Harry Stack Sullivan
(Psikiatri Interpersonal)
A. Inti Teori
Harry Stack Sullivan, orang Amerika pertama yang membangun teori kepribadian yang komprehensif. Menurutnya kepribadian adalah pola yang relatif menetap dari situasi-situasi antar pribadi yang berulang, yang menjadi ciri kehidupan manusia. For Sullivan, personality arises in interpersonal
exchanges. A person does not “posses” personality so much as reflect one in responding to the perceptions of significant others. Ia percaya bahwa manusia
mengembangkan kepribadian mereka dalam konteks sosial. Tanpa orang lain,menurut Sullivan, manusia tidak akan memiliki kepribadian. Kepribadian itu konstruk hipotesis yang hanya dapat diamati dalam konteks tingkah laku interpersonal.
Pengalaman hubungan antar pribadi telah merubah fungsi fisiologik organisme (sehingga manusia kehilangan kesatuan biologiknya) menjadi organisme sosial, bahkan sosialisasi telah merubah proses biologik yang paling mendasar (bernafas, pencernaan, elminasi). Psikiatri tidak bisa
dipisahkan dari psikologi sosial. Sepanjang hayat setiap orang bergerak dalam lingkungan sosial, sejak bayi sudah terlibat dalam interaksi dengan orang lain. Bahkan ketika orang sendirianpun, orang lain muncul dalam fikiran, perasaan dan fantasinya. Sullivan mengatakan bahwa pengenalan akan kepribadian manusia hanya dapat diperoleh melalui studi ilmiah mengenai hubungan interpersonal. Teori Interpersonal Sullivan menekankan pentingnya ragam tahapan perkembangan – masa bayi, kanak-kanak, juvenil, praremaja, remaja awal, remaja akhir dan dewasa. Perkembangan manusia yang sehat
bergantung pada kemampuan manusia untuk mencapai keintiman dengan orang lain, namun sayangnya kecemasan dapat mengagalkan hubungan
interpersonal yang memuaskan pada usia berapapun. Mungkin tahapan paling krusial adalah praremaja – periode.
B. Dinamika Kepribadian 1. Ketegangan
Seperti Freud dan Jung, Sullivan melihat kepribadian sebagai sistim energy. Energi dapat berupa ketegangan (potensi tindakan) dan tindakan itu sendiri (energy transformasi). Energi transformasi
mengubah ketegangan menjadi tingkah laku tersebunyi atau terbuka dan bertujuan memuaskan kebutuhan serta mengurangi ketegangan.
Ketegangan adalah potensi tindakan yang mungkin atau tidak mungkin dialami dalam kesadaran. Oleh karena itu, tidak semua ketegangan dirasakan secara sadar. Banyak ketegangan, seperti rasa cemas, firasat, kebosanan, rasa lapar, dan hasrat seksual dirasakan, namun tidak selalu pada tingkat kesadaran. Faktanya, kemungkinan semua ketegangan yang dirasakan merupakan distrorsi setidaknya dari sebagian kenyataan. Setiap saat orang selalu berada dalam tingkat ketegangan tertentu, dari tegangan yang sangat rendah atau relaksasi mutlak (euphoria) , sampai tegangannya sangat kuat, misalnya tegangan dalam situasi teror. Sullivan menyebutkan dua jenis ketegangan, yaitu kebutuhan dan kecemasan. Kebutuhan biasanya menghasilkan tindakan produktif, sedangkan kecemasan menghasilkan tingkah laku non produktif dan bersifat disintegrasi. a. Kebutuhan
Kebutuhan merupakan ketegangan yang dibawa oleh ketidak seimbangan biologis antara seseorang dengan lingkungan
fisiokimiawi, baik didalam maupun diluar organism. Need biologic dipuaskan dengan memberi pasokan yang dapat memberikan
keseimbangan. Kepuasannya bersifat episodik, sesudah memperoleh kepuasan- tegangan menurun/hilang, tetapi sesudah waktu tertentu ketegangan yang sama akan muncul kembali. Yang artinya kebutuhan itu bersifat sementar. Kebutuhan yang kemudian muncul bersumber dari hubungan interpersonal. Kebutuhan interpersonal yang paling mendasar adalah kelembutan (tenderness). Berbeda dengan
dari dua orang. Contohnya, kebutuhan bayi untuk menerima kelembutan akan diungkapkan dengan tangis, senyum, atau dengkuran, sedangkan kebutuhan ibu untuk memberi kelembutan mungkin berubah bentuk menjadi menyentuh, membelai, atau menimang.
Kelembutan adalah kebutuhan umum karena berkaitan dengan kesejahteraan seseorag secara menyeluruh. Kebutuhan-kebutuhan umum, termasuk oksigen, makanan, dan air berlawanan dengan
kebutuhan zona khusus (zonal needs) yang timbul dari area tertentu
pada tubuh.
b. Kecemasan (Anxiety)
Kecemasan merupakan ketegangan tipe kedua, berbeda dengan ketegangan akan kebutuhan dalam arti ia bersifat memisahkan, lebih tersebar dan samar, oleh karena itu tidak menuntut tindakan konsisten untuk menghilangkannya. Apabila seorang Bayi kekurangan makanan (kebutuhan), maka rangkaian tindakan rangkaian mereka jelas. Akan tetapi apabila mereka merasa cemas, maka tidak banyak yang dapat dilakukan untuk melarikan diri dari rasa cemas tersebut.
Sullivan had embarked on a theoritical assumption that anxiety was commonicable from mother to child, and from child to mother. Sullivan’ s next major assumption about personality development concernet the resiprocal relationship betwen mother’s and child’s tentions.
Sullivan menyatakan bahwa kecemasan ditransfer dari orang tua ke anak melalui proses empati. Kecemasan pada seseorang yang keibuan mau tidak mau menyebabkan kecemasan pada bayi. Oleh karena semua ibu memiliki sejumlah kecemasan ketika merawat bayi mereka, maka semua bayi juga merasa cemas hingga tingkat tertentu.
Kecemasan juga memiliki efek merusak pada orang dewasa. Kecemasan adalah kekuatan pengganggu utama yang menghambat perkembangan hubungan interpersonal yang sehat. Hal yang unik dari ketegangan adalah bahwa ia mempertahankan keadaan sebagaimana
saat itu, walaupun seorang benar-benar terganggu. Ketika ketegangan menghasilkan tindakan secara khusus diarahkan untuk mencapai perasaan lega, kecemasan menghasilkan perilaku yang (1) mencegah manusia untuk belajar dari kesalahan mereka sendiri, (2) membuat orang tetap mengejar keinginan kekanak-kanakan demi rasa aman, dan (3) secara garis besar memastikan bahwa manusia tidak akan belajar dari pengalaman mereka.
Sullivan menyatakan bahwa kecemasan dan kesendirian merupakan pengalaman yang unik dalam arti mereka mereka benar-benar tidak dikehendaki dan tidak diinginkan. Oleh karena kecemasan menyakitkan, maka orang cenderung menghindarinya, secara turun temurun memilih situasi euforia atau ketiadaan tegangan. Sullivan merangkum konsep ini dengan menyatakan bahwa “keberadaan kecemasan jauh lebih buruk dari ketidakberadaannya”.
Sullivan membedakan kecemasan dengan rasa takut dalam beberapa pendekatan penting. Pertama, kecemasan biasanya berakar dari situasi interpersonal yang kompleks dan hanya tampak samar dalam kesadaran; rasa takut lebih jelas dikenali dan asalnya lebih mudah diketahui. Kedua, kecemasan tidak memiliki nilai positif. Hanya ketika kecemasan berubah bentuk menjadi ketegangan (rasa marah atau takut) maka ia dapat mendorong kearah tindakan yang menguntungkan. Ketiga, kecemasan menghambat terpuaskannya kebutuhan, sedangkan rasa takut kadang membantu manusia
memenuhi kebutuhan tertentu. Kemudian, adapun defenisi kecemasan menurut Sullivan yaitu “Kecemasan adalah ketegangan yang
bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhsn dan bertentangan dengan tindakan yang membuat ,mereka merasa nyaman”.
2. Transformasi Energi
Transformsi energy merupakan ketegangan yang diubah menjadi tindakan, baik tersembunyi maupun terbuka. Istilah yang agak aneh ini semata-mata mengacu pada tingkah laku kita yang bertujuan memuaskan
kebutuhan dan mengurangi kecemasan – dua ketegangan utama. Tingkah laku hasil transformasi itu meliputi gerakan yang kasat mata, dan kegiatan mental seperti perasaan, dan pikiran, persepsi, dan ingatan atau tingkah laku tersembunyi yang dapat disembunyikan dari orang lain.
Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat mengurangi tegangan, menurut Sullivan dipelajari dan ditentukan oleh masyarakat dimana orang itu dibesarkan apa yang dapat diemukan pada masa lalu setiap orang adalah tegangan-tegangan dan pola transpormasi energi untuk meredakannya, yang menjadi sarana pendidikan menyiapkan anak menjadi anggota masyarakatnya. Insting memang ada dan menjadi pemicu kebutuhan yang menimbulkan tegangan, tetapi transpormasi energi tidak lagi dipengaruhi oleh insting dan lebih dari hasil belajar.
C. Struktur Kepribadian
1. Dinamisme (The Dynamism)
Menurut Sullivan, Dinamisme merupakan pola khas tingkah laku (transformasi energy) yang menetap dan berulang terjadi yang menjadi ciri khas seseorang. Dinamisme memiliki dua kelas utama, yaitu pertama, dinamisme yang berkaitan dengan zona khusus pada tubuh termasuk mulut, anus, dan alat genital. Kedua, dinamisme yang berkaitan dengan tegangan. Kelas kedua ini terdiri dari tiga kategori yang disjungtif (berlawanan), yang mengasingkan, dan yang konjungtif
(menghubungkan). Dinamisme disjungtif mencakup pola tingkah laku deskruktif yang berhubungan dengan konsep kedengkian; dinamisme konjungtif mencakup pola tingkah laku bermanfaat, seperti keintiman dan
sistim diri; dan kedengkian mengasingkan mencakup pola tingkah laku
(seperti berahi) yang tidak berhubungan dengan hubungan interpersonal. a. Kedengkian
Kedengkian adalah dinamisme disjungtif akan kejahatan dan kebencian yang ditantai oleh perasaan hidup diantara musuh-musuh. Kedengkian timbul sekitar usia dua atau tiga tahun, saat tindakan anak sebelumnya menyebabkan kelembutan maternal disangkal, tidak diaacuhkan, atau disambut dengan kecemasan dan rasa sakit. Ketika
orang tua mengendalikan tingkah laku anak dengan rasa sakit fisik dan teguran, sebagian anak akan belajar untuk menahan ungkapan
kebutuhan akan kelembutan dan untuk melindungi diri mereka sendiri dengan mengadopsi sikap dengki.
Orang tua dan kelompok temannya akan semakin sulit untuk memberikan reaksi dengan kelembutan, yang akhirnya menguatkan sikap negatif anak terhadap dunia. Tindakan dengki dapat berupa sifat penakut, kenakalan, kekejaman, dan tingkah laku asosial atau anti sosial lainnya. Sullivan mengungkapkan sikap dari kedengkian tersebut dengan pernyataan menarik ini: “ di suatu waktu dimasa lampau segalanya indah, namun itu sebelum saya harus berhadapan dengan orang-orang”.
b. Keintiman
Keintiman tumbuh dari kebutuhan sebelumnya akan kelembutan, namun lebih spesifik dan melibatkan hubungan interpersonal antara dua orang dengan status kurang lebih setara. Keintiman berbeda dengan minat seksual. Bahkan, keintiman berkembang sebelum pubertas idealnya selama para remaja yang biasanya didapat antara dua orang anak-anak, masing-masing memandang satu sama lain sebagai orang yang sebanding.
Keintiman adalah dinamisme dinamisme konjungtif dengan sifat integrasi yang cenderung untuk menarik reaksi penuh cinta kasih dari orang lain, oleh karena itu mengurangi kecemasan dan kesendirian, dua pengalaman yang sangat menyakitkan. Oleh karena keintiman adalah pengalaman berharga yang sebagian besar orang sehat inginkan.
c. Berahi
Di sisi lain, Berahi adalah kecenderungan mengasingkan, tidak membutuhkan siapapun untuk memenuhinya. Berahi menampilkan dirinya sebagai tingkah laku otoerotis (autoerotic) bahkan ketika seseorang menjadi objek berahi orang lain. Berahi khususnya
merupakan dinamisme yang sangat kuat selama masa remaja, dimana pada masa itu berahi biasanya menyebabkan rasa percaya diri
seseorang berkurang. Usaha dalam aktivitas berahi biasanya dotilak oleh orang lain sehingga meningkatkan kecemasan dan mengurangi rasa percaya diri. Sebagai tambahan, berahi sering mengganggu hubungan intim khusunya di masa remaja karena mudah sekali disalah artikan sebagai ketertarikan seksual.
2. Personifikasi (Personification)
Personifikasi adalah suatu gambaran mengenai diri atau orang lain yang dibangun berdasarkan pengalaman yang menimbulkan kepuasan atau kecemasan. Hubungan interpersonal yang memberi kepuasan
cenderung membangkitkan image positif, sebaliknya yang melibatkan kecemasan membangkitkan image negatif. Sullivan menggambarkan personifikasi dasar yang berkembang selama masa bayi mengenai ibunya adalah gambaran ibu baik (good mother) atau ibu buruk (bad mother) dan saya. Sebagai tambahan, sebagian anak akan memperoleh personifikasi edetik (teman khayalan) selama masa kanak-kanak.
a. Ibu yang buruk, Ibu yang baik
Pengertian sullivan akan ibu yang buruk dan ibu yang baik sama dengan konsep Klein akan payudara baik dan payudara buruk.
Personifikasi ibu yang buruk, sebenarnya tumbuh dari pangalaman
bayi terhadap puting-buruk, yaitu puting yang tidak memuaskan kebutuhan akan rasa lapar. Tidak penting apakah puting tersebut adalah milik ibu atau botol yang dipegang oleh ibu, ayah, perawat, atau orang lain. Personafikasi ibu yang buruk hampir tidak bisa dibedakan karena ia mencakup semua orang yang terlibat dari situasi perawatan. Personafikasi ini bukan gambaran ibu yang “nyata”, namun hanya representasi samar dari bayi akan keadaan disusui yang tidak selayaknya.
Setelah personifikasi ibu yang buruk terbentuk, seorang bayi akan memperoleh dan membentuk personifikasi ibu yang baik berdasarkan kelembutan dan tingkah laku kooperatif dari seseorang yang keibuan. Kedua personikasi tersebut, salah satunya didasari oleh persepsi bayi akan ibu yang jahat dan cemas, dan lainnya didasari oleh ibu yang
tenang, lembut, berpadu membentuk personifikasi kompleks yang terdiri dari kualitas-kualitas bertentangan yang diproyeksikan pada orang yang sama. Akan tetapi, hingga bayi mengembangkan bahasa, kedua gambaran ibu yang bertentangan tersebut, hidup bersama dengan mudah.
b. Personifikasi saya (Personifications of Self)
Selama masa pertengahan bayi, seorang anak memperoleh tiga personifikasi saya (good-me, bad-me, not-me) yang membentuk balok pembangunan personifikasi diri. Masing-masing berhubungan dengan berkembangnya konsep akan saya dan tubuh saya.
Personifikasi saya yang baik (good-me personification) dihasilkan dari pengalaman-pengalaman yang bayi dengan penghargaan dan persetujuan. Bayi merasa baik akan diri mereka sendiri ketika mereka menerima ungkapan kelembutan ibu.
Personifikasi saya yang buruk (bad-me personification)
dikembangkan dari pengalaman kecemasan akibat perlakuan ibu atau pengalaman ditolak atau dihukum. Keduanya, good me dan bad me bergabung ke dalam gambaran diri.
Personifikasi bukan saya (not-me personification) dikembangkan dari pengalaman kecemasan yang sangat, seperti kekerasan fisik, mental. Karena pengalaman itu sangat menakutkan, semua yang mengenai diri yang berhubungan dengan pengalaman itu dipisahkan dari keseluruhuan kepribadian atau dikeluarkan dari kesadaran. Not
me menggambarkan aspek yang dipisahkan dari self dan disertai
dengan emosi unkani (uncanny) atau emosi yang mengerikan dan berbahaya.
c. Personifikasi eidetik
Tidak semua hubungan interpersonal terjadi dengan orang nyata. Sebagian adalah personifikasi eidetik, yaitu sifat tidak nyata teman khayalan yang banyak diciptakan oleh anak dengan tujuan melindungi rasa percaya diri mereka. Sullivan (1964) percaya bahwa teman khayalan mungkin sama pentingnya dalam perkembangan anak sebagaimana teman nyata.
Personifikasi eidetik, bagaiaman pun, tidak terbatas hanya pada anak-anak. Sebagian besar orang dewasa melihat sifat fiktif dari orang lain. Personifikasi eidetik dapat menciptakan konflik dalam hubungan interpersonal ketika manusia memproyeksikan sifat khayalan yang merupakan sisa dari hubungan terdahulu personifikasi ini juga
mengganggu komunikasi dan mencegah manusia untuk berfungsi pada tingkat kognisi yang sama.
3. Sistim Diri (Self System)
Sistim self merupakan bagian dinamisme paling kompleks. Suatu pola tingkah laku yang konsisten yang mempertahankan keamanan interpersonal dengan menghindari atau megecilkan kecemasan. Sistim self adalah dinamisme konjungtif yang timbul dari interpesonal. Sistim ini mulai berkembang dari usia 12-18 bulan. Pada mulanya bayi hanya mengenal takut dan sakit sebagai hal yang tidak menyenangkan. Ibu atau pemeran keibuan mengajari anak dengan ganjaran dan hukuman, dan dari hukuman inilah muncul kecemasan.
Setiap pengalaman interpersonal yang dipandang bertentangan dengan sistim dirinya. Setiap pengalaman interpersonal yang dipandang bertentangan dengan sistim dirinya berarti mengancam keamanan diri. Dampaknya, orang berusaha mempertahankan diri melawan tegangan interpersonal itu memakai operasi keamanan (security operation); suatu proses yang bertujuan untuk mereduksi perasaan tidak aman atau perasaan akibat dari ancaman terhadap sistim self. Beberapa macam sistim
keamanan yang dipakai sejak usia bayi antara lain:
Disosias (dissociation), adalah mekanisme menolak impuls, keinginan dan kebutuhan muncul ke kesadaran. Disosiasi tidak hilang, tapi ditekan ke ketidaksadaran dan mempengaruhi tingkahlaku serta kepribadian dari sana.
Inatensi (innatention), yaitu memilih mana pengalaman yang akan diperhatikan dan yang tidak perlu diperhatikan. Terhadap pengalaman yang mengancam personifikasi diri, orang dapat berpura-pura tidak merasakannya.
Apati (apathy) dan pertahanan dengan tidur (somnolent detachment), mirip dengan inatensi. Pada apatis, bayi tidak memilih objek mana yang harus diperhatikan, semuanya diserahkan pada pihak luar. Pada pertahanan tidur, bayi tidak perlu memperhatikan stimulasi manapun.
4. Proses Kognitif (cognitive process)
Sullivan membagi kognisi dalam tiga tingkat atau tiga gaya
pengalaman, yaitu Prototaksis, parataksis, dan sintaksis. Tingakt kognisi mengacu pada cara merasa, membayangkan, dan memahami.
a. Tingkat Prototaksis (prototaxis)
Pengalaman paling awal dan primitif terjadi pada tingkat prototaksis. Oleh karena pengalaman-pengalaman ini tidak dapat dikomunikasikan dengan orang lain maka mereka sulit untuk digambarkan atau dijabarkan. Pengalaman yang dialami pada masa bayi itu terpisah-pisah, dimana arus kesadaran (pengindraan,
bayangan, dan perasaan) megalir ke dalam jiwa tanpa pengertian “sebelum” dan “sesudah”. Pada usia dewasa, dominasi pengalaman prototaksis hampir tidak ditemui.
b. Tingkat Parataksis (parataxis)
Pengalaman parataksis adalah pengalaman pralogis dan biasanya timbul ketika seseorang berasumsi bahwa dua kejadian yang terjadi bersamaan memiliki hubungan sebab akibat. Kognisi parataksis lebih mudah dikenali daripada pengalaman prototaksis, namun maknanya tetap pribadi, oleh karena itu, pengalaman ini dapat dikomunikasikan dengan orang lain dalam bentuk yang telah diubah. Pengalaman-pengalaman ini terjadi kira-kira terjadi pada awal tahun ke dua bayi. c. Tingkat Sintaksis (syntaxis)
Pengalaman yang sudah tervalidasi dalam mufakat dan dapat dikomunikasikan secara simbolis terjadi pada level sintaksis.
Pengalaman tevalidasi dalam mufakat adalah pengalaman yang maknanya disetujui dua orang atau lebih.
Sullivan beerhipotesis bahwa kognisi sintaksis pertama kali muncul ketika suara atau gerakan isyarat mulai memiliki makna yang sama bagi orang tua dan anaka. Tingkat kognisi sintaksis menjadi lebih umum ketika anak mulai mengembangkan bahasa formal.
Tiga mode pengalaman kognitif itu terjadi sepanjamg hayat. Normalnya, sintaksis mulai mendominasi sejak usia 4-10 tahun. Sullivan menekankan pentingnya tinjauan ke masa depan dalam fungsi kognitif. Manusia hidup di masa lampau, masa sekarang, dan masa depan yang semuanya jelas relevan dalam menerangkan pikiran dan perbuatannya.
5. Kelebihan dan kekurangan teori
Teori Sullivan cukup komprehensip, namun dikalangan ahli psikolog tidak sepopuler teori Freud, Jung, Adler, dan Erokson. Hal baru yang menjadi kekuatan teorinya adalah memakai interrelasi atau hubungan interpersonal sebagai fokus analisis kepribadian. Bangunan teorinya menjadi sangat logis, bahkan terkadang teori itu sekedar simpulan cerdik dari pikiran sehat (common since) yang beredar luas di masyarakat ( Alwisol, psikologi kepribadian 2012 hlm 162).
Secara umum, teorinya mudah dicerna oleh pemerhati, dan mudah dipraktekan tanpa resiko kesalahan yang tak terduga. Teori Sullivan tidak dikembangkan berdasarkan data keras, dan tidak banyak pakar yang mencoba meneliti memakai kerangka teori ini. Padahal
sesungguhnya teori ini mempunyai peluang yang luas untuk diuji karena konsep-kpnsepnya banyak yang bersifat teramati, dan hanya sedikit yang mengupas dunia batin yang abstrak.hal ini mungkin disebabkan oleh organisasi penulis yang kurang baik, setting Sullivan yang lebih dekat psikiatri daripada setting akademisi universitas (Alwisol, psikologi kepribadian 2012 hal 162).
Kriteria pertama akan teori yang berguna adalah kemampuannya dalam menghasilkan penelitian. Saat ini, sedikit penelitian yang
dilakukan untuk meneliti hipotesis yang secara khusus ditarik teori Sullivan. Kemungkinan penjelasan untuk kurangnya penelitian ini adalah kurangnya popularitas teori Sullivan dikalangan peneliti yang kurang mengadakan penelitian. Kurangnya popularitas ini mungkin disebabkan oleh keterikatan erat Sullivan dengan psikiatri.
Kedua teori yang berguna harus dapat dikaji ulang, yaitu harus terperinci agar dapat dilakukan penelitian yang mampu mendukung atau menyangkal asumsi-asumsi utamanya. Pernyataan Sullivan akan pentingnya hubungan interpersonal bagi kesehatan psikologis telah mendapat cukupbanyak dukungan secara tidak langsung. Penjelasan alternative mungkin sajha digunakan untuk penemuan-penemuan ini.
Ketiga, seberapa baik teori aliran Sullivan menyediakan keteraturan bagi segala sesuatu yang diketahui mengenai kepribadian manusia? Terlepas dari banyaknya dalil yang dijelaskan dalam teori tersebu, teori ini hanya mendapat nilai rata-rata untuk kemampuan
mengorganisasi pengetahuan. Penekanan ekstrim teorinya pada hubungan interpersonal mengurangi kemampuan teori ini untuk megatur pengetahuan, sebagian besar diketahui mengenai tingkah laku manusia memiliki dasar bilogis dan tidak dengan mudah disesuaikan dengan teori yang terbatas hanya pada hubungan interpersonal. Sebagai bimbingan atas tindakan, teori Sullivan mendapat nialai antara cukup dan sedang (rata-rata).
Gagasan-gagasan memiliki kekurangan karena ketidakmampuan Sullivan menulis dengan baik, namun teori ini sendiri dipikirkan secara logis dan terjadi sebagai kesatuan wujud. Secara keseluruhan teorinya konsisten, namun kurang memiliki keteraturan yang mungkin bias ia capai bila ia mengerjakan gagasan-gagasannyalebih pada bentuk tulisan.
Terakhir dalam penelitian ini Sullivan cermat atau sederhana, Sullivan harus menerima nilai rendah. Kesenangannya untuk
menciptakan istilah-istilahnya sendiri dan kecanggungannya dalam menulis menambah bentuk yang tidak dibutuhkan untuk teori yang
apabila memiliki garis aliran yang jelas, maka akan jauh lebih berguna (JessFeist &Gregory J.Feist, Teori kepribadian. Hlm.282-283)
DAFTAR PUSTAKA
Alwisol. (2009). Psikologi Kepribadian. Edisi revisi. Malang: UMM Press. Feist, J. & Feist, G. J. (2013). Teori Kepribadian Edisi 7. Jakarta:Salemba
Humanika
Monte, C.F. & R.N. (2003). Beneath the Mask An Introduction to Theories of
Personality. Sevent Edition. United States of America: john Willey &
Sous, Inc.