BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup pada hakikatnya merupakan anugerah dari Tuhan Yang
Maha Esa yang mencakup keseluruhan makhluk ciptaan-Nya, baik yang bernyawa
dan tidak bernyawa, besar dan kecil, bergerak dan tidak bergerak, sehingga dapat
dikatakan bahwa lingkungan merupakan sumber daya bagi kehidupan manusia.
Sumber daya tersebut memiliki sifat dan karakter yang teramat kompleks dan
memenuhi segala unsur yang ada di alam ini.1
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945) pada Pasal 33 ayat (3)2 telah menyiratkan bahwa lingkungan beserta seluruh unsur yang terkandung di dalamnya merupakan
aset negara dalam wujud sumber daya yang diperlukan dalam usaha mencapai
kemakmuran rakyat. Adapun pengertian lingkungan hidup sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup3 (selanjutnya disebut
UU No. 32 Tahun 2009) adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain. Upaya perlindungan dan pengelolaan
1
Supriadi, Hukum Lingkungan di Indonesia: Sebuah Pengantar, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 4.
2
Bunyi Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut: “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. 3
lingkungan hidup secara sistematis dan terpadu4 merupakan kewajiban bagi
Negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan agar Lingkungan Hidup Indonesia tetap menjadi
sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia dan makhluk hidup lain.5 Pandangan awal tentang lingkungan hidup sebagaimana yang diatur dalam
UU No. 32 Tahun 2009 menjadi penting, hal ini disebabkan oleh kedudukan UU
No. 32 Tahun 2009 sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari
Undang-Undang lain (sektoral) di bidang pelestarian lingkungan hidup.6 Salah satu
Undang-Undang sektoral tersebut adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
Tentang Perkebunan7 (selanjutnya disebut UU No. 39 Tahun 2014). Keselarasan
pengaturan lingkungan hidup antara kedua Undang-Undang ini juga turut
ditunjukkan dengan penegasan prinsip kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam
penyelenggaraan perkebunan.8 Dianutnya prinsip kelestarian fungsi lingkungan
hidup, menjadikan penyelenggaraan perkebunan harus dilaksanakan
menggunakan sarana, prasarana, tata cara, dan teknologi yang tidak mengganggu
4
Pasal 1 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009, yang berbunyi: Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
5
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sofmedia, 2011), hlm.1.
6
Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan Edisi Revisi, (Jakarta: Sofmedia, 2009), hlm. 21. Menurut Alvi Syahrin, perumusan ketentuan mengenai lingkungan hidup dalam UU No. 32 Tahun 2009 secara umum dan abstrak diharapkan dapat menjangkau perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkunga yang diatur atau yang akan diatur dalam undang-undang sektoral lainnya.
7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5613)
8
fungsi lingkungan hidup, baik secara biologis, mekanis, geologis, maupun
kimiawi.9
Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 1 UU No. 39
Tahun 2014 merupakan segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber
daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan
pemasaran terkait Tanaman Perkebunan. Perkebunan merupakan suatu sub sektor
dari kegiatan pertanian, yang meliputi beberapa jenis tanaman seperti: henep
(goni), kakao, kapas, karet, kelapa, kelapa sawit, kina, kopi, sisal, tarum, teh, dan
tembakau.10 Sifat komoditas perkebunan ini sangat kredibel, sehingga komoditas
ini diperdagangkan secara internasional. Dalam perdagangan faktor yang
mempengaruhi harga komoditas perkebunan pun bukan sekadar permintaan
(demand) dan penawaran (supply) tapi juga spekulator.11 Komoditas perkebunan
merupakan salah satu andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara
Indonesia, contohnya dapat dilihat dari kontribusi subsektor perkebunan pada
tahun 2013, yang mencapai US$ 45,54 milyar atau setara dengan Rp.546,42
trilliun (asumsi 1 US$ = Rp. 12.000,-) yang meliputi ekspor komoditas
perkebunan sebesar US$ 35,64 milyar, cukai hasil tembakau US$ 8,63 millyar dan
bea keluar Cruel Palm Oil (CPO) dan biji kakao sebesar US$ 1,26 milyar.
Kontribusi subsektor perkebunan mengalami peningkatan sebesar 27,78% atau
9
Perhatikan Penjelasan Pasal 2 Huruf j UU No. 39 Tahun 2014. 10
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan,, http://perkebunan.litbang.pertanian. go.id/?p=3507 diakses pada tanggal 5 April 2016.
11
naik sebesar US$ 9,90 milyar jika dibandingkan dengan tahun 2012.12 Besarnya
kontribusi tersebut menjadikan perkebunan sebagai subsektor pertanian yang amat
strategis guna membangun perekonomian nasional.
Pembangunan dan modernisasi pada hakikatnya adalah suatu kegiatan
yang dilakukan dengan sengaja untuk membawa masyarakat kepada perubahan
yang direncanakan atau dikehendaki.13 Dalam konteks perkembangan perekonomian dunia yang tidak menguntungkan Indonesia, adanya usaha
pemerintah untuk mendorong peningkatan penanaman modal swasta melalui
berbagai kebijakan ekonominya menjadi dapat dimengerti.14 Berdasarkan hal tersebut, ternyata peranan dunia usaha swasta dalam pertumbuhannya
memberikan peranan lebih terhadap badan hukum/korporasi.15 Peranan korporasi dalam perkembangan aktivitasnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
melalui pemasukan negara dalam bentuk pajak, devisa, serta penyediaan lapangan
kerja yang luas bagi masyarakat dalam berbagai sektor, termasuk pada subsektor
perkebunan. Badan Pusat Statistika mencatat, sampai pada tahun 2014 saja
tercatat setidaknya 2452 perusahaan perkebunan yang menjalankan usahanya di
Indonesia dalam berbagai jenis tanaman perkebunan.16
12
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, “Peran
Perkebunan dalam Perekonomian Nasional”, http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-372-peran-perkebunan-dalam-perekonomian-nasional.html, diakses pada tanggal 5 April 2016.
13
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1980), hlm. 193. 14
Mardjono Reksodiputro, “Struktur Perekonomian Dewasa Ini dan Permasalahan
Korban”, makalah disampaikan pada Seminar Viktimologi di Universitas Airlangga, (Surabaya 28 Oktober 1988), hlm 5-6.
15
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Prenada Media, 2010), hlm. 13.
16
Sejarah panjang usaha perkebunan Indonesia17 sesungguhnya masih sering
terhambat dengan berbagai masalah seperti: sengketa lahan, permasalahan iptek,
dan permasalahan lingkungan. Permasalahan lingkungan yang menjadi kajian dari
tulisan ini, memusatkan perhatian kepada pembukaan lahan perkebunan dengan
cara membakar, yang memberikan banyak kerugian baik kerugian ekologi,
ekonomi, sosial, maupun budaya yang sulit dihitung besarannnya.
Kebakaran hutan dan lahan telah terjadi sejak tahun 1997-1998. Peristiwa
ini rutin terjadi selama 18 tahun terakhir dan telah melahirkan temuan-temuan
yang mengatakan bahwa monopoli kawasan hutan dan lahan untuk
pengembangan investasi perusahaan sesungguhnya merupakan penyebab utama
kebakaran dan polusi asap di Indonesia. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia. Sampai di tahun 2014, 4 (empat) sektor industri ekstraktif (logging,
perkebunan kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, dan tambang) telah menguasai
sekitar 57 juta hektar hutan dan lahan di Indonesia. Penguasaan ini diikuti dengan
praktik buruk pengelolaan konsesi, salah satunya adalah tindak pembakaran hutan
dan lahan gambut untuk kemudahan pengembangan produksi. 18 Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi di Indonesia memang sangat dipengaruhi oleh motif untuk
17
Nurma Tisa Meladipa, Sumarjono, dan Kayan Swastika, “Kehidupan Sosial-Ekonomi Buruh Perkebunan Kalitengah Tahun 1982-2010”, Jurnal Pancaran, Volume II No. 3, Agustus 2013, hlm. 153. Sejarah usaha perkebunan Indonesia telah dimulai sejak zaman kolonial. Sistem liberal dilaksanakan tahun 1870-1900 dengan keluarnya Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) tahun 1870, yang memungkinkan investor asing menanam modal di Indonesia. Dampak Agrarische Wet tahun 1870 dibukalah perkebunan besar di berbagai daerah di Indonesia.
18
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dalam Siaran Pers berjudul “Jejak Asap
memperoleh keuntungan ekonomi yang diusung oleh korporasi. Argumentasi ini
termanifestasikan dalam beberapa cara:19
1. Membakar merupakan cara yang paling mudah dan murah dalam kegiatan
persiapan lahan.
2. Kegiatan pembalakan kayu meningkatkan kerawanan kebakaran di dalam
hutan.
3. Api merupakan cara yang paling murah dan efektif yang digunakan dalam
konflik sosial; terutama masalah konflik kepemilikan lahan antara berbagai
pihak terkait.
Pada kebakaran hutan dan lahan periode September-Oktober 2015 saja,
BNPB menyatakan total hutan dan lahan yang terbakar mencapai 2.089.911 Ha.20 Selain berdampak pada kerusakan lingkungan hidup, kebakaran huutan dan lahan
ini juga berdampak pada timbulnya kabut asap yang menyebabkan gangguan
kesehatan berupa Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), yang dialami oleh total
582.127 jiwa di 7 provinsi pada kebakaran hutan dan lahan periode Juli-Oktober
2015.21 Dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus kebakaran hutan dan
lahan pada tahun 2015 tersebut, setidaknya terdapat 209 orang dan 12 Perusahaan
19
Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan, http://www.bnpb.go.id/uploads/publication/597/rencana_kontijensi.pdf, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.
20
CNN Indonesia, “BNPB: Kebakaran Hutan 2015 Seluas 32 Wilayah DKI Jakarta”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151030133801-20-88437/bnpb-kebakaran-hutan-2015-seluas-32-wilayah-dki-jakarta/, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.
21
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, “Masalah
yang ditetapkan sebagai tersangka, yang masing-masing bergerak di bidang
Perkebunan maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).22
Keberadaan berbagai korporasi yang bergerak di bidang lingkungan hidup,
khususnya perkebunan merupakan konsekuensi pembangunan ekonomi yang
bertujuan mensejahterakan rakyat dengan motif ekonomi yang senantiassa
diusung dalam pelaksanaan kegiatannya, namun di sisi lain bisa sangat merugikan
bahkan tidak hanya dari segi ekonomi. Addinul Yakin menyatakan bahwa
pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pertumbuhan sering
bertentangan dengan prinsip pelestarian lingkungan sehingga sering dikatakan
bahwa antara pembangunan ekonomi dan lingkungan terkesan kontradiktif.
Padahal, kedua faktor ini seharusnya saling berinteraksi dan bergantung satu sama
lain. Untuk itulah diperlukan pendekatan yang cocok bagi kepentingan
pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berwawasan lingkungan
(sustainable development). 23
Titik keseimbangan dan keserasian yang saling menunjang secara sinergik
antara penegakan hukum lingkungan dan pelaksanaan pembangunan penting
untuk dilaksanakan secara arif dan bijaksana.24 Pesatnya perkembangan dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat yang diakibatkan oleh Globalisasi di bidang
ekonomi dan perdagangan serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
22
BBC Indonesia, “Polisi Tetapkan 12 Perusahaan Tersangka Pembakar Hutan dan
Lahan”,http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151012_indonesia_tersangka_pe mbakaran, diakses pada tanggal 3 Maret 2016.
23
Addinul Yakin, Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan Berkelanjutan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1997), hlm 1.
24
menjadikan hukum seharusnya menjadi kaidah yang mendahului perkembangan
masyarakat tersebut.25
Untuk memperkuat prinsip penyelenggaraan perkebunan yang berbasis
penjagaan kelestarian fungsi lingkungan hidup, maka lahirlah pengaturan
delik-delik baru dan korporasi sebagai subjek di dalam perundang-undangan pidana di
luar Kitab Undang- Undang Hukum Pidana26
. Kedudukan korporasi sebagai subjek hukum pidana juga dapat dilihat dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 2014,
yang dalam pasal 1 ayat (8), (9), dan (15), mengidentifikasi subjek hukum
perkebunan antara lain:27 1. Orang Perseorangan
2. Korporasi Berbadan Hukum
3. Korporasi Tidak Berbadan Hukum
Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam sub sektor
perkebunan memungkinkan korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya
secara pidana, termasuk juga terhadap tindakan membakar lahan perkebunan.
Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan hal yang sangat berperan dalam
kerangka kebijakan sosial. Kebijakan sosial (social policy) mencakup upaya
kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan perlindungan masyarakat (social
25
Alvi Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, (Medan: Sofmedia, 2009), hlm. 9. 26
Selanjutnya disebut KUHP. 27
Bunyi Pasal 1 ayat (8), (9), dan (15) adalah sebagai berikut:
(8) Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan/atau perusahaan Perkebunan yang mengelola Usaha Perkebunan;
(9) Pekebun adalah orang perseorangan warga negara Indonesia yang melakukan Usaha Perkebunan dengan skala usaha tidak mencapai skala tertentu;
defence policy).28 Untuk membantu kebijakan tersebut, criminal policy yang menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) harus memenuhi unsur:
kebijakan legislatif (tahap formulasi), kebijakan yudikatif (tahap aplikasi), dan
kebijakan eksekutif (tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana).29 Kebijakan hukum pidana (penal policy) pada tataran formulasi berperan besar
dalam rangka pengelolaan lahan perkebunan secara profesional dan terencana.
Lingkup pengaturan penyelenggaraan perkebunan dalam perkebunan menurut UU
No. 39 Tahun 2014 telah menempatkan penegakan hukum dalam tatanan
pembinaan dan pengawasan, menjadikan pengaturan mengenai perkebunan dalam
Undang-undang ini seharusnya menjadi sistem yang bersifat komprehensif untuk
menegakkan hukum terhadap tindak pidana pembakaran lahan perkebunan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji sekaligus
menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul:
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI PELAKU
PEMBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN
28
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007), hlm.78-79.
29 Teguh Soedarsono, “
Penegakan Hukum dan Putusan Peradilan Kasus-kasus Illegal
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka terdapat
permasalahan hukum30 yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini. Adapun perumusan masalah31 tersebut antara lain:
1. Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana?
2. Bagaimanakah model pertanggungjawaban pidana korporasi pembakar lahan
perkebunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang
Perkebunan?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menulis tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasi yang berlaku
bagi korporasi yang menjalankan usahanya di Indonesia.
2. Untuk mengetahui aspek hukum pidana tindakan pembakaran lahan
perkebunan serta bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi pembakar
lahan perkebunan berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014.
Adapun manfaat yang hendak dicapai penulis melalui penulisan skripsi ini
dapat dibedakan secara teoritis dan praktis. Menurut Alvi Syahrin, penelitian ilmu
30
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2010), hlm. 57. Masalah hukum mempunyai posisi yang sentral dalam penelitian hukum sebagaimana kedudukan masalah dalam penelitian lain.
31
hukum mempunyai dua aspek yaitu praktikal dan teoritis. Fungsi praktikal
memberdayakan sistem hukum dalam menyelesaikan problem hukum yang
penelitiannya menjadi dasar bagi profesi hukum untuk meligitimasi kasusnya
dengan kegiatan argumentasi dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum.
Sedangkan fungsi teoritikal bertujuan menghasilkan doktrin yang memberikan
preskripsi tentang bagaimana interpretasi seharusnya dilakukan terhadap suatu
kaidah dalam sistem hukum yang penelitiannya akan lebih banyak mengacu
kepada doktrin-doktrin hukum yang dikembangkan oleh yuris terkemuka dalam
rangka menghasilkan konsep/teori baru atau mempertajam konsep/teori lama
dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum yang kebayakan berupa buku-buku
hukum seperti treatise, rechtsboek bukan wetboek, tulisan pada jurnal hukum,
hasil penelitian hukum dari para yuris.32 Adapun manfaat yang hendak dicapai melalui penulisan ini antara lain:
1. Secara Teoritis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
penjelasan bagi Mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya
mengenai asas pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak
pidana, terkhusus mengenai tindak pidana pembakaran lahan perkebunan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014. Demi terwujudnya
prinsip kelestarian fungsi lingkungan hidup di Indonesia.
2. Secara Praktis
32
a. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pidana pada
umumnya, maupun terhadap pengaturan hukum pidana di bidang Perkebunan
pada khususnya;
b. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi pembuat
undang-undang dalam mengambil kebijakan hukum di bidang perkebunan sebagai
perwujudan tugas yang termaktub dalam UUD 1945, sebagai pedoman bagi
kalangan pengusaha dalam pengelolaan sumber daya alam di bidang
perkebunan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan;
c. Sebagai sumbangan pemikiran kepada pihak aparat penegak hukum, dalam
menanggulangi hal-hal yang menjadi penghalang penerapan
pertanggungjawaban pidana korporasi pelaku pembakaran lahan
perkebunan. Untuk lahirnya keadilan hukum antara pelaku dan korban tindak
pidana pembakaran lahan perkebunan yang bersifat masif. Juga sebagai
pencegahan terjadinya kembali tindak pidana pembakaran lahan perkebunan,
demi terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
D.Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku
Pembakaran Lahan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2014 Tentang Perkebunan”, ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa
lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan telah di uji bersih
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran
penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum
yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh
karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana, Unsur Tindak Pidana, dan Pertanggungjawaban Pidana
a. Tindak Pidana
Segala peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan
(misdrijven), dan sebagainya diatur oleh Hukum Pidana (strafrecht) dan dimuat
dalam KUHP (Wetboek van Strafrecht).33 Kendatipun mengatur berbagai jenis tindak pidana, namun terlihat dalam hal ini terlihat bahwa pembentuk
undang-undang tidak secara langsung memberikan definisi dengan penjelasan yang terang
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang apakah yang dimaksud
dengan tindak pidana (strafbaar feit) tersebut. Hal inilah yang menimbulkan
munculnya berbagai pendapat berupa doktrin tentang apakah yang dimaksud
dengan strafbaar feit tersebut.34
Van Bemmelen berpendapat bahwa perkataan “feit” dalam strafbaar feit
itu sendiri dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau
“een gedeelte van de werkelijkheid”, sedangkan strafbaar berarti “dapat
33
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok – Pokok Hukum Pidana : Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), hlm. 3.
34
dihukum”, sehingga secara harafiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan
sebagai “suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang tentunya tidak tepat, oleh
karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya
adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun
tindakan.35
Sedangkan menurut Simons, strafbaar feit (terjemahan secara harfiah:
peristiwa pidana) adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan
kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab. Kesalahan yang
dimaksud oleh Simons ialah kesalahan dalam arti luas yang meliputi dolus
(sengaja) dan culpa (alpa atau lalai) .36 Dari rumusan tersebut Simons menyatukan
unsur-unsur perbuatan pidana (meliputi perbuatan dan sifat melawan hukum) dan
pertanggungjawaban pidana (meliputi kesengajaan, kealpaan, kelalaian dan
kemampuan bertanggung jawab).
Hazewinkel-Suringa menyatakan bahwa Strafbaar feit dirumuskan secara umum sebagai “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak
di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang
harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”.37 Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Roeslan Saleh, bahwa pengertian tindak pidana
35
Ibid. 36
Abidin Farid, HukumPidana I, Cetakan Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 224.
37
P.A.F Lamintang, op.cit, hlm. 182. Hazewinkel-Suringa mencetuskan pendapat ini untuk menggantikan pendapat penulis lama seperti Profesor Van Hamel yang merumuskan suatu
yaitu, suatu perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang.38
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana39 adalah perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Antara
larangan dan ancaman pidana terdapat hubungan yang erat, maka antara kejadian
dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan yang erat pula, yang satu
tidak dapat dipisahkan dari yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang
menimbulkan bukan orang dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak
karena kejadian yang kejadian yang ditimbulkan olehnya. Untuk menyatakan
hubungan yang erat itu, maka digunakan kata perbuatan, yaitu suatu pengertian
abstrak yang menunjukkan dua keadaan konkrit: pertama, adanya kejadian
tertentu dan kedua, adanya orang yang berbuat yang menimbulkan kejadian itu.40 Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi “tindak pidana” atau dalam
bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam
strafwetboek atau KUHP, yang sekarang ini berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
38
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1981), hlm. 13.
39
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Keempat, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 55. Adapun menurut Moeljatno, istilah peristiwa pidana (sebagai terjemahan harafiah dari strafbaar feit) kurang tepat untuk digunakan sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian yang tertentu saja, misalnya matinya orang. Peristiwa ini saja tidak mungkin dilarang, Hukum Pidana tidak melarang adanya orang mati tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Jika matinya orang disebabkan oleh sakit, karena binatang, tertimpa pohon, maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi Hukum Pidana. Baru apabila matinya ada hubungannya dengan kelakuan orang lain disitulah peristiwa itu menjadi penting bagi hukum pidana
40
pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.41
H.A. Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah juga lebih cenderung
memakai istilah delik yang menurutnya netral dan praktis dan tidak ada kritikan.
Demikian juga dengan Sutan Remy Sjahdeini, lebih cenderung memakai istilah
delik atau tindak pidana karena merupakan istilah resmi yang dipergunakan dalam
perundang-undangan.42
Tindak pidana di bidang perkebunan, yang merupakan salah satu lingkup
tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu bentuk tindak pidana yang timbul
seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Perkembangan di
dalam masyarakat dipastikan memberikan pengaruh terhadap perubahan dan
perkembangan kualitas tindak pidana. Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam
Kongres ke-6 tentang Prevention of Crime and The Treatment of Offenders di
Caracas tahun 1980 berpendapat bahwa antara pembangunan dan kejahatan
terdapat hubungan yang saling berpengaruh yang melahirkan kriminalisasi
sekaligus dekriminalisasi, oleh karena itu pasal-pasal undang-undang hukum
pidana harus diperluas, mencakup tindakan-tindakan disengaja yang merusak
kekayaan alam dan kesejahteraan nasional, misalnya pelanggaran-pelanggaran
terhadap lingkungan hidup.43
41
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), hlm. 58.
42
Hasbullah F. Sjawei, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 250.
43
Kriminalisasi yang dimaksud adalah suatu proses yang menjadikan suatu
perbuatan yang tadinya bukan merupakan tindak pidana karena belum diatur di
dalam undang-undang hukum pidana, kemudian karena perbuatan tersebut dapat
mengakibatkan kerugian bagi masyarakat bahkan dapat membahayakan
kehidupan manusia, maka dirumuskan di dalam undang-undang Hukum Pidana
dan diancam dengan pidana, sehingga perbuatan dimaksud dinyatakan sebagai
tindak pidana.
Tindak pidana di bidang perkebunan termasuk tindak pidana lingkungan
hidup atau sering disebut dengan istilah delik lingkungan atau kejahatan
lingkungan (environmental crime), berkaitan erat dengan dan sering merupakan
hasil dari kegiatan di bidang bisnis dan industri, sehingga dimasukkan sebagai salah satu bentuk dari “crimes as business” atau “economic abuses”. Pada
hakikatnya tindak pidana lingkungan hidup berkaitan erat dengan “keseluruhan syarat hidup yang bersifat asasi bagi manusia” (the totality of mankind‟s basic
natural living conditions), yang berarti berkaitan erat dengan keseluruhan kondisi
struktur sosial (socio-structural conditions), maka wajar dikatakan bahwa tindak
pidana lingkungan hidup merupakan suatu bentuk kejahatan struktural (structural
criminality).44
Tindak pidana dapat dibeda – bedakan atas dasar – dasar tertentu, yaitu:45
1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan Pelanggaran dimuat dalam buku III
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiel delicten)
44
Ibid., hlm. 30 45
3. Berdasarkan bentuknya kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten)
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negative, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus.
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
7. Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu)
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten)
9. Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten)
10.Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang diindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusialaan dan lain sebagainya.
11.Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).
Bila dikaji berdasarkan uraian tersebut, konsep tindak pidana yang
dikemukakan beberapa ahli hukum pidana di atas mengarah kepada dua hal: yaitu
yang memisahkan antar tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana dan
yang mencampurkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana sejatinya dimaknai sebagai satu hal, sedangkan
pertanggungjawaban pidana merupakan hal lain.46 Adanya suatu tindak pidana,
46
bukan berarti sudah pasti akan ada suatu pertanggungjawaban pidana karena
tindak pidana atau perbuatan pidana hanya menunjukkan kepada dilarang dan
diancamnya suatu perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Pemisahan antara
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana ini menunjukkan bahwa hukum
pidana mengikuti pandangan dualistis yang berdampak pada timbulnya
konsekuensi dibedakannya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar
ditempatkan dalam tindak pidana, dan alasan pemaaf ditempatkan pada
pertanggungjawaban pidana. Seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana
tidak secara otomatis harus dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan. Persoalan
mengenai apakah orang yang melakukan perbuatan atau tindakan kemudian
dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang
tersebut memiliki kesalahan. Sebab terdapat asas yang dikenal dalam hukum
pidana yaitu tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non
facit reum nisi mens sir rea).47
b. Unsur-unsur Tindak Pidana
Untuk memastikan telah terjadi suatu tindak pidana, pada hakikatnya,
haruslah terdapat dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung
kelakuan dan akibat yang ditimbulkan keduanya. Keduanya memunculkan
kejadian dalam alam lahir (dunia).48 Hal inilah yang kemudian disebut sebagai unsur-unsur tindak pidana. Secara umum P.A.F Lamintang membagi unsur tindak
orang itu dan telah dibuktikan dalam proses peradilan, dan itu di luar perbincangan mengenai tindak pidana.
47
Moeljatno, op.cit, hlm. 153 48
pidana menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur
objektif.49
Unsur-unsur subjektif suatu tindak pidana adalah:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging;
3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat di dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan
lain-lain;
4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya delik
pembunuhan berencana yang diatur dalam Pasal 340 KUHP;
5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan
tindak pidana dalam Pasal 308 KUHP.
Sedangkan unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang Pegawai Negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP;
3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Selanjutnya, Mahrus Ali merumuskan unsur-unsur tindak pidana
setidak-tidaknya meliputi tiga hal:50
49
1) Perbuatan itu berwujud suatu kelakuan baik aktif maupun pasif yang berakibat
pada timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2) Kelakuan dan akibat yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik
dalam pengertiannya yang formil maupun materil.
3) Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan
akibat yang dilarang oleh hukum.
Sudarto mengemukakan bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah
tindakan/perbuatan (gedraging), perbuatan orang itu merupakan titik penghubung
dan dasar untuk pemberian pidana.51 Tindak pidana tidak hanya terjadi karena
telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (aktif),
namun adakalanya tindak pidana ini juga terjadi karena tidak berbuatnya
seseorang (pasif).52 Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain
halnya dengan istilah perbuatan jahat dan kejahatan yang bisa diartikan secara
yuridis atau kriminologis.53
Maka dengan demikian jelaslah bahwa unsur tindak pidana tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Kelakuan dan akibat (perbuatan);
2) Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
3) Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
4) Unsur melawan hukum yang objektif;
50
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 55. Mahrus Ali menyebutkan ketiga unsur tindak pidana ini adalah manakala tindak pidana dikonsepkan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melakukannya.
51
Mohammad Ekaputra, Dasar – Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, Medan, 2010), hlm. 75
52 Ibid. 53
5) Unsur melawan hukum yang subjektif.
Keseluruhan unsur inilah yang seharusnya digunakan guna
mengidentifikasi terjadinya suatu tindak pidana pembakaran lahan perkebunan
yang dilakukan oleh korporasi yang menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini.
c. Pertanggungjawaban Pidana
Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban”
merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa
latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea ini
dilandaskan pada konsepsi bahwa suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang
bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat (an act does not make a person guilty,
unless the mind is legally blameworthy).54 Doktrin tersebut memiliki dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan
lahiriah yang terlarang/tindak pidana (actus reus) dan ada sikap batin jahat/tercela
(mens rea).
Pembahasan tentang pertanggungjawaban pidana seyogyanya dibedakan
dengan pembahasan mengenai tindak pidana. Istilah tindak pidana tidak
mencakup pengertian pertanggungjawaban. Sebagaimana uraian Moeljatno, yang
menyebutkan bahwa perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang atau
diancamnya perbuatan dengan suatu pidana, apakah orang yang melakukan
perbuatan kemudian juga dijatuhi pidana, sebagaimana yang telah diancamkan, ini
54
tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai
kesalahan.55
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Roeslan Saleh, yang menyatakan
bahwa seseorang yang terbukti melakukan perbuatan yang dilarang tidak secara
serta-merta orang tersebut akan dijatuhi sanksi pidana atau sanksi tindakan,
karena hal tersebut bergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu
orang tersebut termasuk dalam kategori orang yang memiliki kesalahan atau tidak.
Apabila orang tersebut memiliki kesalahan, maka tentu ia akan dipidana.56 Kedua pendapat ini tentunya bersesuaian dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum
pidana, yakni: Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sist rea
yang berarti tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Terkait dengan pertanggungjawaban pidana, Sudarto mengemukakan
bahwa agar seseorang memiliki aspek pertanggungjawaban pidana dalam arti
dipidananya pembuat, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu:57 1) Adanya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat;
2) Adanya unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan;
3) Adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab;
4) Tidak ada alasan pemaaf.
Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban
orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang
dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya.
55
Ibid., hlm. 165. 56
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75.
57
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang telah
dilakukan oleh seseorang.58
Setelah pertanggungjawaban pidana, kemampuan bertanggungjawab
menjadi problem yang sentral, karena menyangkut keadaan batin orang yang
melakukan tindak pidana. Roeslan Saleh menyatakan bahwa kemampuan
bertanggung jawab adalah mampu menginsyafi sifat melawan hukumnya suatu
perbuatan dan mampu menentukan kehendaknya.59 Sedangkan Mahrus Ali menyatakan terdapat dua faktor untuk adanya kemampuan bertanggung jawab,
yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membedakan antara
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kehendak, yaitu
dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.60 Hal inilah yang menjadi sulit ketika membicarakan korporasi, yakni dalam hal penentuan akal dan kehendak
tiap-tiap perbuatan yang dilakukan korporasi dalam kegiatannya ssehari-hari.
Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami
perkembangan sejak diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana disamping
manusia. Manakala korporasi juga diakui sebagai subjek hukum disamping
manusia, maka konsep pertanggungjawaban pidana harus diciptakan agar
korporasi juga dapat dijatuhi pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana..
dengan adanya berbagai doktrin atau sistem pertanggungjawaban pidana korporasi
58
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 68.Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh
hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran “kesepakatan menolak” suatu perbuatan
tertentu. 59
Roeslan Saleh, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 185.
60
pada hakikatnya merupakan respon terhadap eksistensi korporasi sebagai subjek
hukum pidana dewasa ini.
2. Pengertian Korporasi
Secara harafiah korporasi atau dalam beberapa bahasa dikenal sebagai
corporatie (Belanda), corporation (Inggris), Korporation (Jerman), berasal dari bahasa latin yaitu “corporatio”. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang
berakhir dengan “tio”, “corporatio” sebagai kata benda (substaantivum) berasal
dari kata kerja corprare yang banyak dipakai orang pada zaman pertengahan atau
sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” yang artinya
memberi badan atau membadankan. Dengan demikian “corporatio” itu berasal
dari pekerjaan membadankan. Badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh
dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang terjadi
menurut alam.61
Black‟s Law Dictionary memberikan pengertian korporasi sebagai badan
hukum, yaitu:62
an entity (ussualy business) having authority under law to act a single person distinct from the shareholder who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group or succession of person esthabilished in accordance with legal rules into a legal or justice person that‟s the legal personality distinct from the natural persons who make it up exist indefinetly
apart from them, and has the legal that‟s constitution gives it.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korporasi adalah:63
61
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm 12.
62
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 2. 63
1) Badan usaha yang sah; badan hukum;
2) Perusahaan atau badan usaha yang sangat besar atau beberapa perusahaan
yang dikelola dan dijalankan sebagai suatu perusahaan besar.
Sedangkan menurut kamus hukum, korporasi adalah suatu perkumpulan
atau organisasi, yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (persona),
ialah sebagai pengemban hak dan kewajiban; memiliki hak menggugat atau
digugat dimuka pengadilan.64
Pengertian secara terminologi bahasa tersebut selanjutnya juga diikuti
berbagai pandangan para sarjana, yang juga turut memberikan pengertian yang
berbeda tentang apa yang dimaksud dengan korporasi, antara lain:
1) Utrecht/Moh. Soleh Djindang
Korporasi adalah:65 “suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu
personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi
mempunyai hak dan kewajiban sendiri terpisah dari hak dan kewajiban
anggota masing-masing.”
2) Satjipto Rahardjo
Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa:66 “Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu
struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukan unsur animus yang
membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu
64
N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan Edisi Revisi, Cetakan Kedua, (Jakarta: Pancuran Alam), 2008, hlm. 377.
65
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 64. 66
merupakan ciptaan hukum kecuali penciptaannya, kematiannya juga ditentukan oleh hukum”.
3) Ronald A. Anderson, Ivan Fox dan David P. Twomey
Dalam bukunya Business Law memberikan pengertian bahwa “The
corporation as a legal person”, selanjutnya dikatakan bahwa :67
“a corporation is an artificial legal being, created by government grant and endowed with certain powers. That is the corporation exists in the eyes of the law as a person, separate and distinct from the people who own the corporation... The corporation can use and be used in its own name with respect to corporate rights and liabilities, but the shareholders cannot use or
be used as to those rights and liabilities.”
4) Muladi dan Dwidja Priyatno
Bahwa korporasi berasal dari kata corporate, yaitu suatu badan yang
mempunyai hak dan kewajiban sendiri, yang terpisah dari hak dan kewajiban
tiap-tiap anggota.68
5) Edi Yunara
Bahwa korporasi hendaknya dimaknai dalam arti yang sempit, yakni sebagai
suatu perseroan yang merupakan badan hukum.69
Istilah korporasi merupakan kelaziman yang dapat ditemui di kalangan
ahli hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam hukum lain khususnya
dalam bidang hukum perdata, sebagai badan hukum atau yang dalam bahasa
Belanda disebut rechtspersoon dan dalam bahasa Inggris disebut legal entities
67
Anderson, Ronald A, Ivan Fox, David P. Tworney, Business Law, (Cincinnati Ohio: South-Western Publishing. Co., 1984), hlm. 641-642.
68
Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Hukum Pidana, (Bandung: STIH, 1991), hlm.19-20.
69
atau corporation.70 Korporasi dapat diartikan sebagai suatu gabungan orang yang
dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai subjek hukum tersendiri
atau suatu personifikasi yang menjalankan kegiatannya (umumnya di bidang
perekonomian) dengan mempunyai hak dan kewajiban yang melekat padanya, dan
terpisah dari hak dan kewajiban tiap-tiap anggotanya.
3. Pengertian Pembakaran Lahan Perkebunan
Sebelum mengkaji lebih jauh mengenai pembakaran lahan perkebunan,
penting kiranya untuk memberikan pemahaman awal mengenai apakah yang
dimaksud dengan pembakaran dan lahan itu sendiri.
1) Pembakaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesiapembakaran adalah proses, cara,
perbuatan membakar. Pembakaran semak belukar atau padang rumput yang
kering untuk keperluan pertanaman rumput baru atau untuk memudahkan
pengolahan tanah.71
Dalam konteks pembakaran hutan dan lahan, Purbowaseso menyatakan
bahwa pembakaran merupakan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan
diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia oleh beberapa kegiatan, seperti
kegiatan ladang, perkebunan, hutan tanaman industri, penyiapan lahan untuk
ternak sapi, dan sebagainya. Faktor kebakaran hutan dan lahan karena
kesengajaan ini merupakan faktor utama dan 90% kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi saat ini.
70
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 2. 71
2) Lahan (land)
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO):72 Lahan adalah suatu
wilayah di permukaan bumi yang mempunyai sifat-sifat agak tetap atau
pengulangan sifat-sifat dari biosfer secara vertikal di atas maupun di bawah
wilayahtersebut termasuk atmosfer, tanah geologi, geomorfologi, hidrologi,
vegetasi, dan binatang yang merupakan hasil aktivitas manusia di masa lampau
maupun masa sekarang, dan perluasan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh
terhadap penggunaanlahan oleh manusia disaat sekarang maupun dimasa yang
akan datang.
Menurut Sitanala Arsyad lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang
terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya
sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.73 Pendapat ini sejalan
dengan yang dikemukakan Purwowidodo, bahwa lahan adalah suatu lingkungan
fisik mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan tumbuhan yang sampai
batas-batas tertentuakan mempengaruhi kemampuan penggunaan lahan. 74
Jika merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku, ada
beberapa ketentuan yang memberikan pengertian lahan. Contohnya Peraturan
Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah
Untuk Produksi Biomassa, memberikan pengertian bahwa “Lahan adalah suatu
wilayah daratan yang ciri-cirinya merangkum semua tanda pengenal biosfer,
atmosfer, tanah, geologi, timbulan (relief), hidrologi, populasi tumbuhan, dan
72
Yuniarto, T dan Woro, S. Evaluasi Sumberdaya Lahan-Kesesuaian Lahan, (Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM, 1991), hlm. 1.
73
Sitanala Arsyad, Konservasi Tanah dan Air, (Bogor: IPB Press, 1989), hlm. 207. 74
hewan, serta hasil kegiatan manusia massa lalu dan massa kini, yang bersifat mantap atau mendaur”.75 Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang
berkaitan dengan Hutan dan Lahan: “Lahan adalah suatu hamparan ekosistem
daratan yang peruntukannya untuk usaha dan/atau kegiatan ladang dan/atau kebun
bagi masyarakat”.76
Pengertian lahan perkebunan itu sendiri berdasarkan pasal 1 angka (7) UU No. 39 Tahun 2014 adalah “bidang tanah yang digunakan untuk usaha
perkebunan”. Lebih lengkapnya, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan, lahan perkebunan merupakan lahan usaha pertanian yang luas,
biasanya terletak di daerah tropis atau sub tropis, yang digunakan untuk
menghasilkan komoditas perdagangan (pertanian) dalam skala besar dipasarkan
ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal.77
Bahwa pada perkembangannya istilah “lahan” sering disandingkan dengan istilah “hutan”, menjadikan penting kiranya untuk diluruskan, bahwa pengertian
hutan dan lahan tentunya berbeda. Hutan menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
75
Pasal 1 Angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa.
76
Pasal 1 Angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Hutan dan Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4078), pengertian ini juga sejalan dengan pengertian pada Pasal 1 Angka (2) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
77
Perusakan Hutan78 (selanjutnya disebut UU No. 18 Tahun 2013) dijelaskan
sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang
tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Perbedaannya dengan
lahan perkebunan selain dari segi peruntukan kegiatannya, juga terdapat pada alas
hak penggunaannya, di mana lahan perkebunan pada dasarnya hak atas tanahnya
dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku79,
sedangkan terhadap penggunaan hutan cenderung menggunakan alas hak pakai, di
mana pemanfaatan dan pengelolaan dilakukan terhadap tanah yang dikuasai
langsung oleh negara atau tanah dengan alas hak pengelolaan, dengan cara
pemberian wewenang dari pejabat pemerintah yang berwenang untuk itu, dalam
bentuk izin penggunaan kawasan hutan.
Tulisan ini sendiri pada dasarnya mengambil fokus penelitian mengenai
pembakaran lahan perkebunan, yang merupakan cara membuka dan/atau
mengolah lahan perkebunan yang dilarang untuk dilakukan oleh setiap pelaku
usaha perkebunan.80 Pembakaran lahan perkebunan tersebut merupakan perbuatan
yang dilarang karena dapat mengakibatkan bencana kebakaran, yang telah
menimbulkan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik nasional
78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5432).
79
Perhatikan Penjelasan Pasal 11 UU No. 39 Tahun 2014. 80
maupun lintas batas negara, yang mengakibatkan kerugian ekologi, ekonomi,
sosial dan budaya.81
F. Metode Penelitian
Metode merupakan unsur mutlak yang harus ada di dalam pelaksanaan
kegiatan penelitian agar dapat terarah dan tidak menyimpang sehingga dapat
diperoleh hasil yang baik serta dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan
pemilihan rumusan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka penulis
menggunakan tipe penelitian hukum/normatif (legal research).
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach). Melalui pendekatan ini
dilakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan tema sentral penelitian. Selain itu digunakan pendekatan lain yang
diperlukan. Penggunaan beberapa pendekatan dalam penelitian pada dasarnya
untuk mempertajam analisis ilmiah dalam penelitian ini sebagaimana yang
diungkapkan oleh Cambell dar Glasson sebagaimana yang diktip oleh Valerine82
“There is no single technique that is magically „right‟ for all problem”. Beberapa
pendekatan tersebut antara lain pendekatan konsep (conceptual approach),
pendekatan analitis (analytical approach), dan pendekatan perbandingan
(historical approach).
2. Bahan Hukum
81
Perhatikan konsiderans PP No. 4 Tahun 2001. 82
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum dapat dibedakan
atas sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.83 Selain bahan hukum, dalam penelitian ini juga menggunakan bahan non hukum yang relevan untuk memperkaya dan memperluas wawasan
penulis dalam mengkaji rumusan permasalahan yang tidak bersifat dominan
dibandingkan bahan hukum.
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan. Bahan Primer, yang terdiri dari:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan;
4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian
Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan
dengan Hutan dan Lahan
6) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010
tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.
83
b. Bahan Sekunder yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang bersumber dari media cetak dan
elektronik, yang meliputi buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum,
hasil karya ilmiah para sarjana, yurisprudensi dan hasilhasil simposium yang
berkaitan dengan topik penelitian.
c. Bahan Tersier, yaitu bahan hukum yang bersifat menunjang bahan-bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti rancangan KUHP, kamus
hukum, kamus besar bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian teknik pengumpulan bahan merupakan prosedur yang
dilakukan secara sistematis untuk dapat memecahkan permasalahan. Adapun
prosedur pengumpulan bahan penelitian dilakukan melalui studi kepustakaan
(library research), dilakukan dengan cara mengumpulkan, memahami, mengutip
dan menganalisis bahan pustaka yang didapat dari berbagai literatur atau
buku-buku dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian
ini.
4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum dilakukan dengan cara analisis kualitatif dengan
menguraikan hasil penelitian tentang konsep, azas, doktrin secara deskriptif
sehingga diperoleh gambaran yang jelas atas permasalahan yang diteliti dengan
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan
permasalahan secara tersendiri, yang dalam berbagai konteks saling berkaitan satu
sama lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan
keseluruhan ke dalam 4 (empat) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub
bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian
masalah agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu
kesimpulan yang benar.
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal mengenai latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB II : SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI
Dalam Bab II ini akan dibahas tinjauan umum mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi, yang akan dimulai dengan
sub bab ruang lingkup kejahatan korporasi, dilanjutkan dengan
penentuan korporasi sebagai subjek hukum pidana, kemudian
dijelaskan doktrin-doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi
yang berkembang, terakhir akan dirumuskan mengenai model
BAB III : MODEL PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PEMBAKARAN
LAHAN PERKEBUNAN BERDASARKAN UNDANG-
UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014
Dalam Bab III ini akan dibahas mengenai aspek hukum pidana dari
tindak pidana pembakaran lahan perkebunan tersebut. Pada sub
bab berikutnya dijelaskan mengenai korporasi sebagai subjek
hukum pidana dalam bidang perkebunan, perumusan sanksi bagi
korporasi dalam UU No. 39 Tahun 2014, dan terakhir akan
dijelaskan mengenai model pertanggungjawaban pidana korporasi
dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan
saran kesimpulan diperoleh dari hasil penelitian dan pembahasan
mengenai masalah yang dikemukakan, selanjutnya memberi saran
yang mungkin dapat berguna oleh pihak-pihak yang