• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Kuasa Michel Foucault untuk Analisis Wacana Kritis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep Kuasa Michel Foucault untuk Analisis Wacana Kritis"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1. Michel Foucault dan Pemikirannya a. Riwayat Hidup Michel Foucault

MICHEL FOUCAULT lahir di Poitiers, Perancis, tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis. Ayahnya adalah seorang ahli bedah, juga saudara dan kakeknya. Berbeda dengan Foucault yang lebih tertarik ada studi filsafat, sejarah, dan psikologi. Meski begitu kita bisa melihat pemikiran Foucault berkaitan erat dengan bidang medis, khususnya psikopatologi.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Ecole Normale Superiore pada 1946, ia memperdalam lagi bidang filsafat hingga meraih lisensi pada 1948. Dua tahun kemudian ia memperoleh lisensi dalam bidang psikologi. Ia juga mendapat diploma dalam psikopatologi. Ia sempat terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951.

Michel Foucault adalah salah satu tokoh postrukturalis dan posmodernis terkemuka. Dia dikenal sebagai seorang intelektual yang cukup produktif dalam melakukan penelitian dan menerbitkannya sebagai buku. Bukunya yang pertama berjudul Maladie Mentale et Personalitte (Penyakit Mental dan Kepribadian), terbit pada 1954 dan habis terjual di pasaran. Setelah itu, ia mengerjakan penelitian untuk disertasi yang kemudian diberi judul Folie et deraison. Historie de la folie a I’age classique (Kegilaan dan Ketaksadaran. Sejarah Kegilaan dalam Periode Klasik) yang diterbitkan menjadi buku Historie de la Folie (Sejarah Kegilaan).

Karier akademisnya diawali ketika ia menjadi staf pengajar pada Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang sastra dan kebudayaan Perancis. Kemudian ia menjadi dosen di berbagai universitas di Perancis, hingga akhirnya mendirikan Universitas Paris Vincennes, sebuah universitas eksperimental.

(2)

berbagai bidang, seperti kedokteran, sastra, psikologi, kriminologi, studi gender, teori poskolonial, dan kajian multikultural. Pemikirannya cenderung kontroversial tetapi memberi kontribusi terhadap teori sosial dan kebudayaan dengan menggeser fokus dari teori-teori besar, analisis kelas dan basis ekonomi kepada hal-hal kecil yang terpinggirkan oleh paradigma positivisme. Oleh karena itu, Foucault disebut seorang “pemikir marginal”.

Foucault juga memberikan perhatian yang besar pada permasalahan kebudayaan. Ia sempat menjadi direktur Pusat Kebudayaan Perancis di Warsawa (Polandia) dan Hamburg (Jerman). Karya-karya Foucault yang lain adalah The Birth of The Clinic, Archeology of Human Sciences, Diciplines and Punish, serta trilogy The History of Sexuality.

Ada beberapa inti dari pemikiran Foucault yaitu wacana, diskontinuitas, kuasa dan pengetahuan serta episteme. Foucault meninggal dunia tahun 1984, dalam usia 57 tahun karena penyakit AIDS.

b. Wacana

Istilah wacana (discours, discourse) dipopulerkan oleh Foucault dan merupakan konsep penting dalam pemikirannya (Akhyar Yusuf, 2009: 6). Wacana dalam perspektif Foucault bukanlah sebagai rangkaian kata atau proposisi dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Oleh karena itu, dalam analisis wacana hendaknya mempertimbangkan peristiwa bahasa dengan melihat bahasa dari dua segi yaitu segi arti dan referensi. Hal ini bertentangan dengan strukturalisme yang hanya melihat bahasa sebagai sistem dan tidak mempertimbangakn pengalaman berbicara sebagai peristiwa bahasa.

Dalam sebuah wacana terdapat pernyataan (proposisi) yang bertujuan untuk menyatakan sesuatu (arti/ makna), akan tetapi juga

(3)

yang memperluas dimensi makna bahasa dan memengaruhi sistem sosial budaya sampai pikiran manusia. Oleh sebab itulah, maka wacana harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh. Foucault mengatakan bahwa sementara wacana dikonstruksi oleh bentuk diskursif atau episteme (Akhyar Yusuf, 2009: 15).

c. Diskontinuitas

Foucault menolak teori mengenai sejarah yang berjalan linier dan kontinyu “continous history”, karena itu dia mengajukan konspe diskontinuitas sejarah. Hal ini dipengaruhi oleh analisis geneologi dari Friedrich Nietzche. Konsep Foucault ini mengeliminasi analisis sejarah tradisional yang cenderung mempertanyakan strata dan peristiwa mana yang harus diisolasi dari yang lain, jenis hubungan yang harus dikontruksi serta kriteria periodisasi. Cara analisis sejarah tradisional ini seperti halnya madzhab methodique yang terkenal dengan ciri khasnya yaitu “sejarah orang-orang besar”. Sedangkan analisis Foucault lebih tertarik pada kejadian biasa atau peristiwa kecil yang diabaikan oleh ahli sejarah, sebagaimana dilakukan oleh para peneliti sejarah aliran LES ANNALES. Akhirnya, dapat dirasakan dalam sejarah ilmu pengetahuan, sejarah filsafat, dan sejarah kesusastraan tidak lagi berbicara tentang kesatuan seperti periode atau abad, akan tetapi berbicara tentang fragmen-fragmen tertentu (diskontinuitas).

d. Pengetahuan dan Kekuasaan

Pengetahuan dan kekuasaan adalah konsep Foucault yang menarik, karena Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan para ahli yang lain. Kuasa oleh Foucault tidak diartikan “kepemilikan”. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup tertentu di mana ada banyak posisi yang secara

(4)

strategis berkaitan satu sama lain (Eriyanto, 2001: 65).

Foucault tidak seperti para ahli lain yang memusatkan perhatian mengenai kuasa pada Negara, dalam struktur sosial-politik, struktur kapitalis-proletar, hubungan tuan-budak, hubungan pusat-pinggiran, akan tetapi lebih memusatkan pada individu atau subjek yang lebih kecil. Selain itu Foucault juga lebih berbicara mengenai bagaimana kuasa dipraktikkan, diterima, dan dilihat sebagai kebenaran dan berfungsi dalam bidang tertentu.

Pemikiran mengenai kuasa Foucault dipengaruhi oleh Nietzche yang disebut olehnya sebagai seorang filosof kekuasan (philosopher of power). Akan tetapi Foucault memiliki kekhasan yaitu dia senantiasa selalu mengaitkan kuasa dan pengetahuan. Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan melalui pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi untuk mengetahui bahwa untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan (Eriyanto, 2001: 66). Karena setiap kekuasaan disusun dan dimapankan oleh pengetahuan dan wacana tertentu.

Oleh karena itu, dalam menentukan kebenaran bagi Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang begitu saja (konsep yang abstrak). Kebenaran menurut Foucault diproduksi oleh setiap kekuasaan. “ Kekuasaan menghasilkan pengetahuan. Kekuasaan dan pengetahuan secara langsung saling memperngaruhi…tidak ada hubungan kekuasaan tanpa ada konstitusi korelatif dari bidang pengetahuannya…” (Michel Foucault, 1979: 27).

Apa yang hendak dibongkar oleh Foucault adalah bagaimana orang-orang mengatur atau meregulasi diri mereka sendiri dan orang-orang lain dengan menciptakan klaim kebenaran (sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk, indah-jelek) dapat dibuat teratur, tetap, dan stabil. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa

(5)

kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, tetapi melainkan dengan cara positif dan produktif.

Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, dengan memroduksi benuk-bentuk kategorisasi perilaku seperti baik dan buruk sebagai bentuk pengendalian perilaku. Jadi khalayak ditundukkan dengan wacana dan mekanisme berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik. Masalah ini diuraikan jelas dalam bukuya Discipline and Punish.

e. Arkeologi Pengetahuan dan Episteme

Istilah arkeologi ini tidak sama dengan istilah yang dipakai oleh para ahli dalam ilmu purbakala. Usaha untuk menggali dan mengeksplisitkan episteme yang menentukan pada suatu periode oleh Foucault disebut dengan analisis arkeologis. Hal ini dadasari oleh pemikirannya tang menyatakan bahwa setiap jaman memiliki episteme atau “sistem pemikiran” yang mengarahkan praktik ilmu pengetahuan pada jaman itu.

Analisis arkeologi ini berbeda dengan sejarah pemikiran. Arkeologi bertujuan untuk memperlihatkan perbedaan, sedangkan sejarah pemikiran cenderung sebaliknya yaitu menutup perbedaan. Oleh karena itu Foucault membedakan tiga jama episteme: Abad Renaisan, Abad Klasik, dan Abad Modern. Abad Renaisan menekankan pada resemblance (kemiripan), Abad Klasik menekankan pada representation (representasi), dan Abad Modern lebih menekankan pada signification (signifikasi) atau pemaknaan.

2. Wacana: Perspektif Foucault

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, wacana dalam perspektif Foucault bukanlah sebagai rangkaian kata atau proposisi

(6)

dalam teks, melainkan sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga struktur dan tata aturan dari wacana. Sebelum membahas mengenai struktur diskursif tersebut, perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dengan kenyataan (realitas). Realitas itu sendiri menurut Foucault tidak bisa didefinisikan jika kita tidak memiliki akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Karena, menurut Foucault pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif yaitu pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang ini benar dan yang lain tidak.

Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Pernyataan yang diterima akan dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tidak diterima tentang suatu objek. Objek bisa saja tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat dapat mengubah objek. Misalnya seperti bakteri di lautan yang dicontohkan Sara Mills. Pendefinisian bakteri sebagai hewan ataukah tumbuhan bukan karena ada perubahan dari bakteri itu. Akan tetapi, karena memang struktur diskursif yang dibuat mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri di satu sisi sebagai hewan, di sisi lain dengan struktur diskursif yang berbeda melihatnya menjadi tumbuhan.

Wacana Terpinggirkan (marginalized)

Menurut Foucault, ciri utama wacana adalah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk dan melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat (Eriyanto, 2001: 76). Contohnya yang ditunjukkan oleh Foucault adalah konsep gila dan tidak gila, sehat dan sakit, benar dan salah, bukan konsep abstrak yang ada begitu saja tetapi dibentuk oleh wcana yang berkaitan dengan bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya.

(7)

Dalam suatu masyarakat terdapat berbagai wacana yang berbeda-beda. Ada yang dominan ada yang terpinggirkan. Wacana dominan adalah wacana yang dipilih dan didukung oleh kekuasaan, sedangkan wacana lainnya yang tidak didukung akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged). Misalnya saja wacana mengenai PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dibangun oleh Orde Baru sebagai partai yang memberontak dan anti Tuhan menyingkirkan wacana lainnya yang menunjukkan PKI sebagai partai yang paling radikal dan gigih melawan kolonialisme. Wacana mengenai PKI sebagai pemberontak dan anti Tuhan disebut wacana dominan. Adapun PKI sebagai partai yang paling gigih melawan kolonialisme dapat dikatakan sebagai wacana yang terpinggirkan.

3. Teks Media sebagai Wacana yang Tidak Terlepas dari Relasi Kuasa

Dalam tulisan ini sengaja untuk mengurut terlebih dahulu buah pikir dan alur pemikiran dari seorang Michel Foucault, yang pada bagian ini penulis mencoba untuk lebih fokus menyoroti konsep wacana dan relasi pengetahuan serta kekuasaan yang akan menimbulkan kebenaran yang dikehendaki oleh sebagian pihak. Dalam hal ini penulis mencoba menghubungkannya dengan salah satu konsep dalam ilmu linguistik yaitu mengenai analisis wacana. Dewasa ini, ilmu linguistik mengalami perkembangan dengan tidak hanya melihat wacana sebagai tataran linguistik yang lengkap mulai dari frasa sampai kalimat sehingga memberikan informasi, tetapi juga melihat wacana sebagai bagian dari konstruksi sosial yang akan melanggengkan kuasa. Jadi, wacana tidak hanya ada begitu saja tetapi bagian dari struktur diskursif yang ada, yang dikenal sebagai Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis).

Salah satu objek kajian untuk Analisis Wacana Kritis ini adalah teks media. Teks media sebagaimana diketahui terbentuk dengan

(8)

beberapa tahap proses. Mulai dari peliputan wartawan, penulisan berita, pengeditan, sampai berakhir di tangan pembaca. Tentu saja, teks media tidak luput dari berbagai kepentingan: baik itu kepentingan si wartawan, redaktur, pemilik modal, ataupun pembaca dalam memaknainya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teks media bukanlah wacana yang bebas nilai. Teks media juga salah satu contoh bagaimana sesuatu diabsahkan atau diklaim salah dan benar, baik dan buruk, tanpa kekerasan dan seolah terjadi begitu saja.

Sebagai contoh misalnya saja, dalam pemberitaan konflik Palestina dan Israel kepentingan (keberpihakan) wartawan, editor, redaktur, dan pemilik modal akan membedakan masing-masing dari pemberitaan, ada yang lebih menekankan posisi Palestina sebagai korban, ada juga yang lebih menekankan Palestina sebagai militan dan fundamentalis yang merusak perdamaian, tentu saja ada juga yang lebih menekankan pada pembangunan dua Negara dalam satu tanah sebagai konsekuensi perdamaian.

a. Analisis Wacana Kritis: Perkembangan Analisis Wacana dalam Ilmu Linguistik

Istilah analisis wacana adalah istilah umum yang dipakai banyak disiplin ilmu dengan berbagai pengertian. Ilmu linguistik sendiri mengartikan analisis wacana berpusat pada pengertian dari wacana secara tradisional. Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi satu dengan yang lain, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklan makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu (J.S Badudu: 2000). Jika mengacu pada pengertian wacana tersebut, maka analisis wacana hanya melihat apakah pernyataan yang dilontarkan sudah benar secara semantik atau sintaksis.

Akan tetapi, dewasa ini ilmu linguistik memandang wacana tidak hanya sebagai tataran linguistik yang terlengkap dan tertinggi saja.

(9)

Dengan meminjam paradigma kritis, analisis wacana menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses dan reproduksi makna (Eriyanto, 2001: 6). Dengan pandangan semacam ini wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukkan subjek dan berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. Karena memakai perspektif kritis maka dinamailah Analisis Wacana Kritis.

Analisis wacana kritis sebagaimana halnya analisis wacana biasa yang menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalisis. Akan tetapi bahasa dianalisis tidak hanya menggambarkan semata dari aspek kebahasaan, tetapi juga menghubungkan dengan konteks. Konteks di sini berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan. Fairclough dan Wodak mengatakan bahwa analisis wacana kritis menyelidiki bagaimana melalui bahasa kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing tanpa terlihat dengan nyata, karena seperti yang dikatakan Foucault sudah menjadi bagian dari regulasi sehingga seakan normal apa adanya.

Ada beberapa karakteristik Analisis Wacana Kritis, yaitu sebagai berikut:

a) Tindakan

Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai sebuah tindakan. Sebagaimana yang dikatakan Foucault bahwa wacana adalah sesuatu yang memproduksi sesuatu yang lain. Dengan pemahaman seperti ini, ada beberapa yang konsekuensi bagaimana wacana harus dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan: untuk memengaruhi, membujuk, bereaksi, dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali atau diekspresikan di luar kesadaran.

(10)

b) Konteks

Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi, dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Wacana kritis mendefinisikan teks dan percakapan pada situasi tertentu: wacana berada dalam situasi sosial tertentu. Ada beberapa konteks yang penting karena berpengaruh terhadap produksi wacana yaitu partisipan wacana dan setting sosial tertentu. Oleh karena itu, wacana harus dipahami dan ditafsirkan dari kondisi dan lingkungan sosial yang mendasarinya.

c) Historis

Salah satu aspek penting untuk bisa memahami wacana adalah dengan menempatkan wacana iitu dalam konteks historis tertentu. Oleh karena itu, ada waktu melakukan analisis perlu tinjauan untuk mengerti mengapa wacana yang berkembang atau dikembangkan seperti itu, mengapa bahasa digunakan seperti itu, dan seterusnya.

d) Kekuasaan

Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan dalam analisisnya. Di sini setiap wacana tidak dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana penting untuk melihat apa yang disebut kontrol. Kontrol tidak selalu bersifat fisik, tapi bisa juga mental atau psikis. Misalnya kelompok dominan membuat kelompok yang lain bertindak sesuai dengan yang diinginkannya, karena kelompok dominan ini memiliki akses dibanding kelompok yang tidak dominan. Bentuk kontrol ini pun kadang tidak terasa karena telah dibuat senormal mungkin (biasa).

Bentuk kontrol terhadap wacana bisa berupa kontrol atas teks, misalnya dalam lapangan berita, politisi yang posisinya kuat

(11)

menentukan sumber mana atau bagian mana yang harus diliput atau dilarang diliput. Lalu bentuk yang lainnya adalah mengontrol struktur wacana. Seseorang yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dari yang lainnya tidak hanya memiliki kekuatan untuk menentukan mana yang boleh ditampilkan mana yang tidak, tetapi juga memiliki kekuasaan untuk menentukan bagaimana ia ditampilkan. Dalam teks terlihat misalnya dari penonjolan dan pemakaian kata-kata tertentu.

e) Ideologi

Ideologi adalah konsep sentral dalam analisis wacana kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Dalam pandangan semacam ini, wacana dipahami mengandung ideologi untuk mendominasi dan berebut pengaruh. Oleh karena itu, analisis wacana tidak bisa menempatkan bahasa secara tertutup, tetapi harus melihat konteks terutama bagaimana ideologi dari kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul pencerminan ideologi seseorang (wartawan, redaktur, dan pemilik modal), apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosialis, dan sebagainya.

b. Kesesuaian Perspektif Foucault dengan Teknik Analisis Teun. A. Van Dijk

Analisis wacana kritis kerap melakukan kajiannya pada teks media. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya bahwa teks media adalah teks yang tidak bebas nilai (kepentingan). Untuk analisis wacana kritis ini dipengaruhi oleh beberapa pemikiran dari para tokoh. Foucault untuk konsep wacana dan kuasanya, Louis Althusser untuk konsep ideologinya bahwa ideologi tidak hanya membutuhkan subjek tapi juga menciptakan subjek. Dan, teks media selalu menyapa seseorang dan menempatkan seseorang ketika harus

(12)

membaca sebuah teks.

Selanjutnya Antonio Gramsci untuk konsep hegemoninya, yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi pada kelompok dominan berlangsung dalam proses yang damai, dalam artian tanpa kekerasan dan berjalan seolah normal. Hal ini sesuai dengan apa yang hendak dibongkar Foucault bahwa klaim kebenaran mengenai baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jelek, normal dan tidak, dibuat dengan teratur dan stabil.

Ada beberapa tokoh dalam analisis wacana kritis, yaitu Roger Fowler dan kawan-kawan, Norman Fairclough, Theo Van Leeuwen, Sara Mills, dan Teun. A. Van Dijk. Dari tokoh-tokoh ini yang merupakan sarjana dan ahli linguistik adalah Teun. A. Van Dijk.

Sesuai dengan pemikiran Foucault mengenai aspek sosial wacana, bahwa wacana pun diatur oleh faktor-faktor sosial dan sejarah yang diadopsi secara tidak sadar, maka Van Dijk berusaha untuk menyambungkan wacana dengan konteks sosialnya. Dia membuat sebuah model analisis yang menyambungkan elemen besar berupa struktur sosial (struktur makro) dengan elemen wacana seperti gaya bahasa, kalimat, dan lain-lain (struktur mikro) yang disebut dengan kognisi sosial.

Wacana oleh Van Dijk dikatakan memiliki tiga dimensi: teks, kognisi sosial, dan konteks. Inti analisisnya adalah bagaimana menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.

Dalam dimensi teks (struktur mikro), seperti yang dikatakan Foucault mengenai episteme abad modern yang diterangkan dengan signifikasi atau pemaknaan. Maka, Van Dijk pun dalam dimensi teks ini meneliti dan mencoba memaknai bagaimana struktur teks dan strategi wacana secara kebahasaan (bentuk kalimat, pilihan kata, metafora yang dipakai, dan lain-lain) dipakai

(13)

Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan pada level konteks (struktur makro) mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam suatu masyarakat akan suatu masalah.

Pada intinya Van Dijk tidak hanya menganalisis wacana dari satuan struktur kebahasaan saja. Karena, Van Dijk pun menyadari dan meyakini bahwa makna suatu wacana tidak hanya terepresentasikan dengan menganalisis struktur kebahasaan semata, tapi juga harus melihat konteks lahirnya dan bagaimana wacana itu diproduksi. Terutama untuk teks media yang dapat dengan mudah memberi pengabsahan pada sesuatu senormal mungkin.

c. Contoh Analisis Sederhana

Penulis ambil contoh mengenai kasus konflik Palestina dan Israel. Dalam harian Kompas terdapat metafora yang dipilih sebagai judul “Roket-roket yang Menghujam Israel”. Dengan metafora tersebut tertangkap makna bahwa roket-roket Palestina membuat banyak warga Israel sengsara, seperti halnya ungkapan “menghujam dengan pisau” yang menunjukkan kesakitan. Judul teks tersebut juga menggunakan kalimat aktif yang menonjolkan “subjek”. Subjek dalam kalimat tersebut adalah roket-roket. Meski tidak dikatakan pemilik roket tersebut, tetapi dengan menempatkan Israel sebagai objek memperlihatkan bahwa pemilik roket adalah Palestina. Pertanyaannya mengapa roket Palestina yang ditonjolkan sedangkan Israel memiliki senjata-senjata yang jauh lebih mematikan? Apalagi jika dilihat dari tubuh wacana itu yang hampir isinya memaparkan berbagai macam roket Palestina tanpa sedikit pun menyentil apa saja senjata Israel.

Ini baru sampai pada tahap analisis teks, jika menggunakan model analisis Van Dijk maka kecurigaan peneliti (dalam hal ini peneliti

(14)

analisis wacana kritis tentu saja akan subjektif) harus dapat dibuktikan dengan temuan dalam level makro yaitu konteks sosial ketika teks lahir: pandangan masyarakat, para ahli, sekaligus sejarah media itu sendiri. Tidak lupa diselaraskan juga dengan analisis kognisi sosial yang akan menjadi benang merah untuk analisis level mikro dan makro, yaitu dengan mewawancarai wartawan yang berkompeten untuk menjawab tema yang diangkat.

4. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan ini adalah bahwa pemikiran atau teori Foucault mengenai wacana dan kekuasaan menjadi salah satu fondasi dari teknik analisis wacana yang sedang berkembang sekarang ini, yaitu teknik analisis wacana kritis. Terutama pada kajian-kajiannya terhadap teks media sebagai salah satu contoh wacana yang tidak bebas nilai, dan senantiasa dipakai sarana untuk mengabsahkan apa yang dianggap benar oleh kelompok dominan tanpa menggunakan represi atau kekerasan. Seolah itu hanyalah realitas yang terjadi apa adanya dan diterima apa adanya.

Oleh sebab itu, analisis wacana kritis tidak hanya memokuskan pada struktur wacana secara kebahasaan saja tetapi juga menyambungkannya dengan konteks dan melihat secara historis, dengan menambahkan aspek kognisi sosial yang akan membantu untuk menemukan ideologi pada media. Dalam tulisan ini disebutkan salah satu tokoh analisis wacana kritis beserta analisis sederhananya.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Agger, Ben. 2003. Teori Sosial Kritis (Kritik, Penerapan, dan Implikasinya). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Althusser, Louis. 2004. Tentang Ideologi. Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.

Foucault, Michel. 2002. Pengetahuan dan Metode (Karya-Karya Penting Foucault). Yogyakarta dan Bandung: Jalasutra.

Foucault, Michel. 1979. Discipline and Punish. Harmondsworth: Penguin.

(16)

(E-book).

Kaelan. 2006. Perkembangan Filsafat Analitika Bahasa dan Pengaruhnya Terhadap Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Paradigma. St. Sunardi. 2006. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS.

Storey, John. 2004. Teori Budaya dan Budaya Pop. Yogyakarta: Qalam.

Yusuf, Akhyar. 2009. Politik Pengetahuan, Episteme, dan Kematian Manusia: Refleksi Pemikiran Posmodernisme Michel Foucault. Materi Kuliah Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.

Referensi

Dokumen terkait

Data 6: Ungkapan Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP Taufiq Kemas wacana diatas termasuk wacana analisis wacana kritis yang sesuai dengan ideologi yang menilai

yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “ Analisis Wacana Kritis Dalam Wacana

Skripsi dengan judul “Wacana Perkawinan Anak dalam Magdalene.co Analisis Wacana Kritis Sara Mills” oleh Jennifer Sidharta telah diujikan pada Kamis, 2 Februari 2017, pukul 08.30

Analisis Wacana Kritis (Teori Van Dijk Dalam Kajian Teks

Peneliti membatasi penelitian menganalisis wacana kritis dalam cerpen Jangan Panggil Aku Katua karya Yulhasni dengan model analisis wacana kritis Norman Fairclough

ANALISIS WACANA KRITIS PEMBERITAAN HARIAN PIKIRAN RAKYAT DAN HARIAN KOMPAS SEBAGAI PUBLIC RELATIONS POLITIK DALAM MEMBENTUK BRANDING REPUTATION PRESIDEN SUSILO BAMBANG..

Metode Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan Analisis Wacana Kritis Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan Analisis Wacana

Secara ringkasnya pendekatan analisis wacana kritis 3 dimensi, membahagikan konsep wacana kepada tiga 3 dimensi yang boleh dianalisis secara serentak, iaitu: 1 Analisis teks, iaitu