• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. geografi dan demografi Kecamatan, Lakudo Kabupaten Buton. Kemudian, dirinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. geografi dan demografi Kecamatan, Lakudo Kabupaten Buton. Kemudian, dirinci"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

37 BAB IV

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Bab empat dijabarkan mengenai keadaan umum lokasi penelitian meliputi geografi dan demografi Kecamatan, Lakudo Kabupaten Buton. Kemudian, dirinci kedalam beberapa subjudul, antara lain: (1) peta geografi Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton; (2) mata pencaharian masyarakat; (3) tingkat pendidikan masyarakat; dan (4) struktur sosial masyarakat.

4.1 Geografi dan Demografi Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton

Kecamatan Lakudo merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Buton. Wilayahnya terbentang mulai dari bagian terujung dari Pulau Sulawesi yang masuk kedalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara meluas menyeberang ke bagian barat laut Pulau Buton dan wilayah Bau-Bau.

Luas wilayah Kecamatan Lakudo mencakup empat belas desa/kelurahan dengan luas sekitar, 225 km2. Diantara ke-14 desa/kelurahan tersebut, desa/kelurahan Desa Lolibu menjadi desa dengan luas wilayah terbesar, dengan luas 47 km2 atau sekitar 20,89 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Lakudo. Sebaliknya, Desa Wajogu merupakan desa dengan luas wilayah terkecil, yaitu hanya seluas 8 km2 atau hanya sekitar 3,56 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Lakudo (Sumber: Kantor Kecamatan Lakudo).

(2)

38

4.1.1 Peta Geografi dan Kependudukan Kecamatan Lakudo Kabupaten Buton

Kecamatan Lakudo merupakan salah satu dari dua puluh satu kecamatan di Kabupaten Buton yang secara geografi terletak di jazirah tenggara Pulau Sulawesi. Bila ditinjau dari peta Provinsi Sulawesi Tenggara, secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 4, 96º – 6, 25º lintang selatan dan membentang dari barat ke timur di antara 120, 00º – 123, 34º bujur timur, meliputi sebagian Pulau Muna dan Buton.

Gambar 4.2

Peta Kecamatan Lakudo Buton

Sumber: www. knowmystery.wordpress.com, diakses 15 Januari 2015

(3)

39

Kecamatan Lakudo berada di Pulau Muna berbatasan di sebelah selatan dengan Selat Buton, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Muna, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Gu, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mawasangka.

Gambar 4.2 Peta Kabupaten Buton www.petadigitalku.blogspot.com

Gambar 4.4

Peta Provinsi Sulawesi Tenggara www.m3sultra.wordpress.com

(4)

40

Dari total luas wilayah Kecamatan Lakudo ± 225 km2 dengan 14 desa/kelurahan desa/kelurahan Desa Lolibu menjadi desa dengan luas terbesar, yakni seluas 47 km2 atau sekitar 20,89 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Lakudo. Sedangkan Desa Wajogu merupakan desa dengan luas terkecil yakni hanya seluas 8 km2 atau sekitar 3,56 persen dari keseluruhan luas wilayah Kecamatan Lakudo. Lihat grafik 4.3. Wilayah administrasi Kecamatan Lakudo terbagi menjadi empat belas desa/kelurahan, di mana ibu kotanya adalah Desa/Kelurahan Lakudo. Dari keempat belas desa/kelurahan tersebut masing-masing mempunyai lingkungan/dusun yang merupakan satuan lingkungan terkecil dengan jumlah relatif merata di setiap desa/kelurahan yang keseluruhannya berjumlah lima puluh satu dusun. Desa/kelurahan dengan lingkungan/dusun terbanyak adalah Desa Boneoge yakni sembilan dusun.

Gambar 4.3

Persentase Luas Wilayah Menurut Desa/Kelurahan Tahun 2012 Sumber: Kantor Kecamatan Lakudo

(5)

41

Penduduk Kecamatan Lakudo umumnya adalah suku bangsa Buton yang berasal dari keturunan bangsa pelaut Melayu yang tiba di Pulau Sulawesi. Suku bangsa Melayu yang tiba pada akhir abad XIII ini dikenal sebagai “Mia Pata

Mianan” yang artinya “Si Empat orang” berkisah tentang empat pemuka, yaitu

Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati, dan Siuamanajo. Mereka ini berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liyaa Melayu. Mereka kemudian membangun perkampungan yang diberikan nama Wolio yang menjadi cikal bakal kesultanan Buton di kemudian hari.

Jumlah penduduk Kecamatan Lakudo sampai dengan tahun 2011 adalah 25.201 jiwa yang terdiri atas 12.454 laki-laki dan 12.747 perempuan dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahun sebesar 0, 69%. Perbandingan (sex ratio) antara penduduk laki-laki dan perempuan di Kecamatan Lakudo adalah sebesar 97,70, dengan kepadatan penduduk per km2 luas wilayahnya dihuni oleh 112 orang penduduk.

4.1.2 Mata Pencaharian Masyarakat

Dengan kondisi geografi yang dekat dengan lautan, mata pencaharian masyarakat Buton secara umum adalah mencari ikan di laut. Sebagian masyarakat mengelola lahan-lahan pertanian, bercocok tanam untuk kebutuhan pokok mencukupi kebutuhan masyarakat lokal. Komoditas yang ditanam, antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup sehari-hari.

(6)

42

Lahan nonpertanian lebih besar dari pada lahan pertanian. Lahan pertanian di Kecamatan Lakudo pada tahun 2011 seluas 8.880 atau sekitar 39,5 persen dari total luas Kecamatan Lakudo. Menurut statistik Kecamatan Lakudo 2011, di Kecamatan lakudo terdapat 13.620 hektare yang merupakan lahan nonpertanian atau sekitar 60,5 persen dari total luas Kecamatan Lakudo, dipihak lain lahan pertanian sejumlah 8.880 hektare atau sekitar 39,5 persen dari total luas wilayah Kecamatan Lakudo secara keseluruhan. Dari lahan pertanian di Lakudo yang seluas 8.880 ha, hampir seluruhnya digunakan untuk kegiatan pertanian nonsawah, dalam hal ini khususnya untuk kegiatan perkebunan dan ladang/huma. Sedangkan lahan nonpertanian terdiri atas hutan negara, padang rumput, lahan yang sementara tidak diusahakan, serta bangunan dan halaman sekitarnya.

4.1.3 Tingkat Pendidikan Masyarakat

Angka melek huruf penduduk usia 15--24 tahun di Kecamatan Lakudo tergolong tinggi, yaitu mencapai diatas 97 persen, dengan angka partisipasi sekolah di atas 80 persen. Sampai dengan tahun 2012 Kecamatan Lakudo memiliki 47 sekolah umum dari tingkatan pendidikan usia dini sampai tingkatan sekolah menengah atas. Selain itu, terdapat delapan sekolah berbasis agama Islam dari tingkatan Raudhatul

Athfal sederajat TK sampai setingkat Madrasah Aliyah sederajat SMA. Dari jumlah

total 5.605 rumah tangga tercatat jumlah peserta didik sebanyak 7.813 orang. Jumlah guru yang mengajar di kecamatan ini ada 515 orang. Mereka umumnya berasal dari Kabupaten Buton dan Muna.

(7)

43

Selain pendidikan umum, masyarakat Buton khususnya di Kecamatan Lakudo menekankan pendidikan akhlak yang didasarkan pada moral atau akhlak Islam. Sebagian besar penduduk Kecamatan Lakudo beragama Islam yaitu sekitar 98.46 persen dari total penduduk. Penanaman budi pekerti yang diajarkan di sekolah dan keluarga selalu bersumber dari Al Quran dan Hadist. Selain itu tradisi masyarakat dalam bentuk cerita rakyat memperkaya nuansa pendidikan budi pekerti bagi generasi muda Lakudo Buton.

4.2 Struktur Sosial Masyarakat

Secara umum Kabupaten Buton terdiri atas beberapa suku asli, seperti suku

Wolio yang mendiami Pulau Buton (pulau utama) bagian selatan dan Kepulauan

Tukang Besi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya; suku Murunene yang mendiami Pulau Muna, Kabaena, Buton bagian utara, Poleang, Rumbia di jazirah tenggara Sulawesi; suku laut Bajoe (Bajau) yang mendiami pesisiran Pulau Buton, Muna, dan beberapa pulau yang lain. Orang Buton memiliki semangat bahari dengan corak kebudayaan yang terkait dengan laut dan satu kumpulan etnik perantau di Indonesia (Schoorl, 1993:66--69)

Menurut Levi Strauss (1963: 279), struktur masyarakat berkembang dalam tiga kelas kekerabatan yakni (1) kerabat karena hubungan darah, (2) kerabat karena hubungan kawin, dan (3) kerabat karena hubungan keturunan. Konsep kekerabatan inilah yang menurutnya memengaruhi hubungan antara individu yang satu dan yang lainnya dalam keluarga yang juga akan membentuk pola tersendiri dalam masyarakat

(8)

44

ketika kelompok kerabat tersebut secara kuantitas sudah banyak dan dikategorikan ke dalam masyarakat. Seperti masayarakat lainnya di Nusantara, secara tradisional stratifikasi sosial membentuk beberapa lapisan masyarakat.

Pada masa Lakudo di bawah kendali kesultaan Buton secara sosial terdapat pembagian lapisan masyarakat, antara lain golongan atas kaomu atau kaumu (kaum ningrat), mereka keturunan garis bapak dari pasangan raja pertama. Laki-laki dari golongan ini mempunyai nama depan La Ode dan wanitanya Wa Ode. Golongan masyarakat menengah disebut Walaka, yaitu keturunan menurut garis bapak dari

founding fathers Kerajaan Buton (mia patamiana) yang masih dianggap termasuk

elite penguasa. Melalui sistem tertentu, lelaki kaomu boleh menikahi perempuan

walaka. Golongan masyarakat di bawahnya, antara lain kelompok papara atau

disebut juga “orang gunung”. Mereka adalah masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka disebut juga budak adat dan dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat. Kemudian golongan masyarakat babatua (budak) yang berhak diperjualbelikan atau dijadikan hadiah dan golongan analalaki dan limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan derajatnya karena melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya (Schoorl, 1986: 87--101). Pada saat ini pengelompokan seperti ini kurang diakui lagi keberadaannya, tetapi jejak-jejak hak-hak khusus kelompok bangsawan masih terasa, terutama dalam penyelenggaraan kegiatan budaya dan menyangkut isu-isu pernikahan.

(9)

45

4.3 Hubungan Kekerabatan

Masyarakat di Kecamatan Lakudo mirip dengan masyarakat Buton secara umum yang terdiri atas beberapa etnik. Keragaman etnik di Kabupaten Buton mengungkapkan sebuah proses sejarah yang panjang yang berawal dari kedatangan nenek moyang mereka dari Asia dan Pasifik. Secara genealogis masyarakat Buton berasal dari dua rumpun etnik, yaitu Mongoloid (Murunene, Tolaki/Mekongga, Kulisusu, Wawonii/Menui) dan Austro-Melanesoid (Buton dan Muna). Kedua rumpun etnik ini kemudian menjalin hubungan kekerabatan melalui perkawinan antar etnik yang difasilitasi oleh aktivitas perdagangan. Dari proses kawin campur ini berkembang sebuah rumpun etnik besar yang kemudian mendiami hampir seluruh wilayah Sulawesi Tenggara, baik di daratan maupun di kepulauan (http://anwarhapid.blogspot.com, diakses 20 Desember 2014).

Hubungan kekerabatan antaretnik dimulai dari kedatangan nenek moyang penduduk yang berdiam di daerah Sulawesi Tenggara sekarang ini. Secara geografis dan genealogis wilayah Sulawesi Tenggara merupakan pertemuan ras-ras dalam proses perpindahan bangsa-bangsa prasejarah. Ras Mongoloid dari Utara, ras Austro-Melanesoid dari timur dan Proto-Melayu dari barat/utara. Oleh karena itu daratan Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau sekitarnya memiliki kekhasan, baik kehidupan manusianya maupun flora dan faunanya.

Penduduk kepulauan (Muna dan Buton), termasuk di Kepulauan Banggai (Sulteng) dan suku-suku di NTT memiliki banyak persamaan dengan ras Austro-Melanesoid. Suku-suku, seperti Murunene, Tolaki, Wawonii, dan Kulisusu

(10)

46

mempunyai ciri fisik dan budaya yang mirip dengan suku-suku yang ada di Sulawesi Tengah dan mungkin juga Sulawesi Utara. Jika dilihat dari karakter fisik seperti mata, rambut ,maupun warna kulit, suku-suku tersebut memiliki persamaan dengan ras Mongoloid yang diduga berasal dari Asia Timur ke Jepang kemudian tersebar ke selatan melalui Kepulauan Riukyu, Taiwan, Philipina, Sangir Talaud, Pantai Timur Pulau Sulawesi kemudian sampai ke Sulawesi Tenggara. Masyarakat di daerah Mekongga (Kolaka), Konawe (Kendari), Wuna (Muna), Wolio (Buton), Murunene, dan Pulau Wawonii percaya bahwa asal usul raja pertama di wilayahnya adalah dari To Manurung (orang asing) meskipun dalam ungkapan bahasa dan gelar yang berbeda-beda. To Manurung dianggap orang yang turun dari kayangan (langit), dan senantiasa disimbolkan dengan bambu atau gading atau emas dan warna kuning lainnya (Anwar, 2003: 63--88).

Kerajaan-kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara mengakui adanya hubungan historis dengan Sawerigading dari Luwu yang dihubungkan dengan kedatangan To Manurung. Persepsi yang sama juga ditemukan pada tradisi di kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan, seperti Gowa dan Bone. Pada sisi lain suku Bugis, suku Makassar, suku Mandar dan suku Massenrempuluk mengakui pula bahwa asal usul nenek moyang mereka adalah dari Ussuk. Hal itu diperkuat dengan tradisi raja-raja Bugis, Makassar, dan Mandar menghormati Raja Luwu sebagai primus interparis (Abidin, 1995). Dalam lontarak Bajo (ditulis orang Bajo di Kendari) juga mengakui asal usul nenek moyang mereka dari Ussuk.

(11)

47

Di daerah Wuna (Muna) terbentuknya Kerajaan Muna diawali dengan kedatangan orang asing bernama Beteno ne Tombula atau orang yang keluar dari bambu. Ia mengaku bernama La Eli, nama lainnya Baizul Zaman (Batoa, 1991). Setelah itu perempuan asing bernama Sangke Palangga yang artinya diangkat dari dulang tiba ke tanah Muna. Putri tersebut dalam keadaan hamil. Dia mengaku bernama Tandiabe anak Raja Luwu. Segera putri itu diantar ke istana Mieno Wamelai dan dipertemukan dengan Beteno ne Tombula dan terjadi dialog antara keduanya.

Beteno ne Tombula Sangke Palangga Beteno ne Tombula Komu, tadombaura-urano Tandombalembo-lembomu Tandombatala-talamo Pedemo ndoke

Kamulah yang jadi istriku saya jadi begini (hamil) karena perbuatanmu mari kita ramai-ramai berkembang biak, marilah kita berkampung-kampung, marilah hidup beraturan dengan jiwa gotong royong

Dari dialog antara keduanya, kemudian diketahui bahwa diantara mereka telah saling mengenal. Sangke Palangga dan Beteno ne Tombula, akhirnya dipersatukan sebagai suami istri yang disaksikan oleh segenap rakyat Wamelai (Wuna). Karena kelebihannya, maka masyarakat Muna sepakat untuk mengangkat Beteno ne Tombula sebagai Raja Pertama di Kerajaan Wuna.

Hasil perkawinan mereka melahirkan dua orang putra dan satu orang putri, yaitu Kanghua Bangkona Fotu dengan gelar Sugi Patola yang kelak menjadi Raja Muna II dan Runtu Wulou yang dikatakannya kemudian kembali ke Luwu, sedangkan putri Kilambibite yang kawin dengan anak Mieno Wamelai bernama La Singkaghabu yang menjadi Kamokula (kepala pemerintahan wilayah) di Tongkuno.

(12)

48

Raja Muna III ialah Sugi Ambona putra Raja Muna II. Dari keturunan Beteno ne Tombula inilah yang kelak melahirkan raja-raja Muna sekaligus melahirkan tokoh legendaris yang diakui oleh semua kerajaan tradisional di Sulawesi Tenggara. Tokoh tersebut di Muna dikenal Lakilaponto anak Raja Muna VI (Sugi Manuru) yang kelak menjadi Raja Muna VII dialah yang pertama menciptakan persatuan politik di Sulawesi Tenggara pada awal abad XVI, menjadi Mokole (Raja) Konawe, memerintah di Murunene, akhirnya menjadi Raja Wolio VI. Selanjutnya memproklamasikan Kerajaan Wolio menjadi negara Islam dengan nama Kesultanan Buton (dialah sebagai Sultan Buton I). Nama Buton diambil dari tradisi masyarakat Wolio yang menempatkan wilayahnya sebagai pusat bumi, maka nama Buton dari kata bahasa Arab Batnun yang berarti perut. Jadi, mereka menempatkan Buton sebagai pusat bumi ini.

Jika dilihat silsilah Lakilaponto (Murhum) yang memiliki garis keturunan dari Muna (ayahnya Sugi Manuru), sedangkan neneknya dari Konawe bernama Wa Sitao. Murhum pun kawin dengan putri Konawe dan menurunkan anak-anak, yaitu Wa Ode Konawe, Wa Ode Poasia, dan Wa Ode Lepo-Lepo (Djarudju, 1995). Ia pun dikawinkan dengan putri Raja Mulae yang bernama “Borokomalanga” alias “Watampaidonga” atas keberhasilannya membantu mengusir bajak laut Tobelo.

Setelah Indonesia merdeka gelombang migrasi dan dinamika masyarakat semakin meningkat, baik dalam dimensi perdagangan maupun dalam dimensi pemerintahan yang menjadi daya dorong migrasi penduduk dari luar yang masuk ke Sulawesi Tenggara. Perdagangan tidak hanya dilakukan melalui perahu layar, tetapi

(13)

49

dapat dilakukan melalui kapal motor, angkutan darat, dan angkutan udara. Demikian pula penempatan dan mutasi pegawai negeri dan anggota TNI/Polri, yang berdampak terhadap berkembangnya kekerabatan melalui perkawinan. Hampir tidak ditemukan lagi rintangan berarti dalam proses perkawinan antaretnik, sehingga mempermudah para pemuda perantau untuk melangsungkan perkawinan antar etnik di daerah ini.

Pada hakikatnya kekerabatan terjadi karena hubungan darah dan proses perkawinan. Pada waktu yang bersamaan kekerabatan akan semakin meluas dan melonggar. Bagi masyarakat Buton hubungan darah sangat kuat pada hubugan saudara sepupu sekali, sepupu dua kali, sepupu tiga kali, dan sepupu empat kali. Akan tetapi bagi sepupu lima kali, hubungan sudah dianggap menjauh. Perkawinan di luar lingkungan sepupu tiga kali menyebabkan batas kekerabatan menjadi semakin luas. Meskipun umumnya orang mengakui kerabat jika dalam kelompok itu terjadi saling mengenal atau dalam istilah Koentjaraningrat (1984: 7--15) disebut sebagai kerabat sosiologis.

Pada umumnya kini masyarakat Lakudo Buton mampu bersikap inklusif dan terbuka bagi etnik-etnik yang ada di Sulawesi Tenggara khususya di Kabupaten Buton. Ini merupakan salah satu indikator bahwa mereka telah meninggalkan salah satu ciri masyarakat tradisional. Masyarakat Lakudo Buton telah bergerak menuju masyarakat majemuk dan terbuka terhadap anasir-anasir asing yang dapat memperkaya budaya masyarakat setempat, bahkan terjadi proses akulturasi budaya antara pendatang dan penduduk setempat.

(14)

50

4.4 Kriminalitas dan Tindak Kekerasan

Kriminalitas di Kabupaten Buton tergolong cukup memprihatinkan. Sepanjang tahun 2013--2014 ada berbagai tindakan kriminalitas yang melibatkan kekerasan fisik, pencabulan, pemerkosaan, penganiayaan, dan penghilangan nyawa. Di antara kasus-kasus tersebut terdapat kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan (isteri). Bripka Joni Samuel, S.H. seorang informan dari kepolisian memberikan informasi tentang kekerasan yang melibatkan anak-anak seperti di bawah ini.

”Kekerasan yang melibatkan anak-anak sebagai korban terjadi dalam rumah tangga, di mana orang tua melakukan penganiayaan dan ada juga kasus guru menganiaya anak didik. Semua kasus yang korbannya adalah anak-anak, pelakunya semua orang dewasa dan semuanya pria.

(Wawancara, 13 Oktober 2014)

Kekerasan dalam rumah tangga termasuk kekerasan terhadap anak-anak merupakan kekerasan yang sering disembunyikan oleh masyarakat. Bahkan, beberapa anggota masyarakat menganggapnya sebagai sebuah kewajaran atau persoalan biasa dalam rumah tangga. Masyarakat Lakudo Buton menganut budaya patriarki yang sangat kental, yaitu sosok kepala rumah tangga dipersepsikan sebagai pria yang keras yang secara sah mengambil tindakan apa pun termasuk kekerasan dalam rangka membina rumah tangga.

Menurut informan kepolisisan, kecenderungan masyarakat dalam persoalan kekerasan rumah tangga dan anak adalah melokalisasi permasalahan dan menyerahkannya kepada keluarga. Sebagaian masyarakat menganggap bahwa kekerasan terhadap isteri dan anak bukan kejahatan. Hanya kasus dramatis seperti

(15)

51

kematian dan luka parah yang dilaporkan. Masyarakat lebih memercayai orang tua daripada laporan kekerasan yang dilakukan anak sering diabaikan. Pihak yang berwenang juga bersikap diam karena menganggap permasalahan ini dalam koridor pendisiplinan di rumah tangga. Bripka Joni Samuel, S.H. menambahkan jenis kriminalitas yang lain yaitu kekerasan seksual pada anak, seperti dinyatakan sebagai berikut.

”Perbuatan asusila sering terjadi. korban di sini rata-rata keluarga dekat, dan sudah berkeluarga, dan rata-rata umur menginjak kepala enam dan korban mayoritas di bawah umur, maka dari itu kami terapkan undang-undang perlindungan anak. Dari hasil investigasi korban itu masih ada hubungan keluarga dan yang melatarbelakangi terjadinya asusila dikarenakan kesepian semata sehingga ia berbuat seperti itu, dan dari pihak perempuan rata-rata dibawah tekanan dan ancaman kekerasan dan ada juga iming-iming, ada juga yang duduk di bangku SD yang umurnya sekitar 12 tahun, 11 tahun tetapi tiga. tahun kemudian baru dilaporkan.Tetapi itu sudah selesai semua, sudah vonis. Walaupun diselesaikan secara kekeluargaan, bagi pihak polisi itu adalah aib karena mayoritas melibatkan keluarga sendiri. Jadi, aib walaupun diselesaikan secara kekeluargaan akan kami tetap mengambil jalur hukum. ” (Wawancara, 13 Oktober 2014)

Kekerasan rumah tangga pada anak terjadi karena beberapa penyebab, tetapi hal yang paling besar pengaruhnya adalah adanya tekanan ekonomi yang semakin hari kian meningkat. Bahkan, kasus kekerasan yang dilakukan keluarga dalam banyak kasus termasuk kategori berat dan berakibat fatal bagi anak, seperti pembunuhan, penyiksaan hingga menyebabkan cacat seumur hidup, bahkan meninggal. Banyak masyarakat yang menganggap kekerasan pada anak adalah bagian "dapur" rumah tangga bagi keluarga tersebut. Jadi, orang lain tidak boleh mencampuri urusannya.

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Lakudo Buton sebenarnya bertolak belakang dengan nilai-nilai tradisonal yang dianut seperti pomae-maeka, yaitu

(16)

52

sikap saling menghargai dan menyegani untuk menjaga kehormatan dan martabat sesama anggota masyarakat, poma-maasiaka yaitu sikap saling mengasihi dan menyayangi sesama anggota masyarakat, popia-piara atau sikap saling menjaga perasaan sesama anggota masyarakat, poangka-angkataka atau sikap saling mengangkat derajat dan martabat sesama anggota masyarakat. Dalam kerangka menjaga kestabilan individu, sosial, dan negara, orang Buton berpegang kepada falsafah perjuangan Islam yang membuat perekat komunikasi sosial kemasyarakatan. Nilai yang terkandung dalam falsafah perjuangan itu adalah Bolimo harata

somanamo karo artinya janganlah memikirkan harta benda, yang penting ialah

keselamatan diri. Bolimo karo somanamo lipu artinya janganlah memikirkan diri, yang penting ialah keselamatan negeri, Bolimo lipu somanamo syarah artinya janganlah memikirkan negeri, yang penting ialah keselamatan pemerintahan/adat.

Bolimo syarah somanamo agama artinya janganlah memikirkan pemerintahan/adat,

yang penting ialah keselamatan agama. Bagi masyarakat Lakudo Buton, ajaran agama Islam di atas kepentingan segalahnya.

Melalui observasi data di lapangan, terlihat ada kesenjangan antara harapan dan realitas di masyarakat. Idealisme yang terdapat, baik dalam teks-teks lisan maupun tulisan tentang nilai-nilai hidup yang mengatur hubungan sosial masyarakat belum terealisasi seperti yang diharapkan. Ambivalensi pun terjadi di antara beberapa teks naratif sehingga masyarakat Buton tidak sepenuhnya menampilkan karakter idealnya.

Gambar

Gambar 4.2  Peta Kabupaten Buton  www.petadigitalku.blogspot.com

Referensi

Dokumen terkait

Daya ricih luar ufuk pada paras pertengahan tingkat untuk setiap tingkat.. Daya ricih pada pertengahan tiang di atas dan di bawah paras

Kalimat tanya merupakan kalimat yang isinya menanyakan sesuatu atau seseorang kepada pendengar atau pembaca (Markhamah, 2009:73-74). Penelitian yang dilakukan peneliti

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan serta hasil yang diperoleh, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa : “ Terdapat Pengaruh Kompetensi Pedagogik Guru

Wallace dan Kremzar (2001) menggambarkan ERP sebagai satu set alat bantu manajemen dari keseluruhan perusahaan yang menyeimbangkan, berisi kemampuan untuk

Sehubung dengan banyaknya konflik yang terjadi akibat pengelolaan sumberdaya alam maka peneliti ingin meneliti kasus konflik yang terjadi di Kabupaten

Jenis sedimen dasar yang terdapat pada perairan muara Sungai Batang Arau terlihat beragam, hal ini dapat terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi proses pesebaran sedimen

truncated dengan tiga titik knot dengan nilai GCV sebesar 11,61. Hal ini menunjukan bahwa model yang diperoleh dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi sebesar 94%.. Selanjutnya

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu pengocokkan dan rasio tepung biji salak : anti-solvent isopropil alkohol terbaik dalam menghasilkan ekstrak glukomanan dengan