sectional yang dapat digunakan untuk meneliti objek banyak. Hal ini sesuai dengan pandangan Larsen-Freeman dan Long (1991: 11) yang menya-takan bahwa pendekatan cross sectional meneliti subjek dengan jumlah yang lebih besar tentang performansi linguistiknya dan data performansinya harus dikumpulkan hanya pada satu sesi atau waktu tertentu. Sementara, Ellis (1995: 109) menyatakan bahwa studi cross sectional secara konsisten akurat ketika difokuskan atas makna komunikasi.

Lokasi penelitian ini adalah PAUD di Kecamatan Banjarmasin Utara, yaitu PAUD Nur Amalia, PAUD Al Muhajirin dan PAUD Bachri Education. Teknik pengumpulan data berupa observasi dan perekaman serta pencatatan. Alat perekam yang digunakan ialah kamera digi-tal bermerk Sony berwarna hitam dengan kapasitas 12,1 Mega Pixel. Rekaman berupa video yang didapat kemudian dipindah ke dalam notebook melalui Bluetooth dan kemudian ditrans-kripsikan ke dalam bentuk tulisan untuk dianalisis. Analisis data dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut.

1) Mengumpulkan dan menginventarisasi bunyi-bunyi, baik dalam bahasa Banjar maupun bahasa Indonesia.

2) Mengelompokkan bunyi-bunyi tersebut menjadi kelompok fon dan kelompok fonem. 3) Menganalisis data berdasarkan hasil pengelompokkan data.

4) Menyimpulkan hasil analisis data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasangan Minimal

Pasangan minimal adalah dua ujaran yang salah satu unsurnya berbeda, dua unsur yang sama kecuali dalam hal satu bunyi saja (Kridalaksana, 2001: 156). Fonem-fonem itu ditetapkan berdasarkan kontras pasangan minimal sebagai berikut.

Pasangan Minimal Konsonan

(22)

Pasangan Minimal Vokal

Untuk menetapkan vokal bahasa anak diperlukan pasangan minimal sebagai berikut. Tabel 2. Pasangan Minimal Vokal

(23)

Distribusi Fonem

Distribusi Fonem Vokal

Distribusi fonem vokal dapat dilihat dalam tabel-tabel berikut. a. Distribusi vokal /i/

Distribusi vokal /i/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel-tabel berikut. Tabel 3. Distribusi Vokal /i/

(24)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, vokal /i/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

b. Distribusi vokal /a/

Tabel 4. Distribusi Vokal /a/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, vokal /a/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

(25)

c. Distribusi vokal /u/

Tabel 5. Distribusi Vokal /u/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, vokal /u/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

d. Distribusi vokal /e/

(26)

e. Distribusi vokal /o/

Tabel 7. Distribusi Vokal /o/

Secara keseluruhan, pemerian distribusi vokal seperti telah diuraikan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut.

Tabel 8. Distribusi Vokal Bahasa Anak

Keterangan:

V = dapat menempati posisi - = tidak dapat menempati posisi

(27)

Distribusi Diftong a. Distribusi diftong /ai/

Distribusi diftong /ai/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 9. Distribusi Diftong /ai/

Berdasarkan kenyataan seperti tertera pada tabel 4.9 di atas, diftong /ai/ menempati posisi awal dan akhir kata.

b. Distribusi diftong /au/

Distribusi diftong /au/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10. Distribusi Diftong /au/

Berdasarkan kenyataan seperti tertera pada tabel 10 di atas, diftong /au/ hanya menempati posisi akhir kata.

c. Distribusi diftong /oi/

Tabel 11. Distribusi Diftong /oi/

Berdasarkan kenyataan seperti tertera pada tabel 11 di atas, diftong /oi/ hanya menempati posisi akhir kata.

Secara keseluruhan, pemerian distribusi diftong seperti telah diuraikan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut.

(28)

Tabel 12. Distribusi Diftong Bahasa Anak

Keterangan

V = dapat menempati posisi - = tidak dapat menempati posisi Distribusi Fonem Konsonan

Distribusi fonem konsonan dapat diuraikan pada tabel-tabel berikut. a. Distribusi konsonan /b/

(29)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /b/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

a. Distribusi konsonan /c/

Tabel 14. Distribusi Konsonan /c/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /c/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.

(30)

a. Distribusi konsonan /d/

Tabel 15. Distribusi Konsonan /d/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /d/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.

a. Distribusi konsonan /f/

Tabel 4.16 Distribusi Konsonan /f/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /f/ dapat menempati posisi awal dan akhir kata.

b. Distribusi konsonan /g/

(31)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /g/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.

c. Distribusi konsonan /h/

Tabel 18. Distribusi Konsonan /h/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /b/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

(32)

d. Distribusi konsonan /j/

Tabel 19. Distribusi Konsonan /j/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /j/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

e. Distribusi konsonan /k/

(33)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /k/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

f. Distribusi konsonan /l/

Tabel 21. Distribusi Konsonan /l/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /l/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

(34)

g. Distribusi konsonan /m/

Tabel 22. Distribusi Konsonan /m/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /m/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

(35)

h. Distribusi konsonan /n/

Tabel 23. Distribusi Konsonan /n/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /n/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

i. Distribusi konsonan /p/

(36)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /p/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

j. Distribusi konsonan /r/

Tabel 25. Distribusi Konsonan /r/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /r/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

(37)

k. Distribusi konsonan /s/

Tabel 26. Distribusi Konsonan /s/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /s/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

l. Distribusi konsonan /t/

(38)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /t/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

m.Distribusi konsonan /w/

Tabel 28. Distribusi Konsonan /w/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /t/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.

(39)

n. Distribusi konsonan /y/

Tabel 29. Distribusi Konsonan /y/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /y/ dapat menempati posisi awal, tengah, dan akhir kata.

o. Distribusi konsonan /ñ/

(40)

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /ñ/ dapat menempati posisi awal dan tengah kata.

Distribusi konsonan /h/ dalam bahasa anak dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 31. Distribusi Konsonan /K/

Berdasarkan kenyataan seperti yang tertera pada tabel di atas, konsonan /K/ dapat menempati posisi awal, tengah dan akhir kata.

Secara keseluruhan, pemerian distribusi konsonan seperti telah diuraikan di atas dapat ditabelkan sebagai berikut.

(41)

Keterangan:

V = dapat menempati posisi - = tidak dapat menempati posisi

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan pemerian struktur bahasa anak yang ditinjau dari aspek-aspek yang berkaitan dengan fonologi sebagai berikut.

1. Dalam bahasa anak ditemukan pasangan minimal konsonan dan vokal a) Pasangan minimal konsonan

Pasangan minimal konsonan terdiri atas 4 pasangan, yakni /r/ : /h/, /w/ : /y/, /b/:/t/, /m/:/ l/

b) Pasangan minimal vokal

Pasangan minimal vokal terdiri atas 7 pasangan, yakni /a/ : /i/, /i/ : /u/, /a/ : /e/, /i/ : /o/, /a/ : /o/, /o/ : /u/, /a/ : /u/

(42)

2. Distribusi fonem bahasa anak

a) Distribusi vokal bahasa anak yang meliputi /a/, /i/, /u/, /e/, dan /o/ menempati semua posisi

b) Distribusi diftong bahasa anak yang meliputi /ai/,/au/,dan/oi/. Diftong /ai/ menempati posisi awal dan akhir. Diftong /au/ dan /oi/ hanya menempati posisi akhir

c) Distribusi konsonan meliputi /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /b/, /h/, /r/, /s/, /t/, /w/, /y/, /sy/, /K/ , /c/ , /d/, /g/, /j/, /ñ/ konsonan /k/, /l/, /m/, /n/, /p/, /b/, /h/, /r/, /s/, /t/, /w/, /y/, /K/, dan /sy/ menempati semua posisi. Konsonan /c/, /d/, /g/, /j/, dan /ñ/ menempati posisi awal dan tengah.

Dalam pemerolehan fonologi anak di tiga PAUD di Kecamatan Banjarmasin Utara ditemukan bahwa anak belum bisa mengucapkan s secara fasih. Konsonan s diucapkan c seperti

celasa (selasa), cudah (sudah), picang (pisang), dan becal (besar). Anak PAUD juga ada yang

tidak bisa mengucapkan konsonan b di awal seperti isa (bisa), aca (baca), dan anyu (banyu=air),

l di tengah seperti baon (balon), c di awal seperti ape (capek) dan antik (cantik), d di awal seperti uit (duit), j di awal seperti elek (jelek), angan (jangan), dan aket (jaket), t di awal seperti embakan

(tembakan), c di awal dan l di tengah seperti okat (coklat), s di awal seperti endok (sendok), m di awal seperti otor (motor), ain (main), dan ata (mata), m di awal dan l di akhir yang berubah menjadi bunyi y seperti obiy (mobil), g di awal seperti ajah (gajah), k di awal seperti amis (kamis),

n di awal seperti angis (nangis) dan anti (nanti), dan l di awal seperti awang (lawang=pintu).

Anak PAUD yang diteliti ada yang tidak bisa mengucapkan konsonan r yang berubah menjadi konsonan l seperti lobot (robot), huluf (huruf), galing (garing=sakit), kelual (keluar),

lapi (rapi), lambut (rambut), nomol (nomor), sayul (sayur), belat (berat), telul (telur), waina (warna), yumah (rumah), meyah (merah), dan teybang (terbang). Anak PAUD yang diteliti ada yang kurang

fasih atau kurang lengkap mengucapkan nga (telinga), sigala (serigala), kual (keluar), anjak (handak=hendak, mau), hiumau (harimau), dan ngan (tangan).

Anak PAUD yang diteliti ada yang mengucapkan vokal o menjadi u karena pengaruh bahasa Banjar seperti mubil (mobil). Ada yang mengucapkan vokal i menjadi e seperti tope (topi) karena pengaruh bahasa Banjar. Ada juga yang mengucapkan u menjadi o seperti anggor (anggur). Ada pula yang memang mengucapkan kata bahasa Banjar seperti kalo (kalau), bapoto (berfoto), japai (sentuh), abah (ayah), garing (sakit), jungkang (jungkal), tulak (berangkat), indah (tidak mau), pacul (copot atau lepas), tabakar (terbakar), bedungsur (bergelincir), menuruti (mengikuti, mencoba menyamai), dan lawasnya (lamanya).

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti menyarankan kepada para guru yang mengajar di PAUD agar melatihkan atau mengajarkan pelafalan fonem yang benar dan fasih kepada para anak. Peneliti juga menyarankan kepada para peneliti berikutnya agar melakukan penelitian tentang pemerolehan fonologi anak pada PAUD yang lokasinya lebih besar misalnya sekota atau sekabupaten kalau perlu seprovinsi. Peneliti juga menyarankan kepada para peneliti berikutnya agar melakukan penelitian pemerolehan fonologi dengan menggunakan teori generatif struktural universal, teori proses fonologi alamiah, teori prosodi akustik, atau teori kontras dan proses.

(43)

DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Clark, Herbert H. dan Clark, Eve V. 1977. Psychology and Language, An Introduction to

Psycholinguistics. San Diego: Harcourt Brace Jovanovich Publisher.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik, Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.

Dharmowijono, Widjajanti W. dan Suparwa, I Nyoman. 2009. Psikolinguistik, Teori Kemampuan

Berbahasa dan Pemerolehan Bahasa Anak. Denpasar: Udayana University Press.

Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press. Jakobson, Roman. 1968. Child Language Aphasia and Phonological Universals. The Hague:

Mou-ton Publishers.

Larsen-Freeman, Diane dan Long, Michael H. 1991. An Introduction to Second Language

Acqui-sition Research. London and New York: Longman.

Lust, Barbara. 2006. Child Language, Acquisition and Growth. Cambridge: Cambridge Univer-sity Press.

Steinberg, Danny D.; Nagata, Hiroshi; dan Aline, David P. 2001. Psycholinguistics, Language,

Mind, and World. England: Pearson Education Limited.

Yulianto, Bambang. 2004. Keuniversalan Proses Fonologis dalam Tuturan Anak. Dalam Katharina Endriati Sukamto (Ed.).. Menabur Benih Menuai Kasih, Persembahan Karya

Bahasa, Sosial, dan Budaya untuk Anton M. Moeliono pada Ulang Tahunnya yang ke-75 (Hal.

(44)

Gambar

Tabel 1. Pasangan Minimal Konsonan
Tabel 2. Pasangan Minimal Vokal
Tabel 3. Distribusi Vokal /i/
Tabel 4. Distribusi Vokal /a/
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan mayoritas perusahaan penghasil baja diatas dengan buku periode kuartal 3/2020 dan harga saham per akhir Januari 2021, rata-rata perusahaan tersebut diperdagangkan dengan

Validitas item dari suatu tes adalah ketapatan mengukur yang dimiliki oleh sebutir item (yang merupakan bagian tak terpisahkan dari tes sebagai suatu totalitas),

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, munculnya gugus O-H dengan intensitas yang lebih tinggi dapat diakibatkan karena proses hydrothermal yang dilakukan.Gambar

fluks dan koefisien rejeksi warna, zat organik, serta kekeruhan pada proses pengolahan menggunakan membran ultrafiltrasi tanpa dan dengan kombinasi

Keanekaragaman makrozoobentos dan pengukuran faktor fisika dan kimia merupakan salah satu parameter yang yang di ukur pada saat penelitian di Sungai Batang Gadis.. Tujuan

Nilai Rf ini memiliki perbedaan yang cukup besar antara ekstrak dengan pembanding kuersetin sedangkan nilai Rf pembanding kuersetin pada literatur 0,51 perbedaan

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa maksud dari penelitian ini merupakan sesuatu yang belum di ketahui sehingga menggerakkan penulis untuk mencari pemecahannya

The article is divided into three sections: an overview of why some candidates do not pass the Paper F8 exam, an explanation of how to obtain marks in knowledge and