• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Ijtihad Fazlur Rahman Oleh: Mukhsin Nyak Umar *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metode Ijtihad Fazlur Rahman Oleh: Mukhsin Nyak Umar *"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Mukhsin Nyak Umar Abstrak

Perubahan sosial yang terjadi begitu cepat, sebagai akibat dari kemajuan iptek, berdampak pada timbulnya kesadaran pada sebagian pemikir muslim akan perlunya suatu upaya serius (ijtihad) untuk melakukan re-interpretasi terhadap teks-teks al-Qur'an dan al-Sunnah, terutama yang berkaitan dengan persoalan hukum. Hal ini mutlak diperlukan agar ajaran Islam dapat memberi respon yang baik dalam rangka memenuhi tuntutan perubahan sosial tersebut. Fazlur Rahman -neo modernis asal Pakistan- menawarkan teori gerak ganda (double movement theory), yang menekankan kajian terhadap Qur'an melalui latar belakang sosio-historis al-Qur'an untuk mendapatkan prinsip umum dari suatu hukum yang akan diterapkan pada masa sekarang, sebagai jawaban terhadap realitas sosial ini. Ada tiga pendekatan yang dipergunakan Rahman unutk memperkuat teorinya, yaitu pendekatan historis, kontekstual dan latar belakang sosiologis. Adapun analisis yang dipakai adalah analisis bahasa, kesadaran historis dan pengalaman estetika. Apa yang ditawarkan oleh neo-modernis ini merupakan salah satu bentuk pengembangan metode hermeneutik akhir-akhir ini dianggap sebagai metode alternatif dalam memahami al-Qur'an.

Kata kunci: metode dan ijtihad A. Pendahuluan

Wujud interaksi sosial antarkebudayaan bangsa-bangsa pada era modern ini semakin mempercepat laju perubahan sosial. Dampak perubahan sosial tidak saja menimbulkan kesenjangan antara nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru, tapi juga menyebabkan kesenjangan antara hukum Islam yang telah mapan (fiqh)1 dengan realitas sosial yang terus

mengalami perubahan.2

* Dosen tetap Fakultas Syari'ah dan Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh,

1 Dalam studi keislaman, seringkali dijumpai istilah fiqh, syari’ah dan hukum Islam sebagai sebuah istilah yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Pemahaman terhadap ketiga istilah di atas sangat signifikan – terutama – adanya persepsi yang salah di kalangan masyarakat Muslim dalam memposisikan hukum Islam di tengah perubahan sosial, dan menganggap fiqh sebagai aturan Tuhan yang tidak bisa berubah. Menurut Atho’ Mudzhar, umumnya masyarakat Muslim memandang fiqh identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam identik dengan aturan Tuhan. Akibatnya, fiqh cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. M. Atho’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad:

(2)

Salah satu dampak dari perubahan sosial yang begitu besar ini dapat

mempengaruhi konsep pranata hukum Islam.3 Dapat dikatakan bahwa

persoalan kekinian yang dihadapi oleh umat Islam jauh lebih kompleks dibandingkan dengan apa yang dihadapi oleh umat Islam pada periode sebelumnya. Sementara itu, ketetapan-ketetapan teks al-Qur’an dan Sunnah tidak cukup memadai untuk merespon persoalan-persoalan baru yang berkenaan dengan hukum. Di sini muncul pertanyaan bagaimana cara memperluas ketetapan-ketetapan hukum yang terbatas itu supaya bisa memenuhi tuntutan perubahan sosial ?.

Untuk menjawab persoalan di atas, tentunya dibutuhkan suatu kajian terhadap pesan teks al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam serta aspek-aspek historis-sosiologis yang melatarbelakangi terjadinya pewahyuan.

Salah satu di antara sederetan nama tokoh pemikir Muslim kontemporer adalah Fazlur Rahman (selanjutnya disebut Rahman), yang merupakan seorang pemikir kontroversial asal Pakistan, menawarkan suatu metode dalam memahami pesan-pesan pewahyuan (al-Qur’an dan Sunnah) berupa gerakan ganda dari situasi kini ke masa pewahyuan al-Qur’an, kemudian kembali lagi kemasa kini. Metod ini mengharuskan kita memandang ajaran al-Qur’an secara utuh dan dalam bentangan pewahyuannya, tanpa memperlakukan ayat tertentu al-Qur’an secara terpisah-pisah. Metode pemahaman Rahman seperti ini lebih dikenal dengan istilah teori double movement, sebagai solusi alternatif terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat Muslim dewasa ini.

Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas metode ijtihad Rahman dalam memahami konsep dasar sumber hukum Islam. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal terkait dengan tujuan penulisan ini, pembahasan akan difokuskan kepada pemikiran Rahman tentang sumber

Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), p. 95; idem “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam” dalam Budhy Munawar-Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. 2, (Jakarta: Paramadina, 1995), p. 375. Padahal faktanya menunjukkan bahwa fiqh sebagai produk pemikiran manusia, tidak terlepas dari pengaruh sosial-budaya tempat mereka hidup. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, cet. 11, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), p. 51 ;M. Hasbi ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, cet. V, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), p. 44; M. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), p. 1.

2 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, cet. 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), p. 57-58.

3 Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam: Studi tentang Hidup dan Pemikiran Abu Ishaq asy-Syatibi, alih bahasa Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1996), p. 1.

(3)

hukum Islam. Selanjutnya akan dikemukakan tiga langkah pendekatan Rahman untuk memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah di zaman modern. B. Biografi Singkat Fazlur Rahman

Fazlur Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di Malak sebuah desa di Hazara sebelum terpecahnya India menjadi dua negara merdeka; India dan Pakistan. Sekarang wilayah tersebut merupakan bagian dari kawasan Barat Laut Pakistan.4 Putra dari Maulana Shihabuddin

(seorang ulama terkenal lulusan madrasah Deoband di India) ini dibesarkan dalam keluarga yang religius bermazhab Hanafi, di mana mazhab ini lebih dikenal sebagai aliran rasionalis. Walaupun Rahman hidup dalam lingkungan mazhab Hanafi, tetapi ia berhasil melepaskan diri dari pengaruh mazhab tersebut. Ini terlihat darai kritikan yang dilontarkannya kepada berbagai mazhab, baik mazhab Sunni maupun Syi’i.5 Studinya dimulai dari sekolah menengah modern Deoband (1933),

kemudian melanjutkan pendidikan di Departemen Ketimuran, Universitas Punjab dengan meraih gelar M.A dalam bidang Sastra Arab pada tahun 1942. Pendidikan doktoralnya diperoleh di Universitas Oxford Inggris

dengan disertasi berjudul Avicenna’s Psycology (1946-1950).6 Pada tahun

1950-1958, Rahman mengajar bahasa Parsi dan filsafat Islam di Universitas Durham, dan menjadi Associate Professor of Philosophy dalam kajian Islam di Institut of Islamic Studies Mc. Gill University Kanada.

Sekembalinya dari Barat pada tahun 1962-1988, Rahman di samping sebagai Direktur Lembaga Riset Islam Pakistan, yang bertugas untuk menafsirkan Islam dalam pengertian rasional dan ilmiah, ia juga ditunjuk sebagai anggota Dewan Penasehat Ideologi Islam Pakistan pada tahun 1964, bertugas untuk meninjau hukum dan kebijakan agar sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Selama menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset Islam Pakistan ia mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak terutama kelompok tradisionalis, sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pada akhirnya ia kembali ke tradisi akademisi dan diangkat sebagai professor tamu di University of California Los Angeles dan pada tahun yang sama dikukuhkan sebagai guru besar pemikiran Islam di

4 Ebrahim Moosa “Kata Pengantar” dalam Ebrahim Moosa (peny.), Gelombang Perubahan Dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam Fazlur Rahman, alih bahasa Aam Fahmia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), p. 1.

5 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Sosial, terj. cet. 2, (Bandung: Pustaka, 2000), p. 29-32, 37-46.

6 Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, (Bandung: Mizan, 1989), p. 82.

(4)

Departemen of Near Eastern Languages and Civilization, University of Chicago hingga tutup usia pada tanggal 26 juli 1988.7

C. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Sumber Hukum Islam 1. Al-Qur’an

Sebagai seorang muslim, Rahman meyakini bahwa al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, yang berfungsi sebagai petunjuk bagi setiap umat manusia dalam menjalani kehidupuan di dunia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di samping itu ia juga merupakan sumber utama hukum Islam.

Dalam pandangan Rahman al-Qur’an bukanlah sebuah dokumen hukum, melainkan sebagai buku yang berisi prinsip-prinsip dan seruan moral.8 Di sini bukan berarti al-Qur’an tidak memuat aturan-aturan hukum. Hal ini dapat dicermati pada pernyataan-pernyataan al-Qur’an yang bermuatan hukum -dalam istilah Rahman- disebut legislasi al-Qur’an.9

Baginya legislasi ini memiliki dua unsur, yaitu prinsip umum dan prinsip khusus (legal spesifik). Prinsip umum adalah makna dan alasan di balik ketentuan prinsip khusus, baik diungkapkan secara jelas maupun tidak. Sedangkan prinsip khusus yaitu aturan-aturan hukum amaliyah yang

terdapat dalam ayat hukum.10

Untuk memperkuat tesisnya ini, Rahman mengemukakan salah satu contoh terutama dalam masalah zakat. Prinsip umum yang terkandung di dalamnya adalah upaya mewujudkan keadilan sosial di bidang ekonomi. Prinsip umum ini dapat diketahui melalui ungkapan-ungkapan prinsip khusus dengan mempertimbangkan konteks dan latar belakang sosio-historis masyarakat Arab pada saat periode legislasi.11

Agaknya konsep Rahman mengenai legislasi al-Qur’an ini sejalan dengan konsep maqāşīd al-syarī‘ah al-SyāŃibī. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumber hukum bagi Rahman adalah prinsip-prinsip moral al-Qur’an -yang menurut mayoritas ahli uşūl- dipandang sebagai

7 Tamara Sonn “Fazlur Rahman” dalam John. L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), p. 408.

8 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. III, (Bandung: Pustaka, 1997), p. 43.

9 Ibid.

10 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman..., p. 124.

11 Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1983), p. 60-61.

(5)

tujuan (maqāşid). Perbedaannya adalah konsep kemaslahatan ahli uşūl masih terkait dengan nash.

2. Sunnah dan Hadis

Pada dasarnya konsep Rahman mengeani sunnah merupakan kritikan terhadap konsep sunnah yang dikembangkan oleh para sarjana

Barat.12 Menurut mereka sunnah Nabi bukanlah sunnah Nabi itu sendiri,

melainkan hanyalah sebagai “tradisi yang hidup” dari masyarakat muslim

lokal tertentu.13 Dalam pandangan Rahman, asumsi seperti ini disebabkan

kesalahan mereka memahami sunnah sebagai “praktek yang bersifat normatif (sunnah yang harus diikuti)”dan bukan “prakek yang hidup”.14

Untuk memperkuat alasannya, Rahman memulai analisisnya dengan memberikan gambaran pembedaan yang tegas antara hadīth dan sunnah, dan implikasinya dari adanya pembedaan ini.

Bagi Rahman sunnah adalah “jalan yang ditempuh,”15 “perilaku yang

dapat dijadikan teladan,”16 atau “tingkah laku.”17. Kata sunnah diterapkan

pada kandungan perilaku setiap generasi sesudah Nabi sepanjang perilaku tersebut dinyatakan meneladani perilaku Nabi. Setiap perilaku Nabi sepanjang tradisi tersebut dan berlanjut secara “diam-diam” dan non verbal disebut dengan sunnah.18 Unsur penting yang terdapat dalam

sunnah Nabi, yaitu tidak hanya teladan Nabi secara umum, tetapi

12 Di antara sederetan nama sarjana Barat yang memiliki pandangan berbeda tentang konsep sunnah Nabi sebagaimana yang telah dirumuskan oleh ulama uşūl adalah Ignaz Goldziher. Dalam pandangannya, sulit untuk meyakinkan kebenaran materi hadith yang benar-benar berasal dari Nabi atau sahabat awal, karena tiap-tiap generasi muslim antara materi hadis dengan doktrin-doktrin aliran fiqh dan teologi sering bercampur– hampir-hampir tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Ignaz Goldziher, Muhammadanische Studien, (Halle University Press, 1961), p. 5. Atau meminjam istilah M. Amin Abdullah “saling berkaitkelindan”, dan sulit memisahkan mana hadis dan mana doktrin fiqh atau teologi. Pandangan seperti inilah membuat Ignaz Goldziher berkesimpulan bahwa sunnah hanyalah praktik hidup dan masyarakat muslim awal. Pendapatnya ini diilhami olehsarjana Barat lainnya yaitu Josep Schacht, menyatakan sunnah Nabi merupakan dan kreasi kaum muslim belakangan terutama pada masa Bani Umayyah. Josep Schacht, The Origins of Muhammadan Law, (London: Oxforq University Press, 1975), p. 2-3.

13 Ignaz Goldziher, Muhammadanische Studien,..., p. 5.

14 Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin, cet. II (Bandung: Pustaka, 1984), p. 46.

15 Fazlur Rahman, Islam..., p. 44. 16 Ibid., p. 2.

17 Ibid., p. 3.

(6)

penafsiran terhadap teladan itu yang dibakukan menurut daerah-daerah tertentu.19

Sedangkan hadīth secara bahasa adalah “tradisi” dan sebuah refleksi dalam bentuk verbal dari praktek aktual (sunnah). Dalam hadīth terdapat dua unsur penting yaitu; teks (matan) hadīth dan mata rantai (isnad) yang

menyebutkan nama-nama perawinya.20 Menurut Akhmad Minhaji hadīth

disebut sebagai karir dari sunnah Nabi.21

Sekalipun sunnah sebagai perilaku keteladanan, tetapi ia memuat otoritas Nabi. Bagi Rahman otoritas sunnah Nabi berfungsi sebagai pemayung yang harus dipahami sesuai dengan kondisi saat itu. Argumen seperti ini membawa Ghufron A. Mas’adi kepada kesimpulan bahwa konsep Rahman mengenai sifat otoritas sunnah Nabi sebagai pemayung tercermin di saat dirumuskan dalam konteks taŃbīq al-hukm dengan latar

belakang situasi masyarakat modern abad ke-20.22

Dengan demikian yang dikatakan baru dalam pandangan Rahman mengenai sifat otoritas sunnah Nabi adalah sebagai taŃbīq al-hukm, sedangkan sebagai bayān al-Qur’an dan tasyrī‘ yang dirumuskan dalam konteks istinbāŃ al-hukm adalah konsep otoritas sunnah Nabi yang telah digagas ulama uşūl sebelumnya.

D. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Ijma’

Sebagaimana halnya mayoritas ulama uşūl, Rahman juga mengakui otoritas ijma’ sebagai ĥujjah (dasar) hukum Islam. Untuk menganalisa pemikiran Rahman mengenai ijma’, terlebih dahulu dikemukakan definisi ijma’ pada masa sebelum dan sesudah Syafi’i. Pada masa awal Islam (sebelum Syafi’i) ijma’ adalah kesepakatan (konsensus) masyarakat luas dan bukan ijma’ para ulama23. Sedangkan setelah Syāfi‘ī, ijma’ diartikan

sebagai “kesepakatan ulama atau mujtahid mengenai suatu hukum Islam”.24

19 Fazlur Rahman, Islam..., p. 14. Pendapat Rahman ini sejalan dengan pendapat sarjana Barat yang cenderung mengatakan sunnah tertuju kepada praktek aktual melalui peneguhan lama, selama beberapa generasi berturut-turut, dan memperoleh status normatif -yang pada akhirnya- menjadi sunnah.

20 Ibid., p. 68-70.

21 Akhmad Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, (Jakarta: UII Press, 2001), p. 32.

22 Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman..., p. 140.

23 Ahmad Hasan, Ijma, terj. Achsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1985), p. 81. 24 Beberapa ulama Syafi’i yang memberikan definisi ijma’ seperti di atas antara lain; Syairazi, Lumā‘ fi Uşūl Fiqh, (Makkah: Muĥammad Şāliĥ Aĥmad Mashūr Bāz, t.th.), p. 200, Amidi, Iĥkām fi Uşūl Aĥkām, jilid I, (Kairo: Muassasāt

(7)

Konsep ijma’ yang dirumuskan ulama pasca Syāfi‘ī di atas cenderung bersifat formal (kaku) dan seakan-akan tidak dapat lagi terlaksana, karena sulitnya mengumpulkan pendapat mereka. Dalam pandangan ulama terdahulu, apabila ada yang membantah ijma’ tersebut, maka batallah keberlakuan ijma’. Di samping itu mengingat semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sangat sulit mengumpulkan ulama untuk menyatukan pendapat. Jika argumen ini diterima, maka konsep ijma’ seperti dirumuskan oleh ulama terdahulu (pasca Syāfi‘ī) hanyalah sebatas teori saja, tanpa membumi ke dalam bentuk praktis. Pada akhirnya berdampak pada perkembangan hukum Islam yang cenderung bersifat statis (kaku).

Bagi Rahman, upaya menanggulangi kekakuan hukum Islam yang

dihasilkan pada periode kemundurun Islam adalah dengan

membangkitkan kembali rumusan ijtihad-ijma’. Dalam pandangan Rahman ada keterkaitan antara ijtihad dengan ijma’. Ijma’ berawal dari sebuah perbedaan penafsiran yang berlangsung secara terus menerus -hingga pada akhirnya- membentuk opini umum (publik) yang bersifat regional (kedaerahan). Proses pembentukan opini publik ini dinamakannya dengan ijtihad.25

Ijtihad yang dilakukan baik dalam bentuk individu atau kelompok akan mengkristal ke dalam bentuk ijma’ (konsensus masyarakat) melalui interaksi ide yang tepat. Gagasan Rahman mengenai ijma’ yang merupakan cerminan konsensus masyarakat tidak pernah menjadi monolitik, tetapi selalu mengizinkan perbedaan pendapat. Dalam kondisi yang demikian ada kemungkinan opini kalangan minoritas merupakan opini yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran.26

Pandangan Rahman mengenai rumusan ijma’ di atas merupakan bantahan terhadap pemikiran ulama yang memperlakukan ijma’ menjadi sangat formal dan cenderung berorientasi ke masa lalu. Oleh karenanya Rahman memberikan makna ijma’ sebagai sebuah konsep bersifat dinamis sebagai suatu kesepakatan yang muncul setelah dilakukan penalaran (ijtihad). Konsekuensi dari rumusan ijma’ Rahman ini dapat dipahami bahwa hasil ijtihad yang telah disepakati di suatu daerah tertentu boleh jadi tidak dapat diterapkan pada daerah lain.

Nahñah, t.th.), p. 147, dan Ghazali, Mustasyfā min ‘Ilm Uşūl, (Mesir: Nūr al-Thaqāfah, t.th.), p. 199.

25 Dikutip dari Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, cet. IV, (Bandung: Mizan, 1996), p. 177. Bandingkan dengan Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman..., p. 144.

(8)

E. Tiga Langkah Pendekatan Rahman dalam Memahami Dalil Bila dicermati karyanya, dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari metodologi tafsirnya adalah menganalisis ajaran-ajaran moral yang

terkandung dalam al-Qur’an. Bangunan metodologi yang

dikembangakannya adalah teori double movement, yaitu dari situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan kembali lagi ke masa kini.27

Gerakan pertama dari teori double movement yaitu dari situasi ke kinian ke masa al-Qur,an. Terdapat dua cara yang harus ditempuh untuk gerakan pertama. Pertama sekali memahami setiap pernyataan dengan tidak mengindahkan situasi sejarah di saat pernyataan yang diberikan al-Qur’an berfungsi sebagai jawabannya. Setelah itu baru digeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan dirumuskan sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral sosial yang diperoleh dari al-Qur’an untuk pengaplikasiannya.28 Kedua cara ini akan diperoleh makna asli yang

dikandung dalam wahyu tersebut pada saat diturunkan (era kenabian), sehingga memberi gambaran luas tentang dunia ini. Ide pokok yang terkandung dalam gerakan pertama ini adalah penerapan metode berfikir induktif, dimulai dari ayat-ayat spesifik menuju kepada prinsip moral sosial

yang bersifat umum yang terkandung di dalamnya.29

Gerakan kedua, dari masa al-Qur’an ke masa kini mengandung makna bahwa prinsip-prinsip umumnya yang spesifik dirumuskan dan direalisasikan pada masa sekarang. Dengan kata lain nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum dan sistematis itu diterapkan ke dalam konteks pembaca

al-Qur’an kontemporer.30 Jadi rumusan gerakan ganda Rahman tersebut

diarahkan untuk menemukan dasar moral-sosial suatu ayat dengan menggunakan analisis historis-kontekstual, di mana moral al-Qur’an ini dijadikan alat untuk menjustifikasi keadaan sosial masa kini.

Uraian di atas menunjukkan bahwa gerakan ganda yang ditawarkan Rahman lebih cenderung kepada penafsiran hukum atau ajaran sosial al-Qur’an, meskipun hal ini harus diawali dengan penafsiran tehadap aspek metafisis yang merupakan ajaran awal al-Qur’an dan latar belakang bagi ajaran-ajaran sosialnya.

Penjabaran dari teori double movement ini dirumuskan dalam metodologi tafsirnya yang terdiri dari tiga pendekatan dalam upaya

27 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas..., p. 6. 28 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas..., p. 7.

29 Fazlur Rahman, “Islamic Modernism: Its Scope and Alternatives,” dalam International Jounal of Middle East Studies, vol.V, no.4, (1970), p. 329-230.

30 Ebrahim Moosa “Kata Pengantar” dalam EbrahimMoosa (peny.), Gelombang Perubahan dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: Raja grafindo Persada, 2000), p. 21.

(9)

memahami al-Qur’an dan Sunnah di zaman moedrn, yaitu pertama pendekatan historis untuk menemukan makna teks melalui fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai (value) tertentu yang terkandung di dalamnya; kedua, pendekatan kontentual untuk menemukan sasaran dan tujuan yang terkadung dalam ungkapan legal spesifik, dan ketiga, pendekatan latar belakang sosiologis untuk menguatkan hasil temuan pendekatan kontentual atau untuk menemukan sasaran dan tujuan yang tidak dapat diungkapkan oleh pendekatan kontentual.

Kegiatan pertama ini tidak akan terlaksana apabila tidak disertai dengan kegiatan kedua, yakni pemahaman secara akurat terhadap kehidupan aktual yang sedang berkembang dalam berbagai corak tertentu yang bersifat situasional dan kondisional. Tanpa mencermati situasi dan kondisi aktual, upaya perumusan prinsip umum al-Qur’an ke dalam konteks sosio-historis tidak dapat diwujudkan sebelum dirumuskan kembali.

F. Analisa terhadap Teori Hermeneutik Rahman

Metode penfasiran al-Qur’an Rahman di atas, menekankan pada analisis bahasa, kesadaran historis dan pengalaman tentang estetika. Penekanan terhadap ketiga aspek tersebut menunjukkan bahwa teori

hermeneutik31 Rahman menemukan titik temu dengan Hans-Georg

Gadamer (1900),32 yang menekankan pada ketiga analisis di atas.33 Teori ini banyak memberikan inspirasi bagi Rahman dalam menganalisis makna teks al-Qur’an. Tetapi Rahman menemukan unsur subyektivisme dalam teori hermeneutika Gadamer ketika menafsirkan sebuah teks. Padahal al-Qur’an sebagai teks yang sifatnya objektif seharusnya dipahami secara objektif, sehingga hasil dari penafsiran ini bersifat objektif.

Pada gerakan kedua dari teori double movement-nya, di saat menafsirkan teks al-Qur’an, Rahman selalu menekankan pada pencapaian aturan-aturan yang bersifat moral-sosial (hukum ideal) daripada hukum (legal spesifik). Cara seperti ini – menurut Ebrahim Moosa – sejalan

31 Metode hermeneutik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak dialami kemudian dibawa ke masa sekarang. Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Rajawali Prees, 1996), p. 85. Penafsiran semacam inilah yang dimaksudkan oleh Fazlur Rahman dalam perangkat penafsiran “gerakan ganda” (double movement) yang selanjutnya akan dipaparkan kemudian.

32 E. Sumaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), p. 68.

(10)

dengan teori hermeneutik Emilio Betti (w.1968), yaitu rumusannya tentang nilai-nilai etika dan estetika.34

Untuk mempraktikkan gerakan kedua ini memerlukan analisis yang sangat kompleks. Di sini Rahman tidak mengelaborasi secara detail bagaimana analisis yang mesti melibatkan gabungan antara wilayah sosial dan intelektual dan bagaimana pula melakukannya. Namun yang jelas tampak dalam pikirannya adalah bahwasanya ia membenarkan digunakannya ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang bagus tentang sajarah.35 Di sinilah peran metode kritik sejarah dan hermeneutik

sangat penting untuk dipertimbangkan bahkan diaplikasikan, karena hanya dengan cara ini kita dapat menempatkan perintah al-Qur’an menjadi hidup dan efektif kembali.

Selanjutnya ketika merumuskan situasi dan kondisi yang melatar

belakangi turunnya pewahyuan, Rahman memandang penting

menggunakan asbāb al-nuzūl, tetapi pada saat yang lain ia mengkritik bangunan ilmu tersebut. Terdapat kesulitan dalam menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan.

Di kalangan mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al-‘ibrah) itu bersifat (bi khusus al-sabab) atau umum (bi ‘umum al-lafz). Di samping itu juga kesulitan dalam menentukan apakah dalam situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga khusus, sedang dalam sistuasi lain sebabnya khusus tapi efek legalnya umum.36 Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini oleh mufassir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbāb al-nuzūl. Walaupun demikian, konteks historis juga diperlukan untuk memahami al-Qur’an. Kedua-duanya sangat dibutuhkan untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur’an (ide-ide moral al-Qur’an) atau sebab berlakunya hukum (ratio legis).

Di sinilah teori double movement Rahman mengundang kritikan karena ia tidak menjelaskan bagaimana sekiranya ayat-ayat yang tidak memiliki asbab al-nuzul itu bisa dipastikan situasi sosialnya pada saat wahyu diturunkan. Kritikan itu berasal dari Wael B. Hallaq yang mengatakan bahwa Rahman dalam mengelaborasi suatu metodologi terbatas pada

34 EbrahimMoosa (peny.), Gelombang Perubahan dalam ..., p. 25.

35 Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Relegious Studies; Review Essay” dalam Richard C. Martin (ed.), Approach to Islam in Religious Studies, (Tucson; The University of Arizona Press, 1985), p. 196.

36 Jalaluddin Rahmat “Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh: Dari Fiqh Khulafa’ al-Rasyidin hingga Mazhab Liberalisme” dalam Budhy Munawar Rahman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet 2, (Jakarta: Paramadina, 1995), p. 303.

(11)

pemahaman teks al-Qur’an daripada hukum yang sistematis.37 Dengan kata lain rumusan-rumusan hukum Rahman tidak memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi umat Muslim, sehingga tidak dapat direalisasikan. Hal ini dikarenakan rumusan hukumnya tidak sepenuhnya disandarkan pada mekanisme gerakan kedua, yaitu dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip sistematis yang diperoleh dari teks dan konteksnya pada situasi baru.38

G. Kesimpulan

Sumbangan metodologi yang dirumuskan Rahman dalam memahami Islam pada dasarnya adalah suatu upaya untuk "menemukan" hubungan prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an pada saat pewahyuan, sehingga terwujudnya kemaslahatan. Bentuk maslaĥaĥ yang ditawarkan Rahman terdapat dalam teori double movement yang menekankan kajian terhadap al-Qur’an melalui latar belakang sosial-historis al-Qur’an untuk mendapatkan prinsip umum yang akan diterapkan pada situasi sekarang. Dengan demikian yang ditawarkan Rahman bukanlah suatu hal yang baru, melainkan "cara" (metodologi) mengembangkan teori klasik tepatnya toeri maqāsid al-Syātibī untuk memahami prinsip umum yang terdapat dalam al-Qur’an.

Wa Allāh A‘lām bi al-Şawāb.

37 Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Ushul Fiqh Mazhab Sunni, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, p. 246.

(12)

Daftar Pustaka

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia

,

cet. 11, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1989.

Amidi, al-, al-Iĥkām fi Uşūl al-Aĥkām, jilid I, Kairo: Muassasāt al-Nahñah, t.th.

Ghazali, al-, al-Mustasyfā min ‘Ilm al-Uşūl, Mesir: Nūr al-Thaqāfah, t.th. Goldziher, Ignaz, Muhammadanische Studien, Halle University Press, 1961. Hallaq, Wael B., Sejarah Teori Ushul Fiqh Mazhab Sunni, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2000.

Hasan, Ahmad, Ijma, terj. Achsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 1985. Mas’adi, Ghufron A., Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi

Pembaharuan Hukum Islam, cet. 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.

Minhaji, Akhmad, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, Jakarta: UII Press, 2001.

Moosa, Ebrahim (peny.), Gelombang Perubahan dalam Islam Studi Tentang Fundamentalisme Islam, Jakarta: Raja grafindo Persada, 2000.

Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press.

Rahman, Budhy Munawar (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet 2, Jakarta: Paramadina, 1995.

Rahman, Fazlur, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Mohammad, cet. II, Bandung: Pustaka, 1995.

______, Islam, terj. Ahsin Mohammad, cet. III, Bandung: Pustaka, 1997. ______, Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin, cet. II, Bandung:

Pustaka, 1984.

______, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.

Schacht, Josep, The Origins of Muhammadan Law, London: Oxford University Press, 1975.

(13)

Shiddieqy, M. Hasbi ash-, Falsafah Hukum Islam, cet. V, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.

Sumaryono, E., Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Zuhri, M., Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.

Referensi

Dokumen terkait

Model bisnis usulan Shokitan menggambarkan adanya penambahan pada segmen pelanggan yang berasal dari sektor perhotelan, penambahan value proposition yang ditawarkan

Artinya karyawan yang memiliki kesadaran diri yang tinggi, dapat mengatur diri sendiri, mampu memotivasi diri, memiliki empati pada orang lain serta dapat menjalin

Organisasi dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam dan Keluarga Sejahtera Kota Banda Aceh, yang telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Banda

Dengan demikian, strategi pemasaran harus dapat memberi gambaran yang jelas dan terarah tentang apa yang akan dilakukan perusahaan dalam menggunakan setiap

Pada bagian ini dikembangkan suatu sistem matematika yang terdiri dari satu himpunan tak kosong dengan dua operasi biner yang disebut dengan ring (Khusniyah,

- Bahwa pada awal bulan Januari tahun 2010 sekira pukul 16.30 WIB dalam pertemuan di Mushola Lamnyong yang di hadiri oleh MARZUKI, NUKMAN, ALI, ABDULLAH, Ustad

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di wilayah Salawu didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara dukungan orang tua dengan prilaku menyusui dengan hasil p = 0,000