PREVALENSI USAHA TERNAK TRADISIONAL
DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN
PETERNAKAN MENGHADAPI PASAR GLOBAL
1)Tjeppy D. Soedjana
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Jalan Raya Pajajaran Kav. E-59 Bogor, 16151 Telp. (0251) 8322185, 8328383 Faks. (0251) 8328382
e-mail: [email protected] Diajukan: 18 Maret 2011; Disetujui: 5 Mei 2011
1) Naskah diperbaharui dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 17 Oktober 2002 di Bandar Lampung.
ABSTRAK
Persaingan penyediaan pangan, termasuk pangan asal hewan, secara global akan terus terjadi karena pertambahan penduduk dan peningkatan pendapatan. Persaingan usaha akan sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi dalam berproduksi dan dorongan bagi tumbuhnya usaha berskala besar. Namun, pengamatan yang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian internasional terhadap usaha ternak tradisional menyimpulkan bahwa di samping memperbaiki konsumsi gizi masyarakat, usaha ternak tradisional juga memberikan pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas penyediaan uang tunai dalam bentuk kolateral dan tabungan ternak yang tidak mudah terlanda inflasi. Dengan demikian, opsi kebijakan ke depan harus menyangkut berbagai pendekatan yang berorientasi pasar bagi usaha ternak tradisional agar dapat mensejajarkan diri dengan usaha ternak skala besar yang bersifat komersial. Dalam hal ini, opsi kebijakan terkait dengan peningkatan produktivitas, kualitas, dan efisiensi usaha ternak karena pembangunan peternakan yang dinamis akan memberikan hikmah dan peluang bagi petani tradisional untuk meningkatkan pendapatannya. Karena usaha ternak di Indonesia masih didominasi oleh usaha skala tradisional, opsi kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak harus mengikutsertakan peran dan fungsi ternak dalam konteks sistem usaha tani yang berlaku di perdesaan, terutama dalam upaya meningkatkan produksi dan stimulasi konsumsi produknya.
Kata kunci: Usaha ternak tradisional, pembangunan peternakan, persaingan global
ABSTRACT
Prevalence of Traditional Farms in the Perspective of Livestock Development in Facing Global Market
Food production has become great concern and major issues for many countries due to the increasing human population and per capita income. Increased demand for foods implies that the degree of competitiveness will be determined by how much foods can be produced at what costs. Large commercial operation is obviously considered most efficient than smaller farms. However, many observations done
PENDAHULUAN
Sebagai penyelamat angkatan kerja nasi-onal pada saat krisis, sektor pertanian me-nyerap tenaga kerja lebih dari 50% pada tahun 1998. Namun, kontribusi sektor ini terhadap PDB nasional menunjukkan angka yang makin menurun. Hal ini berarti bahwa nilai tambah yang dinikmati para pelaku pertanian menjadi semakin kecil. Karena sebagian besar penduduk Indo-nesia adalah petani yang tinggal di per-desaan maka upaya peningkatan kesejah-teraan dan kualitas hidup petani dan masyarakat perdesaan harus menjadi prioritas utama.
Krisis ekonomi pada tahun 1999 juga menyebabkan jumlah penduduk kurang mampu di Indonesia bertambah menjadi 38 juta orang atau 18% dari total penduduk, 25 juta orang di antaranya tersebar di perdesaan dan 13 juta orang berada di perkotaan. Krisis ekonomi juga mengubah pola belanja penduduk. Sawit (2001) me-nyatakan, porsi belanja rumah tangga untuk pangan meningkat bagi penduduk perkotaan dari 52% (1997) menjadi 59% (2000), sedangkan di perdesaan dari 68% (1997) menjadi 72% (2000). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat kota maupun desa makin menurun karena porsi belanja rumah tangga untuk kebutuhan pangan
mencapai lebih dari 50%. Namun, di sisi lain, krisis ekonomi menunjukkan bahwa sektor pertanian mampu berperan sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional.
Pada tahun 1996, saat sebelum krisis, konsumsi protein hewani, yang meliputi ikan, daging unggas, daging sapi, daging babi, daging domba dan kambing, telur, dan susu mencapai 4,31 g/kapita/hari, dengan rincian 2,70 g daging, 1,11 g telur, dan 0,50 g susu. Pada saat krisis, angka tersebut terus menurun menjadi 4,13 g (1997), 3,09 g (1998), 3,33 g (1999), dan 4,10 g (2000). Sampai tahun 2001, tingkat konsumsi masih bertahan pada 4,07 g, dengan komposisi 2,40 g daging, 1,10 g telur, dan 0,57 g susu (Ditjennak 2001). Tingkat konsumsi tersebut ternyata belum mampu menyamai angka konsumsi pada tahun 1996, yakni 4,31 g. Setelah ekonomi nasional bangkit, permintaan produk ternak kembali meningkat (Ditjennak 2009), yang ditunjukkan oleh konsumsi protein hewani sebesar 5,03 g (2005), 4,46 g (2006), 5,85 g (2007), dan 5,45 g/kapita/hari (2008). Permintaan produk peternakan akan terus meningkat sejalan dengan makin membaiknya kesejahteraan konsumen. Hal ini ditandai oleh angka elastisitas penda-patan terhadap permintaan daging, telur, dan susu yang cukup tinggi, seperti yang diperlihatkan pada saat sebelum krisis
by international research institutes indicated that traditionally operated livestock farms contribute significantly to economic growth through cash reserve in the form of animal as collateral and saving which controls inflation in addition to improve nutrition intake for the villagers and surrounding community. Production efficiency is important, but overall efficiency which includes non-economic factors is more important in the case of growing human population and underemployment. Therefore, policy options for the coming decades must involve approaches that bring traditional livestock farms to understand how market and price transmission is important for production decision for better income and welfare.
1998, yaitu pada saat pertumbuhan eko-nomi rata-rata 7%/tahun. Kenyataan ter-sebut memberikan dorongan dan peluang bagi Indonesia untuk membangun lan-dasan perekonomian nasional yang kuat melalui pengembangan berbagai ko-moditas pertanian, termasuk peternakan.
Terlepas dari berbagai kenyataan ter-sebut di atas, IFPRI (1999) menyatakan bahwa pembangunan peternakan tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan kualitas konsumsi gizi masyarakat, tetapi juga untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi ekonomi peternakan terkait dengan stabilitas dana tunai dalam bentuk kolateral dan ternak sebagai ta-bungan yang nilainya tidak berkurang karena inflasi, mengurangi biaya untuk membeli pupuk anorganik, serta produk ternak selalu tersedia pasarnya.
Berbagai prediksi juga menunjukkan bahwa secara global, karena pertumbuhan penduduk yang terus berlangsung, setiap negara perlu mengantisipasi akan ter-jadinya ekses permintaan dan kekurangan pasokan produk peternakan di masa men-datang. Pemerintah perlu menyusun stra-tegi dan menciptakan berbagai insentif bagi produsen, serta memberi perlin-dungan kepada konsumen dari gejolak perubahan harga, di samping menyiapkan berbagai instrumen, aturan, dan peraturan baru dalam perdagangan, produksi peter-nakan, dan industri pakan ternak.
Delgado (2001) memperkirakan bahwa revolusi peternakan di negara-negara ber-kembang akan terus berlangsung sampai tahun 2020 dan akan mendorong pening-katan pasar dunia untuk daging dan susu serta pakan biji-bijian. Peningkatan kon-sumsi produk peternakan akan mendo-rong perbaikan pendapatan peternak tradisional. Disimpulkan bahwa petani miskin yang tidak memiliki lahan dan
tinggal di perdesaan memiliki kontribusi pendapatan yang lebih tinggi dari usaha ternak dibanding mereka yang lebih sejah-tera di perdesaan.
Produksi ternak di Indonesia masih didominasi oleh peternakan skala rumah tangga yang dikelola secara tradisional (99,7%) dan sisanya (0,3%) diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Kasryno
et al. 1989). Oleh karena itu, diperlukan strategi tersendiri bagi Indonesia dalam menyediakan sumber pangan protein hewani, lapangan pekerjaan, dan kesejah-teraan petani-peternak. Ke depan, perda-gangan bebas akan makin mendorong berkembangnya berbagai industri, ter-masuk peternakan berskala besar.
USAHA TERNAK TRADISIONAL
Sudah sejak lama diketahui bahwa petani tradisional memelihara ternak dengan tujuan sebagai tabungan (Herskovitz 1926; De Wilde 1967; Dahl and Hjort 1976; Doran et al. 1979; Nerlove 1999). Observasi terhadap fenomena tersebut menyimpulkan bahwa pemanfaatan fungsi ternak sebagai tabungan mengakibatkan jumlah ternak yang dipelihara melebihi jumlah optimal-nya, terutama bila ketersediaan tenaga kerja tidak menjadi pembatas. Hal ini menye-babkan produksi dan pemasaran ternak menjadi tidak efisien dan pada beberapa daerah yang menerapkan sistem gembala, mengakibatkan kerugian bagi lingkungan karena kebutuhan pakan melebihi hijau-an pakhijau-an yhijau-ang tersedia.
Dalam suatu sistem usaha tani di manapun di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, peran ternak sangat sentral dan tidak diragukan lagi karena dapat berperan sebagai alat transportasi dan tenaga kerja dalam penyiapan lahan.
Ternak juga berperan dalam menyediakan pupuk kandang dan kompos untuk ke-suburan tanah, dan memberikan bahan pangan berprotein tinggi dalam bentuk daging, telur, dan susu. Sistem seperti ini telah berlangsung sejak lama, di mana terjadi saling keterkaitan antarkomponen dalam suatu sistem usaha tani, adanya hubungan di antara rumah tangga petani, serta terintegrasinya komponen tanaman dan ternak dalam satu kesatuan sebagai dasar dalam proses pengambilan kepu-tusan oleh petani (Gambar 1).
Usaha ternak tradisional didefinisikan sebagai suatu usaha yang menggunakan teknologi hasil observasi terhadap ling-kungan dan memiliki keterbatasan penge-tahuan maupun akses pada industri dan teknologi. Teknologi peternakan
tradisi-onal merupakan suatu seni yang diwaris-kan secara verbal maupun demonstrasi dari satu generasi ke generasi peternak berikut-nya berdasarkan observasi dan penga-laman setempat selama bertahun-tahun.
Schultz (1964) mengajukan lima hipo-tesis tentang pertanian tradisional secara kohesif, yaitu: (1) petani tradisional sebe-narnya tanggap terhadap insentif eko-nomi; (2) dalam pembangunan pertanian, pengadaan modal bukan merupakan ma-salah utama, tetapi yang menjadi mama-salah adalah cara menentukan investasi yang menguntungkan dalam bidang pertanian; (3) dalam pertanian tradisional, secara komparatif terdapat inefisiensi dalam alo-kasi faktor produksi; (4) tidak banyak yang dapat diperoleh dengan cara menunjukkan petani terbaik sebagai contoh bagi
perta-Gambar 1. Ketergantungan komponen usaha dalam suatu sistem usaha tani (McDowell dan Hildebrand 1980; Amir dan Knipscheer 1989).
PASAR RUMAH TANGGA Bahan bakar Pupuk, obat-obatan, tenaga Manajemen, tenaga, kesuburan Pangan Bahan bakar, transport, daging, susu Manajemen, tenaga, pakan Tenaga kerja Pakan, suplemen, obat-obatan, ternak, tenaga TANAMAN Padi, jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, dll. Mulsa Kompos Kotoran, tenaga, transport TERNAK Kambing, domba, sapi, kerbau, ayam, dll. Cuaca, iklim Hara
tanah Lahan kosong Pakan
Hutan Pakan jerami V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V V VV V VV V V V V V V V V V V
nian tradisional; dan (5) tingkat pengem-balian modal sangat rendah karena biaya untuk meningkatkan kapasitas produksi sangat mahal.
Lebih jauh, Rosenzweig dan Wolpin (1993) menyimpulkan bahwa hampir seluruh aset yang dimiliki peternak yang dicurahkan untuk tujuan produksi, dapat pula digunakan sebagai stok penyangga untuk menjamin kelancaran konsumsi rumah tangga peternak pada saat penda-patan berfluktuasi tidak menentu atau kredit tidak cukup tersedia. Namun demi-kian, hal ini bukan berarti bahwa fluktuasi tingkat pendapatan dan banyaknya kebu-tuhan sehari-hari mendorong petani untuk memelihara ternak sebagai tabungan.
Ditinjau dari pelakunya, usaha ternak di Indonesia secara umum dapat dikelom-pokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) usaha ternak tradisional; (2) usaha ternak komersial oleh perusahaan besar; dan (3) usaha ternak semi-komersial, termasuk sistem inti-plasma. Rata-rata produktivitas lahan, ternak, dan tenaga kerja pada pertanian tradisional di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara maju. Rendahnya produktivitas ternak ditun-jukkan oleh pertambahan berat badan yang rendah pada berbagai tingkatan umur, demikian pula produktivitas ternak penghasil susu dan telur dari bangsa ternak lokal. Tingkat pendapatan tenaga kerja juga rendah dibandingkan dengan di negara maju karena rendahnya keter-sediaan lahan tiap rumah tangga petani, keterbatasan sumber daya lainnya untuk digunakan secara manual dengan tangan atau tenaga ternak, di samping rendahnya produktivitas ternak yang dipelihara.
Seperti diyakini selama ini, pengam-bilan keputusan dalam usaha ternak tra-disional sebagian besar ditentukan oleh faktor budaya, bukan faktor ekonomi.
Dengan demikian, perlu lebih banyak lagi pendekatan yang menggunakan faktor-faktor bukan ekonomi bagi kemajuan usaha ternak tradisional; apakah peternak yang menghasilkan produk dalam jumlah yang berbeda merupakan respons atau akibat adanya perubahan harga produk.
Terdapat beberapa alasan peternak tradisional memiliki respons yang rendah terhadap perubahan, antara lain: (1) keter-batasan kemampuan memasarkan ternak sehingga mengurangi insentif harga yang dapat dinikmati peternak; (2) keterbatasan kemampuan menambah lahan, tenaga kerja, dan input lainnya pada saat merespons kenaikan harga produk ternak; (3) pening-katan skala usaha biasanya berkaitan de-ngan penurunan produktivitas sumber daya yang digunakan sehingga produk-tivitas totalnya rendah. Dengan demikian, potensi terjadinya inefisiensi dalam pro-duksi ternak di perdesaan ditunjukkan oleh fungsi ganda ternak yang dipelihara, yaitu sebagai tabungan dan kegunaannya dalam proses produksi. Ketiadaan lembaga finansial yang memadai untuk melayani petani tradisional di pedesaan, yang ma-sih menerapkan fungsi ternak sebagai tabungan, menyebabkan terjadinya in-efisiensi proses produksi yang selanjut-nya menurunkan pendapatan peternak.
Berdasarkan kenyataan bahwa input
produksi seperti rumput pakan diperoleh secara cuma-cuma dari pinggir jalan atau tempat tertentu, inefisiensi dalam mem-produksi ternak secara diagramatis di-sajikan pada Gambar 2. Bila penjualan ternak dilakukan pada wilayah I maka potensi pertambahan nilai atau berat badan yang belum mencapai titik optimal akan menimbulkan kerugian. Demikian pula bila penjualan ternak dilakukan pada wilayah III, seperti tradisi pada umumnya, yaitu ternak dipelihara sebagai tabungan;
keru-gian disebabkan oleh pakan yang terus diberikan (X3) meskipun ternak tidak lagi bertambah berat badannya (Y3). Penjualan ternak yang paling optimal adalah pada wilayah II, saat produktivitas marginal (MP) mendekati titik nol, dimulai dari perpotongan antara produktivitas marginal (MP) dan produktivitas rata-rata (AP), yaitu pada daerah yang berarsir, dengan tingkat penggunaan input sebesar X2.Bila
input produksi harus diperoleh dengan
cara membeli maka kriteria pengambilan keputusan dalam menjual ternak adalah pada saat produktivitas marginal (MP) sama dengan rasio antara harga input (PX) dan harga output (PY), yaitu pada tingkat
input X1 dan output Y1. Meskipun pemeliharaan ternak untuk tujuan tabung-an pada umumnya kurtabung-ang efisien dibtabung-an-
diban-dingkan dengan pemeliharaan ternak untuk tujuan produksi yang mendatang-kan keuntungan, kondisi ini menjadi tidak berarti dan tidak penting ketika upaya meningkatkan jumlah ternak yang di-pelihara terkendala oleh kebutuhan biaya yang tinggi, seperti keterbatasan tenaga kerja.
Efisiensi alokasi dan keseimbangan ekonomi suatu usaha tani tradisional dapat pula diperagakan melalui pilihan dua jenis komponen usaha tani, seperti usaha ternak dan usaha tanaman pangan (Gambar 3).
Dengan ketersediaan tenaga kerja keluarga empat orang, petani mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama, mengalokasikan tenaga kerja untuk usaha ternak yang memberikan penerimaan marginal sebesar VMP1, yaitu pada titik (a). Pilihan kedua,
Wilayah II TP Wilayah III Wilayah I MP AP X1 X2 X3 Y2 Y3 Y1
pada usaha tani tanaman pangan. Petani dapat mengalokasikan tenaga kerja yang tersedia dengan penerimaan marginal se-besar VMP2, yaitu pada titik (b). Berdasar-kan Gambar 3, petani aBerdasar-kan memperoleh penerimaan yang lebih besar jika meng-usahakan tanaman pangan.
Rumah tangga petani yang memiliki tenaga kerja lebih banyak (L3 + L4) dapat memperoleh pendapatan dengan mengalo-kasikan tenaga kerja yang tersedia pada kedua komponen usaha tani tersebut. Alokasi tenaga kerja dilakukan sedemikian rupa sehingga penerimaan marginal usaha tani tanaman pangan sama dengan usaha ternak. Penerimaan petani mencapai titik tertinggi pada saat tercapai efisiensi alo-kasi ketersediaan tenaga kerja untuk dua komponen usaha tani, yaitu pada titik (c). Tingkat penerimaan ini lebih rendah dari (a) dan juga lebih rendah dari (b). Dengan
demikian, penerimaan dari tenaga kerja yang lebih banyak tetapi dibatasi oleh kom-ponen usaha akan menghasilkan peneri-maan usaha yang lebih rendah.
Berbagai hasil penelitian dan observasi pada ternak ruminansia kecil selama 15 tahun terakhir menunjukkan bahwa feno-mena inefisiensi tersebut sama dengan yang dijumpai dalam konteks ekonomi pada umumnya, yaitu karena kebutuhan uang tunai untuk keperluan rumah tangga dan transaksi lainnya sulit diperoleh. Jika berlaku sistem transaksi barter murni, dalam pengertian tanpa biaya transaksi, sumber daya yang dicurahkan untuk menghasilkan uang tunai dapat digunakan untuk tujuan yang lain.
Telaahan tentang pentingnya usaha ternak ruminansia kecil dan karakteristik-nya bagi petani di Indonesia menunjukkan bahwa petani tradisional selalu dihadapkan
Tenaga kerja tersedia Gambar 3. Efisiensi alokasi tenaga kerja pada dua komponen usaha tani.
Usaha tani tanaman pangan VMP2 VMP1 Usaha ternak b a c L4 4 0 4 L3
Penerimaan tenaga kerja (Rp/jam)
pada masalah kebutuhan dana yang sangat tinggi. Kebutuhan dana tersebut terkait dengan penambahan jumlah ternak, ter-utama bagi petani di daerah pegunungan dan dataran tinggi yang memelihara ternak dengan sistem cut-and-carry dan dikan-dangkan. Jumlah maksimum ternak ru-minansia kecil yang dapat dipelihara oleh satu keluarga petani pada kondisi ini adalah 7 ekor ternak dewasa. Di daerah dataran rendah dan daerah lain yang memung-kinkan dilakukan sistem penggembalaan, jumlah ternak cenderung lebih banyak karena adanya kesepakatan menggemba-lakan ternak secara bergilir di antara para pemilik ternak, yang secara langsung mengatasi keterbatasan tenaga kerja.
Rendahnya tingkat pendapatan petani semata-mata disebabkan oleh keterbatas-an modal untuk menambah jumlah ternak dan kondisi yang memungkinkan petani tidak menjual ternaknya pada periode keuntungan terbesar. Petani tradisional sebenarnya bisa menjadi lebih sejahtera bila mereka memiliki akses ke lembaga finansial sehingga mampu membayar tenaga kerja untuk kegiatan yang akan mendatangkan keuntungan ekonomi dari usaha ternaknya. Apabila kondisi seperti ini belum terwujud, pemanfaatan fungsi ternak sebagai tabungan masih akan men-jadi pilihan terbaik bagi peternak, terutama yang dihadapkan pada keterbatasan te-naga kerja. Tujuan memelihara ternak se-bagai tabungan pada dasarnya dimotivasi oleh pengetahuan bahwa ternak dapat dikonversi menjadi uang tunai saat di-butuhkan. Oleh karena itu, peternak cukup puas dan dapat menerima tingkat pen-dapatan apa adanya sebagai refleksi dari produktivitas yang rendah.
Sebagai pembanding dari karakteristik yang dijumpai di Indonesia, Rosenzweig dan Wolpin (1993) menjumpai adanya
disinvestasi pada usaha ternak-kerja di India ditinjau dari segi penggunaan faktor produksi tanaman pangan yang optimal. Perilaku petani tradisional yang cenderung menghindari risiko, yang dibarengi dengan keterbatasan kemampuan untuk meminjam uang dan rendahnya tingkat pendapatan, mengakibatkan pendapatan mereka se-makin rendah. Konsekuensinya, perhatian peternak terhadap bibit, pakan, budi daya, pengawasan penyakit, dan pemasaran sangat rendah. Keputusan untuk menjual ternak bukan semata-mata didasarkan pada keadaan atau kapan mereka membutuhkan uang tunai.
Sangat menarik untuk menyimak pan-dangan yang disampaikan oleh Patriana (2009) bahwa petani kecil ternyata lebih produktif dibandingkan dengan petani berskala besar. Petani dengan luas lahan kurang dari 1 ha memiliki produktivitas 20 kali lipat dibanding yang memilik lahan lebih dari 10 ha karena petani kecil meng-gunakan lebih banyak tenaga kerja per hektar lahan dibanding petani berskala besar. Tenaga kerja mereka berasal dari anggota keluarga sehingga biaya tenaga kerja sangat rendah, sementara kualitas kerja mereka sangat tinggi. Dengan lebih banyak tenaga kerja maka: (1) pengusa-haan lahan menjadi lebih intensif; (2) curahan waktu untuk membuat terasering dan saluran irigasi lebih banyak; (3) petani dapat segera menyemai benih setelah panen; dan (4) petani dapat menanam lebih banyak komoditas pada lahan yang sama.
KINERJA PRODUKSI TERNAK
Permintaan produk ternak yang berupa daging, telur, dan susu akan terus mening-kat seiring dengan pertumbuhan pen-duduk dan pendapatan rumah tangga.
Pe-ningkatan permintaan seharusnya bisa dipasok sebagian besar atau keseluruhan dari produksi dalam negeri sehingga me-ngurangi ketergantungan pada negara lain dan menghemat devisa. Industri peter-nakan yang berkembang juga akan mening-katkan lapangan pekerjaan dan memacu pertumbuhan industri penunjang peter-nakan.
Produksi Ternak Ruminansia
Produksi daging sapi di Indonesia diciri-kan sebagian besar (97%) oleh skala usaha kecil yang memelihara 1-3 ekor sapi/rumah tangga. Ternak sapi awalnya dipelihara sebagai sumber tenaga kerja untuk pengo-lahan tanah dan sebagai tabungan, bukan untuk tujuan memproduksi daging. Petani menggunakan teknologi tradisional dalam pembibitan, penyediaan pakan, budi daya dan pengelolaan ternak, pengawasan pe-nyakit, dan pemasaran. Agar dapat ber-ubah dari kondisi yang kurang mengun-tungkan tersebut, pemerintah menye-diakan berbagai program yang memberi peluang kepada pihak swasta dan masya-rakat dalam upaya memodernisasi industri sapi potong nasional.
Perdagangan ternak sapi antarpulau juga telah diatur kuotanya untuk meng-hindari pengurasan ternak secara ber-kelanjutan dalam rangka menunjang kecu-kupan populasi ternak di sentra produksi, seperti Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Namun, pengaturan ini harus menjadi bagian dari keseluruhan sistem produksi dan pema-saran sapi lokal sehingga tidak menjadi rentan dan kalah bersaing dengan impor sapi bakalan maupun daging beku.
Impor sapi hidup sebagai sapi bakalan untuk usaha penggemukan (feedloters)
dilakukan untuk meningkatkan pasokan daging sapi yang belum sepenuhnya dapat disediakan di dalam negeri. Menjadi tan-tangan bagi industri ini ketika kuantitas impor sapi bakalan menunjukkan pening-katan 82,5%/tahun pada kurun waktu 1990-1997. Pada awalnya, impor sapi bakalan diarahkan untuk mengisi kekurangan pasokan daging sapi dalam negeri dan untuk mendukung penyelamatan populasi sapi nasional akibat meningkatnya per-mintaan. Pemahaman seperti ini seharus-nya tidak berubah menjadi andalan pe-masok daging sapi di masa mendatang, walaupun dari sisi kualitas, kemudahan pengadaan, ketersediaan, dan potensi keuntungan bagi pihak swasta sangat menjanjikan. Volume impor sapi bakalan cenderung terus meningkat menjadi 236 ribu ekor (2004), 256 ribu ekor (2005), 266 ribu ekor (2006), 414 ribu ekor (2007), dan 570 ribu ekor pada 2008 (Ditjennak 2009).
Dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi di dalam negeri, impor daging sapi pada awalnya ditujukan untuk memasok kebutuhan daging ber-kualitas (prime cut) bagi hotel-hotel berbintang, restauran, dan industri daging olahan (secondary cut) dengan pertum-buhan 39,5%. Diharapkan kebijakan ini tidak berlanjut dan menjadi andalan dalam memasok daging sapi di dalam negeri, seperti halnya sapi bakalan. Volume impor daging sapi juga terus meningkat (Ditjen-nak 2009), yaitu 11,7 ribu ton (2004), 21,5 ribu ton (2005), 25,9 ribu ton (2006), 39,4 ribu ton (2007), dan 45,7 ribu ton (2008).
Produksi ternak ruminansia kecil, se-perti kambing dan domba, menjadi andalan dalam memasok kebutuhan daging nasi-onal, walaupun pasar domestik masih memerlukan lebih banyak lagi pasokan untuk memenuhi permintaan khusus, ter-utama ternak kambing. Segmen produksi
kambing dan domba ini pernah mendapat tantangan untuk memasok pasar Timur Tengah sebanyak 3 juta ekor/tahun. Na-mun, karena pelaku usaha yang tersebar dan skala usaha yang kecil, tawaran tersebut hanya direspons pada tahun pertama (1995) oleh beberapa perusahaan di Sumatera Utara.
Indonesia memiliki bangsa kambing dan domba yang memiliki ciri khusus dalam hal produksi dan produktivitas. Oleh karena itu, sudah selayaknya jenis ternak ini mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah sebagai penyedia daging ter-nak ruminansia. Upaya peningkatan pro-duksi harus terus dilakukan, baik melalui seleksi jenis-jenis unggul maupun persi-langan dengan bangsa lain untuk memper-oleh production traits tertentu.
Produksi Ternak Unggas
Industri unggas mulai berkembang pada awal 1970-an dengan mendatangkan ayam petelur dari luar negeri. Pada awalnya, ayam kampung masih mendominasi pasar dan pemasok sebagian besar daging ayam. Konsumen lebih menyukai daging atau telur ayam kampung karena berbagai alasan, seperti lebih bergizi, rasa lebih enak, dan preferensi lainnya. Namun, ayam kampung mempunyai efisiensi produksi yang rendah dalam menghasilkan daging dan telur sehingga ayam broiler atau pe-telur komersial berkembang dengan cepat. Ayam kampung umumnya dipelihara oleh peternak kecil di pekarangan dengan
input sangat minimal. Tujuannya adalah menghasilkan telur untuk konsumsi kelu-arga atau menjualnya bila peternak mem-butuhkan uang tunai. Tiap keluarga peter-nak memelihara ayam kampung 1-10 ekor dengan produksi telur 20-40 butir/tahun
atau tumbuh mencapai berat badan 0,8 kg dalam waktu 4-6 bulan. Populasi ayam kampung diperkirakan mencapai 260 juta ekor pada tahun 1996, dengan pertum-buhan 2-3%/tahun. Pada tahun 2001, populasinya mencapai 263 juta ekor. Meskipun input produksi sangat minimal, ayam kampung masih banyak dipelihara karena harga daging dan telurnya lebih tinggi dibanding ayam ras, selain tidak ter-pengaruh oleh krisis ekonomi. Namun, produksi ayam kampung belum dapat me-menuhi peningkatan permintaan daging dan telur ketika pendapatan penduduk meningkat. Populasi ayam kampung me-ningkat menjadi 279 juta (2005), 291 juta (2006), 271 juta (2007), 243 juta (2008), dan 261 juta (2009), namun cenderung menu-run sejak tahun 2006 (Ditjennak 2009).
Seperti halnya produksi broiler yang meningkat pada tahun 1970-an, peternak-an ayam petelur juga tumbuh dengpeternak-an tingkat manajemen tertentu. Pemeliharaan ayam petelur pada awalnya terkonsentrasi di Jawa Barat karena dekat dengan pasar, yaitu Jakarta yang merupakan pasar ter-besar saat ini. Sejalan dengan itu, perusa-haan peralatan peternakan dan pabrik pakan berlokasi dekat dengan pusat pro-duksi unggas.
Usaha peternakan ayam petelur dan broiler yang dimiliki peternak kecil memiliki populasi 1.000-3.000 ekor. Perusahaan peternakan besar memiliki populasi ayam petelur lebih dari 1 juta ekor dan ayam broiler 1-3 juta ekor. Perusahaan besar bersifat integratif, dilengkapi pabrik pakan, pembibitan, dan rumah potong.
Meskipun populasi unggas tersebar hampir di seluruh Indonesia, sentra pro-duksi masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera Utara karena berkaitan dengan pasokan bahan baku pakan dan kedekatan dengan pasar. Saat ini kontribusi daging
broiler dua kali lebih banyak dan ayam petelur empat kali lebih banyak daripada ayam kampung. Secara keseluruhan, kon-tribusi daging unggas mencapai lebih 60% dari total pasokan daging dalam negeri.
Kontribusi daging dari berbagai jenis ternak menggambarkan struktur produksi daging. Peran daging unggas makin me-ningkat dari 20% pada tahun 1970-an menjadi 64,7% (1.403 ribu ton) pada tahun 2008; di mana 16,3% (352 ribu ton) di antaranya berasal dari unggas lokal. Hal ini berkaitan dengan makin tingginya produksi daging unggas sejalan dengan berkembangnya industri perunggasan nasional.
Sementara itu, industri sapi potong yang masih mengandalkan peternakan rakyat dengan dukungan industri pengge-mukan belum mampu mengimbangi per-mintaan daging sapi domestik. Kontri-businya terhadap produksi daging nasi-onal malah berbalik, dari 53,5% pada tahun 1970-an menjadi 16,3% pada tahun 2008. Laju peningkatan produksi daging unggas lebih tinggi dibandingkan laju peningkatan produksi daging sapi. Hal ini menyebab-kan terjadinya transformasi produksi dari dominasi daging sapi ke daging unggas. Namun demikian, terlepas dari perkem-bangan tersebut, penyediaan bahan baku pakan unggas masih perlu mendapat perhatian karena sebagian besar bahan baku pakan masih diimpor. Impor jagung mencapai 40-50%, bungkil kedelai 95%, tepung ikan 90-92%, serta tepung tulang dan vitamin/feed additive hampir 100%. Pakan unggas yang 50% komponennya berupa jagung, dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2009) mengalami dinamika yang cukup signifikan (Ditjennak 2009). Impor jagung mencapai puncaknya pada tahun 2006, yaitu 1,5 juta ton (63%) dari kebu-tuhan 3,74 juta ton.
Produksi Susu
Industri sapi perah di Indonesia dicirikan oleh kenyataan bahwa pada sisi produksi terdapat banyak produsen yang mengan-dalkan pendapatannya pada usaha ternak sapi perah. Di lain pihak, beberapa perusa-haan Industri Pengolah Susu (IPS) menjadi tumpuan pemasaran produksi susu.
Pengembangan industri sapi perah di Indonesia telah berlangsung sekitar 30 tahun dengan melibatkan pemerintah, terutama pada aspek produksi, untuk mem-perkecil kesenjangan produksi dan pema-saran. Produksi susu domestik meningkat setiap tahun, dari 28.900 ton (1969), 72.200 ton (1979), 338.200 ton (1989) menjadi 405.500 ton (1998). Produksi tersebut telah membantu meringankan beban rasio pro-duksi domestik dan impor bahan baku oleh IPS dari 1:20 (1980) menjadi 1:2 (1992) dan 1:2,4 (1996). Meskipun kebijakan mixing ratio telah dihapus, ketergantungan peme-nuhan kebutuhan konsumsi susu pada produk impor masih tinggi. Pada tahun 2001, impor mencapai 62% (904 ribu ton) dari seluruh permintaan dalam negeri sebesar 1.330 ribu ton.
Peningkatan produksi susu domestik diharapkan dapat mengurangi impor susu dan produk susu ketika industri sapi pe-rah dalam negeri mampu melakukan ekspor dan harga jual kompetitif dengan produk impor di pasar internasional. Pada awal-nya, IPS hanya memproduksi susu kental manis, diikuti dengan susu tepung dan susu cair yang produksinya tumbuh lebih cepat dibanding susu kental manis. Pro-duksi susu dalam negeri mencapai 536 ribu ton (2005), 617 ribu ton (2006), 568 ribu ton (2007), 574 ribu ton (2008), dan 647 ribu ton pada tahun 2009 (Ditjennak 2009).
Produksi susu segar dalam negeri baru mampu memasok 30% dari total kebutuhan
susu segar nasional. Sekitar 90% produksi tersebut diserap oleh IPS sehingga keter-gantungan peternakan sapi perah pada IPS sangat tinggi. Kualitas susu dalam negeri belum dapat bersaing dengan susu impor, antara lain karena keterbatasan sarana (sumber air bersih) dan peralatan yang memenuhi persyaratan higienis sanitasi, terbatasnya lahan untuk mem-produksi pakan hijauan, terutama pada musim kemarau, dan mahalnya harga pakan konsentrat. Sebagian besar peter-nakan sapi perah di Indonesia tergolong berskala kecil sehingga lebih sulit dibina dan diawasi untuk menghasilkan susu yang berkualitas.
Konsumsi susu segar masyarakat In-donesia juga masih rendah karena minum susu belum menjadi budaya, harga susu relatif mahal, dan kekhawatiran terhadap masalah lactose intolerance. Beberapa sentra baru produksi susu adalah Suma-tera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Kendala yang dihadapi industri susu di luar Jawa berbeda dengan di Jawa. Di Jawa dengan kelembagaan yang lebih lengkap (kelompok, koperasi, IPS), rantai tata nia-ga susu cukup panjang sehingnia-ga biaya produksinya lebih tinggi. Ketergantungan pada IPS juga menyebabkan lemahnya posisi tawar (bergaining position) pe-ternak.
Keperluan membangun industri sapi perah di Indonesia bukan hanya alasan ekonomi, tetapi juga untuk memenuhi permintaan susu domestik. Upaya ini sekaligus dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan pendapatan petani, membantu pemerataan pendapatan, men-ciptakan lapangan kerja, serta memper-baiki nilai tukar peternak dan kualitas konsumsi gizi nasional.
Seperti yang dijumpai pada sapi po-tong, industri sapi perah di Indonesia juga
didominasi oleh peternak kecil karena pemerataan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja akan secara langsung ber-dampak terhadap keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan ( for-ward linkage) dengan industri lainnya. Secara alami, industri sapi perah memiliki tingkat keterkaitan dan dampak ganda yang cukup tinggi dengan industri lainnya karena sebagian besar produk sapi perah merupakan bahan baku industri (Hadi et al. 1999).
Usaha ternak sapi perah di Indonesia belum efisien. Dengan kepemilikan ternak 3-4 ekor sapi laktasi/rumah tangga peter-nak dan produksi susu 9-10 liter/ekor/hari, keuntungan yang diperoleh peternak ren-dah sehingga pendapatan dari usaha ter-nak sapi perah belum mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Meskipun demikian, usaha ternak sapi perah tetap tumbuh dan meningkat melebihi jumlah rumah tangga peternak. Hal ini diperkirakan sebagai respons dari kebijakan mixing-ratio di mana IPS dapat mengimpor bahan baku susu dari pasar internasional dengan syarat menyerap produksi susu domestik sesuai imbangan yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian dan Perdagangan, dan Menteri Koperasi, yang mengawali pembangunan industri per-susuan dilakukan secara terintegrasi.
Sentra-sentra baru usaha sapi perah skala kecil dan menengah di luar Jawa mulai tumbuh dan makin berkembang meski menghadapi berbagai kendala. Usaha ternak sapi perah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi peningkatan pro-duksi peternakan dan masyarakat di sekitarnya. Melalui usaha budi daya sapi perah, peternak tidak hanya memperoleh pendapatan dari penjualan susu segar, tetapi juga mendapat hasil samping
berupa ternak hidup (pedet dan induk afkir) dan kotoran ternak. Pedet dan induk afkir merupakan kontribusi peternak terhadap penyediaan daging dalam negeri, yang berarti mereka turut menyukseskan prog-ram swasembada daging.
TANTANGAN PASAR BEBAS
Pertumbuhan ekonomi Indonesia ter-hambat sejak krisis ekonomi pada Juni 1997, yang direfleksikan oleh menurunnya PDB secara drastis dengan perkiraan penurunan -13,7% pada tahun 1998, di mana rata-rata nilai tukar mata uang melemah lebih dari 60%. Pada saat itu, untuk pertama kalinya sistem perbankan nasional hampir lumpuh dan pertumbuhan ekonomi diperkirakan -15%, serta nilai tukar rupiah mencapai titik terendah, yaitu Rp16.000 per dolar AS. Pada Mei 1999, nilai tukar rupiah mencapai Rp8.000 dan pada Oktober 1999 menjadi Rp7.000 per dolar AS. Angka ini menunjukkan bahwa nilai rupiah tidak akan pernah kembali ke nilai awal, yaitu sekitar Rp5.000 per dolar AS.
Selama periode 1990-1997, populasi sapi potong meningkat 2%/tahun, demi-kian pula populasi pedet yang dihasilkan usaha ternak sapi perah naik 2,6%/tahun. Namun, populasi kerbau turun 0,7%/tahun. Populasi unggas serta kambing dan domba menunjukkan pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu masing-masing 10,3% dan 3,9%. Angka tersebut menggambarkan bahwa basis produksi ternak penghasil daging dari masing-masing spesies ternak cukup menjanjikan. Namun, pada periode 1997-2001, populasi seluruh jenis ternak menurun, yaitu sapi potong -6,25%, kerbau -33,9%, kambing -12,04 %, domba -5,24%, babi -8,73%, ayam petelur -5,23%, ayam pedaging -18,25%, dan itik -1,37 %, kecuali
ayam buras yang tumbuh 6,88% dan sapi perah 10,19% (Ditjennak 2001).
Krisis ekonomi pada tahun 1998 ber-pengaruh langsung terhadap pengurangan konsumsi daging per kapita karena harga daging sapi melonjak. Konsumen yang termasuk dalam kelompok bawah dan menengah melakukan substitusi kon-sumsi daging sapi dengan daging lain, seperti unggas dan ikan. Hermanto et al.
(1990) berpendapat bahwa semakin tinggi pendapatan konsumen, semakin rendah elastisitas pendapatannya terhadap per-mintaan daging, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada konsumen yang golong kelas atas, angka elastisitas ter-sebut berada di bawah 1,0, yang menun-jukkan tidak elastisnya dampak penda-patan terhadap tingkat konsumsi daging.
Elastisitas pendapatan terhadap per-mintaan daging sapi menunjukkan bahwa konsumen berpendapatan tinggi tetap mempertahankan tingkat konsumsi daging sapi tanpa mempertimbangkan harganya dan harga daging lain maupun perubahan tingkat pendapatan. Soedjana et al. (1994) juga menjumpai elastisitas pendapatan terhadap permintaan yang cukup tinggi pada produk peternakan yang dikonsumsi masyarakat perdesaan dan perkotaan.
Impor sapi bakalan dan daging sapi yang menurun tajam pada masa krisis ekonomi mengurangi kompetisi sapi lokal dan daging sapi impor. Produsen sapi tra-disional dan pedagang mempunyai insentif untuk menghabiskan ternaknya dalam memanfaatkan harga yang menarik, walaupun hal ini dapat membahayakan populasi ternak sapi domestik di masa mendatang. Hal ini karena pada masa sebelumnya, pedagang ternak ditunjang oleh impor sapi bakalan dan daging sapi, tetapi pada masa krisis hal itu tidak dapat dilanjutkan.
Penurunan tarif impor daging sapi dari 30% menjadi 5% juga akan mendorong peningkatan impor daging sapi karena lebih menguntungkan dibanding mengim-por sapi bakalan pada saat permintaan daging sapi membaik setelah keadaan ekonomi pulih. Kesepakatan impor sapi bakalan telah berubah dan diperkirakan pengusaha penggemukan sapi tidak akan lagi mengalokasikan sapi bakalannnya ke peternak kecil. Perusahaan lainnya akan tetap memelihara kemitraan dengan petani kecil dalam skema PIR sapi potong, walau-pun dalam jumlah yang lebih kecil.
Delgado et al. (2001) menyatakan, peningkatan permintaan terhadap produk ternak akan menyebabkan negara-negara berkembang terus meningkatkan posisi net impornya yang saat ini sudah cukup tinggi. Sisi positif dari telaahan ini adalah peningkatan konsumsi produk peternakan akan mendorong perbaikan pendapatan peternakan tradisional. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa petani miskin yang tidak memiliki lahan dan tinggal di per-desaan memiliki kontribusi pendapatan yang lebih tinggi dari usaha ternak di-banding mereka yang lebih sejahtera di perdesaan.
Aho (1998) menyatakan, krisis ekonomi lebih berpengaruh terhadap industri ung-gas modern dibanding peternakan ayam kampung karena beberapa hal: (1) usaha peternakan ayam ras bersifat industri di-banding peternakan ayam kampung yang bersifat subsisten; dan (2) input produksi untuk ayam ras berasal dari bahan baku impor dengan nilai dolar, seperti bahan baku pakan (bungkil kedelai, tepung ikan/ daging, bahan tumbuhan), bibit ayam
grand parent stock (GPS), dan
obat-obatan. Peningkatan harga bahan baku impor karena perubahan nilai tukar dolar, terutama untuk pakan sumber protein,
mengakibatkan harga ransum meningkat, dan perusahaan pakan tidak mau lagi menjual pakan dalam bentuk kredit, tetapi tunai. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan kredit macet ketika peternak tidak mampu mengembalikan pinjaman karena kesulitan menjual produksinya.
Inpres No. 4/1998 sebagai respons ter-hadap industri persusuan nasional yang tidak menentu, memiliki tujuan utama membatalkan Inpres sebelumnya (Inpres No. 2/1985), terutama dalam hal kebijakan
mixing-ratio, kebijakan impor susu satu pintu dan hal lain yang berkaitan dengan aturan impor susu, kewajiban menyerap produksi susu domestik, dan kebijakan harga susu. Penghapusan kebijakan
mixing-ratio mengakibatkan penurunan
agregat konsumsi susu. Penurunan bah-kan telah terjadi ketika mixing-ratio men-capai 1:1,6, saat 70% susu masih diimpor pada tahun 1997. Dengan Inpres No. 4/ 1998, perlindungan terhadap industri susu nasional oleh pemerintah tidak berlaku lagi. Dengan demikian, industri persusuan akan menghadapi pasar global, di mana setiap bidang usaha akan saling bersaing dalam menyediakan produk dengan kualitas, produktivitas, dan efisiensi yang tinggi.
Produsen susu dalam negeri tidak punya cara lain dalam menghadapi hal ini kecuali: (1) melakukan usaha sapi perah secara profesional; (2) meminta pemerintah memberi jaminan bahwa ternak bibit yang disediakan berkualitas baik; dan (3) meng-gunakan komponen lokal lebih banyak dalam menyusun ransum pakan sapi perah. Inpres No. 4/1998 yang dibarengi kepu-tusan Menteri Keuangan tentang pengu-rangan tarif impor beberapa produk per-tanian maksimum 5%, berimplikasi bahwa produksi susu domestik dan produk turun-annya harus secara penuh berkompetisi dengan bahan baku impor.
Memerhatikan keberadaan usaha ternak tradisional yang sangat prevalen hingga saat ini, diperlukan berbagai opsi kebijakan ke depan untuk merespons peningkatan permintaan produk ternak sehingga bermanfaat bagi petani tradisi-onal dan masyarakat miskin pada umum-nya. Untuk melakukan hal itu, IFPRI (1999) menyarankan keharusan bagi pembuat kebijakan untuk memerhatikan empat hal, yaitu: (1) usaha ternak kecil dan tradisional harus terkait secara vertikal dengan usaha pengolahan dan pemasaran produk yang
perishable; (2) fasilitasi keikutsertaan peternak tradisional dalam usaha komersial melalui perbaikan beberapa hal yang me-nyebabkan terjadinya skala ekonomi yang artifisial, seperti pemberian kredit dan subsidi kepada usaha ternak skala besar; (3) mekanisme pengaturan yang berkaitan dengan kesehatan ternak dan lingkungan yang disebabkan oleh proses produksi peternakan; dan (4) produsen tradisional dan usaha kecil harus diikutsertakan dalam merespons berbagai peluang yang berkaitan dengan dinamika pembangunan peternakan.
OPSI KEBIJAKAN KE DEPAN
Menghadapi berbagai masalah dan pe-luang dalam industri peternakan akibat krisis ekonomi dan pasar bebas, prevalensi usaha ternak tradisional, dan rentannya usaha ternak skala besar terhadap gejolak ekonomi, beberapa opsi kebijakan perlu dipertimbangkan untuk memacu produksi peternakan nasional di masa mendatang. Kebijakan yang dapat memberdayakan peternak skala kecil dan tradisional agar dapat berperan penting dalam menye-diakan protein hewani, lapangan kerja, dan kesejahteraan peternak dalam
pem-bangunan nasional adalah sebagai beri-kut.
1. Menyempurnakan dan menegakkan peraturan dan perundang-undangan mengenai upaya peningkatan produksi daging, telur, dan susu melalui keber-pihakan pada peternak, serta peman-faatan sumber daya domestik yang berkelanjutan. Peran ternak potong lokal (sapi, kerbau, kambing-domba), ayam kampung, dan ternak perah perlu terus diberdayakan sesuai dengan potensinya, dan menjadi basis dalam pengambilan keputusan bagi pertim-bangan impor.
2. Memberikan kesempatan dan peluang yang seluas-luasnya kepada para pe-laku usaha ternak yang memiliki ke-unggulan komparatif serta memanfa-atkan seoptimal mungkin sumber daya bibit, pakan, obat-obat hewan, dan ke-mampuan manajerial pelaku usaha berskala kecil dan tradisional. Kebi-jakan ini perlu dikomplemen dengan upaya membatasi penggunaan bahan baku dan input produksi impor dengan mengembangkan industri alat dan mesin pertanian yang kualitasnya setara dengan produk impor.
3. Membangun dan melestarikan bangsa ternak lokal yang secara nasional dapat direkomendasikan untuk membantu peternak dan masyarakat pada umum-nya dalam meningkatkan produksi dan produktivitas ternak dalam rangka meningkatkan daya saing usaha. Juga melanjutkan pengembangan dan pe-nyempurnaan stok bibit nasional untuk memanfaatkan potensi genetiknya sesuai dengan lingkungan, baik untuk produksi daging maupun susu. 4. Berkaitan dengan pembibitan,
penya-kit, dan reproduksi ternak, kebijakan strategis yang perlu ditingkatkan
ada-lah: (a) mempromosikan dan meng-inisiasi pendirian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menghasilkan dan menangkarkan bibit ternak yang dikembangan oleh lembaga penelitian sebagai final stock; (b) melanjutkan pengawasan dan pencegahan penyakit ternak domestik maupun ternak yang didatangkan dari luar negeri secara terintegrasi oleh seluruh aparat pusat dan daerah serta memperkuat peran karantina hewan; dan (c) memanfaat-kan inseminasi buatan dan teknik re-produksi mutakhir lainnya, seperti transfer embrio, dalam usaha pembi-bitan ternak serta mengembangkan berbagai produk ternak yang memiliki kekhususan dengan menggunakan
input sedang.
5. Meningkatkan pendekatan sistem usaha tani terintegrasi antara tana-man-ternak (sapi-sawit, sapi-padi, kambing-kakao, domba-karet) untuk memanfaatkan ketersediaan sumber daya pakan lokal, seperti pelepah kela-pa sawit, bungkil inti sawit, jerami padi, dan biomassa perkebunan lain-nya, sebagai sumber serat kasar, selain menyediakan pupuk organik dan ener-gi alternatif dalam bentuk biogas. 6. Meningkatkan promosi, produksi, dan
konsumsi susu melalui pengembangan sumber protein hewani dari susu kam-bing, dibarengi dengan penyempur-naan peran penyuluhan dan sistem agribisnis peternakan di perdesaan. 7. Terkait dengan usaha ternak unggas,
perlu dilanjutkan pembangunan kapa-sitas produksi ayam broiler dan petelur dengan memanfaatkan infrastruktur dan sumber daya lokal dan keahlian tenaga kerja di dalam negeri. Produksi ayam kampung dan itik lokal perlu terus ditingkatkan untuk mendorong
sub-stitusi permintaan yang tinggi terhadap daging sapi, selain memenuhi permin-taan telur dan daging ayam.
8. Berkaitan dengan pengembangan in-dustri perunggasan skala besar dan pemasaran produk peternakan, kebi-jakan yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) restrukturisasi secara ber-tahap industri perunggasan komersial melalui pembangunan pabrik pakan mini, pengawasan penyakit hewan, dan partisipasi usaha skala kecil untuk memanfaatkan pangsa pasar produk unggas di dalam negeri; (b) mengem-bangkan informasi pasar secara nasi-onal, baik pasar input maupun produk peternakan, untuk menjamin trans-paransi harga produk dan menghindari gejolak harga dan asimetri informasi pasar; dan (c) membangun infra-struktur pemasaran ternak dari kawas-an produsen ke kawaskawas-an konsumen.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan
Penyediaan pangan, termasuk pangan asal hewan, akan terus menjadi tantangan nasional dan global karena pertumbuhan penduduk dan pendapatan. Pemenuhan kebutuhan pangan sumber karbohidrat sudah menjadi isu penting bagi negara dengan sumber daya terbatas, sementara kebutuhan pangan dasar terus meningkat. Bagi negara berpendapatan menengah ke atas, permintaan pangan asal karbohidrat telah berkurang dan belanja pangan rumah tangga dialihkan ke produk pangan asal hewan dan komoditas hortikultura. Kon-disi ini menyebabkan munculnya persa-ingan usaha dalam pengembangan kedua
komoditas tersebut. Persaingan akan sangat ditentukan oleh efisiensi produksi dan dorongan bagi tumbuhnya usaha berskala besar.
Pengamatan berbagai lembaga pene-litian internasional menyimpulkan bahwa di samping memperbaiki konsumsi protein hewani dan gizi masyarakat, usaha ternak tradisional juga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui stabilitas penyediaan uang tunai dalam bentuk kolateral dan ta-bungan ternak yang tidak mudah terlanda inflasi. Peningkatan permintaan terhadap produk pangan asal hewan menyebabkan negara-negara berkembang terus mening-katkan posisi net impornya yang saat ini sudah cukup tinggi. Peningkatan konsum-si produk peternakan akan meningkatkan pendapatan peternakan tradisional, yang umumnya diusahakan petani miskin yang tidak memiliki lahan dan tinggal di per-desaan. Dengan demikian, prevalensi usaha ternak tradisional masih akan tetap bertahan dalam beberapa dekade men-datang sejalan dengan peningkatan per-mintaan produk asal hewan.
Implikasi Kebijakan
Pembangunan peternakan yang dinamis di masa mendatang merupakan tantangan bagi petani tradisional dalam meningkat-kan ketersediaan pangan asal hewan dan sekaligus menyediakan peluang bagi peningkatan pendapatan rumah tangga peternak. Mengingat dominasi usaha ternak tradisonal di perdesaan, opsi kebi-jakan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas ternak harus mengikutsertakan peran dan fungsi ternak dalam konteks sistem usaha tani dalam upaya meningkatkan produksi dan men-stimulasi konsumsi produk peternakan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, P. and H.C. Knipscheer. 1989. Con-ducting On-Farm Animal Research: Procedures and economic analysis. Winrock International, Morrilton, Ar-kansas. 244 pp.
Aho, P. 1998. How globalization of agriculture will affect the poultry and livestock industries of Southeast Asia. ASA Tech. Bull. No. 39.
Dahl, G. and A. Hjort. 1976. Having herds: Pastoral growth and household eco-nomy. Studies in Social Anthropology No. 2. University of Stockholm, Stock-holm.
Delgado, C., M. Rosegrant, and S. Meijer. 2001. Livestock to 2020: The revolution continues. Paper presented at Meeting on International Agricultural Research Trade Consortium (IARTC). Auckland, New Zealand, 18-19 Januari 2001. De Wilde, J.C. 1967. Experiences with
agricultural development in tropical Africa: The case studies. Vol. 2. Johns Hopkins Univ. Press, Baltimore. Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan).
2001. Statistik Peternakan 2001. Ditjen-nak, Jakarta.
Ditjennak (Direktorat Jenderal Peternakan). 2009. Statistik Peternakan 2009. Ditjennak, Jakarta.
Doran, M.H., A.R.C. Low, and R.L. Kemp. 1979. Cattle as a store of wealth in Swaziland: Implications for livestock development and overgrazing in Eastern and Southern Africa. Am. J. Agric. Econ. 61: 41-47.
Hadi, P.U., D. Vincent, and N. Ilham. 1999. The impact of the economic crisis on Indonesia’s beef sector; Challenges and opportunities. Center for Agro Socio-Economic Research, Bogor.
Hermanto, T. Sudaryanto, dan A. Purwoto. 1990. Pola konsumsi dan estimasi elastisitas produk peternakan. Seminar Peternakan dan Veteriner, November 1999. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Peternakan, Bogor.
Herskovitz, M.J. 1926. The cattle complex in East Africa. Am. Anthropol. 28: 230-272.
IFPRI (International Food Policy Research Institute). 1999. 2020 Vision for Food, Agriculture, and Environment, News & Views. http://www.cgiar.org/ifpri/2020/ welcome.htm.
Kasryno, F., P. Simatupang, I W. Rusastra, A. Djatiharti, and B. Irawan. 1989. Government policies and economic analysis of the livestock commodity system. Jurnal Agro Ekonomi 8(1): 1-36.
McDowell, R.E. and P.E. Hildebrand. 1980. Integrated Crop and Animal pro-duction: Making the most of resources available to small farmers in develop-ing countries. Rockefeller Foundation, New York. p. 21.
Nerlove, M.N. 1999. Growth rate con-vergence: Fact or artifact? An essay in panel data econometrics. In
Krishna-kumar and E. Ronchetti (Eds.). Panel Data Econometric, Future Direction. Elsevier, Amsterdam.
Patriana, Z. 2009. Fair Trade: Small farmers hold key to feeding the world. http:// news.change.org/authors/zarah-patriana.
Rosenzweig, M.R. and K.I. Wolpin. 1993. Credit market constraints, con-sumption smoothing, and accumula-tion of durable asset in low-income countries: Investments in bullocks in India. J. Political Econ. 101: 223-244. Sawit, M.H. 2001. Ketahanan Pangan
dan Perjanjian Pertanian WTO. Paper presented at Workshop on Food Secu-rity in the Framework of FAO, Den-pasar, Bali, July 2001.
Schultz, T.W. 1964, Transforming Tra-ditional Agriculture, New Haven and London. Yale University Press, Connecticut. 212 pp.
Soedjana, T.D., T. Sudaryanto, dan R. Sayuti. 1994. Estimasi parameter permintaan beberapa komoditas peternakan di Jawa. Jurnal Penelitian Peternakan Indonesia 1: 13-23.