• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO VAGINOSIS BAKTERIAL SESUAI KRITERIA AMSEL PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANGERANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO VAGINOSIS BAKTERIAL SESUAI KRITERIA AMSEL PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANGERANG"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Vaginosis bakterial (VB) merupakan penyebab tersering infeksi vagina pada wanita usia subur. VB meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi menular seksual (IMS) lain, termasuk infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Wanita penjaja seks (WPS) merupakan populasi yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Pengoba tan dan strategi pencegahan yang tepat akan menurunkan morbiditas terkait VB, termasuk risiko transmisi HIV. Faktor risiko VB pada WPS penting diketahui untuk dapat menyusun strategi pencegahan VB.

Dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi dan menganalisis faktor risiko VB pada populasi WPS di Tangerang.Metode yang digunakan merupakan studi analitik, dengan rancangan studi potong lintang. Subjek penelitian (SP) adalah WPS di wilayah kabupaten Tangerang, provinsi Banten.

Dari 189 SP, didapatkan 131 SP (69,31%) yang didiagnosis VB. Semakin banyak jumlah pasangan seks, semakin meningkat risiko menderita VB 1,89 kali lebih besar (OR 1,89 (IK 95% 1,05; 3,41 ); p <0 ,05). Bilas vag ina yan g dilaku kan sen diri da n/ a tau petu gas kes ehatan meningkatkan risiko menderita VB 3,12 kali (OR 3,12 (IK 95% 1,17; 8,31); p < 0,05). Semakin muda kelompok usia WPS, semakin meningkat risiko menderita VB 1,92 kali lebih besar (OR 1,92 (IK 95% 1,12; 3,28); p < 0,05). Penggunaan kondom dalam satu minggu terakhir tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan VB pada penelitian ini (OR 1,68 (IK 95% 0,81; 3,49); p = 0 ,1 60 )

Prevalensi VB pada WPS di Tangerang sebesar 69,31% (131 dari 189 SP). Faktor risiko berupa jumlah pasangan seks dalam satu minggu terakhir, bilas vagina yang dilakukan sendiri dan/atau petugas kesehatan, dan kelompok usia yang lebih muda, bermakna secara statistik meningkatkan risiko VB pada WPS(MDVI 2015; 42/2: 54 - 60)

Kata kunci: vaginosis bakterial, wanita penjaja seks, prevalensi, faktor risiko, bilas vagina

ABSTRACT

Bacterial vaginosis (BV) is the most common cause of vaginal infection in women of childbearing age. BV increase susceptibility to a variety of sexually transmitted infections (STIs), including human immunodeficiency virus (HIV). Female sex workers (FSW) are a high-risk population to be infected by HIV. Treatment and appropriate prevention strategies will lower the BV-related morbidity, including the risk of HIV transmission. Knowledge about risk factors in high-risk population is important to formulate prevention strategies against BV.

A study was conducted to determine the prevalence and risk factors of BV among FSW population in Tangerang. The study was a analytic study, with a cross-sectional design. The study subjects are FSWs in Tangerang district, Banten province.

The result was 189 subjects, 131 subjects (69.31%) were diagnosed as BV. The higher the number of sexual partners, the risk of BV was increased 1.89 times greater (OR 1.89 (95% CI 1.05; 3.41), p < 0.05). Vaginal douching done by themselves and/or health care workers increased the risk of BV 3.12 times greater (OR 3.12 (95% CI 1.17; 8.31), p <0.05). The younger the age group of FSW, increased the risk of BV 1.92 times greater (OR 1.92 (95% CI 1.12; 3.28), p < 0.05). Use of condom in the last week did not have a significant association with the BV in this study (OR 1.68 (95% CI 0.81; 3.49), p = 0.160).

Prevalence of BV among FSW population in Tangerang was 69.31% (131 of 189 subjects). Risk factors such as number of sexual partners in the last week, vaginal douching done by themselves and/or health care workers, and younger age groups, were statistically significant risk factors of BV among FSW population.(MDVI 2015; 42/2: 54 - 60)

Keywords: bacterial vaginosis, female sex workers, prevalence, risk factors, vaginal douching

PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO

VAGINOSIS BAKTERIAL SESUAI KRITERIA AMSEL

PADA WANITA PENJAJA SEKS DI TANGERANG

Rinadewi Astriningrum, Sjaiful F. Daili, Sondang P. Sirait, Wresti Indriatmi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Korespondensi :

Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta Pusat Telp/Fax: 021 – 31935383

(2)

PENDAHULUAN

Vaginosis bakterial (VB) merupakan penyebab tersering infeksi vagina pada wanita usia subur.1 Vaginosis bakterial

ditandai dengan perubahan flora saluran genital, yaitu dominasi Lactobacillussp. digantikan oleh berbagai jenis organisme Gram positif maupun Gram negatif, yakni

Gardnerella vaginalis, Prevotella sp., Bacteroides sp., dan lain-lain. Perubahan mikrobiologis ini menyebabkan penin gkatan pH vagin a, produksi uap amin, ser ta peningkatan kadar endotoksin, enzim sialidase dan glikosidase bakteri pada cairan vagina.2

Diagnosis VB secara klinis ditegakkan bila memenuhi tiga dari empat kriteria yang dideskripsikan oleh Amsel (1983), yang meliputi : (i) peningkatan pH vagina >4,5, (ii) duh vagina encer, homogen, (iii) whiff test positif, dan (iv) ditemukan clue cell pada sediaan basah.3 Penegakan

diagnosis VB dengan kriteria Amsel memiliki sensitivitas dan spesifisitas cukup tinggi, yakni 97% dan 90% bila dibandingkan den gan metode Nugent.4 Selain itu,

pemeriksaan klinis untuk tiap kriteria Amsel dinilai sederhana, murah, dan mudah tersedia di klinik.2 Dengan

pertimbangan tersebut, penegakan diagnosis VB pada penelitian ini menggunakan kriteria Amsel.

Dalam kaitan dengan kesehatan reproduksi, VB menyebabkan berbagai komplikasi.2,5-7 Selain itu, VB

meningkatkan kerentanan terhadap berbagai infeksi menular seksual (IMS) lain, yaitu gonore, klamidia, trikomoniasis, herpes genital, dan infeksi human immunodeficiency virus

(HIV).VB juga meningkatkan risiko transmisi HIV.8- 15

Wanita penjaja seks (WPS) berisiko tinggi terinfeksi HIV. WPS langsung (WPSL) adalah wanita yang menjajakan seks sebagai pekerjaan atau sumber penghasilan utama mereka. Mereka biasanya menjalankan pekerjaannya di rumah bordil/ lokalisasi, atau di jalanan. Sedangkan WPS tidak langsung (WPSTL) adalah wanita yang bekerja di bisnis hiburan seperti bar, karaoke, salon, atau panti pijat, yang juga melayani seks untuk menambah penghasilan.16 Perkiraan pada tahun 2009

terdapat 106.011 WPS langsung (WPSL) dan 108.043 WPS tidak langsung (WPSTL) di Indonesia dengan jumlah pelanggan sebanyak 3.196.928.17 Sebanyak 13.106 WPS dan

39.207 pelanggan WPS diperkirakan telah terinfeksi HIV pada tahun 2009.16 Studi prevalensi infeksi saluran reproduksi oleh

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2007 pada populasi WPS di beberapa kota di Indonesia (Kupang, Samarinda, Pontianak, Yogyakarta, Timika, Makasar, dan Tangerang), mendapatkan prevalensi VB di Tangerang sebesar 70,4%.18 Prevalensi IMS maupun VB pada WPS di

Tangerang pada penelitian tersebut cukup tinggi sehingga dapat dijadikan penanda risiko penyebaran HIV yang makin meluas melalui jejaring hubungan seksual.19 Perkiraan tahun

2009 terdapat 1.741 WPSL dan 2.509 WPSTL di provinsi Banten dengan jumlah pelanggan sebanyak 60.664 yang rawan tertular HIV.17

Berdasarkan angka prevalensi VB yang tinggi tersebut, pengobatan dan strategi pencegahan yang tepat pada populasi risiko tinggi akan menurunkan morbiditas terkait VB dan risiko transmisi HIV. Terapi medikamentosa VB dengan metronidazol saat ini merupakan pilihan terapi utama, namun sering terjadi rekurensi.20,21 Oleh sebab itu, strategi

pencegahan primer harus lebih diperhatikan dan diteliti lebih lanjut. Strategi pencegahan primer menitikberatkan pada faktor risiko atau perilaku yang berhubungan dengan VB. Sepengetahuan penulis, saat ini belum ada penelitian yang khusus menganalisis faktor risiko VB pada populasi WPS di Indonesia sehingga studi ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi VB dan menganalisis faktor risiko VB pada populasi WPS.

TUJUAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko VB pada WPS di Tangerang. Faktor risiko yang dianalisis dalam penelitian ini adalah jumlah pasangan seksual, frekuensi hubungan seksual, tindakan bilas vagina, dan pemakaian kondom.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan studi potong lintang. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 di Puskesmas pembantu Dadap, kelurahan Dadap, kecamatan Kosambi, kabupaten Tangerang, provinsi Banten. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Keseh atan Kemenkes RI yang bertujuan utama untuk mengetahui data resistensi N.

gonorrhoeae terh adap beber apa antibiotik. Subjek

penelitian (SP) merupakan WPS lokalisasi tidak resmi di kelurahan Dadap. Pasien yang sedang hamil, haid, maupun telah menjalani histerektomi total tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Didapatkan 189 SP yang dipilih secara

consecutive sampling.

Terhadap SP dilakukan anamnesis untuk mengetahui karakteristik sosiodemografik dan faktor risiko VB. Pemeriksaan fisis meliputi inspeksi dan pemeriksaan menggunakan spekulum vagina, pengukuran pH vagina dengan kertas indikator pH (Merck®), whiff test yaitu menilai bau amis seperti ikan setelah meneteskan 1-2 tetes larutan KOH 10% pada spekulum yang baru dikeluarkan dari vagina, dan pengambilan spesimen usapan vagina untuk pemeriksaan sediaan basah clue cell. Diagnosis VB ditetapkan sesuai kriteria Amsel, yakni memenuhi minimal tiga dari empat kriteria. Subjek penelitian yang didiagnosis VB dirujuk kepada tim dokter Puskesmas pembantu Dadap

(3)

un tuk mendapatkan pengobatan . Analisis statistik dikerjakan menggunakan program Stata™ versi 12 (Stata Corp.). Dilakukan analisis regresi logistik, diawali dengan analisis bivariat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat untuk mendapatkan faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya VB.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Seluruh SP (100%) merupakan WPS langsung, yakni wanita yang menjajakan seks sebagai pekerjaan atau sumber penghasilan utama dan menjajakan diri di rumah bordil. Usia SP terbanyak pada kelompok usia 20-29 tahun (144 SP, 60,32%). Subyek penelitian berusia antara 13- 45 tahun, dengan rerata 25,1 ± 5,7 tahun. Sebagian besar SP, yaitu 139 dari 189 (73,54%) berstatus janda. Sebanyak 39 dari 189 SP (20,63%) belum pernah menikah, dan sisanya (11 dari 189 SP, 5,82%) berstatus menikah. Tingkat pendidikan SP paling banyak adalah SLTP/ sederajat yaitu 116 dari 189 SP (61,38%), kedua terbanyak adalah SD/ sederajat yaitu 47 dari 189 SP (24,87%), kemudian SLTA/ sederajat yaitu 24 dari 189 SP (12,7%), dan terakhir akademi/ perguruan tinggi sebanyak dua dari 189 SP (1,06%).

Sebagian besar SP memiliki kebiasaan higiene pribadi yang baik, yakni selalu membasuh kemaluan setiap selesai hubungan seks (186 dari 189 SP, 98,41%), mengganti celana dalam >2 kali/hari(181 dari 189 SP, 95,77%), tidak bertukar celana dalam dengan wanita lain tanpa dicuci(185 dari 189 SP, 97,88%), dan tidak menggunakan alat bantu pemuas seks insertif vagina bergantian dengan wanita lain tanpa dicuci(189 dari 189 SP, 100%).

Sebanyak 92,06% SP (174 dari 189) melakukan sendiri bilas vagina. Frekuensi bilas vagina dalam satu minggu terakhir paling banyak adalah 15-21 kali (57 dari 189 SP, 30,16%). Frekuensi bilas vagina dalam satu minggu terakhir tersering adalah 62 kali, dengan median 15 kali. Bilas vagina sendiri dilakukan oleh SP dengan cara memasukkan jari ke dalam vagina dan menambahkan bahan berupa sabun sirih, odol, sabun mandi, cairan antiseptik, atau ramuan tradisional. Pada sebagian kecil SP (14 dari 189, 7,41%) bilas vagina dilakukan oleh petugas kesehatan dalam satu bulan terakhir. Bila digabung antara bilas vagina dilakukan sendiri dan/atau dilakukan petugas kesehatan, 162 dari 189 SP (85,71%) melakukan salah satu, 13 dari 189 SP (6,88%) melakukan keduanya, dan 14 dari 189 SP (7,41%) tidak melakukan bilas vagina sama sekali.

Jumlah pasangan seks satu minggu terakhir sebanyak 2-4 orang terdapat pada sebagian besar SP (82 dari 189, 43,40%). Frekuensi hubungan seks satu minggu terakhir pada sebagian besar SP <5 kali, yakni 107 dari 189 SP (56,61%). Sebagian besar SP (136 dari 189, 71,96%) tidak konsisten memakai kondom satu minggu terakhir, yakni tidak pakai sama sekali maupun kadang-kadang memakai kondom.

Hanya 53 dari 189 SP (28,04%) yang konsisten menggunakan kondom dalam satu minggu terakhir. Tidak ada SP yang memilih alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR).

Prevalensi VB sesuai kriteria Amsel pada penelitian ini cukup tinggi, yakni sebesar 69,31% (131 dari 189 SP). Prevalensi VB pada penelitian ini hampir sama dengan survei prevalensi infeksi saluran reproduksi pada WPS oleh Kemenkes RI di Tangerang tahun 2007, yakni sebesar 70,4%.18 Bila dibandingkan dengan penelitian pada populasi

tidak berisiko tinggi yang dilakukan Ocviyanti dkk. (2010) yang mendapatkan angka prevalensi VB sebesar 30,7%, prevalensi VB pada penelitian ini jauh lebih tinggi.22

Prevalensi VB yang cukup tinggi pada penelitian ini mendukung berbagai hasil penelitian sebelumnya yang menghubungkan VB dengan perilaku seksual berisiko tinggi.

Analisis hubungan antara VB sebagai variabel depen den dilakukan ter h adap beberapa var iabel independen (Tabel 1). Antara variabel jumlah pasangan seks satu minggu terakhir dan frekuensi hubungan seks satu minggu terakhir terdapat korelasi tinggi (r = 0,9), sehingga dipilih salah satu untuk analisis multivariat, yakni jumlah pasangan seks satu minggu terakhir. Demikian pula antara variabel frekuensi bilas vagina yang dilakukan sendiri dalam satu minggu terakhir dan variabel bilas vagina dilakukan sendiri dan/atau oleh petugas kesehatan, terdapat korelasi sedang (r = 0,5), sehingga dipilih salah satu untuk analisis multivariat, yakni variabel bilas vagina dilakukan sendiri dan/atau oleh petugas kesehatan.

Tabel 2. memperlihatkan hasil analisis multivariat beberapa variabel faktor risiko VB. WPS yang melakukan bilas vagina, baik dilakukan sendiri dan/atau oleh petugas kesehatan, meningkatkan risiko VB 3,12 kali lebih besar dibandingkan dengan tidak melakukan bilas vagina (OR 3,12 (IK 95% 1,17; 8,31); nilai p < 0,05). Semakin muda kelompok usia, risiko menderita VB 1,92 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia di atasnya, (OR 1,92 (IK 95% 1,12; 3,29); nilai p < 0,05). Semakin banyak jumlah pasangan seks dalam satu minggu terakhir, semakin meningkat risiko VB 1.89 kali lebih besar (OR 1,89 (IK 95% 1,05; 3,41); nilai p < 0,05). Variabel penggunaan kondom dalam satu minggu terakhir tidak bermakna secara statistik pada analisis multivariat.

Determinan vaginosis bakterial pada WPS

Jumlah pasangan seks satu minggu terakhir. Baik pada analisis bivariat maupun multivariat, variabel jumlah pasangan seks dalam satu minggu terakhir secara statistik bermakna. Semakin banyak jumlah pasangan seks, meningkatkan risiko menderita VB 1,89 kali lebih besar. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mengalami VB tercatat bermakna secara statistik memiliki perilaku seksual risiko tinggi, yakni jumlah pasangan seksual

(4)

Tabel 1. Analisis bivariat beberapa variabel faktor risiko vaginosis bakterial pada WPS di Tangerang tahun 2012 (N=189)

Variabel Non-VB(N=58 orang) VB ORcr (IK 95%) dan nilai p (N=58 orang) (N=131 orang)

N % N % Jumlah pasangan seks dalam

satu minggu terakhir < 5 orang 5-10 orang >10 orang

Frekuensi hubungan seks satu minggu terakhir

< 5 kali 5-10 kali >10 kali

Bilas vagina dilakukan sendiri dan/atau oleh petugas kesehatan

Tidak sama sekali Salah satu Keduanya

Frekuensi bilas vagina dilakukan s endiri dalam satu minggu terakhir

Tidak pernah 1-7 kali 8-14 kali 15-21 kali >22 kali Penggunaan kondom satu minggu terakhir

Ya Tidak Kelompok usia < 20 tahun 20-29 tahun >30 tahun 42 15 1 41 15 2 7 50 1 7 15 14 14 8 20 38 4 37 17 72,41 25,86 1,72 72,41 25,86 1,72 12,07 86,21 1,72 12,07 25,86 24,14 24,14 13,79 34,48 65,52 6,90 63,79 29,31 69 48 14 66 50 15 7 112 12 8 21 28 43 31 33 98 27 77 27 52,67 36,64 10,69 52,67 36,64 10,69 5,34 85,50 9,16 6,11 16,03 21,37 32,82 23,66 25,19 69,31 20,61 58,78 20,61 ORcr 2,24 (IK 95% 1,27; 3,98); nilai p = 0,006 ORcr 2,11 (IK 95% 1,22; 3,64); nilai p = 0,007 ORcr 2,85 (IK 95% 1,17; 6,95); nilai p = 0,021 ORcr 1,40 (IK 95% 1,08; 1,81); nilai p = 0,01 ORcr 1,56 (IK 95% 0,80; 3,05); nilai p = 0,191 ORcr 1,80 (IK 95% 1,08; 3,01); nilai p = 0,025 Keterangan : ORcr = crude OR = OR kasar yang diperoleh dari analisis bivariat menggunakan cara regresi logistik

IK 95% = interval kepercayaan 95% N = jumlah SP

Tabel 2. Analisis multivariat beberapa variabel faktor risiko vaginosis bakterial WPS di Tangerang tahun 2012 (N=189

)

Variabel

Jumlah pasangan seks dalam satu minggu terakhir Bilas vagina dilakukan sendiri dan/atau oleh petugas kesehatan

Penggunaan kondom satu minggu terakhir Kelompok usia ORadj (IK 95%) 1.89 (1,05; 3,41) 3,12 (1,17; 8,31) 1,68 (0,81; 3,49) 1,92 (1,12; 3,28) Nilai p 0,034* 0,022* 0,160 0,017* Keterangan :

*nilai p < 0,05 bermakna secara statistik ; N = Jumlah SP

ORadj = adjusted OR yaitu nilai OR sesuaian terhadap berbagai variabel sebagai hasil analisis multivariat secara regresi logistik IK 95% = interval kepercayaan 95%

(5)

lebih dari satu dan riwayat penyakit infeksi menular seksual.23-26 Alkalinisasi lingkungan vagina oleh karena

peningkatan frekuensi hubungan seksual menyebabkan terjadi pergeseran dominasi laktobasilus pada lingkungan flora vagina oleh mikroorganisme penyebab VB.27 Pada

penelitian ini, peningkatan risiko VB pada kelompok jumlah pasangan yang lebih banyak, berkaitan dengan semakin tingginya frekuensi hubungan seksual.

Frekuensi hubungan seksual dalam satu minggu terakhir. Pada analisis bivariat, semakin tinggi frekuensi hubungan seks satu minggu terakhir, semakin meningkatkan risiko VB hingga 2,11 kali, dengan statistik bermakna yakni OR 2,11 (IK 95% 1,22; 3,64); nilai p < 0,05 (Tabel 2). Pada penelitian ini, variabel frekuensi hubungan seks seminggu terakhir dan jumlah pasangan seks satu minggu terakhir memiliki korelasi yang tinggi, sehingga dipilih salah satu untuk analisis multivariat, yakni jumlah pasangan seks satu minggu terakhir. Dengan demikian, variabel frekuensi hubungan seksual satu minggu terakhir tidak dimasukkan dalam analisis multivariat.

Bilas vagina. Pada penelitian ini, baik pada analisis bivariat maupun multivariat, variabel bilas vagina yang dilakukan sendiri dan/atau oleh petugas kesehatan bermakna secara statistik meningkatkan risiko VB. Temuan ini menunjukkan bahwa bila bilas vagina dilakukan sendiri dan/atau petugas kesehatan, risiko mengalami VB menjadi 3,12 kali lebih besar. Variabel frekuensi bilas vagina yang dilakukan sendiri dalam satu minggu terakhir terdapat korelasi dengan variabel bilas vagina yang dilakukan sendiri dan/atau petugas kesehatan, sehingga tidak dimasukkan dalam analisis multivariat. Pada penelitian ini, walaupun frekuensi bilas vagina yang dilakukan sendiri pada analisis bivariat secara statistik tidak bermakna, namun kebiasaan ini dilakukan dalam frekuensi yang cukup sering, yakni median 15 kali dalam satu minggu terakhir. Sebagian besar (57 dari 189, 30,16%) SP melakukan sendiri bilas vagina 15-21 kali dalam satu minggu terakhir. Temuan ini patut menjadi perhatian, karena kebiasaan bilas/ cuci vagina (douching) merupakan perilaku pencegahan infeksi saluran reproduksi yang keliru. Penelitian survei prevalensi infeksi saluran reproduksi oleh Kemenkes RI di Tangerang pada tahun 2007 juga mendapatkan sebagian besar SP (93,2%) melakukan bilas vagina sendiri yang dilakukan dengan alasan untuk mencegah infeksi saluran reproduksi.18 Bila dibandingkan dengan hasil penelitian

tersebut, persentase WPS yang melakukan bilas vagina tidak berbeda jauh (91,53% versus 93,2%).18 Usaha

pencegahan perilaku yang keliru ini kemungkinan belum dilakukan.

Penggunaan kondom satu minggu terakhir. Sebagian besar SP (136 dari 189, 71,96%) tidak konsisten dalam memakai kondom satu minggu terakhir. Hanya 53 dari 189 SP (28,04%)

yang konsisten menggunakan kondom dalam satu minggu terakhir. Variabel penggunaan kondom dalam satu minggu terakhir tidak berhubungan secara bermakna dengan VB pada penelitian ini.

Berbagai pen elitian lain men un jukkan bah wa penggunaan kondom menurunkan risiko VB. Studi meta-analisis oleh Fethers dkk. (2008) menunjukkan bahwa penggunaan kondom menurunkan risiko atau merupakan faktor proteksi terhadap kejadian VB.24 Walaupun

mekanisme transmisi bakteri terkait VB sampai saat ini belum jelas, terdapat dugaan bahwa bakteri terkait VB berkolonisasi pada saluran genital pria dan menjadi media transmisi penyakit. Bila hal tersebut benar, penggunaan kondom merupakan faktor proteksi terhadap kejadian VB.27

Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa pengobatan VB terhadap pasangan pria tidak bermanfaat terhadap rekurensi VB.2 Bagaimanapun, masih diperlukan penelitian

lebih lanjut tentang transmisi seksual bakteri terkait VB. Pa da pen el iti an in i, pen gg un a an kon dom tid ak berhubungan bermakna dengan kejadian VB, sehingga mendukung dugaan bahwa VB bukanlah penyakit yang ditransmisikan secara seksual.

Usia. Pada analisis bivariat maupun multivariat, kelompok usia lebih muda bermakna secara statistik meningkatkan risiko VB. Temuan ini menunjukkan bahwa makin muda kelompok usia, risiko menderita VB 1,92 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia di atasnya. Usia muda merupakan variabel penting dalam epidemiologi penyakit menular seksual oleh karena aktivitas seksual yang tinggi umumnya dipengaruhi usia. Selain itu, WPS berusia lebih muda pada umumnya lebih disukai oleh pelanggan dibandingkan dengan WPS berusia lebih tua, sehingga aktivitas seksual WPS usia muda lebih tinggi.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Ocviyanti dkk. (2010) yang menemukan bahwa usia di atas 40 tahun meningkatkan risiko VB. Hal tersebut dikaitkan dengan penurunan kadar estrogen yang menyebabkan penurunan pH vagina, sehingga tidak optimal untuk pertumbuhan laktobasilus.22 Perbedaan hasil penelitian ini

kemungkinan disebabkan perbedaan karakteristik SP, yakni penelitian tersebut dilakukan pada populasi non-risiko tinggi.

Periodic presumptive treatment (PPT). PPT atau pemberian terapi antibiotik presumtif berkala merupakan salah satu strategi pengobatan infeksi menular seksual yang diberikan kepada kelompok penjaja seks. PPT diberikan berdasarkan pertimbangan tingginya risiko terinfeksi penyakit dan prevalensi penyakit infeksi menular seksual yang tinggi. Berbeda dengan terapi berdasarkan pendekatan sindrom,

PPT diberikan tidak berdasarkan gejala, tanda, maupun hasil pemeriksaan diagnosis.28 Program PPT dengan pemberian

(6)

VB pada WPS yang dilaksanakan di Kenya, berhasil menurunkan insidens VB.29 Di Indonesia, program PPT telah

dilaksanakan untuk pengobatan infeksi N. gonnorrheae dan

C. trachomatis, yakni dengan pemberian azitromisin satu

gram dan cefixime 400 miligram dosis tunggal kepada WPS. Di Bintan dan Salatiga, program PPT berhasil menurunkan prevalensi infeksi N. gonorrhoeae dan C.trachomatis setelah 15 bulan pelaksanaan program pada WPS. Didapatkan angka prevalensi infeksi lebih rendah pada WPS penerima program PPT, yakni 19,6% versus 35,9% pada WPS pendatang baru (p<0,01).30 Berbeda dengan infeksi N. gonnorrheae dan C.

trachomatis, belum ada program PPT untuk menangani

infeksi VB pada kelompok risiko tinggi di Indonesia.

KESIMPULAN

Prevalensi VB pada WPS di Tangerang dengan kriteria klinis sesuai Amsel sebesar 69,31% (131 dari 189 SP). Semakin banyak jumlah pasangan seks dalam satu minggu terakhir WPS, risiko mengalami VB meningkat 1,89 kali lebih besar. Semakin tinggi frekuensi hubungan seks satu minggu terakhir, risiko VB meningkat lebih besar dibandingkan dengan frekuensi h ubun gan seks di bawahn ya. WPS yan g melakukan sendiri bilas vagina dan/atau bilas vagina oleh petugas kesehatan bermakna secara statistik meningkatkan risiko VB sampai 3,12 kali. Penggunaan kondom tidak berhubungan bermakna terhadap kejadian VB. Sebagai hasil tambahan, pada wanita risiko tinggi, kelompok usia lebih muda bermakna secara statistik meningkatkan risiko VB 1,92 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia lebih tua.

SARAN

Mengingat tingginya angka persentase WPS yang melakukan kebiasaan bilas vagina, sedangkan bilas vagina merupakan determinan yang bermakna dalam meningkatkan risiko terjadinya VB, maka perlu disusun langkah strategi berupa komunikasi, informasi, dan edukasi kepada WPS dan petugas kesehatan, khususnya di Tangerang tentang bahaya melakukan bilas vagina, yakni dapat meningkatkan risiko VB. Selain itu, angka prevalensi VB pada WPS di Tangerang sangat tinggi, sehingga perlu dipikirkan pemberian terapi antibiotik presumtif untuk VB yang diberikan berkala

(periodic presumptive treatment) kepada WPS.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allsworth JE, Peipert JF. Prevalence of bacterial vaginosis: 2001-2004 National Health and Nutrition examination survey data. Obstet Gynecol. 2007;109:114-20.

2. Hillier S, Marrazzo J, Holmes KK. Bacterial vaginosis. Dalam: Holmes KK, Sparling PF, Stamm WE, Piot P, Wasserheit JN, Corey L, penyunting. Sexually transmitted diseases. New York: McGraw-Hill; 2008. h.737-68. 3. Amsel R, Totten PA, Spiegel CA, Chen KCS, Eschenbach D,

Holmes KK. Nonspeci?c vaginitis. Diagnostic criteria and microbial and epidemiologic associations. Am J Med. 1983; 74: 14-22.

4. Simoes JA, Discacciati MG, Brolazo EM, Portugal PM, Dini DV, Dantas MC. Clinical diagnosis of bacterial vaginosis. Int J of Gynecol and Obstet. 2006; 94:28-32.

5. Holst E, Goffeng AR, Andersch B. Bacterial vaginosis and vaginal microorganisms in idiopathic premature labor and association with pregnancy outcome. J Clin Microbiol. 1994; 32(1): 176-86.

6. Newton ER, Piper J, Peairs W. Bacterial vaginosis and intraamniotic infections. Am J Obstet Gynecol. 1997; 176(3): 672-7.

7. Watts DH, Krohn MA, Hillier SL, Eschenbach DA. Bacterial vaginosis as a risk factor for post-cesarean endometritis. Obstet Gynecol. 1990;75(1): 52-8.

8. Martin HI, Richardson BA, Nyange PM, Lavreys L, Hillier SL, Chohan B, dkk. Vaginal lactobacilli, microbial flora, and risk of human immunodeficiency virus type 1 and sexually transmitted disease acquisition of HIV. J Infect Dis. 1999; 180: 1863-8.

9. Taha TE, Hoover DR, Dallabetta GA, Kumwenda NI, Mtimalavye LA, Yang LP, dkk. Bacterial vaginosis and disturbances of vaginal flora: Association with increased acquisition of HIV. AIDS 1998; 12: 1699-706

10. Cu-Uvin S, Hogan JW, Caliendo AM, Harwell J, Mayer KH, Carpenter CC. Association between bacterial vaginosis and expression of human immunodeficiency virus type 1 RNA in the female genital tract. Clin Infect Dis. 2001; 33: 894-6. 11. Wiesenfeld HC, Hillier SL, Krohn MA. Bacterial vaginosis is a strong predictor for Neisseria gonorrhoeae and Chlamydia trachomatis infection. Clin Infect Dis. 2003; 36: 663-8. 12. Cherpes TL, Meyn LA, Krohn MA. Association between

acquisition of herpes simplex virus type 2 in women and bacterial vaginosis. Clin Infect Dis. 2003; 37: 319-25. 13. Atashili J, Poole C, Ndumbe PM, Adimora AA, Smith JS.

Bacterial vaginosis and HIV acquisition: A meta-analysis of published studies. AIDS. 2008; 22: 149 3-1501.

14. Sha BE., Zariffard MR, Wang QJ, Chen HY, Bremer J, Cohen MH, Spear GT. Female genital-tract HIV load correlates inversely with lactobacillus species but positively with bacterial vaginosis and Mycoplasma hominis. J Infect Dis. 2005; 191: 25-32.

15. Spear GT, John E, Zariffard MR. Bacterial vaginosis and human immunodeficiency virus infection. AIDS Research and Therapy. 2007; 4: 25

16. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. E stimasi populasi dewasa rawan terinfeksi HIV 2009.

17. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan. Laporan perkembangan situasi HIV & AIDS di Indonesia Triwulan 3 tahun 2012. 18. Rahardjo E, Sihombing S, Tresnaningsih E, Priyohutomo S,

Daili SF, Sedyaningsih ER, dkk. Laporan hasil penelitian survei prevalensi infeksi saluran reproduksi pada wanita penjaja seks di Kupang, Samarinda, Pontianak, Yogyakarta,

(7)

Timika, Makasar, dan Tangerang, Indonesia, 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan P engembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

19. Sedyaningsih ER, Daili SF, Anartati AS, Tanudyaya FK, Purnamawati KA, Sutrisna A, dkk. Laporan hasil penelitian prevalensi infeksi saluran reproduksi pada wanita penjaja seks di Medan, Tanjung Pinang, Palembang, Jakarta Barat, Bandung, Semaran g, Ban yuwan gi, Su rabaya, Bitun g, Jayapu ra, Indonesia, 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

20. Lugo-Miro VI, Green M, Mazur L. Comparison of different metronidazole therapeutic regimens for bacterial vaginosis. A meta-analysis. JAMA. 1992; 268: 92.

21. Kane KY, Pierce R. What are the most effective treatments for bacterial vaginosis in nonpregnant women? J Fam Pract. 2001; 50: 399-400.

Gambar

Tabel  1. Analisis bivariat beberapa  variabel faktor risiko vaginosis bakterial pada WPS di Tangerang tahun  2012 (N=189)

Referensi

Dokumen terkait

periode, maka seluruh famili produk tersebut diputuskan untuk diproduksi. Untuk itu terlebih dahulu dicari harga X i , yaitu berapa kali produk diproduksi dalam 1 horison

Kepala Desa Geneng, Tarno, menyebut Sadiman sebagai pribadi yang ikhlas karena tidak pernah berharap imbalan dari pemerintah atau orang lain dalam menghijaukan hutan.. Ia

1. Evaluasi yang dilakukan terhadap ke tiga gedung di bandara Fatmawati menunjukkan bahwa, gedung terminal utama dan ATC saja yang layak untuk mendapat

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan titanium dioksida konsentrasi 2%, 3% dan 4% pada bahan basis gigi tiruan resin akrilik polimerisasi

Kecerdasan Spiritual dengan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Jantung Koroner di Poliklinik Jantung Rumah Sakit Dokter Moewardi Surakarta “ ini

melahirkan tenaga kerja mahir telah dimainkan oleh beberapa agensi kerajaan seperti Kementerian Pembangunan Keusahawanan dan Koperasi Malaysia mempunyai Institut Kemahiran

Namun begitu, berdasarkan kajian ini menunjukkan bahawa faktor pembelajaran merupakan faktor utama yang mempengaruhi pelajar kurang cemerlang dalam mata pelajaran sains