• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ina Nurhidayati, Sri Tjahyani Budi Utami. Departement of Environmental Health, Faculty of Public Health, University of Indonesia, Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ina Nurhidayati, Sri Tjahyani Budi Utami. Departement of Environmental Health, Faculty of Public Health, University of Indonesia, Depok"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Kondisi Kesehatan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kasus Asma Akut

di Wilayah Kota Administrsi Jakarta Timur Tahun 2012

(Studi Kasus Di RSUP Persahabatan)

Ina Nurhidayati, Sri Tjahyani Budi Utami

Departement of Environmental Health, Faculty of Public Health, University of Indonesia, Depok

e-mail : ienanr04@gmail.com

Abstrak

Lingkungan dalam ruangan atau rumah mampu memberikan kontribusi faktor pencetus serangan asma lebih besar dibandingkan lingkungan luar ruangan. Faktor lingkungan dalam rumah yang dapat mempengaruhi serangan asma bisa berupa kondisi lingkungan fisik rumah dan perilaku dari keluarga penderita asma. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan lingkungan fisik rumah dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur dengan studi kasus di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Metode penelitian ini menggunakan desain studi kasus kontrol dengan perbandingan 1 : 1 dimana besar sampel yaitu 44 penderita asma akut sebagai kasus dan 44 untuk kontrol. Hasil penelitian didapatkan kondisi kesehatan lingkungan fisik rumah : jenis lantai (p=1,000; OR=0,899), jenis dinding (p=0,800, OR=0,771; jenis atap (p=1,000, OR=1,000); ventilasi (p=0,830, OR=1,204); kepadatan penghuni (p=0,829, OR=1,207); suhu (p=1,000, OR=1,000) dan kelembaban (p= 0,644, OR=1,379); sumber polutan dalam rumah : jenis bahan bakar yang digunakan (p=1,000, OR=2,023) dan penggunaan obat nyamuk bakar (p= 1,000, OR=0,651) serta zat iritan (Asap rokok) (p=0,663, OR=1,330). Karakteristik individu, terkait umur (p=0,352, OR=2,222) tidak memiliki hubungan dengan kasus asma akut. Sedangkan jenis kelamin p=0,002, OR=0,203 dan riwayat genetik p=0,000, OR=47,095. memiliki hubungan dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dapat disarankan agar upaya kesehatan promotif dan preventif terutama ditujukan untuk peningkatan upaya pembinaan dan penyuluhan tentang penyehatan pemukiman rumah sehat/sanitasi rumah dan peningkatan pengetahuan serta informasi kepada masyarakat terutama untuk pengendalian penyakit asma akut.

The Conditions of Environmental Health Physical Home

with Acute Asthma Cases

in the area of East Jakarta Administration City in 2012

(Case Study on Persahabatan Hospital)

Abstract

Indoor environment or home environment can contribute to trigger asthma attacks greater than outdoor environments. Environmental factors in the home that may affect asthma attack can be a condition of the physical environment and the behavior of families with asthma. The purpose of this study was to determine the condition of the physical environment with acute asthma cases in the area of East Jakarta Administration City with a case study on Persahabatan Hospital. This research method using a case-control study design with a ratio of 1: 1 where a large sample of 44 patients with acute asthma as cases and 44 for controls. Results, the physical home environment health conditions: type of flooring (p=1.000; OR=0.899), type of wall (p=0.800, OR=0.771), type of roof (p=1.000, OR=1.000), ventilation (p=0.830 , OR=1.204), occupant density (p=0.829, OR=1.207), temperature (p= 1.000, OR= 1.000) and humidity (p= 0.644, OR= 1.379), sources of pollutants in the home: the type of fuel used (p=1.000, OR=2.023) and the use of mosquito coils (p=1.000, OR=0.651) and an irritant (cigarette smoke) (p=0.663, OR=1.330). Individual characteristics, related to age (p=0.352, OR=2.222) had no connection with the case of an acute asthma. While gender p=0.002, OR=0.203 and p=0.000 genetic history, OR=47.095 has a relationship with acute asthma cases in East Jakarta Administration City area in 2012. Can be suggested that health promotion and prevention efforts primarily aimed at improving the coaching and counseling efforts on restructuring settlement healthy home / home sanitation and improvement of knowledge and information to the public, especially for the control of acute asthma

.

(2)

Pendahuluan

Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai

adanya

mengi

episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas,

termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik. Walaupun mempunyai tingkat

fatalitas yang rendah, namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat.

Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia menderita asma

(Depkes RI, 2009). Menurut Departemen Kesehatan di Indonesia pravelensi asma merupakan

10 besar penyebab kesakitan dan kematian, diperkirakan 2-5% dari seluruh penduduk

Indonesia, artinya ada 12,5 juta pasien asma di Indonesia.

Hasil penelitian

Interntional Study on Asthma and Allergy in Children

(ISAAC) pada

tahun 2005 menunjukkan bahwa prevalensi asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4% di

Indonesia. Kota Jakarta sendiri memiliki prevalensi asma yang cukup besar, yaitu mencapai

7,5% pada 2001 (Sundaru, 2007). Selain menimbulkan morbiditas, asma juga dapat

menyebabkan kematian. Di dunia, penyakit asma termasuk 5 besar penyebab kematian yaitu

mencapai 17,4% (Dewan Asma Indonesia, 2009). WHO memperkirakan tahun 2005 di

seluruh dunia terdapat 255.000 penderita meninggal karena asma, sebagian besar atau 80%

terjadi di negara-negara sedang berkembang (Sundaru, 2007). Di indonesia, penyakit asma

masuk ke dalam sepuluh besar penyebab kematian (Dewan Asma Indonesi, 2009). Pada tahun

2006, penyakit tidak menular yang menyebabkan kematian terbanyak di rumah sakit salah

satunya adalah penyakit asma sebanyak 0,9% dari seluruh kematian di rumah sakit, sehingga

penyakit asma menduduki peringkat ke enam (Depkes RI, 2008).

Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (faktor host) dan faktor

lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi

berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hiperesponsif bronkus, jenis

kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan predisposisi asma, untuk

berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang

menetap. Beberapa hal yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu: alergen, asap rokok,

polusi udara, infeksi pernapasan, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga (Mangunegoro,

2004). Kondisi lingkungan dalam rumah dapat mempengaruhi peningkatan kasus asma,

Sehingga, perlu ada perhatian khusus pada beberapa hal yang dapat menimbulkan faktor

pencetus serangan asma seperti alergen dan polusi. Tujuan umum penelitian ini adalah

mengetahui kondisi kesehatan lingkungan fisik rumah dengan kasus asma akut di wilayah

kota administrasi jakarta timur selama tahun 2012.

(3)

Tinjauan Teoritis

Asma

Secara umum pengertian Asma adalah suatu keadaan dimana saluran napas mengalami

penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan

peradangan. Penyempitan ini bersifat sementara. Asma merupakan suatu penyakit yang

dicirikan oleh hipersensitifitas cabang-cabang trakhea bronkhial terhadap berbagai jenis

rangsangan. Keadaan ni bermanifestasi sebagai penyempitan seluruh nafas secara periodik

dan reversibel akibat bronkhospasme (Sylvia, .1995).

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus

dan iritasi yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma dini

(

early asthma reaction

= EAR) dan reaksi asma lambat (

late asthma reaction

= LAR). Setelah

reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi

inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya,

berupa infiltrasi sel-sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke

dinding dan lumen bronkus.

Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah pemaparan

terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, dan tepung sari. Seringkali, kadar IgE total

maupun spesifik penderita seperti ini meningkat terhadap antigen yang terlibat. Pada

penderita lainnya dengan asma yang serupa secara klinik tidak ada bukti keterlibatan IgE

dimana uji kulit negatif dan kadar IgE rendah. Bentuk asma inilah yang sering ditemukan

pada usia 2 tahun pertama juga orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut dengan

asma intrinsik (Sundaru, 2006).

Lingkungan Rumah

Definisi perumahan (

housing

) menurut WHO adalah suatu struktur fisik bangunan di

mana orang menggunakannya untuk tempat berlindung, di mana lingkungan dari struktur

tersebut termasuk juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan, perlengkapan yang

berguna untuk kesehatan jasmani, rohani dan keadaan sosial yang baik untuk keluarga dan

individu. Rumah disamping merupakan lingkungan fisik manusia sebagai tempat tinggal, juga

dapat merupakan tempat yang menyebabkan penyakit. Hal ini akan terjadi bila kriteria rumah

sehat belum terpenuhi. Bila kondisi lingkungan buruk, derajat kesehatan akan rendah,

demikian sebaliknya. Oleh karena itu, kondisi lingkungan pemukiman harus mampu

mendukung tingkat kesehatan penghuninya (Yuwono, 2008).

(4)

Menurut Kepmenkes RI Nomor : 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan

Kesehatan Perumahan, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah sehat adalah proporsi rumah yang memenuhi

kriteria sehat minimum komponen rumah dan sarana sanitasi dari 3 komponen (rumah, sarana

sanitasi dan perilaku) di satu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu.

Faktor lain yang mempengaruhi kejadian asma seperti kondisi lingkungan fisik rumah;

jenis dinding rumah harus dengan konstruksi yang kuat, dapat menahan angin, cuaca panas

dan dingin, kedap air serta mudah dibersihkan. Pembangunan yang tidak memenuhi syarat

dapat meningkatkan polusi dalam ruangan.

Jenis lantai yang tidak kedap air dapat meningkatkan kelembaban dan kepengapan

ruangan yang akan mempermudah peningkatan jumlah mikroorganisme. Lantai tanah atau

semen yang sudah rusak dapat menimbulkan debu dan terjadinya kelembaban karena uap air

dapat keluar melalui tanah atau semen yang rusak.

Jenis atap rumah yang dapat melindungi masuknya debu dalam rumah. Atap sebaiknya

diberi plafon atau langit-langit, agar debu tidak langsung masuk ke dalam rumah, atap dapat

digunakan untuk menahan aliran udara ke atas, sehingga pertukaran udara di dalam menjadi

berbeda (penggunaan bahan atau jenis yang berbeda akan mempengaruhi suhu udara yang

dengan sendirinya akan ikut mempengaruhi kualitas udara).

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi, yaitu untuk menjaga agar aliran udara di

dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O

2

yang diperlukan oleh

penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O

2

di dalam rumah yang berarti kadar CO

2

yang bersifat racun akan meningkat. Fungsi lain dari

ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri

patogen, karena terjadi aliran udara yang terus menerus. Fungsi lain adalah untuk menjaga

agar ruangan rumah selalu tetap di dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2007).

Syarat ventilasi yang baik minimal 10% dari luas lantai (Kepmenkes RI, 1999)

Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi dengan jumlah anggota

keluarga penghuni tersebut. Berdasarkan Dir. Higiene dan Sanitasi Depkes RI, 1993 maka

kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar (2 orang per 8 m2) dan

kepadatan tinggi yaitu lebih 2 orang per 8 m2 dengan ketentuan anak <1 tahun tidak

diperhitungkan dan umur 1-10 tahun dihitung setengah (Mukono, 2000:156).

Kelembaban mengacu pada jumlah partikel air (uap air) yang ada di udara. Pengaruh

tingkat kelembaban tinggi udara akan membawa lebih banyak uap air yang dapat

mengakibatkan kondisi seperti embun pada permukaan yang dingin, menyebabkan

(5)

kelembaban di sekitar rumah. Sebagai kumpulan air yang terbentuk pada dinding, jendela dan

pintu, permukaan ini mengundang berkembangbiaknya jamur dan lumut yang menjadi

sumber berbagai masalah kesehatan kita. Sedangkan ketika kelembaban turun, udara menjadi

kering. Seperti udara lembab yang sangat tinggi, udara kering juga dapat menyebabkan

masalah kesehatan, ketika bernafas dalam udara dingin dan sangat kering, kemungkinan

mengalami kesulitan bernafas atau mendapatkan sakit tenggorokan saat pagi dan malam hari.

Faktor pengaruh lain kejadian asma yaitu sumber polutan dalam rumah ; penggunaan

bahan jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak jelas akan mempengaruhi polusi

asap dapur ke dalam rumah yang dapurnya menyatu dengan rumah. Penyebaran partikel udara

yang berbentuk partikel-partikel kecil padatan dan cairan, misalnya dalam bentuk asap dari

proses pembakaran biasanya berukuran diameter di antara 1-10 mikron dapat masuk ke dalam

tubuh manusia terutama melalui sistem pernafasan, oleh karena itu pengaruh yang merugikan

langsung terutama terjadi pada sistem pernafasan (Srikandi Fardiaz, 1992:137-138).

Pemakaian obat anti nyamuk; ada dua jenis obat nyamuk yang dipakai di masyarakat,

yaitu obat nyamuk semprot dan obat nyamuk bakar/asap. Disamping fungsinya untuk

mengusir bahkan membunuh nyamuk, ternyata obat nyamuk juga dapat menjadi sumber

pencemaran udara dalam rumah, dan apabila obat nyamuk tersebut mengandung S

2

(Octaclorophyl ether) dapat mengeluarkan

Bischlorometyl ether

atau BCME walaupun dalam

konsentrasi rendahpun saja dapat menyebabkan gangguan pernapasan, batuk, iritasi hidung,

tenggorokan dan pendarahan.

Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam rumah merupakan faktor lain

penyebab kekambuhan asma, dimana zat iritan tersebut menghasilkan campuran gas yang

komplek dan partikel-partikel berbahaya. Lebihdari 4500 jenis kontaminan telah dideteksi

dalam tembakau, diantaranya hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida,

nitrit oksida, nikotin, dan akrolein. Di udara asap rokok berpotensi untuk di absorbsi oleh

permukaan benda-benda yang terdapat di dalam ruang. Faktor-faktor ukuran ruang, luas

permukaan ruang, jenis permukaan ruang, ventilasi, kelembaban, suhu dan adanya partikulat

lain seperti gas atmosfer mempengaruhi komposisi asap rokok yang berada dalam ruang.

Faktor kekambuhan asma dapat juga terjadi berdasarkan karakteristik individu ; jenis

kelamin, pada anak-anak perbandingan antara penderita laki-laki dengan perempuan adalah

1,5 : 1 (Novem, 2002). Namun pada usia dewasa prevalensi perempuan penderita asma lebih

banyak dibandingkan laki-laki. Peningkatan resiko pada anak laki-laki sepertinya tidak

berhubungan dengan jenis kelamin. Melainkan berhubungan dengan penyempitan saluran

napas dan peningkatan

airways tone

pada anak laki-laki yang menjadi faktor predisposisi

(6)

untuk meningkatkan terbatasnya aliran napas sebagai respons dari berbagai rangsangan, umur

dan riwayat genetik.

Faktor umur, diduga terkait dengan sistem kekebalan tubuh. Asma dapat menyerang

semua manusia baik laki-laki maupun perempuan pada semua tingkat usia, terutama pada usia

kurang dari 5 tahun karena daya tahan tubuh balita lebih rendah dari orang dewasa sehingga

mudah terserang penyakit. Faktor genetika, risiko orang tua dengan asma mempunyai anak

dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma Faktor ibu

ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan

8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila

anak alergi terhadap tungau debu rumah.

Peningkatan prevalensi asma kemungkinan disebabkan kombinasi antara faktor genetika

dan lingkungan. Ada hubungan antara asma, alergi dan keturunan tetapi bagaimana asma dan

alergi tersebut diturunkan juga belum ada penjelasan yang pasti. Tampaknya faktor genetika

merupakan faktor predisposisi dari asma dan faktor lingkungan bertanggung jawab sebagai

pengaktivasinya.

Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah studi kasus kontrol (

case control

)

menggunakan data primer (pengukuran dan kuesioner) dan data sekunder yaitu data kasus

asma akut tahun 2012 di wilayah Jakarta Timur. Kasus dalam penelitian ini adalah penderita

Asma akut yang diperoleh dari data rekam medis rawat inap serta IGD poli asma dan paru di

Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan pada bulan Januari – Desember 2012 yang

berdomisili di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur dan sebagai kontrolnya adalah

keluarga yang tidak menderita asma akut.

Besar sampel yang diambil dalam penelitian sebanyak 88 sampel, dengan perbandingan

besar sampel 1 : 1, dimana sampel terdiri dari 44 responden sebagai kelompok kasus dan 44

responden sebagai kelompok kontrol. Metode pengambilan sampel dengan

purposive

sampling

yaitu metode sampling yang tidak menggunakan metode acak sebagai teknik

penentuan sampel yang dipilih oleh peneliti berdasarkan ciri khusus yang sesuai dengan

rancangan penelitian.

Variabel penelitian terdiri dari variabel independen yang meliputi Kondisi Fisik rumah

(jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, ventilasi, kepadatan penghuni, suhu, kelembaban),

Sumber polutan dalam rumah (Jenis bahan bakar yang digunakan dan Penggunaan obat

(7)

nyamuk bakar), Zat iritan dalam rumah (Asap rokok) dan Karakteristik individu (Jenis

kelamin, Umur, Riwayat genetik). Variabel dependen adalah tingkat kasus asma akut yang

didiagnosa oleh tenaga kesehatan dalam 12 bulan terakhir. Analisis data dalam penelitian ini

adalah analisis univariat dan bivariat. Data yang didapatkan dari hasil penelitian kemudian

dianalisis dengan menggunakan chi-square.

Hasil Penelitian

Analisis Univariat

1. Faktor Kondisi Kesehatan Lingkungan Fisik Rumah

Faktor lingkungan terhadap kejadian asma akut yang diteliti dalam penelitian ini diantaranya Fisik Rumah (Jenis lantai, Jenis dinding, Jenis atap, Ventilasi, Kepadatan hunian, Suhu, Kelembaban), diperoleh hasil seperti pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Kondisi Kesehatan Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kasus Asma Akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Jumlah Persentase (%)

Jenis Lantai

- Tidak memenuhi syarat (TMS) (tanah, papan/semen, kondisi rusak) - Memenuhi syarat (MS)

(semen/ubin/teraso/keramik, kondisi tidak rusak)

27 61

30,7 69,3

Jenis Dinding

- TMS (kayu/bambu/triplek/papan, tidak diplester, berwarna gelap, kotor )

- MS (batu bata, diplester, berwarna terang, bersih)

20 68

22,7 77,3

Jenis Atap

- TMS (dilapisi asbes,tidak utuh, tidak ada langit-langit)

- MS (ada langit-langit, kondisi utuh)

44 44 50,0 50,0 Ventilasi - TMS (< 10% luas lantai) - MS (≥ 10% luas lantai) 38 50 43,2 56,8 Kepadatan Penghuni - TMS (< 4 m2/orang) - MS (≥ 4 m2/orang) 36 52 40,9 59,1 Suhu - TMS (< 18°C atau > 30°C) - MS (18 - 30°C) 14 74 15,9 84,1 Tingkat kelembaban - TMS (< 40% atau > 70%) - MS (40 – 70%) 61 27 69,3 30,7

(8)

Berdasarkan tabel 5.6, diperoleh hasil Pada variabel jenis lantai yang tidak memenuhi syarat berjumlah 27 rumah (30,7%), sementara yang memenuhi syarat berjumlah 61 rumah (69,3%). Pada variabel jenis dinding, sebanyak 20 rumah (22,7%) tidak memenuhi syarat dan 68 rumah (77,3%) memenuhi syarat. Pada variabel jenis atap, antara yang memenuhi syarat dengan yang tidak memenuhi syarat memiliki nilai yang sama yaitu masing-masing sebanyak 44 rumah (50,0%). Untuk variabel ventilasi, sebanyak 38 rumah (43,2%) tidak memenuhi syarat dan sebagian berjumlah 50 rumah (56,8%) memenuhi syarat. Untuk variabel kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat berjumlah 36 rumah (40,9%), sementara yang memenuhi syarat berjumlah 52 rumah (59,1%). Untuk variabel suhu yang tidak memenuhi syarat berjumlah 14 rumah (15,9%), sementara sebagian besar masih memenuhi syarat sejumlah 74 rumah (84,1%). Sedangkan untuk variabel tingkat kelembaban sebagian besar yang tidak memenuhi syarat berjumlah 61 rumah (69,3%), sementara yang memenuhi syarat sejumlah 27 rumah (30,7%).

2. Faktor Sumber Polutan dalam Rumah

Tabel 2. Sumber Polutan dalam Rumah Terhadap Kasus Asma Akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Jumlah Persentase (%)

Jenis bahan bakar yang digunakan

- TMS (kayu bakar/minyak tanah) - MS (gas/listrik)

1 87

1,1 98,9

Penggunaan obat nyamuk bakar

- Ya - Tidak 5 83 5,7 94,3

Berdasarkan tabel 2, diperoleh hasil untuk sumber polutan dalam rumah pada variabel jenis bahan bakar yang digunakan yang tidak memenuhi syarat hanya ada 1 rumah (1,1%) yang masih menggunakan bahan bakar memasak dengan kayu bakar, sementara yang memenuhi syarat sebagian besar responden berjumlah 87 rumah (98,9%) telah menggunakan bahan bakar gas untuk memasak. Untuk variabel penggunaan obat nyamuk bakar, yang masih menggunakan obat nyamuk bakar berjumlah 5 responden (5,7%), sementara sebagian besar 83 responden (94,3%) tidak menggunakan obat nyamuk bakar, tetapi masih menggunakan obat nyamuk jenis lain seperti obat nyamuk semprot dan elektrik.

3. Faktor Zat Iritan (Asap Rokok)

Tabel 3. Zat Iritan dalam Rumah Terhadap Kasus Asma Akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Jumlah Persentase (%)

Asap Rokok - Ya - Tidak 53 35 60,2 39,8

Berdasarkan tabel 3, diperoleh hasil untuk zat iritan dalam rumah pada variabel asap rokok, sebagian besar responden merokok dalam rumah berjumlah 53 orang (60,2%), sementara yang tidak merokok berjumlah 35 orang (39,8%).

4. Faktor Karakteristik Individu

Karakteristik individu terhadap asma akut yang diteliti dalam penelitian ini adalah Jenis Kelamin, Umur dan Riwayat Genetik. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.

(9)

Tabel 4. Karakteristik Individu Terhadap Kasus Asma Akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Jumlah Persentase (%)

Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Umur - 11-19 tahun - 20-44 tahun - ≥ 45 tahun 31 57 5 33 50 35,2 64,8 5,7 37,5 56,8 Riwayat Genetik - Ada - Tidak ada 64 24 72,7 27,3

Berdasarkan tabel 4. diperoleh hasil, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan 57 orang (64,8%) sementara yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 31 orang (35,2%). Karakteristik individu menurut umur yaitu 5 responden (5,7%) masuk kategori umur 11-19 tahun, 33 responden (37,5%) masuk kategori umur 20-44 tahun, sedangkan sebagian besar responden masuk kategori umur ≥ 45 tahun berjumlah 50 orang (56,8%). Sedangkan untuk variabel riwayat genetik, sebagian besar responden 64 orang (72,7%) ada riwayat genetik keluarga asma sementara tidak ada riwayat genetik keluarga asma berjumlah 24 ressponden (27,3%)

Analisis Bivariat

1. Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kasus Asma Akut

Hubungan kondisi kesehatan lingkungan fisik rumah yang terdiri dari jenis lantai, jenis dinding, jenis atap, ventilasi, kepadatan hunian, suhu, kelembaban) dengan kasus asma akut. Dapat terlihat dalam tabel 5. di bawah ini :

Tabel 5. Hubungan Kondisi Kesehatan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kasus Asma Akut di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Kategori Kasus Kontrol P-value OR ( 95% CI)

Frek % Frek % Jenis lantai - TMS - MS 13 31 48,1 50,8 14 30 51,9 49,2 1,000 0,899 (0,363 – 2,225) Jenis dinding - TMS - MS 9 35 45,0 51,5 11 33 55,0 48,5 0,800 0,771 (0,283 – 2,099) Jenis atap - TMS - MS 22 22 50,0 50,0 22 22 50,0 50,0 1,000 1,000 (0,434 – 2,307) Ventilasi - TMS - MS 20 24 52,6 48,0 18 26 47,4 52,0 0,830 1,204 (0,517 – 2,801) Kepadatan penghuni - TMS - MS 19 25 52,8 48,1 17 27 47,2 51,9 0,829 1,207 (0,515 – 2,827) Suhu - TMS - MS 7 37 50,0 50,0 7 37 50,0 50,0 1,000 1,000 (0,319 – 3,134) Kelembaban - TMS - MS 32 12 52,5 44,4 29 15 47,5 55,6 0,644 1,379 (0,555 – 3,428)

(10)

Berdasarkan tabel 5. di atas menunjukkan bahwa hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square untuk kondisi kesehatan lingkungan fisik rumah dengan uraian hasil sebagai berikut :

Kategori jenis lantai tidak memenuhi syarat pada kasus dari 13 rumah diperoleh sebesar 48,1%, dan pada kontrol dari 14 rumah diperoleh sebesar 51,9%. Sedangkan kategori jenis lantai memenuhi syarat pada kasus dari 31 rumah diperoleh sebesar 50,8%, dan pada kontrol dari 30 rumah diperoleh sebesar 49,2%. Pada analisis hubungan di dapatkan nilai p = 1,000, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara jenis lantai dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Uji statistik juga diperoleh nilai OR = 0,899 (CI=0,363-2,225), artinya responden yang mempunyai jenis lantai tidak memenuhi syarat akan mempunyai resiko untuk terjadinya asma akut sebesar 0,899 kali dibandingkan dengan yang memiliki jenis lantai memenuhi syarat.

Untuk variabel jenis dinding, pada kasus yang tidak memenuhi syarat sebesar 9 responden (45,0%) dan pada kontrol sebesar 11 responden (55,0%), sedangkan yang memenuhi syarat pada kasus sebesar 35 responden (51,5%) dan pada kontrol sebesar 33 responden (48,5%). Hasil uji statistik diperoleh p = 0,800, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara jenis dinding dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan nilai OR = 0,771 (CI = 0,283 – 2,009) artinya responden yang mempunyai jenis dinding tidak memenuhi syarat akan mempunyai resiko untuk terjadinya asma akut sebesar 0,771 kali dibandingkan dengan yang memiliki jenis lantai memenuhi syarat.

Untuk variabel jenis atap yang tidak memenuhi syarat dan memenuhi syarat pada kasus dan kontrol memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 22 responden (50,0%). Pada analisis hubungan ternyata didapatkan nilai p = 1,000, berarti secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara jenis atap dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 1,000 (CI = 0,434 – 2,307) artinya responden yang tinggal di rumah dengan jenis atap tidak memenuhi syarat beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan jenis atap memenuhi syarat.

Untuk variabel ventilasi, pada kasus yang tidak memenuhi syarat sebesar 20 responden (52,6%) dan pada kontrol sebesar 18 responden (47,4%), sedangkan yang memenuhi syarat pada kasus sebesar 24 responden (48,0%) dan pada kontrol sebesar 26 responden (52,0%). Pada analisis hubungan ternyata didapatkan nilai p = 0,830, berarti secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara ventilasi dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 1,204 (CI = 0,517– 2,801) artinya responden yang tinggal di rumah dengan ventilasi tidak memenuhi syarat beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan ventilasi memenuhi syarat.

Untuk variabel kepadatan penghuni, pada kasus yang tidak memenuhi syarat sebesar 19 responden (52,8%) dan pada kontrol sebesar 17 responden (47,2%), sedangkan yang memenuhi syarat pada kasus sebesar 25 responden (48,1%) dan pada kontrol sebesar 27 responden (51,9%). Pada analisis hubungan didapatkan nilai p = 0,829, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara kepadatan penghuni dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 1,207 (CI = 0,515– 2,827) artinya responden yang tinggal di rumah dengan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan kepadatan penghuni memenuhi syarat.

Untuk variabel suhu dalam rumah, pada kasus dan kontrol yang tidak memenuhi syarat memiliki hasil yang sama yaitu sebesar 7 responden (50,0%), sedangkan yang memenuhi syarat pada kasus dan kontrol juga memiliki hasil yang sama yaitu sebesar 37 responden (50,0%). Hasil uji statistik diperoleh p = 1,000, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara suhu dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 1,000 (CI = 0,319 – 3,134) artinya responden yang tinggal di rumah dengan suhu tidak memenuhi syarat beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan suhu memenuhi syarat.

Untuk variabel kelembaban, pada kasus sebagian besar yang tidak memenuhi syarat sebesar 32 responden (52,5%) dan pada kontrol sebesar 29 responden (47,5%), sedangkan yang memenuhi syarat pada kasus sebesar 12 responden (44,4%) dan pada kontrol sebesar 15 responden (55,6%). Hasil uji statistik diperoleh p = 0,644, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 1,379 (CI = 0,555 – 3,428).

2. Hubungan Sumber Polutan Dalam Rumah dengan Kasus Asma

Hubungan sumber polutan dalam rumahyang terdiri dari jenis bahan bakar yang digunakan, penggunaan obat nyamuk bakar dengan kasus asma akut. Dapat dilihat pada tabel 6. di bawah ini.

(11)

Tabel 6. Hubungan Sumber Polutan Dalam Rumah dengan Kasus Asma Akut di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Kategori Kasus Kontrol P-value OR ( 95% CI)

Frek % Frek % Jenis bahan bakar yang digunakan - Kayu bakar/ minyak tanah - Gas/listrik 0 44 0 50,6 1 43 100 49,4 1,000 2,023 (1,636 – 2,502) Penggunaan obat nyamuk bakar - Ya - Tidak 2 42 40,0 50,6 3 41 60,0 49,4 1,000 0,651 (0,103 – 4,099)

Berdasarkan tabel 6. di atas menunjukkan bahwa hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square untuk sumber polutan dalam rumah dengan uraian hasil sebagai berikut :

Pada variabel jenis bahan bakar yang digunakan, untuk kasus tidak ada yang menggunakan bahan bakar dengan kayu bakar dan pada kontrol hanya ada 1 responden yang menggunakan bahan bakar masak dengan kayu bakar, sedangkan sebagian besar telah menggunakan jenis bahan bakar gas untuk memasak yaitu pada kasus sebesar 44 responden (50,6%) dan pada kontrol sebesar 43 responden (49,4%). Hasil uji statistik diperoleh p = 1,000, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara jenis bahan bakar yang digunakan dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 2,023 (CI = 1,636 – 2,502) artinya responden yang menggunakan jenis bahan bakar dengan kayu bakar beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang menggunakan jenis bahan bakar dengan gas.

Untuk variabel penggunaan obat nyamuk bakar, pada kasus yang masih menggunakan obat nyamuk bakar hanya sebesar 2 responden (40,0%) dan pada kontrol sebesar 3 responden (60,0%), sedangkan sebagian besar sudah tidak menggunakan obat nyamuk bakar pada kasus sebesar 42 responden (50,6%) dan pada kontrol sebesar 41 responden (49,4%). Hasil uji statistik diperoleh p = 1,000, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara penggunaan obat nyamuk bakar dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 0,651 (CI = 0,103 – 4,099) artinya responden yang menggunakan obat nyamuk bakar beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang menggunakan obat nyamuk bakar.

3. Hubungan Zat Iritan Dalam Rumah

Tabel 7. Hubungan Zat Iritan Dalam Rumah dengn Kasus Asma Akut di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Kategori Kasus Kontrol P-value OR ( 95% CI)

Frek % Frek % Asap rokok - Ya - Tidak 28 16 52,8 45,7 25 19 47,2 54,3 0,663 1,330 (0,565 – 3,131)

Berdasarkan tabel 7. di atas menunjukkan hasil penelitian, pada variabel asap rokok, diperoleh informasi bahwa diantara responden yang kasus, responden yang merokok sebanyak 28 orang (52,8%) dan pada kontrol responden yang merokok sebanyak 25 orang (47,2%) sedangkan responden yang tidak merokok pada kasus sebanyak 16 orang dan pada kontrol responden yang tidak merokok sebanyak 19 orang (54,3%) Hasil uji statistik diperoleh p = 0,663, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara asap rokok dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 1,330 (CI = 0,565 – 3,131) artinya responden yang merokok beresiko untuk terkena asma akut lebih besar dibandingkan responden yang tidak merokok.

(12)

4. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kasus Asma Akut

Tabel 8. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kasus Asma Akut di Wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

Variabel Kategori Kasus Kontrol P-value OR ( 95% CI)

Frek % Frek %

Jenis kelamin - Laki-laki - Perempuan 8 36 25,8 63,2 23 21 74,2 36,8 0,002 0,203 (0,077 – 0,534) Umur - < 30 tahun - > 30 tahun 8 36 66,7 47,4 4 40 33,3 52,6 0,352 2,222 (0,617 – 8,008)

Riwayat genetik - Ada - Tidak ada 43 1 67,2 4,2 21 23 32,8 95,8 0,000 47,095 (5,949 – 372,847)

Berdasarkan tabel 8. di atas menunjukkan bahwa hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji chi square untuk sumber polutan dalam rumah dengan uraian hasil sebagai berikut :

Pada variabel jenis kelamin, responden laki-laki pada kasus hanya ada 8 orang (22,8%) dan pada kontrol sebesar 23 orang (74,2%). Sedangkan sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan pada kasus sebesar 36 responden (63,2%) dan kontrol sebesar 21 responden (36,8%). Hasil uji statistik diperoleh p = 0,002, artinya secara statistik ada hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 0,203 (CI = 0,077 – 0,534) artinya responden berjenis kelamin laki-laki mempunyai resiko untuk terjadinya asma akut sebesar 0,203 kali dibandingkan dengan perempuan.

Untuk variabel umur, pada kasus yang berumur < 30 tahun sebesar 8 responden (66,7%) dan kontrol sebesar 4 responden (33,3%), sedangkan sebagian besar berumur > 30 tahun pada kasus sebesar 36 responden (47,4%) dan pada kontrol sebesar 40 responden (52,6%). Hasil uji statistik diperoleh p = 0,352, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 2,222 (CI = 0,617 – 8,008) artinya responden yang berumur > 30 tahun mempunyai resiko untuk terjadinya asma akut sebesar 2,222 kali dibandingkan dengan yang berumur < 30 tahun.

Untuk variabel riwayat genetik, pada kasus diperoleh sebagian besar ada riwayat genetik keluarga asma sebesar 43 responden (67,2%) dan kontrol sebesar 21 responden (32,8%), sedangkan yang tidak ada riwayat genetik keluarga asma pada kasus hanya ada 1 responden (4,2%) dan pada kontrol sebesar 23 responden (95,8%). Hasil uji statistik diperoleh p = 0,000, artinya secara statistik ada hubungan bermakna antara riwayat genetik dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Dengan diperoleh OR = 47,095 (CI = 5,949 – 372,847).

Pembahasan

1. Hubungan Jenis Lantai dengan Kasus Asma Akut

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 88 rumah di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur, diketahui bahwa rumah yang mempunyai lantai tidak memenuhi syarat adalah 27 rumah (30,7%) dimana pada kelompok responden kasus dengan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat adalah sebesar 13 rumah (48,1%) dan pada kelompok kontrol sebesar 14 rumah (51,9%), sedangkan rumah yang mempunyai lantai memenuhi syarat pada kelompok responden kasus adalah 31 rumah (50,8%) dan pada kelompok kontrol sebesar 30 rumah (49,2%). Artinya sebagian besar responden telah memiliki jenis lantai rumah yang memenuhi syarat. Pada hasil analisis hubungan di dapatkan nilai p = 1,000, sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

(13)

penelitian Wahyudi (2002), bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis lantai dengan kasus asma dengan nilai p = 1,000 dan juga berdasarkan penelitian dari Edwan (2008) dengan p = 0,84.

Rumah dengan kondisi lantai yang tidak permanen mempunyai kontribusi yang besar terhadap penyakit pernapasan, karena menghasilkan debu lebih banyak, terlebih pada musim kemarau. Debu yang dihasilkan dari lantai tanah kemudian terhirup dan menempel pada saluran pernapasan. Akumulasi debu tersebut akan menyebabkan elastisitas paru akan menurun dan menyebabkan kesukaran bernapas (Nurjazuli, 2009).

2. Hubungan Jenis Dinding dengan Kasus Asma Akut

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap jenis dinding dengan nilai p=0,800 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kasus asma akut. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Novem (2002), bahwa jenis dinding secara statistik dengan p=0,047, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara jenis dinding dengan kasus asma. Perbedaan ini kemungkinan terjadi karena responden yang terkena asma ternyata lebih banyak terdapat pada rumah yang memiliki jenis dinding yang tidak memenuhi syarat atau mungkin disebabkan karena adanya perbedaan wilayah penelitian atau jumlah sampel yang kurang sehingga menyebabkan ini tidak bermakna.

Dinding yang tidak permanen atau tidak kedap air dapat menyebabkan kelembaban ruangan menjadi tinggi dan dapat menimbulkan debu. Kondisi dinding yang tidak rapat dapat menyebabkan masuknya polutan dari luar ruangan seperti debu, asap, atau kotoran lainnya.

3. Hubungan Jenis Atap dengan Kasus Asma Akut

Berdasarkan hasil penelitian pada variabel jenis atap yang tidak memenuhi syarat yaitu kondisi atap dengan genting yang dilapisi asbes, tidak menggunakan langit-langit dan dalam keadaan rusak dengan yang memenuhi syarat yaitu kondisi atap dengan genting yang menggunakan langit-langit dan dalam keadaan tidak rusak pada kasus dan kontrol memiliki nilai yang sama yaitu sebesar 22 orang (50,0%). hasil uji statistik yang diperoleh p = 1,000 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis atap dengan kasus asma akut, dengan nilai OR = 1,000 (CI = 0,434 – 2,307), artinya responden yang tinggal di rumah dengan jenis atap tidak memenuhi syarat akan beresiko terjadinya asma akut sebesar 1,000 dibandingkan dengan responden yang tinggal di rumah dengan jenis atap memenuhi syarat.

Atap rumah merupakan bagian dari bangunan yang befungsi sebagai penutup/pelindung bangunan dari panas terik matahari dan hujan sehingga memberikan kenyamanan bagi pengguna bangunan. Atap rumah merupakan bagian penting pada konstruksi bangunan rumah karena berada diatas untuk menutupi seluruh bagian bangunan dan melindungi penghuninya dari berbagai kontaminan dari lingkungan luar.

(14)

4. Hubungan Ventilasi dengan Kasus Asma Akut

Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis harus cukup. Agar terjadi sirkulasi udara yang baik, maka diperlukan ventilasi minimal 10% luas lantai (Kepmenkes RI 829, 1999). Apabila luas ventilasi < 10% luas lantai, maka proses sirkulasi udara dalam rumah tidak berjalan dengan normal serta udara dalam rumah akan terasa lebih panas dan lembab. Disamping itu, ventilasi juga berfungsi sebagai sarana masuknya sinar matahari ke dalam rumah, terutama di waktu pagi sehingga rumah tidak lembab dan mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya mikroorganisme di dalam rumah.

Dalam penelitian ini dijumpai bahwa secara statistik ventilasi tidak berhubungan dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012. Sebanyak 43,2% luas ventilasi rumah responden < 10% dari luas lantai, sedangkan sisanya 56,8% sudah memenuhi syarat (≥ 10% dari luas lantai). Luas ventilasi hunian yang baik merupakan penghawaan atau ventilasi udara optimum mendukung kesehatan penghuninya adalah 10-20% luas lantai (Depkes, 2009).

Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi rumah dengan kasus asma akut, dengan diperoleh OR = 1,204 artinya responden yang tinggal di rumah dengan ventilasi tidak memenuhi syarat beresiko untuk terkena asma akut 1,204 kali dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan ventilasi memenuhi syarat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Lukman (2011) yang menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian asma p = 0, 162. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kurniawati (2006), yang menyatakan tidak ada hubungan luas ventilasi atau jendela dengan kejadian asma p = 0,612.

5. Hubungan Kepadatan Penghuni dengan Kasus Asma Akut

Rumah menurut Depkes (2009) adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Disamping fungsinya sebagai tempat beristirahat, rumah juga masih diisi berbagai jenis barang seperti lemari, meja dan sebagainya, hal ini menyebabkan rumah semakin padat. Dengan semakin padatnya rumah menyebabkan kondisi dalam rumah terasa pengap dan penghuni di dalamnya sulit untuk bernapas. Ini terjadi karena suhu udara di dalam ruangan menjadi tinggi yang akhirnya udara terasa lebih panas dan lembab sebagai akibat uap air dari penguapan metabolisme tubuh dan benda-benda yang ada di dalam rumah.

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap kepadatan penghuni dengan nilai p=0,829 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan penghuni dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012. Dengan OR = 1,207 artinya responden yang tinggal di rumah dengan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat beresiko untuk terkena asma akut sebesar 1,207 kali dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan kepadatan penghuni memenuhi syarat.

(15)

Berdasarkan hasil penelitian, untuk variabel kepadatan penghuni, pada kasus yang tidak memenuhi syarat sebesar 19 responden (52,8%) dan pada kontrol sebesar 17 responden (47,2%), sedangkan yang memenuhi syarat pada kasus sebesar 25 responden (48,1%) dan pada kontrol sebesar 27 responden (51,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian dari Wahyudi (2002), bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian asma dengan nilai p = 0,671. 6. Hubungan Suhu dengan Kasus Asma Akut

Berdasarkan indikator persyaratan rumah sehat, suhu rumah memenuhi syarat kesehatan adalah antara 18-30 ºC, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <18 dan >30ºC. Suhu dalam ruangan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Walton (1991), suhu berperan penting untuk metabolisme tubuh, konsumsi dengan oksigen dan tekanan darah. Sedangkan Lennihan dan Filter (1998), mengemukakan bahwa suhu rumah tidak memenuhi syarat kesehatan akan menghilangkan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh akan menurunkan vitalisasi tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular.

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap suhu ruang dengan nilai p = 1,000 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu dalam rumah dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012. Dengan OR = 1,000 artinya responden yang tinggal di rumah dengan suhu <18 dan >30ºC beresiko untuk terkena asma akut sebesar 1,000 kali dibandingkan responden yang tinggal di rumah dengan suhu 18-30 ºC.

7. Hubungan Kelembaban dengan Kasus Asma Akut

Berdasarkan hasil penelitian terhadap 88 rumah di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur, diketahui bahwa rumah yang tingkat kelembabannya < 40 % atau > 70 % sebesar 61 rumah (69,3%) dimana pada kelompok responden kasus dengan kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat sebesar 32 rumah (52,5%) dan pada kontrol sebesar 29 rumah (47,5%), sedangkan rumah yang mempunyai kelembaban 40 – 70% sebesar 27 rumah (30,7%), dimana pada kelompok responden kasus adalah 12 rumah (44,4%) dan pada kontrol sebesar 15 rumah (55,6%). Artinya sebagian besar responden memiliki rumah yang kelembabannya belum memenuhi syarat.

Pada hasil analisis hubungan di dapatkan nilai p = 0,644, sehingga tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Valint (2011) bahwa kelembaban secara statistik dengan p= 0,045, yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara kelembaban relatif pada rumah dengan kejadia asma. Penelitian lain dari Ari Dwi (2006), yang menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara kelembaban dengan kejadian serangan asma p = 0,02.

(16)

Kelembaban udara yang lebih dari 55% dapat menyebabkan adanya alergen tungau debu dan mold merupakan faktor pencetus serangan asma (Ari, 2006). Menurut GINASTHMA menyatakan bahwa keberadaan alergen tungau debu pada suatu kamar apabila kamar berkelembaban lebih 55%, sedangkan alergen mold pada kelembaban udara lebih dari 60%. Hal ini diperkuat pula oleh penelitian DP. Strachan and SH. Sander menyatakan bahwa kelembaban udara mampu menimbulkan adanya alergen tungau debu dan mold. Alergen tersebut merupakan alergen asma.

8. Hubungan Jenis Bahan Bakar yang Digunakan dengan kasus asma akut

Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap jenis bahan bakar yang digunakan dengan nilai p =

1,000 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis bahan bakar yang digunakan dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012. Dengan OR = 2,023 artinya yang menggunakan jenis bahan bakar dengan kayu bakar beresiko untuk terkena asma akut beresiko untuk terkena asma akut sebesar 2,023 kali dibandingkan responden yang menggunakan jenis bahan bakar dengan gas.

Jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari mempunyai efek yang berbeda-beda terhadap kesehatan penghuni rumah. Hal ini terkait dengan jenis polutan yang dihasilkan oleh masing-masing jenis bahan bakar tersebut. Sebagian besar masyarakat yang masih menggunakan kayu bakar untuk kegiatan masak sehari-hari di rumah. Pembakaran bahan bakar kayu tersebut menghasilkan debu, Karbonmonoksida, hidrokarbon dan berbagai polutan lainnya yang dapat terhisap melalui saluran pernapasan. 94% partikulat hasil pembakaran bahan bakar kayu berukuran diameter antara 1 – 3 µm, dan hanya 6% berukuran diameter kurang dari 1 µm. Semua polutan hasil pembakaran bahan bakar tersebut memunyai bahaya yang sangat penting pada kesehatan manusia. 9. Hubungan Penggunaan Obat Nyamuk Bakar dengan Kasus Asma Akut

Obat anti nyamuk bakar merupakan salah satu bentuk insektisida yang banyak digunakan masyarakat untuk mengusir nyamuk pada saat penghuni rumah sedang tidur. Obat anti nyamuk bakar merupakan bahan beracun dan berbahaya terhadap kesehatan (yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam pemakainnya tidak semua rumah dapat menggunakan hanya rumah yang memenuhi syarat kesehatan yaitu yang cukup ventilasi karena asap yang dihasilkan pada proses pembakarannya mengurangi proporsi kandungan oksigen dalam ruangan) (Sinaga, 2012).

Berdasarkan dari hasil analisis univariat menerangkan bahwa 5,7% keluarga responden masih menggunakan obat nyamuk bakar dan 94,3% keluarga responden tidak menggunakan obat nyamuk bakar. Dari hasil analisis bivariat menerangkan bahwa tidak terdapat hubungan pada penggunaan obat nyamuk bakar dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Laisina (2005), bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan obat nyamuk dengan kejadian asma dengan nilai p = 0,051.

(17)

10. Hubungan Zat Iritan (Asap Rokok) Dalam Rumah dengan Kasus Asma Akut

Pada analisis univariat menerangkan bahwa prosentase responden yang menyatakan bahwa adanya anggota keluarga yang merokok (60,2%) lebih besar dibandingkan responden yang menyatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang merokok (39,8%). Hasil analisis hubungan antara asap rokok sebagai zat iritan dalam rumah dengan asma akut, Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,663, artinya secara statistik tidak ada hubungan bermakna antara asap rokok dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Nilai OR = 1,330, artinya responden yang merokok beresiko untuk terkena asma akut 1,330 kali dibandingkan responden yang tidak merokok.

Hasil penelitian ini sejalan dengan beberapa penelitian dari Hapsari, dkk (2004) yang menyatakan

tidak ada hubungan perilaku merokok dengan penyakit asma karena nilai p > 0,05  p = 0,07.

Penelitian dari Lukman (2011) dengan nilai p=0,222, Kurniawati (2006) nilai p = 0,007 dan penelitian dari Wati (2006), Hasil analisis hubungan antara perilaku merokok dengan serangan asma diperoleh bahwa Hasil uji statistik nilai pvalue 0,545 = tidak ada hubungan perilaku merokok dengan serangan asma. Penelitian ini bertentangan dengan teori yang ada yang mengatakan bahwa kebanyakan orang yang mengidap asma peka terhadap asap. Hal ini terjadi karena paru-paru yang terkena asma cenderung bertindak berlebihan ketika asap merangsang reseptor sensitif dalam saluran pernapasan. Reseptor ini membawa pesan yang membuat otot disekitar saluran pernapasan berkontraksi. Akibatnya saluran pernapasan menjadi sempit dan menyebabkan gejala asma (Novi wati, 2006).

Perbedaan hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh karakteristik responden yang berbeda dan juga dipengaruhi gaya hidup yang juga berbeda. Sebagaimana juga diketahui bahwa rokok adalah salah satu faktor yang dapat memicu timbulnya serangan asma. Perbedaan juga terjadi karena disebabkan oleh perbedaan wilayah penelitian, jumlah sampel penelitian yang tidak sama dan alat serta metode penelitian yang digunakan.

11. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kasus Asma Akut

Dari analisis bivariat ternyata ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kasus asma akut, diperoleh p = 0,002. Dengan nilai OR = 0,203 artinya responden berjenis kelamin laki-laki mempunyai resiko untuk terjadinya asma akut sebesar 0,203 kali dibandingkan dengan perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Purnomo (2008) bahwa hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian asma bronkiale secara statistik bermakna dengan nilai p=0,03.

Namun, penelitian ini bertentangan dengan beberapa penelitian dari Wati (2006) dengan hasil uji

statistik diperoleh nilai P-value 0,78 dapat disimpulkan tidak ada hubungan serangan asma dengan

jenis kelamin. Dan penelitian dari Novem P = 0,470, berarti tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan prevalensi asma. Serta Laisina (2005) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian asma (p = 0,318).

Asma pada laki-laki bukan disebabkan oleh faktor gender tetapi berhubungan dengan adanya

(18)

faktor predisposisi untuk meningkatkan batasan aliran napas sebagai respon dari berbagai rangsangan. Beberapa fakta lain yang mendukung hipotesis ini adalah beberapa observasi perbedaan tersebut hilang pada usia 10 tahun, dimana pada usia tersebut rasio ukur diam/panjang saluran napas pada kedua jenis kelamin, hal ini kemungkinan akibat perubahan ukuran toraks yang muncul pada laki-laki pada saat pubertas, tetapi tidak terjadi pada perempuan (NHLBI / WHO Workshop Report, 1995 dalam Wati, 2006).

12. Hubungan Umur dengan Kasus Asma Akut

Berdasarkan hasil penelitian, untuk variabel umur, pada kasus yang berumur < 30 tahun sebesar 8 responden (66,7%) dan kontrol sebesar 4 responden (33,3%), sedangkan sebagian besar berumur > 30 tahun pada kasus sebesar 36 responden (47,4%) dan pada kontrol sebesar 40 responden (52,6%). Hasil statistik menunjukkan bahwa umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan penyakit asma p = 0,352. Penelitian ini memberikan hasil bahwa responden yang berusia 30 tahun ke bawah mempunyai peluang untuk menderita asma sebesar 2,222 kali dibandingkan dengan responden yang berusi 30 tahun ke atas.

Prevalensi asma pada usia dewasa secara umum berhubungan dengan secara alami bersifat non atopik, lebih sering terjadi pada perempuan dan dipengaruhi kebiasaan merokok (Bodner, 1998, dalam Wati, 2006). Selain itu faktor utama yang mempengaruhi adalah dengan adanya penambahan usia maka terjadi penurunan fungsi organ tubuh, terutama organ saluran napas. Sementara itu, orang yang berusia tua akan lebih sering berada dalam ruangan sebagaimana diketahui bahwa polusi udara di dalam ruangan mempunyai pengaruh yang besar terhadap timbulnya serangan asma.

13. Hubungan Riwayat Genetik dengan Kasus Asma Akut

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada variabel riwayat genetik, didapatkan nilai p = 0,000 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat genetik dengan kasus asma akut di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012. Sejalan dengan beberapa penelitian dari Laisina (2005) yang menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara riwayat asma pada orang tua (p = 0,001). Dan penelitian dari zulfikar, dkk (2008) bahwa terdapat hubungan bermakna antara riwayat asma pada keluarga dengan penyakit asma. Serta penelitian dari Purnomo (2008) menyatakan bahwa Riwayat Penyakit Keluarga bermakna secara statistik dengan nilai p=0,000. Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga dengan asma disertai dengan salah satu atopi Predisposisi keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orang tua asmatik. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau debu rumah. Telah dibuktikan oleh banyak peneliti bahwa bila kedua orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 60% anaknya akan

(19)

menderita penyakit alergi, baik asma, rhinitis, dermatitis atopi atau bentuk alergi lainnya. Bila salah satu orang tua menderita penyakit alergi, maka kemungkinan 40% anak mereka akan menderita alergi. Apabila kedua duanya tidak terkena penyakit alergi, maka kemungkinan 15% menderita penyakit alergi (Ramaiah, 2006).

Kesimpulan

Hasil analisis dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.

Ada hubungan antara jenis kelamin p = 0,002, OR = 0,203 (CI = 0,077 – 0,534) dan

riwayat genetik p = 0,000, OR = 47,095 (CI = 5,949 – 372,847 dengan kasus asma akut di

wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur tahun 2012.

2.

Tidak ada hubungan antara Kondisi kesehatan lingkungan fisik rumah (jenis lantai, jenis

dinding, jenis atap, ventilasi, kepadatan penghuni, suhu dan kelembaban), sumber polutan

dalam rumah (jenis bahan bakar yang digunakan dan penggunaan obat nyamuk bakar)

serta zat iritan (Asap rokok) di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012

dengan kasus asma akut.

Saran

Dari hasil analisis di atas, ada beberapa saran yang dapat disampaikan:

1.

meningkatkan kerjasama lintas program antara program asma, program kesehatan

lingkungan serta program penyuluhan kesehatan.

2.

Peningkatan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program asma yang telah

dijalankan oleh rumah sakit.

3.

Upaya kesehatan promotif dan preventif terutama ditujukan untuk peningkatan upaya

penyehatan pemukiman rumah sehat/sanitasi rumah dan peningkatan pengetahuan serta

informasi kepada masyarakat terutama untuk pengendalian penyakit asma akut. Baik

dengan penyuluhan secara langsung maupun melalui media cetak seperti poter, leaflet,

spanduk, stiker dan dipasang pada tempat-tempat yang strategis dan mudah di baca oleh

masyarakat.

Daftar Referensi

Azwar, Azrul. (1996). Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2010). Asthma in the US Growing Every Year. 25 Maret 2013. http://www.cdc.gov

(20)

Environmental Protection Agency (EPA). (2011). Asthma Fact. 23 Maret 2013.

http://www.epa.gov/asthma/pdf/asthma_fact_sheet_en.pdf

Global Initiative for Asthma (GINA). (2011). Global Strategy for Asthma Management and Prevention Updated 2011. 23 Maret 2013. http://ginasthma.org/uploads/users/files/GINA_Report_2011.pdf

Hapsari, Dwi T., dkk, (2008). Hubungan perilaku merokok, aktivitas fisik dan polusi udara indoor dengan penyakit asma pada usia ≥v15 tahun (Analisis data susenas 2004 dan SKRT 2004), Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor1, Jakarta.

Keman, Soedjajadi. (2005). Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman (Jurnal Kesehatan Lingkungan,

Vol. 2, No. 1, Juli 2005). http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-04.pdf. diakses pada

02/10/2011 pukul 18.39.

Kementerian Pekerjaan Umum. (2010). Rumah Sehat. PNPU (Mandiri Perkotaan).

http://www.p2kp.org/wartaarsipdetil.asp?mid=3049&catid=2&

Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan Lingkungan Pemukiman. Departemen KesehatanR.I, Jakarta.

krieger J and Higgins DL. (2002). Housing and Health : Time Again For Public Action. Am J Public Health 92:5, 758 – 759.

Kurniawati, Ari. (2006). Analisis Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah Dan Perilaku Keluarga Dengan Kejadian Serangan Asma Anak Di Kota Semarang 2005. Semarang: Tesis. Universitas Diponegoro.

eprints.undip.ac.id/15377/1/Ari_Dwi_Kurniawati.pdf

Laisina, Abraham H., dkk. (2007). Faktor Risiko Kejadian Asma pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan

Wenang Kota Manado.Manado: Fakultas Kedokteran UNSRAT.

http://www.idai.or.id/saripediatri/pdfile/8-4-8.pdf

Maryono. (2009). Hubungan Antara Faktor Lingkungan dengan Kekambuhan Asma Bronkhiale Pada Klien Rawat Jalan di Poliklinik Paru Instalasi Rawat Jalan RSUD DR. Moewardi. Surakarta: Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhamadiyah.

Mukono HJ. (2000). Prinsip dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga University Press, pp 155-157. Murti, Bisma. (2003). Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Edisi Kedua, Jilid Pertama, Gajah

Mada University Press.

National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI). (2007). Expert Panel Report 3 : Guidelines for the

Diagnosis and Management of Asthma. 25 Maret 2013.

http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/asthgdln.pdf

Notoatmodjo, S. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Ed. ketiga. Balai Penerbit FKUI.

Price, Sylvia,A. And Lorraine M. W. (1995). Patologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Jakarta: Buku 1, Edisi 4, alih bahasa Peter Anugerah. Penerbit Kedokteran EGC.

Sinaga, Epi Ria Kristina. (2012). Kualitas Lingkunga Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2011. Depok: Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Sundaru, H. (1995). Asma; Apa dan Bagaimana Pengobatannya, FK UI, Jakarta.

The International Study of Asthma and Allergies in Childhod (ISAAC). (2011). The Global Asthma Report

2011. 23 Maret 2013.

Gambar

Tabel 1.  Kondisi Kesehatan Lingkungan Fisik Rumah Terhadap Kasus Asma Akut di wilayah  Kota Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012
Tabel  3.  Zat  Iritan  dalam  Rumah  Terhadap  Kasus  Asma  Akut  di  wilayah  Kota  Administrasi  Jakarta Timur Tahun 2012
Tabel  4.    Karakteristik  Individu  Terhadap  Kasus  Asma  Akut  di  wilayah  Kota  Administrasi  Jakarta Timur Tahun 2012
Tabel 6. Hubungan Sumber Polutan Dalam Rumah dengan Kasus Asma Akut di Wilayah Kota  Administrasi Jakarta Timur Tahun 2012
+2

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, digunakan pula teori kreativitas sebagai pisau bedah untuk membahas proses penciptaan karya musik Youth kelompok musik Soloensis.. Buku Ilmu Bentuk

Judul Tugas Akhir : Asuhan Keparawatan Keluarga Dengan Fokus Utama Anggota Keluarga Menderita Reumatoid Arthritis Keluarga Bpk.A Di Desa Kemutug Kidul Rt 04 Rw02

Visokoškolska knjižnica je samostalna organizacijska jedinica u sastavu sveučilišta ili posebna stručna organizacijska jedinica u sastavu fakulteta koja prikuplja,

Tingkat kesukaan panelis untuk parameter aroma menunjukkan bahwa pada bolu kukus yang dibuat dari tepung terigu dan pisang ambon adalah yang paling tinggi

Hal ini disebabkan karena serat kasar yang dikonsumsi sapi berada pada jumlah yang optimal yang kemudian difermentasi oleh mikroba rumen sehingga menghasilkan asam

Siklus II Kriteria Jumlah Siswa Ket. Selanjutnya, tindakan untuk menyikapi 12 siswa yang belum tuntas adalah dengan memberikan tugas, yakni menjawab ulang soal

Dari analisis data yang dilakukan dengan program SPSS dinyatakan bahwa biaya periklanan dan biaya promosi penjualan secara parsial berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan

Karakteristik dari pendekatan penjualan berorientasi konsumen yang dipraktekkan oleh beberapaperusahaan adalah menjalin hubungan baik dengan konsumen,