• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGGAGAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KETELADANAN. Oleh : Dra Nuraeni, T, M.H BAB I. PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGGAGAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KETELADANAN. Oleh : Dra Nuraeni, T, M.H BAB I. PENDAHULUAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

MENGGAGAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KETELADANAN

Oleh : Dra Nuraeni, T, M.H

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk menjadi manusia yang berkarakter harus dibina dan dikembangkan sedini mungkin secara berkesinambungan. Implementasi pendidikan karakter memiliki misi yang sangat penting dan mulia. Melalui proses pendidikan karakter akan menghasilkan anak-anak didik yang bermoral.

Namun demikian, mengimplementasikan pendidikan karakter di era kehidupan masa kini penuh tantangan. Kita hidup dalam system yang sering melanggar nilai-nilai

moral. Praktik “money politics” dalam berbagai aspek kehidupan sudah menjadi

kelaziman, korupsi setiap hari menjadi bahan pemberitaan, illegal logging sudah

menjarah hutan dimana-mana, pelanggaran lalu lintas menjadi pemandangan biasa, café remang-remang banyak dikunjungi, VCD bajakan dijumpai dimana-mana, majalah-majalah sronok menghiasi di berbagai tempat, dan lain-lain pelanggaran moral yang semua itu dilihat dan disaksikan, bahkan dilakukan oleh anak-anak didik kita. Repotnya, persepsi masyarakat kadang-kadang memaklumi praktik pelanggaran moral tersebut.

Selain itu pengaruh media komunikasi dan informasi dari budaya barat menyerbu

anak-anak didik kita melalui “fun, food, film and fashion”. Fun adalah berbagai hiburan

ala barat yang medatangkan kesenangan anak-anak didik kita, seperti diskotik dan sejenisnya. Food adalah makanan ala barat yang digandrungi anak-anak didik kita dan

bahkan menjadi symbol gengsi dan kebanggaan. Film adalah film-film sronok yang

CDnya dengan mudah didapatkan anak-anak didik kita. Fashion adalah mode pakaian

(2)

2

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

Dari fenomena di atas, saya menegaskan bahwa keteladanan para pendidik menjadi sangat penting dalam mengimplementasikan pendidikan karakter. Betapapun maju dan berkembangnya teknologi pembelajaran, seperti internet, mail, bahkan e-learning, peran para pendidik tidak dapat digantikan. Keteladanan pendidik akan mendorong rasa hormat dan meneladani pendidiknya sehingga menjadi pribadi berkarakter.

B. Permasalahan

Masalah pokok yang menjadi tantangan bagi pendidik adalah “bagaimana

mengimplementasikan pendidikan karakter melalui keteladanan“. Pokok

permasalahan yang dibahas meliputi tahap-tahap perkembangan karakter anak dan Keteladanan dalam pendidikan karakter.

. C. Tujuan

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru mengenai implementasi pendidikan karakter melalui keteladanan.

D.Manfaat

Bagi guru : menambah wawasan dan pengetahuan tentang implementasi

pendidikan karakter

Bagi sekolah : meningkatkan kualitas output

Bagi Dinas Pendidikan: menambah wawasan dan pengetahuan dalam menggalakkan pendidikan karakter

BAB. II . PEMBAHASAN

(3)

3

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

Menggagas implementasi pendidikan karakter dimulai dari tahap-tahap perkembangan karakter anak. Pendidikan karakter akan sesuai dan berhasil jika dilaksanakan seiring dengan perkembangan karakter/moral anak didik. Tahap-tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlberg (1995), yakni sebagai berikut:

1. Tingkat Prakonvensional

Tingkat ini merupakan masa peka dan sensitive. Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik dan kenikmatan perbuatan, seperti: hukuman, keuntungan, dan pertukaran kebaikan atau dari segi kekuatan fisik mereka yang memaklumkan peraturan. Tingkat prakonvensional memiliki dua tahap:

 Orientasi hukuman dan kepatuhan

 Orientasi relativis-instrumental

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini anak membutuhkan standar moral yang jelas atau idola. Anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat. Semua itu dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang akan muncul. Sikap anak bukan saja konformitas terhadap pribadi dan tata tertib social, melainkan juga loyalterhadapnya, dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat konvensional memilik dua tahap, yaitu:

 Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi “Anak manis”

 Orientasi hukum dan ketertiban

3. Tingkat Pascakonvensional

Tingkat ini m,erupakan tahap dewasa. Terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan

(4)

4

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok. Tingakat ini memiliki dua tahap, yaitu:

 Orientasi control social legalitas

 Orientasi prinsip etika universal

Berdasarkan tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral itu, kemudian Kohlberg (1995) menerjemahkan ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan (perilaku). Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan karakter, maka motif-motif perilaku manusioa adalah sebagai berikut:

Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati . Pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman. Tahap 2: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis sehingga membedakan rasa takut, nikmat, sakit akibat hukuman tersebut.

Tahap 3: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotetis.

Tahap 4: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa diri bersalah atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain.

Tahap 5: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri. Misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten dan tanpa tujuan.

Tahap 6: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsipo-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat dari masyarakat dengan rasa hormat dari diri sendiri, antara rasa hormat diri karena mencapai rasionalitas dengan

(5)

5

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsip-prinsip moral.

B.Keteladanan dalam Pendidikan Karakter

Sampailah kini pada bagian yang amat penting dan amat sulit untuk merumuskan dan melaksanakannnya. Namun, betapapun sulit, sebagai pendidik yang memiliki kompetensi kepribadian, social, pedagogi, dan professional harus mampu mengimplementasikannya. Berdasarkan pada perkembangan karakter anak, maka gagasan implementasi pendidikan karakter melalui keteladanan adalah:

1. Harus memiliki standar nilai yang jelas

Standar nilai ini merupakan “core value” yang harus dirumuskan dengan jelas,

operasional, dan dipahami oleh pendidik maupun anak didik. Proses pendidikan, baik di keluarga maupun sekolah, tidak boleh berlangsung secara datar saja, pendidik dan anak didik hanya melakukan aktivitas rutin saja, berperilaku sesuai kehendak masing-masing, tanpa standar moral yang jelas yang dapat mengatur dan dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Misalnya pendidikan dalam keluarga, bagi yang beraga islam setiap mendengar adzan maghrib, TV dimatikan dan setiap anggota keluarga harus sholat berjamaah. Contoh lain kalau hendak pergi, harus jelas kemana perginya, apa tujuannya, dengan siapa, jam berapa harus pulang. Dan masih banyak lagi standar yang dapat dikembangkan di rumah.

Di sekolah juga sudah dikembangkan 13 nilai karakter yang harus

diimplementasikan. Implementasi pendidikan karakter melalui integrasi ke dalam mata pelajaran, kegiatan pengembangan diri (ekstrakurikuler dan bimbingan konseling), serta pembiasaan yang terjadwal maupun spontan.

2. Konsisten mentaati standar nilai yang telah dirumuskan dan disepakati

Ketidakkonsistenan perilaku anggota keluarga atau warga sekolah, apalagi yang tidak konsisten adalah guru atau orang tuanya atau yang lebih dewasa, maka akan

(6)

6

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

menimbulkan kekecewaan dan pemberontaan pada diri anak. Pada gilirannya, anak justru melakukan sikap dan perilaku yang jauh melenceng dari standar yang telah ditetapkan dan disepakati. Ini bias terjadi karena pada dasarnya anak sangat tidak senang guru, orang tua atau orang dewasa lain berperilaku tidak konsisten terhadap apa yang telah disepakati bersama.

3. Suri teladan berkarakter harus ditunjukkan oleh pendidik

Pendidik harus dapat menjadi model bagi anak didiknya. Menurut “social learning

theory” yang dikembangkan oleh albert bandura (1980),. Perilaku seseorang sangat

mudah dikembangkan melalui perilaku yang dilakukan oleh orang lain, yang dalam

teori ini dikenal dengan “modeling process”. Akan sangat efektif proses modeling ini

berlangsung jika yang ditiru adalah figure yang diidealkan atau diiodolakan oleh anak, yang dalam hal ini adalah para pendidik. Pepatah lama “Guru kencing berdiri, anak kencing berlari” berlaku di sini. Meskipun sesungguhnya banyak yang tidak kencing berdiri karena jumlah guru perempuan lebih banyak daripada laki-laki.

4. Menerapkan model “induksi konflik-kognitif

Prosedur penerapan model ini adalah siswa dalam satu kelas di bagi dalam kelompok. Setiap kelompok diberi tema dilemma moral. Mereka diminta untuk mendiskusikan di bawah bimbingan guru. Dari argumentasi yang mereka kemukakan, guru member penguatan dan kemudian member pemikiran-pemikiran tentang alternative perilaku bermoral berkenaan dengan topic yang mereka diskusikan.

5. Ketulusan pendidik

Mengimplementasikan pendidikan karakter untuk menghasilkan anak didik berkarakter membutuhkan waktu lama dan tidak mudah, karena itu dibutuhkan ketulusan dan kesabaran pendidik. Apalagi kalau anak didik berada pada vase remaja dengan berbagai karakteristik yang unik dan kadang-kadang konfrontatif.

6. Empatik, Persuasif, dan Represif

Jika pendidik secara konsisten telah mampu menjadi teladan bagi anak didik, maka dalam menegakkan disiplin agar anak didik mentaati standar nilai yang telah

(7)

7

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

ditetapkan dan disepakati harus dilakukan dengan empatik. Artinya, pendidik berusaha memahami pikiran, perasaan dan perilaku anak didik dalam menjalankan standar nilai yang ada. Selain empatik juga persuasive, artinya dengan sikap keterbukaan dan kehangatan melakukan pendekatan kepada anak didik agar secara konsisten mentaati standar nilai yang telah disepakati bersama. Jika pendekatan empatik dan persuasive telah dilakukan secara berkelanjutan, tetapi masih ada anak didik yang tidak mentaati standar nilai yang telah disepakati, maka tindakan tegas/represif perlu dilakukan.

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter melalui keteladanan perlu terlebih dahulu memahami tahap-tahap perkembangan karakter anak. Ada tiga tahap perkembangan karakter anak, yaitu tahap prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional. Dengan memahami tahap perkembangan karakter ini, langkah-langkah keteladanan dalam implementasi pendidikan karakter dapat dijabarkan dalam keenam langkah, sebagai berikut; 1) harus memiliki standar nilai yang jelas, 2) konsisten mentaati standar nilai yang telah dirumuskan dan disepakati, 3) Suri teladan berkarakter harus ditunjukkan oleh pendidik, 4) menerapkan model “induksi konflik-kognitif”, 5)

ketulusan pendidik, 6) empatik, persuasive, dan represif

B. Saran

Guru diharapkan mengimplementasikan pendidikan karakter dengan

mengintegrasikan nilai karakter ke dalam mata pelajaran yang diampunya, terutama melalui keteladan. Sekolah diharapkan menyusun program pendidikan karakter di sekolahnya dan selalu memotivasi warga sekolah agar dapat menjadi teladan bagi yang

(8)

8

http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215

Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189

lain. Dinas pendidikan diharapkan mengkoordinasikan dan menggalakkan implementasi pendidikan karakter di sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Asrori, M. 2005. Perkembanagn Peserta Didik. Edisi Revisi, malang: Wineka Media.

Bandura, A. 1996. Social foundation of Thought and Action. Englewood Cliff, New

Jersey: Prentice-hall, Inc.

Chaplin. 1980. Dictionary of Psikology. New York: McGraw-Hill.

Kohlberg, L. E. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. (Alih bahasa: John de Santo

dan Agus Cremers). Yogyakarta: Kanisius.

Sunaryo kartadinata. 2001. Orientasi Timbangan Moral serta Kaitannya dengan

Referensi

Dokumen terkait

Penekanan pertumbuhan tanaman sawi pada pengamatan tinggi tanaman 10, 20 dan 30 HST menunjukkan pengaruh yang nyata sejalan peningkatan konsentrasi cairan perasan

Penelitian yang dilakukan oleh Sukmawati Basir, dengan judul” Hubungan Antara Profesionalisme Pustakawan Terhadap Kualitas Pelayanan Di Perpustakaan UPT Pusat UIN Alauddin

Metode analisis kadar kalsium pada susu segar secara titrasi kompleksometri mempunyai nilai akurasi yang baik, yaitu 99,29% pada konsentrasi spiking 60 mg/100 mL

Hasil penelitian menunjukan areal revegetasi yang belum ditumbuhi covercrop mempunyai laju erosi sangat tinggi dan kesuburan tanah yang rendah, sedangkan pada areal yang

Pendekatan Proses, Dapat disimpukan dalam indikator Pendekatan Proses pada pelanggan mendapatkan perolehan nilai sebesar 83,11 dapat di katakan sangat tinggi

Komponen LKPD dapat mengarahkan peserta didik untuk membangun konsep, memiliki nilai kelayakan 83.33%.Validator II dan II memberikan nilai 3 pada komponen ini karena

Penulis menggunakan metode angket untuk mengetahui sejauh mana hubungan pendidikan orang tua dengan minat belajar IPS dari peserta didik kelas V SD Negeri Sukun

M.Munandar dalam buku “Budgeting Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja, Pengawasan Kerja (2001;1)”menyatakan bahwa anggaran (Budgeting) adalah suatu rencana yang