• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Brucellosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Brucellosis"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

BRUCELLOSIS

Pendahuluan

Brucellosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia maupun hewan. Brucellosis di Indonesia paling umum ditemukan pada ternak sapi dan sering dikenal sebagai penyakit Keluron Menular. Meskipun tingkat kematian akibat brucellosis adalah kecil, namun penyakit ini sangat penting sebagai gangguan reproduksi berdampak secara ekonomi. Kejadian Brucellosis merugikan secara ekonomi baik peternak maupun pemerintah. Keputusan Menteri Pertanian No. 4026/Kpts/OT.140/4/2013 menyebutkan bahwa Brucellosis merupakan salah satu jenis Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) yang ada di Indonesia.

Pada ternak secara umum, kerugian yang paling nyata adalah aborsi, stillbirth, dan kemajiran, baik sementara maupun permanen. Pada ternak perah, selain kegagalan kebuntingan penyakit ini juga mengakibatkan penurunan produksi susu. Spesies dari Brucella yang berpengaruh penting pada ternak di Indonesia adalah B. abortus, B. melitensis, dan B. ovis.

Etiologi

Brucellosis disebabkan oleh bakteri famili Brucellaceae genus Brucella. Brucella merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang dengan panjang 0,5 – 2,0 mikron dan lebar 0,4 – 0,8 mikron (NSWDH 2004). Bakteri ini nonmotil, tidak berspora, dan bersifat aerob. Brucella merupakan parasit intraseluler fakultatif. Pada lingkungan yang hangat dan lembab, seperti di Indonesia, bakteri Brucella dapat bertahan hingga berbulan-bulan di lingkungan. Enam spesies terjadi pada hewan: B. abortus (sapi, bison, kerbau), B. melitensis (domba dan kambing), B. ovis (domba), B. suis (babi), B. canis (anjing) dan B. neotomae (rodent). Beberapa spesies Brucella mengandung biovars. Lima biovars telah dilaporkan untuk B. suis, tiga untuk B. melitensis, dan sembilan untuk B. abortus.

Brucella memiliki 2 jenis antigen, yaitu antigen M dan antigen A. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A, sedangkan B. abortus dan B. suis sebaliknya. Brucella mempunya antigen bersama (common antigen) dengan beberapa bakteri lainnya seperti Campylobacter fetus dan Yersinia enterocolobacter.

Gejala Penyakit Sapi

Aborsi adalah adalah gejala utama brucellosis pada sapi betina. Infeksi juga dapat menyebabkan kelahiran pedet yang lemah (stillbirth), retensi plasenta, dan penurunan produksi susu (Kahn 2003a). Setelah aborsi pertama, kebuntingan berikutnya umumnya normal, namun organisme akan muncul pada susu dan rahim discharge uterus. Pada sapi jantan, infeksi dapat terjadi pada vesikula, ampula, testis dan epididimis. Testis juga dapat mengalami abses. Infeksi yang menahun

(2)

dapat mengakibatkan terjadinya arthritis. Hygromas, terutama pada sendi kaki, adalah gejala umum di beberapa negara tropis.

Domba dan Kambing

Infeksi brucellosis pada kambing dan infeksi B. melitensis pada domba menyebabkan gejala yang mirip dengan sapi. Pada hewan betina, penyakit ini biasanya menyebabkan aborsi pada kebuntingan umur 4 bulan. Selain itu dapat juga ditemukan placentitis serta kematian perinatal. Pada pejantan, kelainan pertama yang mungkin terdeteksi adalah penurunan kualitas semen yang dihasilkan, banyak terkandung sel-sel radang dan mikroorganisme. Kambing jantan dapat menderita arthritis dan orchitis (Kahn 2003b).

Pada domba, B. ovis dapat menyebabkan epididimitis, orchitis dan gangguan kesuburan pada domba (Kahn 2003c). Awalnya, kualitas semen yang ada terlihat buruk, lesi mungkin teraba di epididimis dan skrotum. Epididimitis mungkin unilateral atau kadang-kadang bilateral. Testis mungkin atrofi. Beberapa ekor domba jantan menumpahkan B. ovis untuk waktu yang lama tanpa lesi klinis jelas. Aborsi, placentitis dan kematian perinatal dapat dilihat pada domba betina tetapi jarang terjadi. Tanda-tanda sistemik jarang terjadi.

Anjing

B. canis dapat menyebabkan abortus dan stilbirth pada anjing yang sedang bunting. Abortus biasanya terjadi pada akhir kebuntingan, pada minggu ketujuh sampai kesembilan kebuntingan. Biasanya abortus disertai dengan keluarnya lendir mukus, serosanguineus atau discharge vagina yeng berwarna abu-abu kehijauan selama beberapa minggu.

Patologi Anatomi Sapi

Fetus aborsi dapat tampak normal, mengalami autolisis, atau oedema subkutan dan cairan serosanguineus dalam rongga tubuh (Kahn 2003a). Limpa dan/atau hati dapat mengalami pembesaran dan pada paru-paru dapat ditemukan pneumonia dan pleuritis fibrous. Kejadian aborsi fetus pada betina terinfeksi umumnya disertai dengan plasentitis, dimana kotiledon dapat tampak merah, kuning, normal, atau nekrotik. Daerah interkotiledon dapat tampak basah dengan penebalan fokal. Dapat juga ditemukan eksudat pada permukaannya.

Lesio purulen hingga granulomatosa dapat ditemukan pada saluran reproduksi jantan maupun betina, kelenjar mamae, limfonodus supramamari, jaringan limfoid lainnya, tulang, sendi, serta jaringan dan organ lain (CFSPH 2009). Endometritis ringan hingga berat dapat ditemukan setelah kejadian aborsi dan pada hewan jantan dapat ditemukan epididimitis dan/atau orchitis unilateral atau bilateral. Higroma juga dapat ditemukan pada sendi karpalis, lutut, tarsalis, serta antara ligamentum nuchae dan os vertebrae thoracic pertama.

(3)

Manifestasi utama penyakit pada jantan adalah lesio pada epididimis, tunika dan testis (Kahn 2003b). Pada betina utamanya terjadi placentitis dan aborsi, selain itu dapat juga terjadi mortalitas perinatal pada anak domba (Kahn 2003c). Pembesaran epididimis dapat bersifat unilateral atau bilateral, lebih sering terjadi pada cauda epididimis. Lesio yang paling jelas adalah terbentuknya spermatocele dengan berbagai ukuran yang mengandung cairan spermatik. Seringkali tunika menebal dan menjadi fibrous serta mengalami pelekatan. Testis dapat mengalami atropi fibrous, lesi yang demikian umumnya bersifat permanen. Dalam beberapa kasus, lesionya bersifat sangat jelas, namun ada juga kasus-kasus dimana bakterinya ada dalam semen dalam jangka waktu yang lama tanpa menunjukkan gejala klinis. Karena tidak semua pejantan terinfeksi mempunyai kelainan jelas pada jaringan scrotalnya dan tidak semua kasus epididimitis adalah karena brucellosis, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Anjing

Pembengkakan limfo glandula pada hewan yang terkena brucellosis merupakan gejala yang umum terjadi. Limfonodus retropharingeal dan limfonodus inguinal juga sering terkena peradangan. Limpa juga sering ditemukan mengaami pembesaran serta kadang ditemukan warna yang kemerah hitaman dan ditemukannya nodul-nodul. Pada hewan jantan dapat ditemui edema scrotalis, dermatitis scrotalis, epididymitis, orchitis, prostatitis, ,dan atrofi serta fibrosis pada testis, sedangkan pada hewan betina dapat ditemukan adanya metritis dan discharge vagina. Temuan yang jarang dilaporkan pada kasus brucellosis pada anjing adalah discopondylitis, meningitis, enchepalitis focal non-supuratif, osteomyelitis, uveitis dan abses.

Penulara Penyakit

Brucellosis ditularkan melalui ingesti bakteri yang terdapat dalam susu, fetus yang abortus, membran fetus, cairan uterus dan inseminasi buatan (OIE 2009a). Pada domba, brucellosis juga diketahui dapat ditularkan antar domba jantan melalui kontak langsung. Infeksi biasanya tahan lama pada domba jantan dan B. ovis akan diekskresikan dalam persentasi yang tinggi secara intermiten selama kira-kira 4 tahun (Kahn 2003c). Meskipun ruminansia biasanya tanpa gejala setelah aborsi pertama, selanjutnya dapat menjadi carriers kronis, dan Brucella akan ada pada susu dan discharges uterus selama kebuntingan berikutnya.

Sebagian besar atau semua spesies Brucella juga ditemukan dalam semen. Jantan dapat mendeposisikan untuk waktu yang lama atau seumur hidup. Hal ini merupakan rute utama penularan untuk B. Ovis (Kahn 2003c). Selain itu, B. abortus dan B. melitensis dapat ditemukan dalam semen, namun transmisi kelamin organisme ini jarang terjadi. Beberapa spesies Brucella juga telah terdeteksi pada sekresi lain dan ekskresi termasuk urine, feses, cairan Higroma, air liur, dan hidung dan sekresi mata.

(4)

Brucella dapat menyebar pada fomites termasuk pakan dan air. Dalam kondisi kelembaban tinggi, suhu rendah, dan tidak ada sinar matahari, organisme ini dapat tetap bertahan selama beberapa bulan di dalam air, fetus yang abortus, manure, wol, jerami, peralatan dan pakaian (CFSPH 2009). Brucella dapat bertahan dalam pengeringan, dan dapat bertahan hidup dalam debu dan tanah. Kelangsungan hidup lebih panjang saat suhu rendah, terutama ketika di bawah titik beku.

Diagnosa

Pengambilan sampel Sapi

Bakteri dapat diisolasi dari fetus aborsi (isi lambung, limpa, dan paru-paru), membran fetus, cairan uterus, cairan vagina, semen, susu, cairan hygroma atau sampel jaringan plasenta, limfonodus, organ reproduksi jantan maupun betina, dan kelenjar mammae. Sementara antibodi dapat dideteksi dari susu, whey, semen, dan serum darah. Sampel susu harus diambil dari keempat puting dengan terlebih dahulu membuang perahan pertama.

Domba dan Kambing

Bakteri dapat diisolasi dari fetus aborsi, cairan uterus, cairan vagina, susu, semen atau sampel jaringan limfonodus, limpa, uterus, testis, dan epididimis. Antibodi dapat dideteksi dari serum darah. Sampel susu harus diambil dari semua puting dengan terlebih dahulu membuang perahan pertama.

Anjing

Sama dengan pada hewan ternak, pada anjing bakteri dapat diisolasi dari membran fetus, cairan uterus, cairan vagina, semen, susu, cairan hygroma atau sampel jaringan plasenta, limfonodus, organ reproduksi jantan maupun betina, dan kelenjar mammae.

Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan mikroskopis pada kasus Brucellosis dapat dilakukan dengan cara mengambil sampel berupa swab dari vagina, plasenta, dan jaringan. Pada kejadian aborsi, janin yang telah mati dapat dibuat preparat ulas kemudian diwarnai dengan pewarnaan Stamp modifikasi Ziehl Neelsen (ZN), Koster dan Macchiavello dan selanjutnya diamati morfologinya di bawah mikroskop dengan pemberasaran objektif 100x. Brucella sp. tidak akan terwarnai oleh pewarna asam lemah ataupun basa, pada pemeriksaan bakteri Brucella sp. dengan pewarnaan akan muncul dengan warna merah atau jingga, akan tetapi warna ini sering dikelirukan dengan bakteri Chlamydia dan Coxiella burnettii. Secara morfologi bentuk bakteri Brucella bersifat gram negatif, berbentuk batang pendek (kokobasil) dengan panjang 0,6 μm – 1,5 μm, sel bakteri soliter, bakteri fakultatif intraseluler, nonmotil, tidak membentuk spora dan bakteri merupakan aerob (Hirsh 2001).

Isolasi dan identifikasi bakteri

Isolasi dan identifikasi bakteri Brucellosis maupun serum dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara kultur. Koleksi dari swab vagina merupakan sumber yang sangat baik dan sangat aman untuk dikulturkan, sedangkan kultur dari hewan

(5)

yang telah mati dapat dilakukan dengan mengambil bagian dari sistem retikulo-endotel

Media agar padat selektif yang dapat digunakan untuk mengisolasi dan menumbuhkan bakteri Brucella yaitu Tryptone Soya Broth (TSB) selanjutnya bakteri ini dibiakan secara duplo ke dalam Tryptone Soya Agar (TSA), pertumbuhan kultur di media TSA ini akan terlihat setelah 3 sampai 4 hari. Sifat dari masing masing isolat yang berhasil diisolasi kemudian dipelajari patogenitas serta sifat-sifat lain dengan uji biokimia. Bakteri Brucella sp. tumbuh dengan persyaratan khusus seperti perlunya penambahan supplemen dan membutuhkan gas CO2.

Bakteri brucella setelah tumbuh dapat diketahui dengan ciri yaitu menurut Sulaiman (2006) strain virulen Brucella abortus pada media agar Brucella akan memiliki karakteristik berwarna putih madu, translucent, bertepi halus, bersifat lembab dan berdiameter 1-2 mm dengan pewarnaan gram terlihat batang lembut coccoid atau antara batang dan coccus. Kebanyakan spesies Brucella adalah urease positif kecuali B. ovis. Glukosa dan laktosa tidak difermentasi oleh semua spesies Brucella (Hirsh et al. 2001). Koloni Brucella yang tumbuh pada media TSA dapat di lakukan uji selanjutnya yaitu uji agglutinasi dengan serum monospesifik A (Abortus) dan serum monospesific M (Melitensis) serta dengan uji lanjutan PCR.

Uji serologis

Deteksi antibodi spesifik dalam serum atau susu merupakan cara yang paling praktis dalam mendiagnosa Brucellosis. Kendala pada uji serologi ini adalah munculnya reaksi positif palsu, reaksi silang dengan antibodi yang ditimbulkan oleh bakteri lain seperti Yersinia enterocolitica, E. coli, Vibrio cholerae (Neta et al. 2010). Pemeriksaan ini prinsipnya menentukan adanya antibodi terhadap bakteri Brucella di dalam serum atau cairan tubuh. Uji serologis yang dapat dilakukan pada Brucellosis adalah Rose Bengal Test (RBT), Serum Agglutination Test (SAT), Complement Fixation Test (CFT) dan Enzyme-linked Immunosorbent assay (ELISA) (Siregar 2000). Sebelum dilakukan uji serologis, pada kasus Brucellosis biasanya dilakukan uji screening terlebih dahulu yaitu Milk Ring Test (MRT).

Pengendalian Penyakit

Brucellosis dapat dicegah dengan vaksinasi. Pada sapi, terdapat dua jenis vaksin yang tersedia yaitu vaksin Brucella abortus strain RB51 dan strain 19. Pada kambing dan domba, vaksinasi dilakukan menggunakan vaksin Brucella melitensis strain Rev. 1, baik untuk B. Melitensis maupun B. ovis. Sementara itu, belum ada produk vaksin yang efektif untuk mencegah infeksi B. suis pada babi dan B. canis pada anjing. Semua produk vaksin yang tersedia merupakan vaksin hidup dan berpotensi menimbulkan aborsi bila diberikan pada ternak bunting (OIE 2004).

(6)

Deteksi penyakit dan pencegahan sangat penting karena tidak ada pengobatan efektif yang tersedia saat ini. Eradikasi sangat tergantung pada pengujian dan pemusnahan reaktor (test and slaughter). Ternak harus diuji secara rutin hingga diperoleh hasil negatif 2 atau 3 kali berturut-turut.

Kelompok yang bebas penyakit harus dilindungi. Risiko terbesar berasal dari hewan baru. Hewan baru sebaiknya pedet yang sudah divaksinasi atau sapi dara. Jika ada penambahan sapi bunting atau yang lainnya maka sapi-sapi tersebut harus berasal dari daerah yang bebas brucellosis dan harus seronegatif. Sapi baru sebaiknya diisolasi minimal 30 hari dan diuji sebelum digabungkan ke ternak yang lain (Kahn 2003a).

Domba dan Kambing

Kejadian penyakit dan penyebarannya dapat dikurangi melalui pemeriksaan rutin pejantan sebelum memasuki musim kawin dan pengafkiran pejantan yang memiliki kelainan pada alat reproduksinya. Karena kerentanan bertambah seiring dengan bertambahnya umur, maka dianjurkan untuk memelihara pejantan yang muda. Selain itu pejantan yang diketahui bebas penyakit sebaiknya diisolasi dan dipisahkan dari pejantan tua yang mungkin sudah terinfeksi. Karena infeksi pada betina hampir seluruhnya terjadi akibat perkawinan dengan jantan terinfeksi, maka pelaksanaan program vaksinasi pada jantan dapat secara efektif mengatasi keadaan ini. Penyakit ini dapat dieliminasi dengan mengafkir kelompok ternak.

Penggunaan chlortetracycline dan streptomycin secara bersamaan dapat menyembuhkan penyakit ini, tetapi hal ini tidak ekonomis dari segi biaya kecuali pada domba dengan nilai ekonomi tinggi (Kahn 2003c). Selain itu, meskipun infeksinya dapat dihilangkan, namun infertilitas akibat penyakit mungkin takkan hilang.

Daftar Pustaka

[CFSPH] The Center for Food Security and Public Health. 2009. Brucellosis. United State (US): Iowa State University.

[Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2000. Program dan Pedoman Teknis Pemberantasan Brucellosis pada Sapi Perah di Pulau Jawa. Jakarta (ID): Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Departemen Pertanian Republik Indonesia.

[Kepmentan] Keputusan menteri pertanian. 2013. Penetapan Penyakit Menular Strategis. Jakarta (ID): Kementrian Pertanian.

[NSWDH] New South Wales Department of Health. 2004. Brucellosis [Online] http://www.health.nsw.gov.au/factsheets/guideline/brucellosis.html

[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Manual of diagnostic tests and vaccines Bovine brucellosis. Paris (FR): Office International des Epizooties. [OIE] Office International des Epizooties. 2009a. Bovine Brucellosis. Paris (FR):

Office International des Epizooties.

[OIE] Office International des Epizooties. 2009b. Terrestrial Animal Health Code. Paris (FR): Office International des Epizooties.

Gul ST, Khan A. 2007. Epidemiology And Epizootology Of Brucellosis: A Review. Pakistan Vet J, 2007, 27(3): 145-151.

(7)

Hirsh DC, Maclachlan NJ, Walker RL. 2001. Veterinary Microbiology. 2nd Ed.

Australia: Blackwell publishing.

Kahn CM, Line S. 2003a. The Merck veterinary manual: Brucellosis in cattle. Whitehouse Station, NJ: Merck and Co.

Kahn CM, Line S. 2003b. The Merck veterinary manual: Brucellosis in goats. Whitehouse Station, NJ: Merck and Co.

Kahn CM, Line S. 2003c. The Merck veterinary manual: Brucellosis in sheep. Whitehouse Station, NJ: Merck and Co.

Neta AVC, Mol JPS, Xavier MN, Paixao, TA, Lage AP, Santos RL. 2010. Pathogenesis of bovine Brucellosis J Vet. 184:146-155.

Siregar EA. 2000. Pendekatan Epidemilogik Pengendalian Brucellosis Untuk Meningkatkan Populasi Sapi di Indonesia. Bogor (ID)

Sulaiman I. 2006. Bovine Brucellosis (Bakteriologi-Isolasi dan Identifikasi). Dalam Pedoman Diagnosa Laboratorium Brucellosis Sapi. Wates (ID): Balai Besar Veteriner.

Referensi

Dokumen terkait