• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKAIAN BAHASA JAWA DI DATARAN TINGGI DIENG: KAJIAN SOSIODIALEKTOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAKAIAN BAHASA JAWA DI DATARAN TINGGI DIENG: KAJIAN SOSIODIALEKTOLOGI"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAKAIAN BAHASA JAWA DI DATARAN TINGGI DIENG:

KAJIAN SOSIODIALEKTOLOGI

SKRIPSI

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Oleh

Nama : Hersy Ardianty A

NIM : 2111412032

Program Studi : Sastra Indonesia

Jurusan : Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTO DAN PERSEMBAHAN

MOTO

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptakan langit dan bumi, berlainan warna kulitmu, dan berlainan bahasamu. Sesungguhnya pada yang

demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

(QS. Ar-Rum: 22)

“Perbedaan hanyalah sebuah identitas yang takperlu dijadikan alasan

pertengkaran.” (Hersy Ardianty A.)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan untuk:

1. Alm. Ny. Ilham Siswodharmono, nenek tercinta yang tak sempat melihat cucu kesayangannya diwisuda.

2. Bapak dan Ibu, dua orang yang ingin saya bahagiakan.

(6)

vi

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah Swt. yang

senantiasa melimpahkan sega karunia-Nya kepada peneliti, sehingga skripsi yang berjudul Pemakaian Bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng: Kajian

Sosiodialektologi dapat terselesaikan dengan baik.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini dari awal hingga akhir tidak terlepas dari bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. Ida Zulaeha, M.Hum, dosen pembimbing I yang telah sabar memberikan bimbingan, motivasi, pengarahan, masukan, dan kemudahan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

2. Ahmad Syaifudin, S.S., M.Pd., dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, pencerahan, dan motivasi kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

3. Rektor Universitas Negeri Semarang selaku pimpinan tertinggi Universitas Negeri Semarang;

4. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang atas izin penelitian yang telah diberikan;

5. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan izin penelitian.

(7)

vii

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya kepada peneliti;

8. Kepala Desa Dieng Kulon dan Kepala Desa Dieng Wetan atas izin penelitiannya, serta keramah-tamahannya selama peneliti melakukan penelitian.

9. Teman-teman Linguistik Bahasa Indonesia angkatan 2012;

10. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu, yang secara langsung maupun tidak telah membantu tersusunnya penulisan skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini.

Semarang, 9 Juni 2016

(8)

viii

SARI

Hersy Ardianty A. 2016. Pemakaian Bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng: Kajian Sosiodialektologi. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Dr. Ida Zulaeha, M.hum., Ahmad Syaifudin, S.S., M.Pd.

Kata Kunci: fonologis dan leksikal, sosiodialektologi, variasi pemakaian bahasa Perubahan ekosistem di Dieng menyebabkan munculnya beragam profesi baru. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan taraf sosial masyarakat, sehingga kemungkinan memperoleh pendidikan dan kedudukan yang lebih baik menjadi lebih terbuka. Keadaan tersebut dimungkinkan mengarah kepada stratifikasi sosial, yang megakibatkan munculnya variasi pada pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng. Selain itu, letak wilayah Dieng yang secara kebahasaan berada di wilayah transisi bahasa Jawa standar bagian barat, berpotensi memiliki kekhasan yang tidak dimiliki dialek lain.

Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana variasi fonologis dalam pemakaian bahasa Jawa di Dieng berdasarkan variabel pendidikan dan pekerjaan, (2) bagaimana variasi leksikal dalam pemakaian bahasa Jawa di Dieng berdasarkan variabel pendidikan dan pekerjaan, (3) adakah kekhasan fonologis dan leksikal bahasa Jawa yang digunakan di Dieng. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan pemakaian bahasa Jawa di Dieng pada tataran fonologis dan leksikal beserta kekhasannya.

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yakni pendekatan teoretis yakni sosiodialektologi dan metodologis berupa pendekatan deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah tuturan yang mengandung aspek fonologis dan leksikal di Dieng. Pengambilan data dilakukan pada informan terpilih di dua titik pengamatan, yakni Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara dan Desa Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Pengumpulan data menggunakan dua metode yakni, metode simak dan cakap beserta aneka tekniknya. Analisis data digunakan metode padan lingual dan metode padan ekstralingual. Adapun penyajian datanya dilakukan dengan metode formal dan informal.

Berdasarkan analisis data, ditemukan adanya variasi fonologis berdasarkan faktor pendidikan dan pekerjaan yang meliputi korespondensi vokal, korespondensi konsonan, variasi vokal, variasi konsonan, serta ditemukan pula penambahan bunyi berupa protesis, epentesis, serta parorog dan pengurangan bunyi berupa aferesis dan sinkop. Pada variasi leksikal ditemukan gejala onomasiologis dan semasiologis yang tersebar pada beberapa medan makna. Ditemukan kekhasan berupa kekhasan fonologis dan kekhasan leksikal dalam

(9)

ix

pemakaian bahasa Jawa di Dieng yang dilihat dari bahasa Jawa standar dan bahasa Jawa Banyumasan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten terkait, selain sebagai upaya pelestarian dialek Dieng juga untuk meningkatkan daya tarik wisata. Pemanfaatan ini berupa pemakaian bahasa Jawa dialek Dieng pada setiap pementasan budaya maupun upacara kebudayaan yang diselenggarakan pada acara Dieng Culture Festival.

(10)

x

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PENGESAHAN KELULUSAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTO DAN PERSEMBAHAN ... v

PRAKATA ... vi

SARI ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS 2.1 Tinjauan Pustaka ... 10

2.2 Landasan Teoretis ... 17

2.2.1 Sosiodialektologi ... 17

2.2.2 Pemakaian Bahasa dan Kelas Sosial Penutur ... 20

2.2.4 Fonologi Bahasa Jawa ... 22

(11)

xi

2.2.4.2 Konsonan Bahasa Jawa ... 25

2.2.4.3 Fonem Khas Bahasa Jawa ... 26

2.2.4 Perbedaan Fonologi ... 26

2.2.4.1 Jenis-jenis Perubahan Bunyi ... 27

2.2.4.1.1 Korespondensi Bunyi ... 28

2.2.4.1.2 Variasi Bunyi ... 29

2.2.5 Perbedaan Leksikal ... 33

2.2.6 Medan Makna ... 35

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ... 36

3.2 Data dan Sumber Data ... 37

3.3 Informan ... 37

3.4 Titik Pengamatan ... 38

3.5 Instrumen Penelitian ... 40

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 41

3.7 Metode dan Teknik Analisis Data ... 43

3.8 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Variasi Fonologis Bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng ... 46

4.1.1 Korespondensi Vokal dan Konsonan ... 46

4.1.1.1 Korespondensi Vokal ... 47

(12)

xii

4.1.2 Variasi Bunyi Vokal dan Konsonan ... 53

4.1.2.1 Variasi Vokal ... 54

4.1.2.2 Variasi Konsonan ... 55

4.1.3 Penambahan Bunyi ... 56

4.1.4 Pengurangan Bunyi ... 58

4.2 Variasi Leksikal Bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng... 59

4.2.1 Bagian Tubuh ... 59

4.2.2 Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan ... 63

4.2.3 Sistem Kekerabatan ... 64

4.2.4 Kehidupan Desa dan Masyarakat ... 65

4.2.5 Rumah dan Bagian-bagiannya ... 66

4.2.6 Peralatan dan Perlengkapan ... 70

4.2.7 Tanaman, Pepohonan, dan Hasil Olahannya ... 72

4.2.8 Binatang ... 74

4.2.9 Musim, Keadaan Alam, Benda Alam, dan Arah... 77

4.2.10 Penyakit dan Pengobatannya ... 79

4.2.11 Perangai, Kata Sifat, dan Warna ... 80

4.2.12 Pakaian dan Perhiasan ... 83

4.2.13 Gerak dan Kerja ... 84

4.2.14 Kata Tugas ... 86

4.3 Kekhasan Fonologis dan Leksikal Bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng ... 87

4.3.1 Kekhasan Fonologis ... 87

(13)

xiii

4.3.1.2 Kekhasan Fonem Konsonan ... 89

4.3.2 Kekhasan Leksikal ... 90 BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 94 5.2 Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA ... 97 LAMPIRAN ... 100

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Bagian Tubuh ... 59

Tabel 4.2 Kata Ganti, Sapaan, dan Acuan ... 63

Tabel 4.3 Sistem Kekerabatan ... 64

Tabel 4.4 Kehidupan Desa dan Masyarakat... 65

Tabel 4.5 Rumah dan Bagian-bagiannya ... 66

Tabel 4.6 Peralatan dan Perlengkapan ... 71

Tabel 4.7 Tanaman, Pepohonan, dan Hasil Olahannya ... 73

Tabel 4.8 Binatang ... 75

Tabel 4.9 Musim, Keadaan Alam, Benda Alam, dan Arah ... 77

Tabel 4.10 Penyakit dan Pengobatan ... 79

Tabel 4.11 Perangai dan Kata Sifat ... 80

Tabel 4.12 Pakaian dan Perhiasan... 83

Tabel 4.13 Gerak dan Kerja ... 84

(15)

xv

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

[ ] : menunjukkan ejaan fonetis / / : menunjukan ejaan fonemis ~ : variasi

≈ : korespondensi BJ : bahasa Jawa

BJB : bahasa Jawa dialek Banyumas BJS : bahasa Jawa dialek standar BJD : bahasa Jawa dialek Dieng DTD : Dataran Tinggi Dieng TP : titik pengamatan

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Transkripsi Fonetis Pemakaian Bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng 2. Data Informan

3. Daftar Tanyaan 4. Dokumentasi

5. Surat Keputusan Pembimbing 6. Surat Keputusan Sidang Skripsi 7. Surat Keterangan Lulus UKDBI 8. Surat Keterangan Penelitian

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Indonesia dengan jumlah penutur yang cukup besar. Pada tahun 2001 penutur bahasa Jawa diperkirakan berjumlah 75,5 juta orang, serta menempati urutan ke-11 dari 6.703 bahasa di seluruh dunia dalam hal jumlah penutur terbanyak, selain itu daerah pemakaian bahasa Jawa juga cukup luas (Wedhawati 2006:13). Nothofer (dalam Zulaeha 2010:72), dalam “The Recontruction of

Proto-Malayo-Javanic” memaparkan bahwa daerah pemakaian bahasa Jawa meliputi wilayah

Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan daerah-daerah utara Jawa Barat, kecuali daerah Pamanukan dan Jakarta. Di samping itu, bahasa Jawa juga digunakan di daerah-daerah transmigrasi Indonesia, seperti daerah Kalimantan Tengah, sebagian Kepulauan Riau, sekitar Medan, dan Lampung (Wedhawati 2006:1). Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa bahasa Jawa telah tersebar hampir di seluruh Indonesia.

Sebagai bahasa dengan jumlah penutur yang besar serta persebarannya yang luas, bahasa Jawa memperlihatkan variasi pemakaian yang lazim disebut dialek. Uhlenbeck (dalam Zulaeha 2010:74) menyatakan bahasa Jawa mempunyai empat buah dialek dan tiga belas subdialek. Pernyataan tersebut berdasarkan letak geografis pemakai bahasa Jawa dengan titik tumpu wilayah Yogyakarta dan Solo ke timur dan ke barat. Keempat dialek bahasa Jawa tersebut adalah (1) Banyumas, (2) Pesisir, (3) Surakarta, dan (4) Jawa Timur. Adapun ketigabelas subdialek

(18)

2

bahasa Jawa itu adalah (1) Purwokerto, (2) Kebumen, (3) Pemalang, (4) Banten Utara, (5) Tegal, (6) Semarang, (7) Rembang, (8) Surakarta (Solo), (9) Yogyakarta, (10) Madiun, (11) Surabaya, (12) Banyuwangi, dan (13) Cirebon. Selanjutnya, di antara dialek tersebut yang dinobatkan sebagai dialek baku atau dialek standar adalah dialek Yogya-Solo.

Secara tidak sadar, munculnya beberapa dialek dan subdialek bahasa Jawa dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing. Giraund (dalam Ayatrohaedi 1983:5), mengungkapkan bahwa keadaan alam mempengaruhi ruang gerak penduduk setempat, baik dalam mempermudah penduduk berkomunikasi dengan dunia luar maupun mengurangi adanya kemungkinan itu. Sejalan dengan batas alam tersebut, dapat dilihat pula adanya batas politik yang menjadi jembatan terjadinya pertukaran budaya, yang juga menjadi sarana pertukaran bahasa. Demikian halnya dengan kondisi ekonomi, cara hidup, tercermin pula dalam dialek yang bersangkutan.

Di samping itu, terjadinya ragam-ragam dialek itu terutama disebabkan adanya hubungan dan keunggulan bahasa-bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penyerbuan, atau penjajahan. Peranan dialek ataupun bahasa yang bertetangga juga berpengaruh dalam proses terjadinya suatu dialek. Hal ini disebabkan masuknya anasir kosa kata, struktur, maupun pelafalan cara pengucapan (Giraund dalam Ayatrohaedi 1983:6).

Munculnya variasi bahasa atau dialek, juga terjadi di wilayah Dataran Tinggi Dieng (DTD), Provinsi Jawa Tengah. Wilayah yang memiliki luas 1027.21

(19)

3

km² ini, secara administratif terbagi menjadi dua, yakni wilayah Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, dan Dieng Wetan, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo (Profil Desa 2010:1). Secara keseluruhan, wilayah Dataran Tinggi Dieng di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara, di sebelah timur dan selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonosobo, di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Batang.

Sebagai kawasan vulkanik aktif yang berada di ketinggian 2.093 mdpl, Dieng merupakan dataran tinggi kedua yang dihuni manusia setelah Dataran Tinggi Tibet (Mertadiwangsa 2013: 289). Wilayah ini telah dihuni semenjak beberapa abad yang lalu, terbukti dengan banyaknya temuan candi dan situs-situs peninggalan peradaban Hindu kuno.

Pada era 80-an mayoritas penduduk Dieng bermata pencaharian sebagai peternak kuda, peternak domba, dan petani tembakau. Kemudian, pada era 90-an budidaya kentang menjadi primadona di kalangan petani hingga saat ini. Hal inilah yang akhirnya mulai mengubah ekosistem, mulai dari banyak mata air yang mati hingga menurunnya kesuburan tanah. Hal tersebut kemudian menyebabkan timbulnya kekhawatiran masyarakat Dieng akan ancaman kehilangan mata pencahariannya (Mertadiwangsa 2013:287). Oleh sebab itu, pada tahun 2006, masyarakat Dieng mulai berbenah dan mendirikan kelompok sadar wisata yang diresmikan langsung melalui SK Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata No.556/36.A, tahun 2007.

(20)

4

Munculnya kesadaran masyarakat Dieng tentang potensi pariwisata yang ada, menjadikan Dieng sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi. Bahkan, Dieng ditetapkan sebagai daerah tujuan wisata unggulan ke dua di Jawa Tengah setelah candi Borobudur. Hal tersebut membawa konsekwensi munculnya profesi-profesi baru yang semakin beragam. Data kependudukan wilayah Dataran Tinggi Dieng tahun 2010 menyebutkan, setidaknya terdapat komposisi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan yakni pegawai dan nonpegawai yang meliputi pegawai negeri, pegawai pariwisata, petani, buruh, dan pedagang. Membaiknya keadaan merupakan faktor penunjang membaiknya taraf sosial masyarakat. Dengan bertambah baiknya taraf sosial, maka kemungkinan memperoleh pendidikan yang lebih baik, dan memperoleh kedudukan yang lebih baik pun menjadi lebih terbuka (Ayatrohaedi 1983:9). Keadaan ini dimungkinkan mengarah pada munculnya stratifikasi sosial, yakni suatu sistem yang berlapis-lapis yang membagi masyarakat ke dalam beberapa lapisan secara bertingkat.

Berdasarkan data kependudukan Desa Dieng Kulon tahun 2010, dari jumlah total penduduk 3.513 jiwa, 12,5% penduduknya berpendidikan tinggi dengan indikator serendah-rendahnya SMA, dan 71,2% penduduknya masih berpendidikan rendah dengan indikator serendah-rendahnya SD dan setinggi-tingginya SMP. Data kependudukan Dieng Wetan tahun 2010 dari total jumlah penduduk 2.303 jiwa, 11,2% penduduknya berpendidikan tinggi, 56,4% penduduknya berpendidikan rendah.

(21)

5

Untuk menempuh pendidikan lanjut, baik SMP, SMA, maupun perguruan tinggi, masyarakat Dieng harus meninggalkan kampung halamanya karena keterbatasan fasilitas pendidikan di wilayah ini. Pada umumnya mereka pergi ke ibu kota kecamatan maupun ke kota yang lebih besar. Di sana mereka harus hidup di lingkungan yang mungkin berbeda dengan kampung halamannya dan berinteraksi dengan masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Hal ini menyebabkan adanya kontak bahasa, yang mempengaruhi tatanan linguistik seseorang meliputi tatanan fonologis dan leksikal (Katrini 2010:17). Sebagai hasilnya, kalaupun diantara mereka kembali ke kampung, biasanya mereka tetap mempertahankan dan memperlihatkan pengaruh dialek tempat mereka merantau. Faktor ini juga ikut mempengaruhi kemunculan variasi bahasa pada pemakaian bahasa di Dataran Tinggi Dieng. Seperti yang dikatakan oleh Labov dan Bernstein (dalam Zulaeha 2010:76), bahwa faktor-faktor sosial seperti kelas sosial, pendidikan, dan pekerjaan, dapat mempengaruhi aktivitas berbahasa yang mengakibatkan munculnya variasi bahasa.

Secara kebahasaan, Dataran Tinggi Dieng merupakan wilayah transisi. Hal ini disebabkan wilayah Dieng merupakan wilayah yang berada di dalam dua kabupaten sekaligus, yakni Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo, keduanya merupakan wilayah transisi bahasa Jawa standar bagian barat yang berbatasan langsung dengan dialek Banyumas (Wedhawati2006:13).

Berdasarkan hasil penelitian Katrini (2010) yang berjudul “Teori Gelombang dalam Bahasa Jawa Dialek Banyumas”, pada wilayah transisi atau

(22)

6

peralihan, yakni daerah tengah-tengah yang berada di antara dialek bahasa Jawa standar (BJS) dengan bahasa Jawa dialek Banyumas (BJB), unsur-unsur kebahasaannya sebagian mengikuti BJS sebagian lagi mengikuti BJB. Selain itu, di wilayah pakai bahasa Jawa yang berada di tengah-tengah dan berada di antara dua dialek yang berbeda, juga memiliki kata-kata yang secara fonologis berbeda dengan kedua dialek yang mengapitnya. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa selain mengalami kecenderungan terhadap BJS maupun BJB, Dieng juga memiliki kekhasan apabila dilihat dari kedua dialek yang mengapitnya.

Pada tataran fonologis, terdapat variasi fonem vokal dan fonem konsonan. Dalam bahasa Jawa standar (BJS) fonem vokal /a/ yang berposisi pada suku ultima terbuka direalisasikan dengan bunyi [ᗜ], seperti tampak pada mawa [mowᗜ] ‘bara api’, iga [igʰᗜ] ‘tulang rusuk’. Realisasi bunyi tersebut juga ditemui

pada pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng pada TP-2. Ditemukan pula fonem vokal /a/ yang direalisasikan dengan bunyi [a] seperti mata [mata], lenga [ləŋa] ‘minyak’ pada TP-1. Temuan ini mengindikasi dalam pemakaian BJD memiliki kecenderungan terhadap bahasa Jawa dialek Banyumas maupun bahasa Jawa dialek standar.

Dalam BJS fonem /u/ yang berposisi pada suku ultima terutup diucapkan [U], pada dialek Banyumas fonem /u/ diucapkan [u], sedangkan dalam dialek bahasa Jawa Dataran Tinggi Dieng fonem /u/ pada suku ultima berkorepondensi

dengan bunyi [o]. Seperti terlihat pada contoh konsep ‘jamur’ [jʰamUr], [jʰamur], [jʰamor], dalam bahasa Jawa standar (BJS), bahasa Jawa Banyumasan (BJB),

(23)

7

bahasa Jawa dialek Dieng (BJD). Dapat dilihat bahwa BJD memiliki realisasi fonem yang berbeda dari kedua dialek yang mengapitnya, yang merupakan sebuah kekhasan.

Pada tataran leksikal ditemukan gejala onomasiologis dalam pemakaian

bahasa Jawa dialek Dataran Tinggi Dieng glos ‘engkau’. Gejala ini ditunjukkan

dengan kemunculan dua berian, yakni rika dan deke. Berian rika didasarkan pada tanggapan bahwa lawan tutur merupakan orang yang usianya lebih tua dari penutur, sementara berian deke didasarkan pada tanggapan lawan tutur berusia sebaya ataupun lebih muda. Dilihat dari segi penuturnya, berian rika cenderung dituturkan oleh informan pegawai berpendidikan tinggi, sementara berian deke

cenderung dituturkan oleh penutur nonpegawai berpendidikan rendah.

Potensi kekayaan variasi bahasa dan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa di Dataran Tinggi Dieng, melatarbelakangi pemilihan topik sosiodialektologi untuk diteliti lebih lanjut. Sebelumnya, penelitian berdasarkan kajian sosiodialektologi terhadap pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng belum pernah dilakukan.

(24)

8

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.

(1) Bagaimana variasi fonologis pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan variabel pendidikan dan pekerjaan?

(2) Bagaimana variasi leksikal pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan variabel pendidikan dan pekerjaan?

(3) Adakah kekhasan fonologis dan leksikal bahasa Jawa yang digunakan di Dataran Tinggi Dieng dilihat dari BJ standar dan BJ Banyumas ?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang diteliti, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

(1) menjelaskan variasi fonologis pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan variabel pendidikan dan pekerjaan .

(2) menjelaskan variasi leksikal pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan variabel pendidikan dan pekerjaan.

(3) menguraikan kekhasan fonologis dan leksikal bahasa Jawa yang digunakan di Dataran Tinggi Dieng dilihat dari BJ standar dan BJ Banyumas.

(25)

9

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan dua manfaat, yakni secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu kebahasaan, khususnya dialektologi dan sosiolinguistik.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pembinaan dan pengembangan bahasa Jawa, terutama pemertahanan bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan ide atau gagasan bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara maupun Wonosobo, untuk memanfaatkan kekhasan yang dimiliki bahasa Jawa dialek Dieng sebagai daya tarik wisata dalam acara Dieng Culture Festival.

(26)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai sosiodialektologi sudah cukup banyak dilakukan sebelumnya. Akan tetapi, penelitian tersebut terus menarik untuk dilakukan, sebab di Indonesia khususnya penelitian ini belum menjangkau ke seluruh wilayah. Masih banyak objek dan bahan kajian, bahkan bisa dikatakan objek kajian tentang dialektologi tidak akan pernah kering. Di antara penelitian tentang sosiodialektologi dilakukan oleh Labov (1991), Purnel, dkk., (1992), Kerswill dan Wiliams (1999), Hartono (2000), Riyono (2007), Pujiyatno (2008), Kurniati dan Mardikantoro (2010).

Labov (1991), dalam penelitiannya yang berjudul The Social Stratification

of English in New York City menyatakan bahwa seorang individu dari kelas sosial

tertentu, umur tertentu, dan jenis kelamin tertentu akan menggunakan variasi bahasa tertentu dalam situasi tertentu. Labov (1991) juga membagi kelas sosial menjadi empat, yakni kelas menengah bawah, kelas pekerja, kelas menengah, dan kelas menengah atas. Dalam penelitiannya, kelas pekerja tidak mengucapkan [r] dalam situasi formal, seperti pada kata guarddan bird. Hal ini berbanding terbalik dengan anggapan sosial masyarakat bahwa orang akan mengucapkan [r] dalam situasi formal. Berdasarkan hal tersebut, bisa disimpulkan bahwa kelas menengah akan mengucapkan [r], sementara kelas sosial menengah ke bawah akan mengucapkan [r] pada situasi formal. Dari semua kelas sosial, hanya kelas pekerja

(27)

11

yang tidak mengucapkan [r] dalam situasi formal. Namun, intensitas pengucapan [r] paling banyak dilakukan oleh kelas menengah ke bawah. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa kelas menengah ke bawah ingin dilihat sebagai kelas yang lebih tinggi.

Persamaan penelitian Labov (1991) dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan pendekatan sosial dalam mengkaji variasi bahasa yang ada di suatu tempat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Labov (1991) terletak pada pembagian variabel. Labov (1991) membagi variabel berdasarkan kelas sosial menjadi empat, yakni kelas menengah bawah, kelas pekerja, kelas menengah, dan kelas menengah atas, sementara penelitian ini membagi variabel berdasarkan pendidikan dan pekerjaan.

Purnel, dkk., (1992) dalam penelitiannya yang berjudul Perceptual and

Phonetic Experiments on American English Dialect Identification melakukan

penelitian melalui telepon. Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya diskriminasi terhadap etnis tertentu oleh tuan tanah di Amerika. Dalam satu percobaan dari sekian rangkaian telepon yang dilakukan sebagai calon penyewa kepada tuan tanah, penelepon yang menggunakan dialek tidak standar mendapatkan diskriminasi dari tuan tanah. Tuan tanah tersebut mengatakan bahwa tidak ada flat yang kosong. Sementara penelepon lainnya menggunakan dialek standar mendapat sambutan hangat dari tuan tanah. Dari hasil penelitian, Purnel (1992) menyimpulkan bahwa tuan tanah bisa mengenali dari etnis mana penelepon berasal hanya dengan mengucapkan ‘halo’ saja. Hal ini membuktikan

(28)

12

bahwa fonetik berpotensi membedakan dialek, dan mencerminkan dari mana penutur tersebut berasal.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purnel (1992) adalah sama-sama meneliti tentang dialek dengan variabel sosial. Unsur-unsur fonetik sangat diperhatikan untuk menentukan identitas sosial penuturnya. Perbedaanya, terletak pada teknik pengambilan datanya, Purnel (1992) mengambil data dengan teknik lanjutan cakap tansemuka, sementara penelitian ini menggambil data dengan teknik cakap semuka. Perbedaan lainnya terletak pada variabel penelitian, variabel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pendidikan dan pekerjaan penutur, sementara dalam penelitian Purnel (1992) variabel penelitiannya berdasarkan dua etnis berbeda.

Kerswill dan Wiliams (1999), dalam penelitiannya yang berjudul Mobility Versus Social Class in Dialect Levelling: Evidence from New and Old Town In

England memfokuskan penelitian pada dua kelompok sosial rendah yang ada di

kota tua Inggris. Kedua kelompok ini sama-sama memiliki dialek yang menyimpang dari dialek baku. Kerswill dan Wiliams (1999), meneliti perbedaan variasi kebahasaan yang dimiliki oleh sekelompok sosial rendah dengan mobilitas yang tinggi dengan sekelompok sosial rendah dengan mobilitas yang rendah. Dari hasil penelitiannya, ia memperoleh temuan bahwa kelompok sosial rendah yang memiliki mobilitas tinggi, memiliki lebih banyak variasi bahasa dari pada kelompok sosial rendah yang memiliki mobilitas rendah. Dari temuan ini Kerswill dan Wiliams (1999), menyimpulkan bahwa antara status sosial dengan mobilitas

(29)

13

merupakan dua hal yang berdiri sendiri, bukanlah hal yang saling mempengaruhi dalam variasi bahasa.

Penelitian ini memiliki kesamaan kajian dengan penelitian yang dilakukan oleh Kerswill dan Wiliams (1999) yakni sama-sama mengkaji tentang dialek. Perbedaannya, Kerswill dan Wiliams (1999) memfokuskan kajiannya pada mobilitas yang membedakan variasi yang dimiliki oleh kelas sosial yang sama, sementara dalam penelitian ini tidak mempertimbangkan mobilitas.

Hartono (2000), dalam penelitiannya yang berjudul Pemakaian Bahasa

Jawa di Kabupaten Karanganyar: Kajian Sosiodialektologi menghasilkan temuan

unsur kebahasaan BJK dalam bidang fonologi terdapat 8 fonem vokal dalam bahasa Jawa Karanganyar (BJK), 21 fonem konsonan BJK, dan 7 perubahan bunyi. Dalam bidang leksikon ditemukan 135 konsep variasi leksikon Ng, 53 konsep leksikon Kr/Kri. Dalam bidang morfologi ditemukan tiga proses morfologi; dalam bidang morfofonemik ditemukan empat proses, serta dalam bidang tingkat tutur ditemukan tiga jenis tingkat tutur. Variasi pemakaian BJK dalam bidang fonologi ditemukan adanya enam variasi; bidang leksikon ditemukan 135 konsep variasi leksikon tingkat tutur Ng dan 53 konsep variasi leksikon tingkat tutur Kr/Kri; dan gejala onomasiologis; dalam bidang morfologi ditemukan sebelas variasi; bidang tingkat tutur ditemukan empat variasi; dan lima variasi pengkramaan dalam BJK. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam BJK yaitu (a) semakin tinggi pekerjaan penutur, semakin baik pemakaian BJ-nya baik bentuk Ng atau Kr; (b) semakin tinggi pendidikan penutur, semakin tinggi

(30)

14

penguasaan BJ-nya baik bentuk Ng atau Kr; (c) semakin tua usia penutur, semakin baik penguasaan BJ-nya baik bentuk Ng atau Kr.

Penelitian yang dilakukan Hartono (2000), memiliki kajian yang cukup lengkap. Persamaan penelitian Hartono (2000) dengan penelitian ini, pertama terdapat dalam hal pendekatan, yaitu sosiodialektologi. Kedua, sama-sama mengkaji variasi bahasa pada tataran fonologis dan leksikal. Perbedaannya, terletak pada objek penelitian dan tataran kebahasaan yang dikaji. Hartono (2000) mengkaji variasi bahasa sampai pada tataran morfologi, serta menambahkan variabel usia dan gejala pengkramaan, sedangkan dalam penelitian ini hanya menekankan kajian pada tataran fonologis dan leksikal dengan menggunakan variabel pendidikan dan pekerjaan.

Riyono (2007), dalam penelitiannya yang berjudul Pemakaian Bahasa

Jawa di Kabupaten Pati Suatu Kajian Sosiodialektologi menghasilkan temuan 7

fonem vokal dan 21 fonem konsonan dalam BJKP. Temuan variasi fonologis berupa variasi bunyi [i] dan [I], [I] dan [E], [u] dan [ç], [a] dan [ç], bunyi [r] dan

variasi nasal [ŋ]. Selain variasi fonologis, ditemukan pula proses morfologis

dalam BJKP meliputi afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Variasi afiksasi yang ditemukan variasi pemakaian akhiran {-an} dan variasi tipe kata seperti [mbʰayuŋ] ~ [r’mbʰayUŋ] ~ [I’mbʰayuŋ], [gʰϽndʰϽ?] ~ [gʰϽndʰϽŋ] ~ [gʰondʰoŋ], [kruŋu]~[nduŋu]. Dalam tataran sintaksis ditemukan kalimat yang didasarkan

pada fungsi dan situasi yakni, kalimat deklaratif, interogatif, dan kalimat imperatif. Variasi leksikal meliputi gejala onomasiologis dan ditemukan 97 buah

(31)

15

kata yang khas. Terdapat pula variasi tingkat tutur yang disebabkan oleh perbedaan status sosial.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian Riyono (2007), Pertama, yakni sama-sama mengkaji pemakaian bahasa Jawa dengan pendekatan sosiodialektologi. Kedua, sama-sama mencari kekhasan bahasa Jawa di wilayah penelitian. Perbendaan penelitian ini dengan penelitian Riyono (2007), yakni penelitian ini hanya mengkaji variasi pada tataran fonologis dan leksikal saja, sementara Riyono (2007) mengkaji hingga tataran morfologi dan sintaksis.

Pujiyatno (2007), dalam penelitiannya yang berjudul Variasi Dialek

Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Kajian Sosiodialektologi) menyimpulkan

bahwa Kabupaten Kebumen merupakan daerah pertemuan dua dialek bahasa Jawa, yaitu dialek Banyumas dan dialek Yogyakarta. Daerah-daerah yang dilalui jalan raya lebih mudah menerima pengaruh dari dialek Yogyakarta, sedangkan daerah yang sulit dijangkau berupa daerah pegunungan lebih mempertahankan bahasanya. Masuknya pengaruh bahasa Jawa cenderung melalui leksikon sebab bunyi lebih sulit. Hasil penelitian Pujiyatno (2007) mendasari hipotesis penelitian ini, yakni bahwa daerah tengah lebih banyak memiliki variasi bahasa serta mendasari dugaan bahwa daerah pertemuan antara dialek Banyumas dengan dialek Yogyakarta (BJB) juga terjadi di Dataran Tinggi Dieng.

Persamaan penelitian Pujiyatno (2007) dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan pendekatan sosiodialektologi. Perbedaanya, Pujiatno (2007)

(32)

16

meneliti hingga pada tataran morfologi, sementara dalam penelitian ini hanya sampai pada tataran fonologis dan leksikal saja.

Kurniati dan Mardikantoro (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Pola Variasi Bahasa Jawa (Kajian Sosiodialektologi pada Masyarakat Tutur Jawa

Tengah) menghasilkan temuan variasi kebahasaan pada tiga titik pengamatan

(Banyumas, Klaten, dan Semarang). Variasi tersebut terjadi pada tataran fonologi, leksikon, gejala pengkramaan, gejala pengokoan, dan proses morfemis. Pada tataran fonologi, variasi kebahasaan terlihat pada alofon fonem /i/, /u/, /e/, dan /o/. Di samping itu, terdapat juga variasi bunyi [b] dan [w] serta [?] dan [t]. Pada tataran leksikon, variasi pemakaian bahasa Jawa menjadi semakin beragam. Selain itu, dijumpai perubahan-perubahan bunyi, seperti onomasiologis, metatesis, pelemahan, protesis, epentesis, anaptiksis, kompresi, dan pengurangan bunyi di depan. Faktor-faktor sosial berupa pendidikan, usia, dan pekerjaan berpengaruh terhadap wujud kebahasaan BJ dan wujud pemakaian BJ.

Penelitian ini memiliki persamaan, pertama dalam hal pendekatan, yakni dengan menggunakan pendekatan sosiodialektologi. Persamaan kedua, yakni sama-sama menggunakan variabel pendidikan dan pekerjaan dalam melihat variasi dalam pemakaian suatu bahasa. Meskipun demikian, penelitian yang akan dilakukan juga memiliki perbedaan. Selain berbeda ruang lingkup tempat penelitian, variabelnya yang digunakan Kurniati dan Mardikantoro (2010) lebih lengkap dari penelitian ini, yakni menggunakan tiga variabel sosial yakni variabel pendidikan, pekerjaan, dan usia, sedangkan dalam penelitian ini hanya

(33)

17

menggunkaan dua variabel sosial yakni variabel pendidikan dan pekerjaan yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat Dieng.

2.2 Landasan Teoretis

Landasan teori yang menjadi landasan penelitian ini adalah konsep mengenai 1) sosiodialektologi, 2) pemakaian bahasa dan kelas sosial penutur, 3) fonologi bahasa jawa, 4) perbedaan fonologis, 5) perbedaan leksikal, 6) medan makna.

2.2.1 Sosiodialektologi

Dialek dalam arti luas, berusaha memberikan variasi pola linguistik, baik secara sintopik (sosiolinguistik) maupun diatopik (geografi), yang mencakup variasi di suatu tempat (Grinjs 1976:1). Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak ada satu pun bahasa di dunia yang tidak memiliki variasi atau diferensiasi. Menurut Pujiatno (2007:16), sosiodialektologi merupakan gabungan dua disiplin ilmu yakni sosiolinguistik dan dialektologi.

Petyt (1980 dalam Katrini 2010:17) menyatakan bahwa pada mulanya

istilah “dialek” paling umum digunakan untuk menunjuk pada perbedaan regional

dalam suatu bahasa, tetapi beberapa tahun belakangan ini digunakan pula untuk menunjuk pada dimensi sosial perbedaan linguistik. Istilah dialek sendiri berasal dari bahasa Yunani dialektos yang pada mulanya dipergunakan di sana dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya (Ayatrohaedi 1983:1).

(34)

18

Di Yunani, terdapat perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, tetapi menurut Meilet (dalam Ayatrohaedi 1983:1) perbedaan tersebut tidak sampai menyebabkan mereka memiliki bahasa yang berbeda.

Dari hal tersebut, Meilet (dalam Ayatrohaedi 1983:2) dapat menyimpulkan ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan. Meilet (1967) juga mengemukakan dua ciri lain yakni (1) dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yakni memiliki ciri umum yang masing-masing lebih mirip sesamanya, dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Misalnya, dialek bahasa Jawa daerah Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri mempunyai ciri yang sama dengan dialek bahasa Jawa Solo-Yogyakarta, akan tetapi dialek itu bukan merupakan dialek bahasa Jawa Solo-Yogyakarta. Dialek-dialek tersebut merupakan identitas daerah setempat meskipun terdapat kesamaan ciri-ciri akibat kontak antarpendukung masing-masing dialek.

Di dalam perkembangannya, kemudian salah satu dialek yang kedudukannya sederajat itu sedikit demi sedikit diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah pakai dialek tersebut. Faktor-faktor yang menentukan penobatan suatu dialek menjadi bahasa baku, yakni terutama faktor politik, faktor budaya, dan faktor ekonomi (Meilet dalam Ayatrohaedi 1983: 2). Guna menjelaskan lebih lanjut pengaruh antardialek tersebut beserta faktor-faktor sosial yang

(35)

19

mempengaruhinya, maka dialektologi melakukannya dengan cara memanfaatkan kajian sosiolinguistik.

Menurut Kridalaksana (2008:225), sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungannya di antara bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu dalam suatu masyarakat bahasa. Lebih singkatnya, Nadra (2009:5) menyimpulkan bahwa sosiolinguistik mempelajari bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok sosial, yang kemudian membedakannya dengan kelompok sosial yang lain.

Data hasil penelitian dialektologi dapat pula menjadi inspirasi bagi penelitian di bidang sosiolinguistik. Contoh dapat diambil dari medan makna kata

ganti dan sistem kekerabatan. Medan makna ini biasanya dijadikan sebagai salah

satu daftar tanyaan dalam penelitian dialektologi. Bagi daerah yang memiliki

perbedaan bentuk kata ganti untuk konsep ‘kakak laki-laki’ dan ‘adik laki-laki’,

kajian sosiolinguistik memandang bahwa perbedaan jawaban tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan usia. Pembahasan yang lebih jauh lagi mengenai perbedaan bentuk kata ganti dan istilah kekerabatan ini, misalnya di daerah yang berbudaya Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat adalah bahwa perbedaan tersebut menunjukkan adanya perbedaan perlakuan ego terhadap lawan bicara atau orang yang menjadi objek pembicaraan. Selain itu, perbendaan tersebut juga menunjukkan sifat hubungan antara si penutur dengan lawan tutur. Untuk membahas lebih dalam tentang hal ini, maka tentu saja diperlukan data yang lebuh banyak lagi sehingga simpulan mengenai suatu sistem sapaan dalam kelompok

(36)

20

masyarakat menjadi dapat diterima secara ilmiah. Sementara, dialektologi tidak mempermasalahkan variasi yang berlatar belakang perbedaan usia tersebut (Nadra 2009:5-6).

Dari gambaran terbut, maka dapat disimpulkan baik dialektologi maupun sosiolinguistik, keduanya sama-sama mempelajari variasi bahasa (Nadra 2009:5). Kurniati dan Mardikantoro (2010:275) menegaskan bahwa kajian dialektologi tidak dapat dipisahkan dengan kajian sosiolinguistik, karena tata kerjanya melibatkan penutur-penutur masyarakat bahasa yang dipelajari. Dengan demikian, sosiolinguistik memberikan satu perspektif baru dalam kajian dialektologi berupa variabel sosial penuturnya. Oleh sebab itu, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan timbal balik atau hubungan interseksi antara kajian dialektologi dan kajian sosiolinguistik.

2.2.2 Pemakaian Bahasa dan Kelas Sosial Penutur

Menurut Soemarsono (2013:43), kelas sosial mengacu pada golongan masyarakat yang mempunyai kesamaan tertentu dalam bidang kemasyarakatan seperti ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kedudukan, kasta, dan sebagainya. Ramedra (2013:277) menyatakan bahwa ketika seseorang menyatakan sesuatu melalui bahasa, ia juga mengungkapkan siapa dirinya, dan dari masyarakat mana ia berasal. Hal ini disebabkan, kelompok-kelompok sosial yang berbeda menggunakan variasi yang juga berbeda (Trudgil 1974:34).

(37)

21

Kajian paling awal dilakukan oleh Ficher (1958 dalam Zulaeha 2010:68),

mengenai variabel [ŋ] yang digunakan oleh sekelompok sosial tingkat atas dan

bawah dalam kata singing sehingga menghasilkan ucapan singing [ŋ] dan singin

[n]. Kajian ini menunjukkan bahwa kelompok kelas sosial tingkat atas mengucapkan singing, shooting, dan fishing, sedangkan kelompok kelas sosial rendah mengucapkan singin, shootin, dan fishin.

Teori Bernstein mengenai kode lengkap (elaborated code) dan kode ringkas (restricted code) juga menunjukkan adanya kaitan yang erat antara bahasa dan kelas sosial (Soemarsono 2013:53). Menurutnya, kode lengkap cenderung digunkan dalam situasi-situasi debat resmi dan diskusi akademik. Kode ini bersifat bebas konteks, yaitu tidak bergantung pada ciri-ciri konteks ekstralinguistik. Sebaliknya, kode ringkas cenderung digunakan dalam situasi-situasi formal, di dalam keluarga, dan di antara teman serta menekankan keanggotaan penutur dalam sebuah kelompok. Kode ini terikat konteks, yakni sejumlah asumsi bersama dari kelompok dalam memahami bentuk-bentuk bahasa yang digunakan.

Seorang individu mungkin mempunyai status sosial lebih dari satu. Misalnya, si A adalah seorang Bapak yang di keluarganya berstatus sosial sebagai guru. Apabila guru di sekolah negeri, maka ia juga termasuk ke dalam kelas pegawai negeri. Apabila ia seorang sarjana, maka ia masuk ke dalam kelas sosial

golongan “terdidik”. Begitulah kita mengenal kelas pegawai, kelas buruh, kelas

(38)

22

Mesthrie (2009) dan Spolsky (2003) menyatakan “People tend to talk like

the people they talk to most of the time”, bahwa alasan yang paling mendasar bagi

timbulnya variasi bahasa terkait dengan jejaring sosial. Seorang pegawai, misalnya akan memiliki kecenderungan menggunakan variasi bahasa yang ada di lingkungannya.

Dengan mengambil kasus desa Celapar (Jateng bagian Selatan), Koentjaraningrat (dalam Kurniati dan Mardikantoro 2010:275), membedakan kelas sosial masyarakat Jawa menjadi empat tingkat secara vertikal, yaitu wong

cilik, wong saudagar, priyayi, dan ndara, di samping perbedaan horizontal, yaitu

wong abangan dan santri. Berdasarkan kelas sosial yang seperti itu, dalam

masyarakat Jawa dikenal berbagai variasi bahasa, baik yang digunakan di antara anggota-anggotanya secara intern maupun antarkelas sosial. Bahasa orang yang tidak berpendidikan, lain dengan bahasa orang-orang yang berpendidikan. Variasi demikian termasuk dialek sosial yang kekhususan pemakaian bahasanya oleh sekelompok penutur, karena perbedaan kelas atau status sosialnya dengan kelompok penutur lain. Di samping itu, terdapat pula perbedaan variasi karena perbedaan kelas atau status sosial antarpenuturnya sebagaimana dikemukakan oleh Suwito (dalam Kurniati & Mardikantoro 2010:275).

2.2.3 Fonologi Bahasa Jawa

Secara etimologi kata fonologi berasal dari gabungan kata fonyang berarti

”bunyi‟ dan logi yang berarti “ilmu‟. Sebagai sebuah ilmu, fonologi lazim

(39)

23

membicarakan, dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia (Chaer 2007:102)

Pada umumnya, bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas vokal dan konsonan. Menurut Chaer (2007: 113) bunyi vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit, sementara bunyi konsonan terjadi setelah udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu.

2.2.3.1 Vokal Bahasa Jawa

Paling tidak terdapat dua pendapat yang berkaitan dengan jumlah vokal dalam bahasa Jawa. Pertama, Uhlenback (1981 dalam Sasangka 2011:15), menyatakan bahwa vokal bahasa Jawa ada enam, yakni /i/, /e/, /a/, /ə/, /u/, dan /o/. Ia beranggapan bahwa bunyi [Ͻ] merupakan alofon fonem /a/. Kedua, untuk menguji pendapat Uhlenback (1981) tersebut, Sasangka (2011) melakukan kajian yang menghasilkan temuan yang berbeda.

Sasangka (2011:15), dalam kajiannya memperlihatkan bahwa bunyi [a] dan [Ͻ] ternyata mampu membedakan makna, seperti terlihat pada contoh: ‘bisa’

[isϽ] >< ‘babat’ [iso], ‘sana’[kϽnϽ]>< ‘situ’ [kono], ‘sakit’[lϽrϽ]><.’dua’[loro].

Dari hasil kajiannya, Sasangka (2011) menilai bahwa kurang tepat apabila kedua bunyi tersebut disebut dengan alofon fonem /a/, lebih tepatnya kedua bunyi itu disebut dengan dua fonem yang berbeda. Dengan demikian, berdasarkan paparan data di atas Sasangka (2011) mematahkan pendapat Uhlenback (1981) dengan

(40)

24

menyimpulkan bahwa vokal bahasa Jawa bukan berjumlah enam vokal melainkan tujuh vokal, yaitu /i/, /e/, /ə/, /a/, /Ͻ/, /o/, dan /u/. Mulyani (2008) mendeskripsikan secara sederhana, ketujuh vokal bahasa Jawa tersebut sebagai berikut.

1) Vokal /i/

Vokal /i/ dalam bahasa Jawa memiliki dua alofon, yaitu [i] dan [I]. Perbedaan kedua bunyi tersebut terletak pada kuat atau lemahnya tekanan. Bunyi [i] merupakan vokal tertutup, tinggi-kuat, depan-tak bundar, sedangkan bunyi [I] merupakan vokal tertutup, tinggi-lemah, depan-tak bundar.

2) Vokal /e/

Vokal /e/ bahasa Jawa mempunyai dua alofon, yaitu [e] dan [ε]. Perbedaan

kedua bunyi tersebut terletak pada kuat atau lemahnya tekanan. Bunyi [e] merupakan vokal semi tertutup sedang-kuat, depan-tak bundar, sementara bunyi

[ε] merupakan vokal agak tertutup sedang-lemah, depan-tak bundar.

3) Vokal /ə/

Vokal /ə/ merupakan vokal madya-lemah, tak bulat, semi tertutup. Dalam bahasa Jawa vokal /ə/ bukan merupakan alofon fonem /e/ melainkan merupakan fonem tersendiri karena kedua bunyi itu dalam bahasa Jawa dapat membedakan makna (Sasangka 2011:24). Vokal ini hanya terletak pada awal dan tengah kata, serta tidak dapat terletak pada akhir kata.

(41)

25

4) Vokal /a/

Vokal /a/ termasuk vokal rendah, depan, tak bulat-terbuka. Vokal ini dapat berdistribusi di awal suku kata, akhir suku kata, tengah suku kata, namun sangat jarang dijumpai vokal /a/ pada akhir kata, kecuali dalam bahasa Jawa dialek Banyumas.

5) Vokal /Ͻ/

Vokal /Ͻ/ dalam bahasa Jawa bukan merupakan alofon /o/ melainkan merupakan vokal tersendiri. Fonem ini merupakan vokal rendah, netral dan terbuka.

6) Vokal /o/

Fonem /o/ merupakan vokal madya, belakang, bulat, dan semi terbuka. Vokal ini dapat menduduki semua posisi, baik pada awal kata, tengah kata, maupun akhir kata.

7) Vokal /u/

Fonem /u/ merupakan vokal tinggi, belakang, netral, dan tertutup. Dalam bahasa Jawa vokal /u/ memiliki dua alofon, yakni [u] dan [U]. Fonem ini dapat berdistribusi pada awal suku kata, tengah, maupun akhir suku kata.

2.2.3.2 Konsonan Bahasa Jawa

Fonem konsonan bahasa Jawa berdasarkan peran alat ucap yang membentuknya dapat dikelompokkan menjadi 10 (Mulyani 2008:53). Kesepuluh konsonan itu adalah (1) konsonan bilabial, yang meliputi konsonan /p/, /b/, dan

(42)

26

/m/; (2) konsonan labio-dental berupa konsonan /w/; (3) konsonan apiko-dental terdiri atas fonem /t/ dan /d/; (4) konsonan apiko-alveolar terdiri dari fonem /n/, /l/ dan /r/; (5) konsonan apiko-palatal berupa fonem /tʰ/ dan /dʰ/; (6) konsonan lamino-alveolar berupa fonem /s/; (7) konsonan medio-palatal meliputi fonem /c/, /j/, /ñ/, dan /y/; (8) konsonan dorso-velar terdiri atas fonem /k/, /g/, dan /ŋ/; (9)

konsonan laringal berupa fonem /h/; dan (10) konsonan glottal stop berupa /?/.

2.2.3.3 Fonem Khas Bahasa Jawa

Bahasa Jawa mempunyai fonem khas berupa bunyi aspirat dan pranasal. Menurut Sasangka (2011:51) semua bunyi hambat bersuara dan takbersuara dalam bahasa Jawa cenderung diikuti bunyi aspirat, yaitu bunyi frikatif glottal tak bersuara, atau bunyi [h] seperti beberapa contoh Bapak Æ[bʰapʰa?]’bapak’.

Bunyi pranasal merupakan bunyi nasal yang selalu mendahului suatu kata ketika kata tersebut diucapkan. Namun, pranasal itu tidak mengubah jenis dan makna kata. Semua bunyi hambat bersuara [b], [d], [dʰ], [j] dan [g] yang terletak pada awal kata dan kata tersebut cenderung menyatakan nomina tempat, bunyi hambat bersuara tersebut akan didahului bunyi nasal atau mengalami prenasalisasi seperti [ᵐbʰandʰuŋ], [ᵐbʰϽgʰϽr], [ⁿdəma?].

2.2.4 Perbedaan Fonologis

Menurut Sariono (2016) perbedaan fonologi berarti perbedaan dalam sistem fonologi antara satu dialek dengan dialek lain. Sesuai dengan aspek-aspek yang terdapat dalam fonologi, perbedaan fonologi mencakupi perbedaan dalam

(43)

27

seluruh aspek fonologi yang konkretnya berupa perbedaan struktur fonemik dan struktur kata. Perbedaan atau variasi ini umumnya tidak disadari oleh penutur dialek (Giraund dalam Ayatrohaedi 1983: 3).

Perbedaan fonologi perlu dibedakan dengan perbedaan leksikon, mengingat dalam penentuan isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek dengan menggunakan dialektometri pada tataran leksikon, perbedaan-perbedaan fonologi (termasuk morfologi) yang muncul dianggap tidak ada (Ayatrohaedi 1985:246).

Mahsun (1995:24) merumuskan leksem-leksem yang merupakan realisasi dari satu makna, yang terdapat di antara daerah-daerah pengamatan itu ditentukan sebagai perbedaan fonologi apabila:

(1) perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu muncul secara teratur atau merupakan korespondensi; dan (2) perbedaan di antara leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu

berupa variasi dan perbedaan itu hanya terjadi pada satu atau dua bunyi yang sama urutanya.

2.2.4.1 Jenis-Jenis Perubahan Bunyi

Pada dasarnya, perubahan bunyi yang terjadi di antara dialek-dialek atau subdialek-subdialek, dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat pada prabahasa atau protobahasa yang menyebabkan terjadinya perbedaan dialektikal, ataupun perbedaan bahasa ada yang teratur dan ada yang tidak teratur (sporadis).

(44)

28

Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut dengan korespondensi, sedangkan perubahan bunyi yang muncul secara sporadis disebut variasi (Mahsun 1995:28).

2.2.5.1.1 Korespondensi Bunyi

Dari sudut pandang dialektologi, kekorespondensian merupakan suatu kaidah perubahan bunyi (vokal maupun konsonan) yang berkaitan dengan dua aspek, yaitu aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, bahwa perubahan bunyi yang berupa korespondensi itu terjadi dengan persyaratan lingkungan linguistik tertentu. Oleh sebab itu, data yang berupa kaidah tentang korespondensi tidak terbatas jumlahnya (Mahsun 1995:29). Dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi itu disebut korespondensi, apabila daerah persebaran bunyi itu terjadi pada daerah pengamatan yang sama (Mahsun 1995:29-30). Sehubungan dengan itu, maka korespondensi suatu kaidah dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yakni korespondensi sangat sempurna, korespondensi sempurna, dan korespondensi kurang sempurna yang akan diuraikan sebagai berikut.

a. Korespondensi sangat sempurna

Korespondensi sangat sempurna terjadi apabila perubahan bunyi itu berlaku untuk semua contoh yang disyrati secara linguistis dan daerah sebarannya sama.

b. Korespondensi sempurna

Korespondensi sempurna jika perubahan itu berlaku pada semua contoh yang disyarati secara linguistis, namun beberapa contoh memperlihatkan daerah sebaran geografisnya tidak sama.

(45)

29

c. Korespondensi kurang sempurna

Korespondensi kurang sempurna jika perubahan itu terjadi pada semua bentuk yang diisyarati secara linguistis, namun sekurang-kurangnya terdapat pada dua contoh yang memiliki sebaran geografis yang sama.

2.2.5.1.2 Variasi Bunyi

Seperti halnya perubahan bunyi berupa korespondensi, perubahan bunyi yang berupa variasi ini dapat pula ditinjau dari segi lingustik dan geografi. Dari segi linguistik, maksudnya perubahan itu muncul bukan karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu (Byon 1979:29-30 dan Saussure 1998:25 dalam Mahsun 1955:34) dan karena itu data yang menyangkut perubahan bunyi yang berupa variasi terbatas pada satu atau dua buah contoh saja.

Sasangka (2011:69) dalam bukunya yang berjudul Bunyi-Bunyi Distingtif

Bahasa Jawa, mengategorikan variasi bunyi menjadi tiga, yakni pergeseran bunyi,

penambahan bunyi, dan pengurangan bunyi sebagai berikut.

a. Pergeseran Bunyi

Pergeseran ada yang disebabkan oleh perpindahan tempat dan ada pula yang disebabkan oleh berderetnya dua fonem yang sama. Pergeseran bunyi ini dibedakan menjadi metatesis dan disimilasi sebagai berikut.

(1) Metatesis

Metatesis merupakan perubahan bunyi yang berkaitan dengan pertukaran letak diantara dua bunyi. Fernandez (1990) menerangkan bahwa metatesis dapat

(46)

30

terjadi karena salah ucap. Dalam metatesis yang berubah adalah urutan fonem tertentu seperti pada contoh berikut.

wira-wiri [wira-wiri] Æriwa-riwi [riwa-riwi] ‘kesana-kemari’

sruput [sruput] Æsrutup [srutup] ‘hisap’

(2) Disimilasi

Disimilasi merupakan proses perubahan sebuah bunyi dari dua fonem yang sama menjadi fonem yang berbeda dan biasanya terjadi karena dua segmen bunyi yang sama terlalu berdekatan.

Lara-lara[lϽrϽ-lϽrϽ]Ælara-lapa[lϽrϽ-lϽpϽ] ‘menderita’

sajjana [sajjana] Æsarjana [sarjana] ‘cendekia’

b. Penambahan Bunyi

Penambahan bunyi dalam suatu kata dibedakan menjadi tiga, yaitu

protesis, epentesis, dan parorog.

(1) Protesis

Protesis menurut Fernandez (1990), mengacu pada satu tipe perubahan bunyi khusus yaitu ditambahkannya satu atau dua bunyi pada awal kata. Sementara, Keraf (1997) menyebut protesis sebagai proses perubahan kata berupa penambahan sebuah fonem pada awal kata. Sasangka (2011) melengkapi kedua pendapat tersebut bahwa proses penambahan bunyi pada awal kata tanpa mengubah arti dari kata tersebut, serta biasanya terjadi karena kesulitan dalam pengucapan beberapa bunyi.

(47)

31

(2) Epentesis

Epentesis yaitu proses penambahan bunyi pada tengah kata. Pada mulanya epentesis ini hanya digunakan untuk penambahan vokal pada tengah kata, tetapi dalam perkembangannya juga meliputi penambahan konsonan pada tengah kata.

Contoh: konsep ‘bersiul’ sisot [susϽt] menjadi singsot [siŋsϽt].

(3) Paragog

Paragog yaitu proses penambahan bunyi pada posisi akhir kata, akan tetapi tidak sampai mengubah arti dari kata tersebut.

Contoh: konsep ‘tidak’ ora[ora] menjadi orak[ora?].

c. Pengurangan Bunyi

Pengurangan atau pelesapan adalah proses penghilangan satu bagian dari sebuah konstruksi (Kridalaksana 2009:176). Pengurangan bunyi di dalam suatu kata dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu eferesis, sinkop, dan apokop. Meskipun terjadi pengurangan bunyi dalam suatu kata, namun kata tersebut tidak mengalami perubahan makna.

(1) Aferesis

Aferesis merupakan proses pengurangan satu fonem atau lebih pada awal kata tanpa mengurangi arti kata tersebut. Kecenderungan perubahan ini dialami oleh konsonan. Crowley (1992) menjelaskan batasan aferensis sebagai proses hilangnya konsonan pada awal kata.

(48)

32

(2) Sinkop

Sinkop adalah hilangnya bunyi atau huruf dari tengah-tengah kata (Kridalaksana 2009:222). Senada dengan pendapat tersebut, Gorys Keraf

(1997:91), mengungkapkan bahwa ‘sinkop’ adalah perubahan bunyi yang

berwujud penghilangan fonem tengah kata; peristiwa memendekkan kata dengan jalan menghilangkan sebuah huruf atau lebih dalam sebuah kata, sedang artinya tidak berubah. Sinkope mengacu pada pelesapan bunyi-bunyi vokal pada posisi tengah kata.

Contoh: konsep ‘penghulu’ penghulu[pəŋhulu] menjadi pengulu [pəŋulu].

(3) Apokop

Apokop menurut Kridalaksana (2009:18) adalah pemenggalan satu bunyi atau lebih dari ujung kata. Sementara Fernandez (1990) menyebut ujung kata

dengan istilah akhir kata. Menurutnya, apokop adalah pelesapan bunyi-bunyi vokal pada akhir kata. Sasangka (2011) menambahkan proses pengurangan satu fonem atau lebih pada akhir kata ini tidak sampai mengubah arti dari kata tersebut.

Contoh: konsep ‘upacara tujuh bulan’ mitoni [mitϽni] menjadi miton [mitϽn].

Guna melengkapi perubahan bunyi menurut Sasangka (2011), berikut ini perubahan bunyi menurut Crowley (1992: 25-47).

d. Substitusi

Selain perubahan bunyi di atas, juga terdapat perubahan bunyi yang disebut dengan substitusi. Menurut Kridalaksana (2009:229), substitusi

(49)

33

merupakan proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu.

Contoh: konsep ‘kubis’ [kobes] menjadi [lobes].

e. Fortisi

Fortisi merupakan perubahan sebuah fonem atau lebih menjadi fonem berbeda yang posisinya lebih kuat (Crowley 1992). Hal senada diungkapkan oleh Keraf (1984), bahwa penguatan bunyi adalah perubahan dari bunyi yang lemah menjadi bunyi yang kuat.

Contoh: konsep ‘laki-laki remaja’ lawok’ menjadi tawok.

f. Lenisi

Lenisi adalah perubahan sebuah fonem atau lebih menjadi fonem yang berbeda yang posisinya lebih lemah (Crowley 1992). Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa bunyi-bunyi yang bersuara dipandang sebagai bunyi yang lebih kuat dari pada bunyi tak bersuara. Konsonan lebih kuat daripada semi vokal. Bunyi oral lebih kuat daripada bunyi glotal; vokal depan dan belakang lebih kuat daripada vokal pusat.

Contoh: konsep ‘bapak’ [bapak]menjadi [bapa?].

2.2.5 Perbedaan Leksikal

Leksikal adalah sesuatu yang bersangkutan dengan leksem, bersangkutan dengan kata, serta bersangkutan dengan leksikon dan bukan dengan gramatika (Kridalaksana 2009:141).

(50)

34

Istilah leksikon berasal dari kata Yunani kuno lexicon yang berarti kata, ucapan, atau cara bicara (Chaer 2007:5). Selanjutnya, istilah leksikon lazim digunakan untuk mewadahi konsep kumpulan leksem dari suatu bahasa, baik kumpulan secara keseluruhan maupun sebagian. Dalam peristilahan sekarang barangkali istilah leksikon bisa disepadankan dengan istilah kosakata yang sudah amat lazim digunkaan dalam pembelajaran bahasa.

Menurut Ayatrohaedi (1983:3) variasi leksikon terjadi karena adanya pergeseran bentuk, perubahan bentuk atau geseran makna. Pergeseran makna yang dimaksud bertalian dengan dua corak, yaitu (1) pemberian nama yang berbeda untuk linambang yang sama di beberapa tempat yang berbeda, seperti pada leksikon mangan [maŋan] dan madhang [madaŋ]. (2) pemberian nama yang

sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda, misalnya kata

pang[paŋ] untuk ‘dahan’dan ’anak daun’.

Variasi leksikon juga terjadi karena adanya perbedaan onomasiologis dan semasiologis. Perbedaan onomasiologis menunjukkan makna yang berbeda (Giraund dalam Ayatrohaedi 1983:4). Misalnya terdapat dua kata yang digunakan

untuk merealisasikan makna ‘tempat makan dari bambu’ yaitu ceting [cətiŋ] dan

capon [cəpϽn]. Perbedaan semasiologis merupakan kebalikan dari perbedaan

onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda (Giraund dalam Ayatrohaedi 1983:4). Misalnya, kata atis [atis]

mengandung dua makna yaitu ‘dingin air’ dan ‘dingin udara’, kata esuk [esU?]

(51)

35

2.2.6 Medan Makna

Penelitian mengenai dialek diperlukan adanya instrumen dalam pengambilan data, terutama data yang berupa kosakata. Dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang digunakan berupa daftar tanyaan yang didasarkan pada kosakata dasar Swadesh.

Kosakata dasar Swadesh tersebut akan diklasifikasikan berdasarkan medan makna, yaitu unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu (Fernandez dalam Kiswanto, 2013). Medan makna kosakata Swadesh diklasifikasikan menjadi (i) bagian tubuh, (ii) kata ganti, sapaan, dan acuan, (iii) sistem kekerabatan, (iv) kehidupan desa dan masyarakat, (v) rumah dan bagian-bagiannya, (vi) peralatan dan perlengkapan, (vii) tanaman, pepohonan, dan hasil olahannya, (viii) binatang, (ix) musim, keadaan alam, benda alam, dan arah, (x) penyakit dan pengobatan, (xi) perangai, kata sifat, dan warna, (xi) pakaian dan perhiasan, (xii) gerak dan kerja, (xiii) kata tugas.

(52)

94

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil paparan temuan dan analisis, maka dapat disimpulkan sebagai berikut.

(1) Variasi fonologis pada pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan variabel sosial pekerjaan dan pendidikan berupa korespondensi vokal, korespondensi konsonan, variasi vokal, variasi konsonan, penambahan bunyi, dan pengurangan bunyi. Korespondensi vokal meliputi [a] ≈ [e], [a] ≈ [Ͻ], [i] ≈ [e], dan [u] ≈ [o]. Korespondensi konsonan meliputi [k] ≈ [?], dan [y] ≈ [z]. Korespondensi ini merupakan perubahan bunyi yang bersifat teratur, sementara variasi bunyi merupakan perubahan bunyi yang bersifat tidak teratur. Variasi vokal meliputi [a] ~ [ə] dan [a] ~ [ε]. Variasi konsonan meliputi [k] ~ [l] dan[l] ~

[t]. Selain itu, ditemukan penambahan bunyi protesis, epentesis, dan paragog, dan pengurangan bunyi berupa aferesis, dan sinkop.

(2) Variasi leksikal pada pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng berdasarkan variabel pekerjaan dan pendidikan, berupa gejala onomasiologis dan semasiologis. Gejala onomasiologis, muncul pada setiap variasi leksikal, seperti

pada konsep ‘dapur’ yang memiliki dua berian yakni pawon dan dapur. Sementara itu, ditemukan dua gejala semasiologis yang ditemukan, yakni kata

epek-epek yang mewakili konsep ‘pergelangan tangan’ dan konsep ‘telapak

(53)

95

tersebar pada medan makna: (i) bagian tubuh, (ii) kata ganti, sapaan, dan acuan, (iii) sistem kekerabatan, (iv) kehidupan desa dan masyarakat, (v) rumah dan bagian-bagiannya, (vi) peralatan dan perlengkapan, (vii) tanaman, pepohonan, dan hasil olahannya, (viii) binatang, (ix) musim, keadaan alam, benda alam, dan arah, (x) penyakit dan pengobatan, (xi) perangai, kata sifat, dan warna, (xi) pakaian dan perhiasan, (xii) gerak dan kerja, (xiii) kata tugas.

(3) Kekhasan fonologis dan leksikal pada pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng. Kekhasan fonologis BJD berupa kekhasan fonem vokal /e/, fonem vokal /o/, dan fonem konsonan /z/. Kekhasan leksikal BJD terdapat pada medan makna kata ganti, sapaan, dan acuan; sistem kekerabatan; hewan; musim, keadaan alam, benda alam, dan arah; pakaian dan perhiasan; dan kata tugas.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyampaikan beberapa saran sebagai berikut.

(1) Penelitian yang dilakukan peneliti sejauh ini baru sampai tataran fonologis dan leksikal. Sehingga, memungkinkan kepada pihak lain seperti mahasiswa atau peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemakaian bahasa Jawa di wilayah Dataran Tinggi Dieng. Penelitian yang bisa dilakukan misalnya, meneliti pemakaian BJ Dieng pada tataran morfologi dan sintaksis.

(2) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara, maupun Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Wonosobo, berkenan untuk

(54)

96

memanfaatkan hasil temuan kekhasan pemakaian bahasa Jawa dialek Dieng sebagai daya tarik wisata sekaligus sebagai upaya pelestarian dialek Dieng. Pemanfaatan ini berupa pemakaian bahasa Jawa di Dataran Tinggi Dieng pada setiap pementasan budaya maupun upacara kebudayaan yang diselenggarakan pada acara Dieng Culture Festival.

(55)

97

DAFTAR PUSTAKA

Arifudin. 2015. “Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen (Kajian Sosiodialektologi)”. Skripsi. Semarang:Unnes.

Astuti, Bekti Setio. 2014. “Variasi Leksikon Bahasa Jawa Masyrakat Samin Desa Klopodhuwur Kabupaten Blora”. Jurnal Untag Semarang Culture

Vol.1 No.1 Mei 2014 hal. 28-53.

Astuti, Eka Yuli. 2010. “Variasi Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa Jawa di

Wilayah Eks Karisidenan Kedu (Kajian Sosiodialektologi)”. Skripsi. Semarang: Unnes.

Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Depdikbud. Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2007. Liguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chambers, J.K. dan Petter, Trudgill. 1980. Dialectology. Great Britain: Cambridge University Press.

Crowley, Terry. 1992. An Introduction to Historical Linguistic: Second Edition.

Great Britain: Oxford University Press.

Grinjs, C.D. 1986. “Beberapa Segi Dialektologi Umum”. Tugu-Bogor. Penataan Dialektologi Juli-Agustus. Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Handayani, Ilmi. 2005. ”Pemetaan Bahasa Jawa Pada Masyarakat Jawa-Sunda di Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes (Kajian

Sosiodialektologi)”. Skripsi. Semarang:Unnes.

Hartono. 2000. “Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Karanganyar: Kajian Sosiodialektologi”. Tesis. Yogyakarta: UGM.

Katrini, Yulia Esti. 2010. ”Teori Gelombang dalam Bahasa Jawa Dialek

Banyumas”. Jurnal UTM , Vol.20 No.9 2010 hal. 16-23.

Kerswill, Paul dan Ann Wiliams. 1999. “Mobility Versus Social Class in Dialect Levelling: Evidence from New and Old Towns In England”. Journal

Cuadernos de Filologia Inglesa, Vol.8 hal. 37-57.

Kridalaksana, Harimurti. 2009. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(56)

98

Kroch, Anthony. 1978. “Toward a Theory of Social Dialect Variation”. Journal

Language In Society Cambridge University, Vol.7 No.1, April 1978

hal. 17-36.

Kurniati, Endang dan Hari Bhakti Mardikantoro. 2010. ”Pola Variasi Bahasa Jawa (Kajian Sosisodialektologi Pada Masyarakat Tutur Jawa Tengah)”.

Jurnal Humaniora, Vol.22 No.3 Oktober 2010 hal. 273-284.

Labov, Wiliam. 2006. The Social Stratification of English in New York City.

Cambridge: Cambridge University Press.

Maesthrie, Rajend, Joan Swann, Ana Deumert, dan William L. Leap. 2009.

Introducing Sociolingustics. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan

Tekniknya. Jakarta: Rajawali Press.

Mertadiwangsa, Adisarwono. 2013. Banjarnegara: Sejarah dan Babadnya: Obyek

Wisata dan Seni Budayanya. Banjarnegara: Pemda Banjarnegara.

Mulyani, Siti. 2008. Fonologi Bahasa Jawa. Yogyakarta: Kanwa Publisher. Nadra, dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta:

Elmatera Publishing.

Nurhayati. 2010. ”Jejak Bahasa Melayu (Indonesia) dalam Bahasa Muna”.

Makalah yang disajikan pada Kongres International Bahasa-bahasa

Sulawesi Tenggara, 19-20 Juli 2010.

Pujiyatno, Ambar. 2007. “Variasi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Kebumen: Kajian Sosiodialektologi”. Tesis. Yogyakarta: UGM.

Purnel, Thomas, William Idsardi, dan John Baugh. 1999. “Perceptual and Phonetic Experiments on American English Dialect Identification”.

Journal of Language and Social. Psychology, Vol. 18 No.1, Maret

1999 hal. 10-30.

Ramendra. 2013. “Variasi pemakaian Bahasa Pada Masyarakat Tutur Kota

Singaraja”. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas

Pendidikan Ganesha, Vol.2 No.2 Oktober 2013 hal.275-287.

Riyono. 2007. “Pemakaian Bahasa Jawa di Kabupaten Pati Suatu Kajian Sosiodialektologi”. Tesis. Yogyakarta: UGM.

(57)

99

Sariono, Agus. 2016. Pengantar Dialektologi: Panduan Penelitian dengan

Metode Dialektometri. Yogyakarta: CAPS.

Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2011. Bunyi-Bunyi Distingtif Bahasa Jawa.

Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Sudarmanto.2008. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Semarang: Widya Karya. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata

Dharma University Press.

Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda Pustaka Pelajar.

Tiani, Riris. 2010. ”Korespondensi Fonemis Bahasa Bali dan Bahasa Sumbawa”.

Jurnal Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Vol.34 No.2, Juli 2010

hal.118-127.

Trudgill, Petter. 1983. Lingusitik Change and Diffusion: description and

explanation in Sociolinguistic Dialect Geography. Britain: University

of Reading.

Wardani, Ari. 2013. “Penggunaan Bahasa Jawa di Desa Kemiri Lor Kecamatan

Kemiri Kabupaten Purworejo, Kajian Fonologi dan Leksikal”. Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Universitas

Muhamadiyah Purworejo. Vol 03/No.02/ November 2013 hal.

273-290 .

Wedhawati, Wiwin Erni Siti Nurlina, Edi Setyanto, dan Restu Sukesti. 2006. Tata

Bahasa Jawa Mutakhir: Edisi Revisi. Yogyakata: Penerbit Kanisius.

Wiladati, Ribka Andresti.2014. “Bahasa Jawa di Kabupaten Batang (Tataran Fonologi dan Leksikon)”. Skripsi. Semarang: Unnes.

Zulaeha, Ida. 2010. Dialektologi: Dialek Geografi dan Dialek Sosial. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Ada hubungan yang sangat signifikan antara sumbangan pemberian makanan tambahan pemulihan terhadap perubahan status gizi (indeks BB/U) balita gizi buruk (p= 0,002)..

Dengan menggunakan analisis SWOT ini, diharapkan peneliti dapat mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan hambatan yang dimiliki rumah sakit sehingga dapat merumuskan

Pada prinsipnya pengetahuan yang harus diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban/peran sebagai warga negara dan pengetahuan yang mendasar

Sehubungan dengan dilaksanakannya proses evaluasi dokumen penawaran dan dokumen kualifikasi, Kami selaku Panitia Pengadaan Barang dan Jasa APBD-P T. A 2012 Dinas Bina Marga

Pada umumnya Aset Tetap yang digunakan dalam kegiatan normal perusahaan mempunyai umur atau masa manfaat yang terbatas, sehingga pada suatu waktu Aset tersebut tidak dapat

Adapun narasumber dalam penelitian ini yaitu Anon¸ Harry Fandinus, dan Ligorius Niang (Tokoh Masyarakat). Sumber data yang diambil adalah saat peneliti sedang melakukan

Studi menunjukkan tidak ada hubungan faktor kondisi vena, lokasi vena, ukuran kanul, jenis obat, volume obat, lama paparan obat dan pemahaman pasien yang

Lempung adalah bahan berbutir halus (&lt;0,002mm), terdapat secara alami dan bersifat tanah, tersusun oleh mineral-mineral lempung (senyawa alumina silikat hidrat) dan