2.1Definisi Gastritis
Secara sederhana definisi gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa
dan submukosa lambung secara histopatologi. Sedangkan definisi lain dari
gastritis adalah proses inflamasi pada mukosa dan submukosa lambung sebagai
respon terhadap jejas (injury) yang dapat bersifat akut maupun kronik (Hirlan,
2009; El-Zimaity et al., 2007).
Mukosa lambung terdiri dari sel-sel yang memproduksi asam dan enzim.
Asam dan enzim ini akan berperan dalam pencernaan makanan, sedangkan mukus
berperan dalam melindungi mukosa lambung dari asam. Ketika mukosa
mengalami inflamasi, maka produksi asam, enzim dan mukus akan terganggu.
Gastritis merupakan gangguan kemerahan pada mukosa yang nampak pada saat
pemeriksaan endoskopi dan tidak bisa mengantikan istilah dispepsia. Sampai saat
ini masih belum jelas hubungan antara gambaran mikroskopi (histopatologi)
dengan keluhan pada lambung. Hubungan antara gambaran mikroskopi dengan
endoskopi juga tidak konsisten. Pada kebanyakan pasien dengan gambaran
gastritis pada pemeriksaan PA sering tidak meunjukkan kelainan saat endoskopi (
Pratomo WB, 2011).Perbedaan antara gastritis dan ulkus gaster berdasarkan
kedalaman rusaknya mukosa, sementara ulkus gaster menembus sampai mukosa
muskularis. Dari endoskopi, kedalaman rusaknya mukosa hanya bisa
diperkirakan.
A.Struktur normal, B.Erosi superfisial, C.Erosi dalam, D.Ulkus gaster akut, E. Ulkus gaster kronik
2.2Epidemiologi Gastritis
Gastritis merupakan masalah kesehatan yang umum ditemui dalam
pelayanan klinis. Sekitar 10% kunjungan pada unit gawat darurat merupakan
kasus gastritis. Berdasarkan penelitian WHO (Word Health Organization)
dilaporkan prevalensi gastritis dibeberapa negara sebagai berikut : Inggris
22%,China 31%, Jepang 14,5%, Kanada 35% dan Perancis 29,5%. Sekitar 1,8-2,1
juta penduduk mengalami gastritis setiap tahunnya.
Angka kejadian gastritis di Indonesia menurut WHO adalah 40,8% dan
merupakan salah satu dari sepuluh penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit (S Iiyas, 2013).
2.3Etiologi Gastritis
Terdapat beberapa penyebab gastritis diantaranya infeksi kuman
Heliobacter pylori (H.pylori) ; gangguan fungsi sistem imun ; infeksi virus seperti
: enteric rotavirus, calicivirus dan cytomegalovirus ; infeksi jamur seperti :
candida species, histoplasma capsulatum dan mukonacea serta obat anti inflamasi
nonsteroid, konsumsi alkohol, usia, stress oleh karena trauma, tindakan operatif,
luka bakar, dll (Hirlan, 2009; Mayo clinic, 2014).
Infeksi kuman H.pylori merupakan penyebab gastritis yang sangat
penting. Prevalensi infeksi H.pylori pada orang dewasa di negara berkembang ±
90%. Di Indonesia, prevalensi kuman H.pylori yang dinilai melalui pemeriksaan
urea breath test pada pasien dispepsia menunjukkan jumlah yang menurun
(Hirlan, 2009).
Gastritis dapat muncul secara tiba-tiba (gastritis akut) ataupun
membutuhkan waktu yang lama (gastritis kronik). Gastritis akut adalah proses
inflamasi akut pada mukosa lambung biasanya berupa kondisi erosi dan
hemorgik. Penyebab yang paling sering diantaranya Non Steroid Anti
Inflammatory Drugs (NSAIDs), kortikosteroid, paparan zat kimia berupa alkohol,
kondisi stress seperti luka bakar berat, myocard infarction, lesi intrakaranial dan
periode postoperatif, kemoterapi dan iskemia. Secara endoskopi berupa hiperemis
mukosa dengan erosi multipel, kecil dan superfisial serta dapat juga ditemukan
pada kelenjar superfisial. Perdarahan pada lamina propria dapat ditemukan.
Sel-sel inflamasi dijumpai dalam jumlah kecil, meskipun neutropil lebih dominan.
Pada kasus ringan, pasien biasanya asimptomatik atau hanya memiliki gejala
dispepsia ringan. Pada kasus sedang sampai berat, biasanya pasien dengan nyeri
ulu hati, mual, muntah, hematemesis dan melena. Pada kasus berat, pasien
biasanya telah mengalami ulkus yang dalam dan komplikasi berupa perforasi.
Sedangkan gastritis kronik didefinisikan secara histologi berupa
peningkatan jumlah sel limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung.
Berdasarkan etiologi, gastritis kronik dikelompokkan menjadi tipe A yaitu
berasal dari autoimun, tipe B yaitu berasal dari infeksi H.pylori dan berapa kasus
lain dengan etiologi yang belum jelas. Secara endoskopi, mukosa menunjukkan
gambaran atropi. Sedangkan secara histologi ditemukan infiltrasi sel
limfosit-plasma pada daerah mukosa sel-sel parietal. Neutrofil jarang ditemukan. Mukosa
dapat menunjukkan perubahan ke arah metaplasia intestinal.
Pada stadium akhir, mukosa atropi dan sel-sel parietal tidak ditemukan,
namun H. Pylori dapat ditemukan. Gejala gastritis kronik dapat asimtomatik.
Beberapa gejala yang dapat ditemukan berupa : nyeri epigastrium ringan, mual
dan tidak nafsu makan. Pemeriksaan endoskopi perlu dilakukan oleh karena
gastritis kronik berisiko terhadap terjadinya ca gaster. Pasien gastritis tipe A,
memiliki kelainan autoimun pada organ lain khususnya penyakit tiroid. (Wehbi,
2014)
Etiologi gastritis oleh Rugge (2011) atas dasar agen yang ditransmisikan
yaitu : kimiawi, fisik, faktor imun, dan idiopatik. Rugge juga membagi etiologi
gastritis berdasarkan 3 bentuk utama antara lain gastritis H.pylori, gastritis
kimiawi, dan gastritis autoimun. Lalu Toljamo (2012) mengelompokkan etiologi
gastritis menjadi 3 kelompok yaitu agen kimiawi, penyakit, dan faktor
fisik/mekanik. Adapun Adibi (2014) menuliskan etiologi gastritis menjadi 2
2.3.1 Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun, dan Idiopatik
Berikut ditampilkan tabel etiologi gastritis yang ditulis oleh Rugge
(2011).
Tabel 2.1 Etiologi Gastritis Berdasarkan Agen yang Ditransmisikan, Kimiawi, Fisik, Imun, dan Idiopatik (Rugge et al., 2011)
Etiologi Agen Etiologi Spesifik Klinis Keterangan Agen yang
Agen Fisik Radiasi Akut/kronik Non atrofik &
Immuno-Keterangan: prevalensi : *** tinggi, ** rendah, * sangat rendah
2.3.2 Etiologi Utama
Adibi P menulis ada 2 etiologi utama dari gastritis yaitu gastritis
H.pylori dan gastritis non H.pylori (Adibi, 2014).Berbagai macam penyebab
terjadinya gastritis non H.pylori antara lain:
1. Gastritis kimiawi
i. Gastritis alkoholik
ii. Gastritis yang diinduksi obat
Obat yang berhubungan dengan gastritis antara lain
acarbose, alkohol, antibiotik (eritromisin oral), bifosfonat,
herbal (garlic, ginkgo, saw palmetto, feverfew, chaste tree
berry, white willow), zat besi, metformin, miglitol, NSAID
(termasuk COX-2), opiat, orlistat, potasium klorida (KCl),
teofilin (Loyd et al., 2011).
iii. Gastritis refluks (empedu atau duodenal juice)
2. Gastritis radiasi
3. Gastritis alergi
4. Gastritis autoimun
5. Bentuk khusus gastritis, gastritis NOS/ unspecified
6. Duodenitis
2.4Klasifikasi Gastritis
Sampai saat ini belum ada klasifikasi gastritis yang dapat diterima secara
luas. Salah satu klasifikasi yang digunakan oleh banyak ahli adalah the Sydney
System yang diperbaharui. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut
(Dixon et al,1996):
2.4.1 Klasifikasi Gastritis secara Makroskopis
Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis erosiva dan gastritis
non erosiva. Gastritis erosiva merupakan erosi mukosa gaster disebabkan
kerusakan/ defek pertahanan mukosa. Umumnya bersifat akut, bisa dengan
perdarahan, namun bisa bersifat subakut atau kronik dengan sedikit gejala atau
asimtomatis. Paling sering disebabkan oleh NSAID, alkohol, stres. Penyebab lain
yang jarang seperti radiasi, infeksi virus, injuri vaskular, dan trauma langsung.
Erosi superfisial dan lesi mukosa punktata bisa terjadi. Erosi dalam, ulkus, bahkan
perforasi terjadi pada kasus berat atau yang tidak ditangani. Lesi khas muncul di
korpus, tetapi antrum juga bisa terlibat. Ciri khas dari gastritis erosiva adalah lesi
mukosa tidak menembus lapisan mukosa muskularis. Sementara gastritis
non-erosiva mengacu pada kelainan histologis yang terutama akibat infeksi H.pylori.
Kebanyakan pasien gastritis non-erosiva asimtomatis(Szoke, 2009).
2.4.2Klasifikasi secara Histopatologis
Penelitian pemetaan dari sejumlah spesimen biopsi dengan H.pylori
positif ditemukan dari pemeriksaan empat spesimen (dua daerah antrum dan dua
daerah corpus). Kedua lokasi ini memiliki probabilitas H.pylori yang tinggi.
Biopsi daerah corpus berfungsi untuk menilai respon terapi setelah pengobatan
pattern gastritis yang berimplikasi penting dalam menilai risiko yang
berhubungan dengan penyakit. Biopsi di incisura angularis penting untuk menilai
atropi dan intestinal metaplasia serta merupakan daerahyang juga sering
mengalami premalignan displasia. Ketiga regio ini merupakan regio yng
dianjurkan untuk histologi(Dixon et al., 1996).
Masing-masing tampilan patologi yang relevan (kepadatan H.pylori,
intensitas neutrofil, inflamasi mononuklear, atrofi antrum dan korpus, dan
metaplasia intestinal) digradasikan menurut standardized visual analogue scale.
Gambar 2.2 Skema daerah yang direkomendasikan untuk biopsi(Dixon et al., 1996). Satu spesimen harus berasal dari daerah curvatura minor (A1) dan curvatura mayor (A2) daerah antrum yauitu kedua duanya
berjarak 2-3cm dari pylorus ; dari curvatura minor corpus sekitar 4cm
proximal dari angulus (B1); bagian tengah corpus dari curvatura mayor,
Gambar 2.3 The Updated Sydney System visual standardized visual analogue scale (Dixon et al., 1996)
Tabel 2.2 Kriteria Grading Biopsi Gaster menurut revised Sydney System (Aydine et al., 2015)
Type of Feature Density Of The Histological Feature Grade
Chronic Inflammation (Lymphocytes and plasma cells)
2-3 chronic inflammatory cells scattered randomly in the biopsy
10-15 chronic inflammatory cells/hpf
Some areas with dense cronic inflammatory cells
Diffuse infiltration with dense chronic inflammatory cells
Nil (0)
Mild (1)
Moderator(2)
Marked (3)
Neutrophilic infiltration
No neutrophils any where in the biopsy
Scattered neutrophils in the biopsy
Foci of dense neutrophilic infiltrate with scattred neutrophils in the rest if the biopsy
Several foci of dense inflammatory infiltrate in the biopsy with involvement
Nil (0)
Mild (1)
Moderate (2)
of crypts
Atrophy No evidence of gastric gland loss
Small areas where gastric glands have disappeared(<25%)
25-50% of the biopsy shows loss of gastric glands
>50% of the biopsy shows loss of gastric glands
Focal areas intestinal metaplasia (1-4 crypts)
Multiple foci involving > 4 crypts but < 50% of the biopsy
Intestinal metaplasia involving > 50 % of the biopsy specimen
No H.pilory anywhere in the biopsy
Only a few H.pylori seen in single of multiple foci
Numerous H.pylori seen in separate areas of foci
>50% of the surface area covered with
H.pylori
Nil (0)
Mild (1)
Moderate (2)
Masing-masing variabel diberi skor numerik atau deskriptif: 0 untuk
absen, 1 untuk ringan, 2 untuk moderate, 3 untuk berat. Nilai masing-masing
spesimen dirata-rata secara terpisah untuk masing-masing kompartemen (antrum
dan korpus). Langkah selanjutnya adalah menentukan derajat inflamasinya di 2
sama beratnya (pangastritis) atau lebih berat pada antrum (antrum-predominant
gastritis) atau korpus (corpus-predominant gastritis)(Dixon et al., 1996)
2.4.3 Klasifikasi Gastritis Berdasarkan Endoskopi
Klasifikasi ini membagi gastritis menjadi gastritis komplit dengan tipe
matur dan imatur, gastritis inkomplit, serta gastritis erosif hemoragik.
Tabel 2.3 Klasifikasi gastritis berdasarkan endoskopi (Toljamo K, 2012) Main class Subclass Characteristic features
I Complete Innumerable pinpoint-sizedhemorrhages on the Mucosal surface
Ia Mature type The surrounding mucosal elevation is Irreversible due to fibrosis
Ib Immature type The bulging border is due to oedema
II Incomplete A simple defect of the mucosal layer without
reaction to surrondings IIa Erosion located on flat mucosa
IIb Erosion located on the prominent folds of the prepyloric region
III Hemorrhagic-erosive gastritis
Innumerable pinpoint-sized hemorrhages on the Mucosal surface with erythrodiapedesisand engorged blood vessels within mocosaand submucosa.
Sistem diagnosis gastritis yang dikembangkan sekarang adalah gabungan
antara temuan endoskopi dan histologis yang dikenal dengan nama Sydney
System. Klasifikasi Sydney dari gastritis per endoskopi bertujuan untuk
menstandarisasi laporan klasifikasi gastritis per endoskopi berdasarkan tampilan
mukosa seperti edema, punctuate and confluent erythema, friability, punctuate
and confluent exudate, flat and raised erosion, rugal hyperplasia and atrophy,
visibility of vascular pattern, punctuate and confluent intramural bleeding spots,
dan coarse nodularity. Semua hasil endoskopi dilaporkan termasuk penilaian
subjektif dari tingkat keparahan seperti ringan, sedang, berat, lalu diklasifikasikan
ke salah satu dari 8 kategori yaitu gastritis superfisial, gastritis hemoragik,
gastritis erosiva, gastritis verukosa, gastritis atrofik, gastritis metaplastik, gastritis
Tabel 2.4 Temuan gastritis dari endoskopi dan kriteria diagnosisnya (Kaur, 2002)
Fundamental types
Definition according to endoscopic findings
Superficial Gastritis
Findings including edema and redness (spotted, patchy, linear), friabililty and/or exudate are observed
Hemorrhagic Gastritis
Hemorrhage is evidenced
Erosive Gastritis
Erosive changes including flat or depressed types
Verrucous Gastritis
Erosive changes including elevated type
Atrophic Gastritis
Findings such as color change of mucosa, visible vascular pattern and thinning are observed
Metaplastic Gastritis
Intestinal metaplasia was defined as the lesion visualized as an ash-colored nodular change by conventional endoscopy alone dyeing
Hyperplastic Gastritis
Remarkable irregularity of mucosa or rugal hypertrophy of greater curvature in corpus
Special Gastritis
Congestive gastropathy: the term “portal hypertensive gastropathy” refers to the mosaic-like pattern, congestion and edema of the mucosa with or without red spots seen endoscopically in patients with portal hypertension
2.5Patofisiologi
2.5.1 Patofisiologi Gastritis secara Umum
Terjadinya gastritis secara umum karena ketidakseimbangan faktor
agresif dan defensif, di mana faktor agresif lebih dominan daripada faktor
defensif. Yang termasuk faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks
bilier, nikotin, alkohol, NSAID, kortikosteroid, H.pylori, dan adanya radikal
permukaan, prostaglandin, fosfolipid, mukus, bikarbonat, dan motilitas saluran
pencernaan(Simadibrata, 2009).
Gambar 2.4 Patofisiologi Gastritis (Silva et al., 2011)
Keterangan : (A) mukosa gaster normal akibat adanya keseimbangan
antara faktor agresif dan pertahanan mukosa. (B) pembentukan ulkus
gaster karena ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor pertahanan
mukosa.
2.5.2 Patofisiologi Gastritis akibat NSAID
Beberapa sel di mukosa gaster berkontribusi terhadap produksi asam
lambung. Sel G di antrum gaster melepaskan hormon gastrin. Hormon ini bekerja
pada enterochromaffin-like cells (ECL) di korpus lambung menyebabkan
pelepasan histamin. Histamin akan menstimulasi sel parietal untuk mensekresikan
asam. Hormon gastrin juga menstimulasi secara langsung sel parietal dan
meningkatkan kerja ECL serta sel parietal. Prostaglandin merupakan faktor
pertahanan yang penting untuk melindungi mukosa gaster. Sintesis prostaglandin
dipengaruhi aktivitas cyclooxygenase (COX) enzyme. Ada 2 bentuk COX yaitu
COX-1 dan COX-2. COX-1 bertanggungjawab memproduksi prostaglandin, yang
NSAID dapat menekan aktivitas COX-1, yang berakibat pada lesi mukosa gaster
(Syam, 2009)
Aspirin, salah satu NSAID yang digunakan secara luas di klinis bisa
menyebabkan stres ulcer dan mengeksaserbasi ulkus gaster sebelumnya. Interaksi
NSAID dan stres dapat menyebabkan lesi pada gaster dengan salah satu
mekanismenya adalah dengan meningkatkan sitokin inflamasi salah satunya TNF-α (Brzozowski, 2003)
Gambar 2.5 Pembentukan lesi gaster akibat aspirin (Brzozowski, 2003) Penggunaan analgetik berhubungan dengan erosi gaster. Dilaporkan juga
jumlah erosi gaster yang sama antara penggunaan COX-2 selektif dengan NSAID
non selektif, yaitu celecoxib vs diklofenak. Banyak studi yang melaporkan ada
hubungan signifikan terjadinya gastritis dengan penggunaan NSAID. Mekanisme
NSAID menginduksi erosi antara lain dengan menghambat sintesis prostaglandin
dan fosforilasi oksidatif, mengganggu mikrosirkulasi lokal, yang berdampak
terjadinya nekrosis iskemik. Penggunaan NSAID jangka panjang pada pasien
H.pylori secara signifikan menyebabkan erosi yang lebih berat dibandingkan pada
pada pasien yang tidak terinfeksi H.pylori, namun hal ini masih kontroversi
(Cheung et al., 2010, Toljamo, 2006)
2.5.3 Patofisiologi Gastritis Helicobacter pylori
Helicobacter pylori merupakan bakteri gram-negatif dengan bentuk
batang melengkung, panjang 3 mikrometer, dan memiliki flagella yang membantu
Australia Barry Marshall dan Robin Warren, yang saat itu ditemukan pada pasien
gastritis kronik dan ulkus gaster. Bakteri ini tinggal di lapisan mukus yang
melapisi epitel gaster. H.pylori mensekresikan faktor-faktor, peptida, dan
lipopolisakarida yang bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan monosit (Mueller
A et al., 2004)
Gambar 2.6 Morfologi H. pylori (Mueller A et al., 2004)
Berikut akan dijelaskan mengenai faktor virulesi utama dari H.pylori
a. Cytotoxin-associated gene (cag) pathogenicity island (cagPaI)
CagPaI merupakan regio DNA yang disusun oleh 30 gen yang
mengkode Type IV Secretion System (T4SS). Infeksi strain H.pylori
dengan cagPaI sekitar 2x beresiko terkena ulkus peptikum dan
adenokarsinoma gaster.Infeksi H.pylori di mukosa gaster menginduksi
produksi sitokin-sitokin IL-1 , IL-6, IL-8 dan TNF-α. IL-1 atau TNF-α saja, maupun TNF-α bersinergis dengan IFN- menginduksi produksi IL-8 di sel gaster. Peningkatan produksi IL-8 bisa disebabkan infeksi H.pylori
maupun sekunder dari peningkatan kadar IL-1 atau TNF-α. Produksi IL -8oleh sel epitel gaster berkepanjangan dapat menyebabkan rekruitmen
neutrofil dan limfosit ke jaringan yang terinfeksi (Szoke, 2009, Fischer et
b. Vacuolating cytotoxin A (VacA)
Vacuolating cytotoxin A (VacA)merupakan protein yang
disekresikan oleh H. pylori. Protein ini toksin yang dapat menginduksi
pembentukan vakuola secara masif pada sel epitel in vitro dan mengurangi
proliferasi sel T. Inhibisi sel T menyebabkan H.pylori dapat menyebabkan
infeksi kronik. Toksin dapat membentuk pori-pori pada sel epitel gaster
yang mengangkut cairan interstisial bersama urea menuju ke bakteri.
Dengan cara ini bakteri mendapatkan nutrisi, mempertahankan pH dengan
mengubah urea menjadi amonia sehingga membantu H.pylori untuk
tumbuh. VacA juga berperan melonggarkan tight junction antara sel-sel
dan menyebabkan kerusakan epitel (Pelicic et al., 1999, Sundrud et al.,
2004)
c. Duodenal ulcer promoting gene A (dupA)
Gen dupA terutama berhubungan dengan ulkus peptikum. Pada
penelitian di China menunjukkan pasien ulkus duodenum memiliki
prevalensi strain dupA positif dibandingkan pasien Ca gaster dan ulkus
gaster (Zhang Z, et al, 2008). Penelitian Lu et al menemukan bahwa
infeksi strain dupA+ berkaitan dengan peningkatan kadar IL-8 pada
mukosa gaster dan infiltrasi neutrofil yang lebih berat.
d. Outer inflammatory protein (oipA)
Gen oipA juga dapat menginduksi ekspresi IL-8 dari sel epitel
gaster. Adanya oipA berkorelasi dengan ulkus duodenum dan Ca gaster
(Yamaoka et al., 2006)
e. Protein membran luar lainnya
Banyak protein membran luar H.pylori memungkinkan perlekatan
H.pylori terhadap sel epitel gaster, seperti BabA, SabA, HpaA, Omp18,
AlpA, AlpB, dan HopZ. BabA (blood group antigen binding adhesion
A), salah satu faktor yang paling banyak dipelajari, ditemukan pada sel
epitel dan memfasilitasi kolonisasi H.pylori dan meningkatkan respons
f. HP-NAP
NAP adalah faktor lain yang dapat mengaktivasi neutrofil.
HP-NAP mengaktivasi sel mast sehingga menyebabkan pelepasan isi
granul dan sitokin proinflamasi IL-6. Faktor ini dapat menyebabkan
datangnya monosit dan neutrofil ke lokasi infeksi (Montemurro P, et al,
2002). HP-NAP juga dapat menginduksi respons Th1 yang kuat,
induksi neutrofil untuk memproduksi ROS dan menyebabkan inflamasi
dan kerusakan sel (Montecucco et al, 2003)
Gambar 2.7 Perjalanan alamiah infeksi Helicobacter pylori (Mueller et al., 2004)
H.pylori menginduksi sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1 , IL-6, TNF-α, IL-8 melalui aktivasi NF-κB. Respons inflamasi yang terjadi menyebabkan Treg mensekresikan sitokin imunosupresif, yang mempertahankan
kadar H.pylori dalam mukosa gaster. Peran Treg dalam memodulasi respon imun
pejamu selama infeksi H.pylori telah beberapa kali dipikirkan. Treg adalah subset
dari sel T yang mensupresi respon imun pejamu dan berhubungan dengan kanker.
Sel T khusus tersebut mengekspresikan marker seperti CD4, CD25, dan FoxP3.
Treg meningkatkan toleransi terhadap antigen diri sendiri dan pada saat
bersamaan memfasilitasi pertumbuhan tumor melalui imunosupresi. Beberapa
studi menyebutkan peningkatan dari TH1, TH2, Treg, mengindikasikan
keseimbangan imunomodulasi pejamu untuk inflamasi. Infeksi H.pylori memiliki
TNF-α, dll. Kondisi inflamasi ini diseimbangkan dengan IL-10 dari Treg untuk menyebabkan infeksi kronik dengan imunosupresi parsial (Banerjee et al., 2013)
Gambar 2.8 Respons Inflamasi akibat Helicobacter Pylori (Banerjee et al., 2013)
Metode diagnostik untuk mendeteksi kuman H.pylori dibagi menjadi
pemeriksaan invasif dan pemeriksaan non invasif. Beberapa metode telah
dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan infeksi kuman H. pylori, yang dapat
dilihat pada tabel di bawah ini
Tabel 2.5 Pemeriksaan diagnostik untuk H. pylori (Lew, 2009)
H. pylori-induced Host factors regulated by
NF-kB activation Role
IL-8 Chemotaxis for neurotrophil and lymphocytes
iNOS Enzyme that generates cell damaging NO
COX-2 The rate limiting enzyme in the synthesis of prostaglandins
hBD-2 Anti-bacterial peptide
MMP-9 and -7 Matrix metalloproteinases tumour invasiveness
IAP and Mel-1 Anti-apoptotic genes
IL-12p40.TNF-α. IFN- . IL-2.IL-6
Pro-inflammatory cytokines
VEGF.HIF-α Angiogenic growth factors
Bax Apoptotic gene
PAI-2 Inhibit fibrinolysis (degradation
Of blood clots
2.6. Hubungan Sitokin Inflamasi dengan Gastritis
2.6.1 Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis non H.pylori
Kadar serum sitokin seperti IL-6, TNF-α, IL-1 , dan IFN- pada pasien yang mengalami inflamasi lebih tinggi daripada individu normal. Penurunan kadar
IL-6 dan TNF-α merupakan petunjuk terjadinya perbaikan inflamasi. IL-6 disekresikan oleh sel T dan makrofag untuk menstimulasi respons imun terutama
selama ada kerusakan jaringan yang menyebabkan terjadinya inflamasi. IL-6 juga
berperan dalam melawan infeksi. TNF-α merupakan sitokin yang terlibat dalam inflamasi sistemik dan termasuk kelompok sitokin yang menstimulasi reaksi akut.
Injuri gaster akibat kimiawi seperti NSAID bisa menyebabkan
peningkatan ekspresi mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1 , maupun IL-8. Penelitian Lee et al pada tikus menemukan pemberian indometasin secara
signifikan meningkatkan ekspresi TNF-α, IL-1 , IL-8 pada sel epitel gaster. Hal ini mengkorfirmasi mediator inflamasi berperan dalam kerusakan sel epitel gaster
akibat indometasin. Menurut Tanigawa T, et al pemberian PPI bisa menurunkan
produksi TNF-α dan IL-1 . Jadi PPI memiliki efek anti inflamasi dengan menekan secara langsung induksi TNF-α dan IL-1 melalui inhibisi NF-κB dan aktivasi ERK pada sel-sel inflamasi. Penelitian Tanigawa T, et al dan Lee HJ, et
al mengkonfirmasi bahwa pada erosi gaster terjadi peningkatan sitokin-sitokin
inflamasi(Tanigawa et al., 2009; Lee et al., 2012).
Gastritis kimiawi/ gastropati seperti NSAID memiliki berbagai
patogenesis/ mekanisme yang menyebabkan cedera seperti inhibisi prostaglandin,
efek toksik langsung dari NSAID, dan stimulasi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1 , IL-6, IL-8, IFN- dan infiltrasi sel-sel inflamasi di lamina propria yang menyebabkan penurunan aliran darah mukosa, hipoksia, dan penurunan
pertahanan mukosa(Rakanurak et al., 2013).
Pada percobaan terhadap model tikus yang terkena gastritis akibat
diinduksi oleh HCl/etanol, terjadi peningkatan kadar serum dari IL-6 dan TNF-α. Adanya penurunan sitokin proinflamasi ini setelah mendapatkan
gastroprotektor(Zhao et al, 2013).
Penelitian Eamlamnam K, et al pada lesi gaster akut yang diinduksi
asam asetat terjadi peningkatan leukosit, TNF-α, dan penurunan IL-10. Sehingga saat terjadi proses penyembuhan terjadi penurunan TNF-α dan leukosit serta peningkatan kadar IL-10. Pada inflamasi gaster kronik terjadi peningkatan IL-10
yang secara simultan mengurangi inflamasi jaringan gaster. Peningkatan IL-10
sebagai sitokin antiinflamasi guna menekan inflamasi di gaster(Eamlamnam et al.,
2006).
Naito Y, et al dan Jainu M, et al melaporkan bahwa inflamasi gaster
Iskemia pun menginduksi lesi gaster, kemungkinan akibat banyak
pembentukan radikal bebas, tetapi peranan sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF-α dalam proses penyembuhan lesi ini belum dipelajari mendalam. Konturek PC, et al melakukan percobaan pada tikus menemukan bahwa lesi gaster
dimediasi oleh pembentukan radikal bebas, menyebabkan supresi mikrosirkulasi
gaster dan aktivitas sekresi dari gaster. Serta terjadi peningkatan superoksida
dismutase dan pelepasan IL-1 dan TNF-α bisa mengaktivasi ekspresi ICAM-1 dan infiltrasi neutrofil, yang berperan penting dalam progresivitas iskemia yang
menginduksi erosi gaster akut menjadi ulkus kronis (Konturek et al, 2000)
2.6.2 Sitokin Inflamasi terhadap Gastritis H.pylori
H. pylori yang menginfeksi kurang lebih 50% penduduk di seluruh
dunia, yang menyebabkan inflamasi lambung kronis yang akan menjadi atrofi,
metaplasia, displasia dan akhirnya kanker lambung(Fox, 2007).
Inflamasi kronis tersebut melibatkan netrofil, limfosit (sel T dan B), sel
plasma, dan makrofag, sesuai dengan tingkat degenerasi dan kerusakan selnya
(Israel DA, 2001). Mekanisme inflamasi lainnya melalui kontak langsung dengan
sel epitel lambung dan merangsang pembentukan serta pelepasan sitokin
inflamasi. Adanya inflamasi karena H pylori dapat ditunjukkan dengan
peningkatan IL-1 , IL-2, IL-6, IL-8 dan TNF-α (Israel DA, 2001)
Inflamasi lambung ditemukan bervariasi pada pasien yang terinfeksi
dengan H pylori tergantung dari respon imun pejamu terhadap organisme.
Mekanisme inflamasi terhadap infeksi H pylori melibatkan respon imun spesifik
dan imun non spesifik, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Proses tersebut
juga akan menimbulkan keluarnya mediator sitokin, pada gastritis karena H
pylori, seperti pada tabel di bawah(Bodger, 1998).
Tabel 2.7 Sitokin yang dihasilkan sebagai implikasi dari gastritis H pylori (Bodger, 1998)
Mediator Usual actions
Cytokines
IL-1α
Stimulation of Th 1 response
Pro-inflamatory, especially cellular immunity
Pro-inflamatory, maturation factor
Nuetrophil recruitment and activation
Nuetrophil recruitment and activation
Mononuclear cell recruitment and activation
Mononuclear cell recruitment and activation
TNF-α berperan untuk meningkatkan reaksi inflamasi dan diyakini berperan penting dalam kerusakan mukosa gaster akibat H.pylori. TNF-α menyebabkan kaskade inflamasi terhadap infeksi, respons inflamasi berlebihan di
mukosa gaster yang berhubungan dengan inhibisi sekresi asam lambung dan
kerentanan yang lebih tinggi terhadap Ca gaster(Furuta et al., 2002).
Infeksi H.pylori berkontribusi terhadap rekrutmen neutrofil dan limfosit
yang menyebabkan kerusakan epitel melalui pelepasan sitokin, salah satunya
TNF-α. Bodger K, et al melaporkan bahwa ada hubungan signifikan antara IL-6, IL-8, TNF-α pada pasien yang terinfeksi H.pylori. Sitokin ini berkorelasi dengan derajat inflamasi dan aktivitas neutrofil, di mana makin tinggi kadar sitokin
sebanding dengan peningkatan derajat inflamasi dan aktivitas neutrofil (Bodger et
al., 2001).
Sementara IL-10 yang merupakan sitokin anti inflamasi dapat
mengurangi inflamasi dan efek sitotoksik dari sitokin-sitokin proinflamasi (Holck
endotel. IL-10 diketahui bekerja menurunkan aktivitas sel imun dan inflamasi
seperti sel T dan neutrofil. Semua data ini menunjukkan IL-10 potensial menekan
inflamasi dan mendukung kolonisasi H.pylori yang lebih lama pada mukosa
gaster(Schottelius et al., 1999; Al-Ashyet al., 2006; Zakaria et al., 2008).
2.7 Interleukin-10 (IL-10) 2.7.1 Definisi Interleukin 10
IL-10 merupakan sitokin imunoregulator yang poten dan bersirkulasi
sebagai homodimer yang terdiri dari 160 protein asam amino. IL-10 ini terletak
pada kromosom manusia 1q31-32. IL-10 pertama kali dikenal sebagai cytokine
synthesis inhibiting factor (CSIF) oleh karena dapat menekan sintesis sitokin pada
sel T tertentu. IL-10 merupakan anggota dari keluarga sitokin IL-10 yang terdiri
dari IL-19, IL-20, IL-22, IL-24, IL-26, IL-28 dan IL-9 (Mege et.al., 2006).
IL-10 diproduksi oleh banyak sel diantaranya sel B, sel T khususnya
Tregs (T cell regulatory), monosit dan makrofag serta sel dendritik, tetapi tidak
diproduksi oleh sel-sel epitel. Sebuah penelitian yang meneliti tentang defisiensi
IL-10 pada tikus menyebutkan bahwa Tregs merupakan sumber penting dalam
produksi IL-10. Pada awalnya hanya T helper (Th)2 yang dapat memproduksi
IL-10, namun pada saat-saat ini Th 1 juga dilaporkan dapat menghasilkan IL-10.
Dendritic Cell (DC) yang diaktivasi oleh H.pylori akan memproduksi sejumlah
sitokin diantaranya TNF-α, IL-1 , IL-6, IL-8, IL-10, IL-12 dan IL-23. TNF-α merupakan sitokin tertinggi yang diproduksi yaitu 1000-2000 kali lipat dibanding
nilai basal, sedangkan IL-6 kenaikan 1000 kali lipat, IL-10 mengalami kenaikan
200-400 kali lipat, IL-8 mengalami kenaikan 10 kali lipat dan IL-1 150 kali lipat (Mege et.al., 2006; Front, 2013)
IL-10 yang disekresikan oleh Tregs merupakan senyawa yang penting
dalam mencegah penyakit pada saluran gastrointestinal. Sebuah penelitian juga
menyebutkan bahwa terdapat banyak IL-10 pada intra epitel limfosit pada usus
halus dan limfosit lamina propria pada kolon setelah stimulasi sel T reseptor.
Kulberg dkk, melaporkan bahwa IL-10 yang diproduksi Tr1 dapat menekan Th1
dalam menghasilkan IFN-Y. IL-10 juga dapat mengontrol inflamasi dan
ulseratif. IL-10 dengan kadar tinggi merupakan prognosis yang rendah dari ca
gaster (Zakaria, 2010).
2.7.2 Mekanisme kerja Interleukin 10
Mekanisme kerja utama IL-10 adalah menekan inflamasi dan regulasi sel
T. IL-10 dapat secara spesifik menekan produksi IFN-Y dan IL-2 melalui Th1.
Th1 merupakan sumber utama dari IFN-Y, yang bersifat mengaktivasi monosit
dan menginhibisi proliferasi Th2. Melalui penekanan terhadap IFN-Y, IL-10
membantu memelihara polarisasi sel T helper pada Th2. IL-10 juga dapat
menghambat produksi IFN-Y melalui sel Natural Killer (NK) dan menghambat
aktivasi NF-Kb. Faktor-faktor transkripsi ini mengontrol proinflamasi dan gen
antiapototik yang berperan penting dalam terjadinya inflamasi akut atau kronik.
Melalui blokade aktivasi NF-Kb, IL-10 menginhibisi IL-1 dalam menginduksi
sintesis COX-2 dan ekspresi COX-2 pada neutrofil. IL-10 juga dapat menghambat
perlekatan monosit dengan sel-sel endotel. Disisi lain, IL-10 menunjukkan
imunostimulator pada sel B dan sel endotel. IL-10 dapat mempengaruhi fungsi sel
mast dan secara signifikan memperluas aktivitas pertumbuhan faktor stem sel
pada sel ini. Berikut ini merupakan tabel yang berisikan beberapa faktor yang
diregulasi oleh NF-kB sebagai respon terhadap H. pylori (Zakaria, 2010).
Peranan yang luas dari IL-10 pada penyakit-penyakit infeksi, termasuk
infeksi H.pylori, memiliki dua gambaran utama yaitu sebagai pencegah
berkembangnya lesi-lesi imunopatologi yang merupakan dampak dari respon
imun protektif yang mengalami eksarsebasi, sedangkan di sisi lain IL-10 berperan
dalam timbulnya persistensi patogen dengan cara mempengaruhi sistem imun
alamiah dan adaptif (Fathurrahman et al., 2013).
Ekspresi IL-10 minimal pada jaringan yang normal dan memerlukan
pencetus dari flora patogenik maupun komensal. Induksi IL-10 melibatkan
ERK1/2, p38, dan sinyal NF-κB, dan aktivasi transkripsi melalui promoter dari faktor transkripsi NF-κB dan AP-1. Mekanisme IL-10 dalam imunoregulasi dan efek stimulasi dapat dilihat pada gambar berikut : (Eskdale et al., 1997; Saraiva et
IL-10 dilepaskan oleh sel T sitotoksik untuk menghambat kerja sel NK
selama respons imun terhadap infeksi virus. IL-10 menurunkan ekspresi sitoksin
Th1, antigen MHC kelas II, dan makrofag. IL-10 dapat meningkat masa hidup sel
B, proliferasi, dan produksi antibodi. IL-10 mampu menghambat sintesis sitokin
proinflamasi seperti IFN- , IL-2, IL-3, TNF-α, GM-CSF yang diproduksi oleh makrofag dan sel T regulator. IL-10 juga dapat menekan kapasitas presentasi
antigen dari APC (Antigen Presenting Cells). Di satu sisi IL-10 dapat bersifat
stimulasi terhadap Th2, sel mast, dan merangsang maturasi sel B dan produksi
antibodi (Eskdale et al., 1997; Saraiva et al., 2010).
IL-10 secara spesifik menekan produksi IFN- dan IL-2 oleh sel Th. IL-10 juga dapat menghambat produksi IFN- oleh sel NK dan menghambat aktivasi NF-κB. Melalui blokade aktivasi NF-κB, IL-10 menghambat IL-1 yang dimediasi oleh induksi sintesis protein COX-2 dan ekspresi protein COX-2 di neutrofil.
Lebih lanjut IL-10 dapat menghambat perlengketan monosit ke sel endotel. IL-10
diketahui bekerja menurunkan aktivitas sel imun dan inflamasi seperti sel T dan
neutrofil. IL-10 juga diketahui menekan sekresi IL-8 dan ekspresi molekul adhesi
intraseluler-1 (ICAM-1). Semua data ini menunjukkan IL-10 potensial menekan
inflamasi dan mendukung kolonisasi H.pylori yang lebih lama pada mukosa
gaster (Schottelius et al., 1999; Al-Ashyet al., 2006; Zakaria et al., 2008). Pada
model tikus, IL-10 terbukti melindungi dari perkembangan gastritis berat dan
kerusakan mukosa dengan menurunkan H.pylori yang diinduksi oleh respons Th1
Gambar 2.9 Efek imunoregulator dan stimulator dari IL-10
Tabel 2.8 Beberapa faktor yang diregulasi oleh NF-kB sebagai respon terhadap infeksi H.pylori (Zakaria, 2010).
2.8 Interleukin-8 (IL-8) 2.8.1 Definisi IL-8
IL-8 adalah kemokin yang diproduksi oleh monosit, limfosit T, neutrofil,
sel endotel vaskular, fibroblas dermis, keratinosit, hepatosit dan sel kanker gaster
terhadap limfosit T dan basofil serta neutrofil in vitro. Selain itu, IL-8 dapat
menginduksi neutrofil untuk melepaskan enzim lisosom. IL-8 ini tidak terdeteksi
pada plasma orang dewasa normal (Luster AD, 1998).
IL-8 merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan influks
neutrofil menuju sel-sel yang terinfeksi dan jumlah IL-8 diekspresikan oleh sel
epitel gaster sebagai respons terhadap H.pylori yang cukup untuk menginduksi
kemotaksis neutrofil (Yamada H, et al, 2001). Penelitian in vivo dan in vitro
menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-8 yang berhubungan dengan infeksi
H.pylori (Kim H, et al, 2001; Seo JH, et al, 2004; Robinson K, et al, 2008).
Induksi ekspresi IL-8 dimediasi melalui NF-κB dan proten activator-1 (AP-1) (Chu SH, et al, 2003). H.pylori secara langsung akan melakukan up regulasi
ekspresi mesenger RNA dari IL-8 dan protein IL-8 pada sel epitel (Crabtree JE, et
al, 1995).
2.8.2 Mekanisme kerja IL-8
H.pylori mensekresikan faktor-faktor, peptida, dan lipopolisakarida yang
bersifat kemotaktik terhadap neutrofil dan monosit. In vivo, infeksi H.pylori di
mukosa gaster menginduksi produksi sitokin-sitokin IL-1 , IL-6, IL-8 dan TNF-α. IL-1 atau TNF-α saja, maupun TNF-α bersinergis dengan IFN- menginduksi produksi IL-8 di sel gaster. Peningkatan produksi IL-8 bisa disebabkan infeksi
H.pylori maupun sekunder dari peningkatan kadar IL-1 atau TNF-α. Produksi IL -8 oleh sel epitel gaster berkepanjangan dapat menyebabkan rekruitmen neutrofil
dan limfosit ke jaringan yang terinfeksi (Szoke D, 2009).
H.pylori menginduksi sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1 , IL-6, TNF-α, IL-8 melalui aktivasi NF-κB. Respons inflamasi yang terjadi menyebabkan Treg mensekresikan sitokin imunosupresif, yang mempertahankan
kadar H.pylori dalam mukosa gaster. Peran Treg dalam memodulasi respon imun
pejamu selama infeksi H.pylori telah beberapa kali dipikirkan. Treg adalah subset
dari sel T yang mensupresi respon imun pejamu dan berhubungan dengan kanker.
Sel T khusus tersebut mengekspresikan marker seperti CD4, CD25, dan FoxP3.
Treg meningkatkan toleransi terhadap antigen diri sendiri dan pada saat
studi menyebutkan peningkatan dari TH1, TH2, Treg, mengindikasikan
keseimbangan imunomodulasi pejamu untuk inflamasi. Infeksi H.pylori memiliki
respon TH1 yang kuat yang dimediasi oleh sitokin TH1 termasuk IFN- , IL-12, TNF-α, dll. Kondisi inflamasi ini diseimbangkan dengan IL-10 dari Treg untuk menyebabkan infeksi kronik dengan imunosupresi parsial (Banerjee A, et al,
2013).
Injuri gaster akibat kimiawi seperti NSAID bisa menyebabkan
peningkatan ekspresi mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1 , maupun IL-8. Penelitian Lee et al pada tikus menemukan pemberian indometasin secara
signifikan meningkatkan ekspresi TNF-α, IL-1 , IL-8 pada sel epitel gaster. Hal ini mengkorfirmasi mediator inflamasi berperan dalam kerusakan sel epitel gaster
akibat indometasin. Menurut Tanigawa T, et al pemberian PPI bisa menurunkan
produksi TNF-α dan IL-1 . Jadi PPI memiliki efek anti inflamasi dengan menekan secara langsung induksi TNF-α dan IL-1 melalui inhibisi NF-κB dan aktivasi ERK pada sel-sel inflamasi. Penelitian Tanigawa T, et al dan Lee HJ, et
al mengkonfirmasi bahwa pada erosi gaster terjadi peningkatan sitokin-sitokin
inflamasi (Tanigawa T, et al, 2009; Lee HJ, et al, 2012).
Gastritis kimiawi/ gastropati seperti NSAID memiliki berbagai
patogenesis/ mekanisme yang menyebabkan cedera seperti inhibisi prostaglandin,
efek toksik langsung dari NSAID, dan stimulasi sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1 , IL-6, IL-8, IFN- dan infiltrasi sel-sel inflamasi di lamina propria yang menyebabkan penurunan aliran darah mukosa, hipoksia, dan penurunan
pertahanan mukosa (Rakananurak N, et al, 2013).
Beberapa penelitian tentang hubungan status CagA, kadar IL-8 mukosa
gaster dan derajat inflamasi mukosa menunjukkan hasil yang beragam. Penelitian
yamaoka,et al. menunjukkan derajat severitas yang lebih berat pada H. pylori
positif daripada yang negatif. Infiltrasi PMN dan MN lebih berat pada galur
dengan CagA positif. Kadar IL-8 mukosa gas berhubungan derajat severitas yang
lebih berat secara signifikan pada galur dengan CagA positif. CagA positif
berhubungan kuat dengan tingginya kadar IL-8 mukosa gaster. Infiltrasi sel MN
Penelitian Andersen et al mendapatkan bahwa IL-8 dan IL-10 meningkat
secara signifikan pada derajat inflamasi yang lebih berat dan tingkat kepadatan
H.pylori yang makin banyak. (Andersen LP et al., 2005)
Xuan, et al. tahun 2005 mendapatkan kadar IL-8 mukosa metode ELISA
yang lebih tinggi pada derajat gastritis yang lebih berat (infiltrasi neutrofil,
infiltrasi mononuklear dan atrofi.
Holck et al melaporkan adanya hubungan signifikan antara 8 dan
IL-10 dengangastritis maupun tingkat kepadatan H.pylori. Aktivitas sitokin IL-8
dan IL-10 meningkatpada pasien yang terinfeksi H.pylori. IL-8 ditemukan
meningkat pada separuh pasien H.pylori, dibandingkan dengan 25% pada pasien
yang tidak terinfeksi H.pylori .
Gambar 2.10 Efek Interleukin 10 terhadap sitokin pro inflamasi yang lain
2.9 Kerangka Teori/Konsepsional
Pasien Abdominal Discomfort
Menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada (Djojoningrat D, 2006).
H. pylori (+) lambung. (El-Zimaity HMT, 2007).
Infeksi lambung disebabkan oleh pajanan aspirin, indometasin, NSAID lain, asam empedu, alkohol, iskemia, bahan korosif (Adibi 2014).
Suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif khususnya H.pylori. (Adibi 2014).
IL-10 yang juga dikenal sebagai human cytokine synthesis inhibitory factor (CSIF), merupakan sitokin anti inflamasi (Saraiva M, et al, 2010).
IL-8 adalah kemokin yang diproduksi oleh monosit, limfosit T, neutrofil, sel endotel vaskular, fibroblas dermis, pertanyaan yang mengevaluasi gejala nyeri epigastrium, mual, muntah, perut kembung, dan early satiation.
Skor > 6 : dispepsia
Gastroskopi :
Suatu metode yang ditunjuk untuk melihat lebih jauh bagian-bagian yang ada dalam tubuh dengan cara memasukkan sebuah alat berupa tabung yang fleksibel yang dilengkapi kamera kecil diujung alat tersebut.
Biopsi :
pengambilan sampel kecil dari jaringan sehingga dapat diperiksa di bawah mikroskop untuk mengetahui derajat keparahan suatu penyakit.