• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep al-wahdah al-wujud dalam Pemikiran Ronggowarsito

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konsep al-wahdah al-wujud dalam Pemikiran Ronggowarsito"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep al-Wahdah al-Wujud dalam

Pemikiran Ronggowarsito

Muksin Ruslan

Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Abstrak:

Artikel ini berusaha membahas konsep wahdah al-wujud (kesatuan al-wujud) dalam pemikiran R. Ng. Ronggowarsito. Ronggowarsito adalah pujangga kenamaan dari Keraton Surakarta. Dia pernah mondok di pesantren di Ponorogo, Jawa Timur. Walaupun santri, sebagai seorang Jawa, dia juga aktif mengikuti ajaran-ajaran Jawa seperti puasa dan tirakatan. Pemikiran Ronggowarsito diwarnai pemahaman al-wahdat al-wujud yang mengajarkan bahwa hakikat yang ada hanyalah satu, yaitu Wujud Mutlaq (Tuhan). Dengan pemahamannya tersebut, Ronggowarsito berusaha menyatukan Allah dan makhluk-Nya (alam) dan menganggap segala sesuatu (alam) adalah Allah.

Kata kunci: Ronggowarsito, al-wahdah al-wujud, Tuhan,

emanasi Pendahuluan

Penduduk Nusantara sudah sekian lama menganut kepercayaan animisme1 dan dinamisme,2 terutama pemujaan terhadap nenek

moyang.3 Dengan kedatangan agama Hindu-Buddha, kepercayaan asli

ini tidak mengalami perubahan, bahkan memberi warna wajah baru sehingga menghasilkan bentuk yang disebut sebagai sinkretisme.4

(2)

dengan megah candi-candi, namun fungsi dasarnya untuk menyembah nenek moyang bangsa Indonesia tidak mengalami perubahan.

Dalam agama Hindu-Buddha terdapat doktrin karma yang mengajar bahwa seseorang itu terpaksa menerima balasan perbuatan baik atau buruk, selama masih hidup atau sesudah mati melalui proses pengulangan kelahiran (reinkarnasi) atau istilah dalam bahasa Arab disebut tanasukh al-arwah. Dengan doktrin ini kepercayaan asli diberi napas baru di mana orang mati dipercayai menjelma kembali dalam jasad orang yang masih hidup.5

Kedatangan agama Hindu-Buddha telah mewujudkan suatu pandangan hidup baru yang berdasarkan doktrin panteisme atau kesatuan segala yang maujud. Berdasarkan doktrin ini, diajarkan Atman sebagai penitisan Brahman, maka setelah lepas dari penitisan Brahman, keyakinan agama ini memiliki tujuan yang paling tinggi adalah untuk kembali kepada dewa penitisnya, yaitu Brahman. Dari sinilah munculnya konsep advaita, yakni antara Atman dengan Brahman asalnya adalah satu.

Dari agama Hindu ini lahirlah pandangan hidup mistik bercorak Panteisme yang memiliki dua bentuk yang saling melengkapi: ciri tajalliyat yang bersifat menurun dan ciri tarikat yang bersifat menaik. Berawal dari penitisan Brahman dan akhirnya kembali bersatu dengan Brahman, dalam proses pendakian ke arah penyatuan ini, terdapatlah latihan-latihan rohani (tajribah) dan semadi, sering kali bukan saja mengenyampingkan kepentingan jasmani bahkan sampai kepada tahap menyiksanya.

Ilmu tasawuf pada priode awalnya adalah menyerap masuk kedalamnya adalah dua unsur yang berbeda, kezuhudan Kristen kuno dan kontemplatif Buddha. Adapun ciri Panteisme al-Hallaj, dalam pandangan orientalis Alfred Von Kremer, dapat ditelusuri sumbernya dari tradisi India, sedangkan teosofi isyraqi Suhrawardi dikembalikan sumbernya kepada Neoplatonisme dan Zoroastrianisme.6

Menjelang kedatangan Islam ke Nusantara, sudah terdapat dasar pandangan hidup mistik yang bercorak Panteisme atau keesaan wujud (wahdat al-wujud). Jadi sungguhpun kepercayaan asli masih bertahan

(3)

dan tidak mengubah fungsinya, tidak dapat disangkal besarnya pengaruh Hindu dalam pembentukan pandangan hidup baru yang pengaruhnya sangat mendalam. Inilah realitas mistik yang ada dan diamalkan menjelang perkembangan tasawuf di Nusantara.

Konsep Wahdat al-Wujud

Berbicara mengenai wahdat al-wujud (Panteisme) pada dasarnya tidak terlepas dari masalah emanasi, karena kedua paham ini memiliki keterkaitan yang sangat erat. Emanasi yang dalam bahasa Arab disebut “al-fayd” atau “al-sudur” ialah satu paham yang mengajarkan tentang pengaliran keluar Tuhan. Hasil dari proses pengaliran keluar ini terciptalah alam semesta sebagai salinan atau duplikasi dari yang asli.7

Pada dasarnya teori emanasi ini memfokuskan pembicaraan tentang bagaimana zat Tuhan ini bermanifestasi kepada dirinya sendiri, hubungan antara Zat dengan sifat-Nya (attributes), dan terakhir bagaimana hubungan antara Tuhan dengan hambanya (Rab dan ‘abd). Oleh karena itu, menurut K.S. Khaja Khan, sistem emanasi ini pada gilirannya melahirkan teori Syuhudiyyat dan Wujudiyyat.8

Wahdat al-wujud ialah satu paham yang mengajarkan bahwa hakikat yang ada ini hanyalah satu, yaitu Wujud mutlaq (Tuhan), baik di dalam jauhar, maupun di dalam zat-Nya, dapat juga menjadi banyak, tetapi di dalam sifat dan asma-Nya, serta dalam ibarat, nisbah, atau idafah saja.9 Dengan kata lain, segala yang maujudat ini

dari aspek wujudnya adalah wujud Allah (‘ayn al-haq), tetapi dari aspek lahirnya bukan al-haq, namun dari segi hakikatnya, semuanya adalah al-haq.10 Pada dasarnya bahwa wahdat al-Wujud itu adalah

satu faham yang berusaha menyatukan Allah dan makhluk-Nya (alam) dan menganggap segala sesuatu (alam) adalah Allah.11

Jika dilihat dari segi sejarah perkembangannya, faham wahdat al-wujud termasuk faham lama yang diambil dari Brahmanisme, Stoicisme, Neoplatonisme, dan sebagian filsuf Islam.12 Menurut

(4)

wujudiyat adalah mereka yang mengatakan bahwa Allah adalah al-Haq. Kewujudan yang ada adalah wujud yang satu, yaitu wujud yang mutlaq (absolut). Keberadaan alam hanyalah madzhar (bayangan/ fenomena) dari madzahir Zat Allah. Oleh karena itu, pada hakikatnya alam ini bukanlah wujud hakiki karena ia keluar dari Allah melalui proses tajalli.13

Bila ditinjau dari segi perkembangannya, faham wahdat al-wujud menjadi satu mazhab yang sebelumnya tidak pernah ada sepanjang sejarah Islam dalam bentuknya yang sempurna, kecuali setelah muncul dan berkembangnya pemikiran Ibnu al-Arabi sekitar 1165-1240 H. Ibnu al-Arabi-lah yang meletakkan dasar yang sebenarnya dan membentuk mazhab wahdat al-wujud dalam bentuknya yang sempurna, sehingga setiap orang Islam yang ingin berbicara tentang idea wahdat al-wujud selalu mengambil dari ibnu al-Arabi.14

Di antara ide Ibnu al-Arabi yang berkaitan dengan faham wujudiyah ialah mengenai konsep penciptaan alam. Hanya saja apa yang dimaksud dengan penciptaan alam di sini bukan dari tidak ada menjadi ada, melainkan penciptaan itu dari yang sudah ada kepada ada (mengubah bentuk). Ini disebabkan penciptaan itu melalui tajalli (emanasi) Zat Allah secara terus-menerus (tidak henti-hentinya), dalam kejadian penciptaan yang baru setiap saat dan tempat dalam segala bentuk dan rupa yang tidak terhitung jumlahnya.15

Di kawasan Nusantara (Indonesia) faham wujudiyah ini telah masuk dan menyusuf ke dalam karya-karya sebagian besar ulama dan pemikir Islam. Di antaranya adalah Asrar ‘Arifin Syarab al-‘Asyiqin, al-Muntahy karya Hamzah Fansuri; al-Dur al-Nafis karya Nafis al-Banjari; al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabiy karya Muhammad Ibnu Fadhlillah al-Burhanpuri; Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Ronggowarsito; Sasongko Jati karya R. Soenarto Martowardoyo; Hakikat Insan karya H. Ahmad Laksamana dari Kota Baharu, Kelantan.16

Di dalam karyanya, Syarab al-‘Asyqin, Hamzah Fansuri yang hidup sekitar abad ke-17 pada zaman pemerintahan Iskandar Muda

(5)

di Aceh, menyatakan, “Kata ahl al-suluk, wujud alam sekalian wujud Allah. Adapun wujud alam, sungguh kita lihat wujud, tidak wujud, karena wujudnya daripada wujud muta‘ayyin Allah.”17

Dalam pandangan konsep wahdat al-wujud, alam ini merupakan hasil tajalli al-Haq. Karena itu, alam ini dari aspek hakikat dan jauhar-nya adalah qadim, se-qadim Zat Tuhan sendiri. Karena penciptaan alam ini melalui tajalli Tuhan, dapat dipastikan penciptaan itu dari ada kepada ada, bukan dari tidak ada kepada ada (creatio ex nihilo) seperti yang selalu dibicarakan oleh kelompok mutakallimin (teolog Islam).18 Karena masalah ini juga, beberapa filsuf Islam ditolak oleh

Imam al-Ghazali;19 ide seperti ini memang mengarah kepada pendapat

bahwa alam ini qadim.20

Pada dasarnya faham wujudiyah ialah bahwa hakikat yang ada hanyalah wujud Allah, sedangkan wujud alam hanyalah wujud mazahir atau bayangan dari hakikat Yang Esa,21 sebagai perbedaan sifat

(diffrentiating attributes) saja.22 Ini disebabkan karena faham

wujudiyah hanya memandang hubungan antara divine principle dengan segala sesuatu dari satu titik pandang substansi atau kesinambungan eksistensi.23

Pemikiran wahdat al-wujud yang menonjol selain dari Hamzah Fansuri adalah dari pujangga Istana Surakarta, R. Ng. Ronggowarsito. Dalam beberapa karyanya, terutama Serat Wirid Hidayat Jati, sangat jelas adanya konsep emanasi wujudiyah. Bahkan berdasarkan beberapa penelitian, terbukti bahwa Serat Wirid Hidayat Jati dalam membicarakan tentang penciptaan manusia didasarkan pada teori martabat tujuh, yang hakikatnya adalah berdasarkan atas faham Pantheisme Monisme Ibnu al-Arabi.24

Biografi R. Ng. Ronggowarsito

R. Ng. Ronggowarsito memiliki nama lengkap Bagus Burhan. Dia dilahirkan pada 1802 pada masa pemerintahan Pakubuwono IV dan meninggal pada 1873. Beliau berasal dari keluarga Yasadipura, keturunan pujangga. Para penyusun menceritakan bahwa leluhur

(6)

Ronggowarsito masih keturunan raja Majapahit, dari Brawijaya-Hadiwijaya, raja Pajang.25

Rongggowarsito adalah nama gelar ketiga yang dianugerahkan oleh seorang raja sesuai dengan tugasnya sebagai kliwon carik (sekretaris) di istana Surakarta. Semenjak masih kanak-kanak, Bagus Burhan dididik dan dibesarkan oleh datuknya, karena ayahnya tidak memiliki pangkat dalam pujangga serta tidak berumur panjang.26

Seperti kebiasannya, pada usia yang masih relatif muda, 8 tahun, Bagus Burhan (Ronggowarsito) dikirim ke sebuah lembaga pondok pesantren untuk mendalami ilmu agama, yaitu pesantren yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur, di bawah pimpinan Hasan Basri (dialek Jawa: Kasan Besari), seorang kyai yang sangat terkenal di Ponorogo ketika itu.27 Kepergiannya ke pesantren ini ditemani oleh Ki Tanujaya,

pembantu terdekat Ronggowarsito. Di pondok pesantren ini jugalah, Bagus Burhan tidak sekadar belajar mengaji Islam, tetapi juga mendalami kebatinan, yaitu kebijaksanaan batin.28

Semenjak berkembangnya Islam di tanah Jawa, pondok pesantren merupakan pusat pendidikan yang cukup teratur, masih dipertahankan dan bahkan mengalami perkembangan hingga sekarang karena mampu mengikuti arus perubahan zaman. Kegiatan belajar dan mengajar merupakan wasilah penyebaran Islam. Pondok pesantren di mana Ronngowarsito belajar dulu masih ada hingga sekarang, yaitu Pondok Tegalsari di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Suatu hari diceritakan bahwa Ronggowarsito tidak mau mengaji dan belajar bahkan berjudi.29 Hidup hanya menurut apa kata hatinya.

Karena keburukan kelakuannya itu, dia dimarahi dan diusir oleh Kyai Hasan Basri. Lantaran merasa malu atas perbuatannya, Ronggowarsito sadar dan melakukan tapa brata (semedi) merendam diri di Sungai Batu selama 40 malam. Setiap hari dia hanya makan pisang batu, itu pun hanya sebuah.

Pada malam terakhir (malam pati geni), Tanujaya memasak nasi untuk berbuka Ronggowarsito, tetapi tiba-tiba Tanujaya terperanjat karena ia melihat benda bersinar sebesar bola masuk ke dalam periuk.30 Sesudah nasinya masak, ternyata di dalam periuknya

(7)

terdapat ikan kecil yang sudah masak pula. Setelah Ronggowarsito menyantap nasi beserta ikannya, mendadak Ronggowarsito menjadi anak yang pintar, dapat mengaji tanpa belajar, bahkan melebihi kemampuan santri-santri yang lain. Ronggowarsito fasih membaca Alquran dan memiliki kemampuan menafsirkannya dengan sangat baik.31 Sebagian orang mengatakan kejadian seperti ini disebut dengan

mendapat ilmu laduni.32

Di samping belajar agama Islam di pondok pesantren ini, Ronggowarsito amat menggemari kepustakaan Jawa (ilmu kebatinan). Meskipun Ronggowarsito ditugaskan belajar agama Islam, berkat pengaruh Ki Tanujaya, Ronggowarsito terbawa dengan pelajaran Jawa. Hal ini dapat dimaklumi karena di kalangan masyarakat Jawa, ada anggapan bahwa seseorang harus banyak bersemedi dan banyak mengadakan laku dalam mencari rahasia alam.33

Dapat dilihat bahwa pemikiran Ronggowarsito banyak dipengaruhi kepustakaan Islam Kejawen tradisi dan kepustakaan Jawa. Dan bila dikaji, dasar pemikiran Ronggowarsito terpokus untuk merumuskan kembali pokok-pokok pikiran yang terdapat di dalam khazanah kepustakaan Jawa dan Islam Kejawen.34 Tergambar dalam

pemikiran Ronggowarsito perpaduan antara alam pemikiran Jawa dan ajaran Islam. Ini disebabkan kehidupan Ronggowarsito berada dalam kedua lingkungan kebudayaan tersebut sesudah zaman pemerintahan Jawa-Islam. Hasil kolaborasi pemikiran seperti ini disebut dengan istilah sinkretisme, yaitu satu ajaran hasil dari campuran bermacam-macam ajaran dan agama.

Persolannya ialah dari mana Ronggowarsito memiliki faham wahdat al-wujud? Untuk mendapatkan jawaban ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, Ronggowarsito tentu memahami karya Yasadipura I yang berjudul Serat Cabolek, yang di dalamnya terdapat faham kesatuan hamba dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) seperti juga diuraikan Ronggowarsito dalam Serat Dewa Ruci dan Serat Wirid Hidayat Jati.35 Kedua, faham

wujudiyah Hamzah Fansuri telah tersebar luas di tanah Jawa dan Ronggowarsito mempelajarinya.36

(8)

Ronggowarsito dan Ajarannya

Hasil pemikiran Ronggowarsito yang bersifat wujudiyah ini akan dapat dijumpai dengan jelas apabila menelusuri tulisan-tulisannya, terutama Serat Wirid Hidayat Jati. Faham wujudiyah ini berkaitan dengan pembicaraan mengenai konsepsi tentang Tuhan, penciptaan alam, dan kejadian manusia. Ketiganya merupakan kesatuan wujud yang satu. Berikut ini akan diuraikan secara ringkas sebagian pemikiran Ronggowarsito tentang Tuhan, manusia, dan alam. Konsep tentang Tuhan

Konsep tentang Tuhan menurut pemikiran R. Ng. Ronggowarsito adalah bersifat antropomorfis. Dengan demikian, pembicaraan mengenai Tuhan, baik yang menyangkut soal Zat Tuhan, sifat Tuhan, maupun perbuatan Tuhan, selalu berkaitan dengan penjelasan tentang manusia. Tidak jarang terjadi tumpang-tindih antara penjelasan tentang Tuhan dan penjelasan tentang manusia. Berikut ini konsepnya tentang Tuhan yang bersifat antropomorfis diambil dari terjemahan bahasa asalnya, yaitu bahasa Jawa, “Sebenarnya tidak ada satu pun, sejak masih kosong (awang uwung), belum ada sesuatu, yang ada pertama ialah Aku (Allah), tiada Tuhan kecuali Aku, hakikat Zat yang Maha Suci, meliputi sifat-Ku, menyertai asma-Ku, menandai af`al-Ku.”37

Di dalam teks terjemahan di atas, masih belum jelas tentang faham wujudiyah-nya, karena Rongggowarsito hanya menjelaskan bahwa Allah adalah Zat pertama ada (al-awal) sebelum ada sesuatu. Tetapi apabila memasuki penjelasan berikutnya, akan dijumpai terjadinya tumpang-tindih tersebut:

Yang mengatakan sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, Zat yang Maha Suci, ialah hidup kita pribadi, yang merupakan titipan (mengandung) rahasia Zat yang Agung, yang meliputi sifat, yaitu rupa kita pribadi, menandakan warna yang elok. Menyertai asma’, ialah nama kita pribadi, yang diakui sebagai sebutan Zat yang Maha Kuasa. Menandai af’al, yaitu laku kita pribadi, pasti mencerminkan perbuatan Zat yang Sempurna.38

(9)

Pernyataan di atas yang berbunyi “tidak ada Tuhan kecuali Aku, Zat yang Maha Suci, yaitu hidup kita pribadi, yang merupakan titipan (mengandung) rahasia Zat yang Agung”, bila diteliti hanya mengandung dua kemungkinan pengertian. Pertama, aku manusia identik sebagai Tuhan. Ini berarti bahwa manusia mengkhayalkan dirinya sebagai Tuhan. Faham seperti ini terdapat dalam karya Ronggowarsito yang lain, Jayengbaya, yaitu khayalan Jayengbaya sebagai Tuhan.39 Kasus seperti ini mengingatkan kita kepada

pernyataan Fir’aun mengaku sebagai Tuhan atau pernyataan Syekh Siti Jenar yang menyatakan “ana al-haq” (akulah kebenaran sejati). Kedua, Tuhan yang Maha Suci sebenarnya hidup manusia (hidup kita pribadi). Oleh karena itu, hidup manusia dikatakan mengandung rahasia yang Agung (Tuhan). Ungkapan di atas juga memberi kemungkinan arti bahwa (a) sifat Tuhan adalah rupa manusia (rupa kita pribadi); (b) asma Tuhan adalah nama manusia (nama kita pribadi); (c) af’al Tuhan adalah juga tingkah laku (aktivitas) gerak langkah manusia (tingkah laku kita pribadi).

Jika pengertian itu dibalik, maka didapat: sifat manusia adalah sifat Tuhan, nama manusia adalah asma Tuhan, dan perbuatan manusia adalah af’al Tuhan. Dengan demikian manusia menjadi cermin bagi Zat yang Sempurna, baik di dalam sifat, asma, maupun di dalam af’al-Nya. Dapat dikatakan bahwa manusia memiliki sifat dan tabiat Tuhan secara hakiki, seolah-olah tidak ada lagi perbedaan di antara Tuhan sebagai al-Khaliq dan manusia sebagai makhluk. Tampak dengan jelas bahwa al-Khalik dan makhluk merupakan hakikat yang satu atau satu kesatuan yang satu. Faham seperti ini memang jelas faham wujudiyah.

Konsep Penciptaan Manusia

Konsep penciptaan manusia menurut R. Ng. Ronggowarsito adalah satu konsep penciptaan yang melibatkan teori ajaran martabat tujuh sebagai susunan yang sistematis dari faham wujudiyah. Oleh karena itu, Ronggowarsito di dalam Wirid Hidayat Jati tidak menyinggung

(10)

manusia berasal dari Adam dan Hawa,40 seperti yang disebutkan dalam

Alquran.41 Tetapi dengan tegas dikatakan bahwa konsep manusia

menurut Ronggowarsito adalah melalui tajalli (emanasi) Zat Tuhan, yaitu pengaliran Zat Tuhan melalui beberapa tingkatan, sehingga terciptalah manusia secara khusus dan alam semesta secara umum. Ini dapat dimengerti bahwa penciptaan itu dari ada kepada ada, bukan dari tidak ada kepada ada, sebagaimana kata Ronggowarsito:

Pertama yang Aku (Allah) ciptakan kehidupan (hayyu) yang bernama syajaratu al-yaqin, yang tumbuh dalam alam maqdum, yang azali abadi. Kemudian cahaya bernama Nur Muhammad, kemudian cermin bernama mir’atul haya’, kemudian nyawa bernama ruh idhafi, kemudian lampu bernama kandil, kemudian permata bernama dzarrah, dan terakhir dinding jalal bernama hijab yang menjadi penutup khadarat-Ku.42

Uraian di atas menjelaskan bahwa Tuhan menjadikan manusia melalui tajalli-nya sebanyak tujuh tingkat, kemudian ketujuh tingkat ini disejajarkan dengan teori martabat tujuh yang sudah populer, yaitu:

1. Hayyu (syajarat al-yaqin): Ahadiyah 2. Nur Muhammad : Wahdah 3. Mir’at al-hayya’ : Wahidiyah 4. Ruh idhofi : Alam Arwah

5. Kandil : Alam Mitsal

6. Dzarrah : Alam Ajsam

7. Hijab : Alam Insan kamil.

Konsep Martabat Tujuh Versi Ronggowarsito 1. Syajarat al-yaqin (hayyu) atau alam ahadiyah.

Tingkat pertama dari tajalli Tuhan menurut faham Ronggowarsito adalah hayyu (kehidupan) yang diidentikkan dengan syajarah al-yaqin, yang tumbuh dan berada dalam alam maqdum.43 Artinya, syajarah al-yaqin ini terletak di alam sunyi,

di waktu belum ada sesuatu. Oleh sebab itu, syajarah al-yaqin ini ditafsirkan sebagai zat mutlak yang qadim, yang terdahulu

(11)

(al-awwal). Dinamakan pula zat atma (satu istilah yang terdapat dalam Hindu, yakni dari kata atman yang berarti batin).

2. Nur Muhammad atau alam wahdah.

Tajalli pada tingkat kedua adalah nur Muhammad, yang mengandung arti yang sama dengan hakikat al-muhammadiyah. Dalam istilah lain tingkat kedua ini disebut juga martabat wahdah atau martabat ta’yyun awal, di mana kedudukan nur Muhammad ini menurut Ronggowarsito merupakan hakikat cahaya yang berada dalam nukat ghaib.44

Dapat dimengerti bahwa nur Muhammad ini identik denggan alam wahdah, ta’ayyun awal, atau hakikat al-muhammadiyah.

3. Mir’at al-haya atau wahidiyah.

Martabat ketiga dari tajalli Tuhan adalah mir’at al-haya, yaitu cermin yang memalukan atau cermin diri rasa malu yang terletak di depan nur Muhammad dan merupakan hakikat pramana (sesuatu yang berada pada tubuh manusia, tetapi tidak turut merasa susah, tidak ikut merasa sedih, dan juga tidak ikut makan dan tidur). Apabila pramana ini berpisah dari jasad, tubuh akan menjadi lemah. Yang diakui sebagai rasa Zat Tuhan disebut juga sebagai atma serta merupakan perwujudan alam wahidiyah. Mir’at al-haya ini sejajar dengan martabat wahidiyah, ta’ayyun tsani, atau al-haqiqah al-insaniyah.45

4. Ruh idhafi atau alam arwah.

Martabat keempat dari tajalli Tuhan adalah ruh idhafi,46

yaitu nyawa yang jernih, yang berasal dari nur Muhammad. Ruh idhafi menurut Ronggowarsito adalah hakikat sukma, yang dianggap sebagai keadaan Zat Tuhan dan sebagai af’al dari atma.47

5. Kandil atau alam mitsal.

Martabat kelima dari tajalli Tuhan adalah kandil, yang diberi arti sebagai lampu tanpa api, yang diumpamakan seperti permata yang berkilauan. Ia bergantung tanpa kaitan. Dikatakan bahwa kandil merupakan nur Muhammad dan tempat berkumpulnya segala roh. Dikatakan pula bahwa kandil merupakan hakikat

(12)

angan-angan dan bayangan Zat Tuhan, tempat hinggapnya atma, serta merupakan penjelmaan alam mitsal. Kandil oleh Ronggowarsito disejajarkan dengan alam arwah.48

6. Dzarrah atau alam ajsam.

Martabat keenam dari tajalli Tuhan ialah dzarrah, maknanya permata yang memiliki cahaya yang beraneka warna, yang semuanya ditempati oleh para malaikat. Dikatakan bahwa dzarrah merupakan hakikat budi dan hiasan Zat Tuhan yang berfungsi sebagai pintu gerbang untuk berhubungan dengan dunia misteri dan dzarrah merupakan penjelmaan alam ajsam.49

7. Hijab atau alam insan kamil.

Martabat ketujuh dari tajalli Tuhan adalah hijab. Hijab diartikan dinding jalal, yaitu tabir yang agung dan mulia. Ia terbuat dari permata yang beraneka macam warnanya. Hijab dikatakan sebagai hakikat jasad yang merupakan tempat atma serta menjadi penjelmaan alam insan kamil. Ketika hijab bergerak, mengeluarkan buih (uruh), asap (kukus), dan air (banyu).50 Selanjutnya ketiganya ber-tanazzul pula ke dalam tiga

tingkat masing-masing:

a. Buih (uruh) ber-tanazzul ke dalam tiga tingkat: (a) hijab kisma, menjadi pernyataan jasad sebelah luar, seperti kulit, daging dan sebagainya; (b) hijab rukmi, menjadi pernyataan jasad sebelah dalam seperti otak, hati, jantung, dan sebagainya; (c) hijab retna, menjadi pernyataan jasad yang halus-halus seperti sperma, darah, sumsum, dan sebagainya. b. Asap (kukus) ber-tanazzul ke dalam tiga tingkat: (a) hijab gelap (hijab pepeteng), menjelma menjadi napas dan sebagainya; (b) hijab guntur, menjadi penjelmaan pancaindra; (c) hijab api (hijab geni), menjadi pernyataan nafsu.

c. Air (banyu) ber-tanazzul pula ke dalam tiga tingkat: (a) hijab embun, air hidup menjadi pernyataan sukma; (b) hijab nur rasa, menjadi keadaan rasa; (c) hijab nur cahaya, adalah cahaya yang sangat terang benderang.51

(13)

Begitulah gambaran konsep penciptaan manusia secara umum menurut R. Ng. Ronggowarsito yang menggunakan teori martabat tujuh. Bukan saja teori martabat tujuh ini digunakan untuk menjelaskan proses kejadian manusia secara umum, tetapi pada waktu bersamaan martabat tujuh dapat digunakan untuk menjelaskan perkembangan janin dalam kandungan rahim seorang ibu seperti berikut:

1. Alam ahadiyah: masa janin berusia satu bulan. 2. Alam wahdah: masa janin berusia dua bulan. 3. Alam wahidiyah: masa janin berusia tiga bulan. 4. Alam arwah: masa janin berusia empat bulan. 5. Alam mitsal: masa janin berusia lima bulan. 6. Alam ajsam: masa janin berusia enam bulan.

7. Alam insan kamil: masa janin berusia tujuh bulan ke atas.52

Konsep gambaran penciptaan manusia dengan menggunakan dasar teori martabat tujuh yang digunakan R. Ng. Ronggowarsito merupakan buah pikiran Muhammad Ibn Fadlillah al-Burhanpuri dalam al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabiy. Pemikiran kejadian manusia dan penciptaan alam secara umum melalui proses tajalli atau emanasi Tuhan bersumber dari faham wujudiyah. Karena itu, pemikiran dasar dalam martabat tujuh adalah juga wujudiyah.53

Kesimpulan yang sama juga ditegaskan oleh Simuh bahwa dasar ajaran tajalli yang bersumber dari faham martabat tujuh adalah dari penganut faham wahdat al-wujud.54 Dengan demikian, ajaran

martabat tujuh versi Ronggowarsito adalah juga faham wujudiyah. Pandangan terhadap Konsep al-Wahdat al-Wujud Menurut pendapat Hasyimi, di dalam penyebaran aliran Syiah ke Indonesia, ikut juga bermacam-nacam aliran yang berasal dari tanah induknya, termasuk aliran kebatinan yang ekstrem. Salah satu doktrin Syiah yang menonjol ialah faham Panteisme atau al-wahdat al-wujud.55 Apa yang dimaksud dengan aliran kebatinan itu ialah

(14)

ke dalam tasawuf Islam untuk meruntuhkan Islam dari dalam.56

Dalam martabat alam insan terhimpun semua martabat yang terdahulu. Insan yang mencapai tingkat ma’rifat disebut dengan insan kamil, artinya manusia sempurna yang memiliki segala-galanya tanpa kecuali, seperti dapat kita lihat pendapat Karim al-Jilli berikut:

Insan ialah al-Haqq (Allah). Dialah Zat, Dialah segala sifat, Dialah ‘arasy, Dialah Kursi, Dialah luh, Dialah qalam, Dialah Malaikat, Dialah Jin, Dialah alam dunia, Dialah alam akhirat, Dialah al-wujud (ada) dengan segala isinya, Dialah al-Haqq (Allah), Dialah al-khalq (makhluq), Dialah yang qadim, Dialah yang hadis. Dalam konsep ini, insan ialah menyatunya Tuhan dengan makhluq; inilah penjelasan tentang al-wahdat al-wujud.57

Argumentasi yang selalu digunakan adalah “Engkau pandang dengan mata kepala dan mata hati bahwa tidak ada yang maujud di dalam wujud ini hanyalah Allah.” Sedangkan fana’ adalah segala zat kita dan segala zat yang lain dari zat kita yang terdiri atas sekalian makhluk. Semua itu fana’ di dalam Zat Allah.

Dalam pandangan Islam, kuat atau lemah serta benar atau salah keyakinan yang dipegang seseorang tergantung dalil yang digunakan, yaitu berdasarkan dalil Alquran dan Sunah. Menurut Abdulfatah Haron Ibrahim, al-wahdat al-wujud adalah batil.58 Kebanyakan dalil

yang digunakan pendukung al-wahdat al-wujud adalah Hadis maudhu’ (rekayasa), bukan Hadis sama sekali.59

Bila dilihat dari kacamata akidah, faham al-wahdat al-wujud bertentangan dengan Alquran dan Sunah yang saheh menurut faham kebanyakan ulama baik salaf maupun kontemporer. Proses penciptaan, menurut redaksi Alquran, melalui dua proses wujud (tsanaiyyat wujud), yaitu khaliq sebagai pencipta dan al-makhluq sebagai yang dicipta; keduanya tidak sama (berlainan). Tetapi faham al-wahdat al-wujud mengemukakan konsep kesatuan yang wujud. Tuhan, manusia, dan alam pada hekikatnya satu.

Kalau harus dikatakan keberadaan alam ini sebagai yang wujud (termasuk di dalamnya manusia), kewujudan itu tidak lebih dari sekadar madzahir atau bayang-bayang dari al-Haqq (Tuhan) dan pada hakikatnya tidak nyata.

(15)

Catatan:

1 . Istilah ini berkaitan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Nusantara yang berkeyakinan bahwa setiap benda yang ada di dunia ini memiliki nyawa (hidup).

2 . Istilah ini berkaitan dengan benda-benda yang ada di dunia ini memiliki kekuatan yang dapat memberi kebaikan atau keburukan kepada seseorang.

3 . Yang dimaksud dengan memuja nenek moyang adalah memuja orang yang sudah mati seakan-akan dia masih hidup dengan memberikannya berbagai macam makanan atau sesaji.

4. Lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara: Sejarah dan Perkembangannya hingga Abad Ke-19, (Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), hlm. 145. 5 . Abdullah, Pemikiran Umat, hlm. 145.

6. Lihat A.J. Arberry, An Intrduction to the History of Sufism, (London: Longmans, Green & Co., t.t.), hlm. 20-23.

7 . Lihat Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Little Fledd, Adams & Co, 1970), hlm. 89.

8. Lihat Khan Sahib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, (Delhi: Jayyed Press, 1973), hlm. 42-43.

9. Lihat A.E. Afifi, Ta’liqat Fusus al-Hikam, (Beirut: Dar al-Lubnan, t.t.), hlm. 24.

1 0 . Lihat Muhammad Ibnu Fadlillah, “al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabiy”, dalam A.H. John, The Gift Adressed to the Spirit of the Prophet, (Canberra: The Australian National University Press, 1965), hlm. 135.

1 1 . Lihat Jamil Saliba, Mu’jam Falsafi, (Beirut: Dar Kitab al-Lubnaniyah, Juzu’ 2 1973), hlm. 569.

1 2 . Saliba, al-Mu’jam al-Falsafi, hlm. 569.

1 3 . Lihat Saliba, al-Mu’jam al-Falsafi, hlm. 569; Abdurrahman Abdul Khaliq, al-Fikr al-Sufi Fi Dzaui al-Kitab wa al- Sunnah, (Matba’ah al-Faysal, 1986), hlm. 69.

1 4 . Afifi, Ta’liqat Fusus, hlm. 25.

1 5 . Lihat Ibnu Arabi, Fusus al-Hikam, ed. Abu al-‘ala Afify, (Beirut: Dar al-Lubnan, t.t.), hlm. 121, 125-126; A.E. Afifi, The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnu Araby, (Lahore: Asyraf Press, 1964), hlm. 54-55.

1 6 . Sirojuddin Aliy, Kebatinan Jawa: Konsepsi Wujudiyat Dalam Serat Wirid dan Sasangka Jati dari Perspektif Aqidah salaf, tesis sarjana Fakulti Pengajian Islam UKM, Bangi, 1992.

1 7 . Hamzah Fansuri, “Syarab al-Asyiqin”, dalam The Mysticisme of Hamzah Fansuri, ed. Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970), hlm. 308.

(16)

al-Ma’arif, 1971), hlm. 5-7.

1 9 . Abu Hamid al-Ghazali, “al-Munkiz min al-Dhalal”, dalam Abdul Halim Mahmud, Qadiyat al-Tasawuf al-Munkiz min al-Dhalal, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.), hlm. 348-349.

20. Mahmud, Qadiyat al-Tasawuf.

2 1 . Afifi, The Mystical Philosophy, hlm. 54-55. 22. Afifi, The Mystical Philosophy, hlm. 18.

23. Titus Burckhardt, An Introduction to Sufi Doctrin, (Lahore: SY. Mahmud, 1950), hlm. 22.

24. Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ronggowarsito: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, (Jakarta: UI Press, 1988), hlm. 68.

25. Simuh, Mistik Islam, hlm. 35. 26. Simuh, Mistik Islam, hlm. 37.

2 7 . Pendapat G.W.J. Drewes ini dikutip Sirojuddin Aliy, Kebatinan Jawa, hlm. 2.

28. Aliy, Kebatinan Jawa, hlm. 2.

29. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah murid ingkang mboten pinter, bodoh, nakal tur mursal (murid yang tidak pintar, bodoh, nakal dan berkelakuan buruk).

30. Kejadian seperti ini menurut orang Jawa disebut dengan istilah andaru.

3 1 . Simuh, Mistik Islam, hlm. 38-39.

32. Abdul Fataharun Ibrahim, Sanggahan ke Atas Kitab Dur al-Nafis, (Malaysia: Jakim, 2005), hlm. 55. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa orang yang sudah sangat dekat dengan Allah mendapatkan ilmu laduni ini serupa ilham Allah kepada hati hamba-Nya tanpa perantara dan tanpa guru.

33. S.D. Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 23-27.

34. Simuh, Mistik Islam, hlm. 40. 3 5 . Simuh, Mistik Islam, hlm. 37.

36. Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 38-39.

3 7 . Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati, (Surakarta: R. Tanoyo, 1954), hlm. 8.

38. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 19.

39. Noriah Muhammad, Jayengbaya: Memahami Pemikiran Orang Jawa, (Bangi: UKM, 1993), hlm. 120-121.

40. Ronggowarsito di dalam Wirid Hidayat Jati menyebutkan soal Adam dan Hawa, tetapi apa yang dijelaskan Ronggowarsito tidak lebih Adam dan Hawa sebagai lambang manusia dan bukan sebagai manusia pertama.

(17)

tetapi dapat dilacak berbagai ayat tentang itu. Proses kejadian manusia menurut Alquran ada empat model: (a) kejadian tanpa ayah dan tanpa ibu, yaitu Adam; (b) ada ayah tidak beribu, yaitu Hawa; (c) ada ibu tidak berayah, yakni Isa; (d) beribu dan berayah seperti mannusia kebanyakan.

42. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 8 dan 20. 43. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 20. 44. Aliy, Kebatinan Jawa, hlm. 139.

45. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 21.

46. Ruh idhafi menurut teori tajalli Hamzah Fansuri merupakan bagian daripada ta’ayyun tsani. Disebut dengan istilah ruh idhafi karena semua roh dalam keadaan berkaitan (idhafah) atau menyatu dalam bentuk ijmali, belum memisahkan diri berpecah kepada setiap individu, yang diibaratkan seperti titik air hujan yang belum turun, masih bergumpal dalam kandungan awan mendung. Ibrahim, Sanggahan ke Atas, hlm. 24.

4 7 . Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 21. 48. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 21. 49. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 21. 5 0 . Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 21. 5 1 . Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 21-22. 52. Ronggowarsito, Wirid Hidayat, hlm. 20. 5 3 . Ibrahim, Sanggahan ke Atas, hlm. 12. 54. Simuh, Mistik Islam, hlm. 393.

5 5 . Hasyimi, Syi’ah dan Ahli Sunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), hlm. 15.

56. Hamka, Perkembangan Kebatinan, hlm. 65.

5 7 . Abd. al-Karim al-Jilli, Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kullu Maujud, (Kairo: Maktabah al-Jundi, t.t.), hlm. 41-42.

58. Ibrahim, Sanggahan ke Atas, hlm. 75. 59. Ibrahim, Sanggahan ke Atas, hlm. 76.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Rahman Haji, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan Perkembangannya Hingga Abad Ke-19, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990).

Afifi, A.E., Ta’liqat Fusus al-Hikam, (Beirut: Dar al-Lubnan, t.t.). Afifi, Abu ‘Ala, The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnu Arabiy,

(Lahore: Asyraf Press, 1964).

Arabi, Ibnu, Fusus Hikam, ed. Abu ‘Ala Afifi, (Beirut: Dar al-Lubnan, t.t.).

al-Ghazali, Abu Hamid, “al-Munkiz min al-Dhalal”, dalam Abdul Halim Mahmud, Qadiyat al-Tasawuf al-Munkiz min al-Dhalal, (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.t.).

Aliy, Sirojuddin, Kebatinan Jawa: Konsepsi Wujudiyat Dalam Serat Wirid dan Sasangka Jati dari Perspektif Aqidah salaf, tesis sarjana Fakulti Pengajian Islam UKM, Bangi, 1992.

al-Jilli, Abd. al-Karim, Maratib al-Wujud wa Haqiqat Kullu Maujud, (Kairo: Maktabah al-Jundi, t.t.).

Arberry, A.J., An Intrduction to the History of Sufism, (London: Longmans, Green & Co., t.t.).

Burckhardt, Titus, An Introduction to Sufi Doctrin, (Lahore: SY. Mahmud, 1950).

Fadlillah, Muhammad Ibnu, “al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabiy”, dalam A.H. John, The Gift Adressed to The Spirit of The Prophet, (Canberra: The Australian National University Press, 1965). Fansuri, Hamzah, Syarab al-Asyiqin, dalam The Mysticisme of

Hamzah Fansuri, ed. Syed Muhammad Naquib al-Attas, (Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1970).

Hamka, Perkembangan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971).

Hasyimi, Syi’ah dan Ahli Sunnah Saling Rebut Pengaruh dan Kekuasaan Sejak Awal Sejarah Islam di Kepulauan Nusantara, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t.).

Ibrahim, Abdul Fataharun, Sanggahan ke Atas Kitab al-Dur al-Nafis, (Malaysia: Jakim, 2005).

Jong, S.D., Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, (Yogyakarta: Kanisius, 1976).

(19)

al-Sunnah, (Matba’ah al-Faysal, 1986).

Khan, Khan Sahib Khaja, Studies in Tasawuf, (Delhi: Jayyed Press, 1973).

Muhammad, Noriah, Jayengbaya: Memahami Pemikiran Orang Jawa, (Bangi: UKM, 1993).

Musa, Muhammad Yusuf, Qur’an wa Falsafah, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1971).

Ronggowarsito, Wirid Hidayat Jati, (Surakarta: R. Tanoyo, 1954). Runes, Dagobert D., Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Little

Fledd, Adams & Co, 1970).

Saliba, Jamil, Mu’jam Falsafi, (Beirut: Dar Kitab al-Lubnaniyah, Juzu’ 2 1973).

Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ronggowarsito: Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati, (Jakarta, UI Press, 1988).

Referensi

Dokumen terkait