• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGENAL EL NINO. Oleh. M. Furqon Azis 1) PENDAHULUAN. Oseana, Volume XXXI, Nomor 2, 2006 : ISSN ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGENAL EL NINO. Oleh. M. Furqon Azis 1) PENDAHULUAN. Oseana, Volume XXXI, Nomor 2, 2006 : ISSN ABSTRACT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1) Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta

Oseana, Volume XXXI, Nomor 2, 2006 : 33 - 40 ISSN 0216-1877

MENGENAL EL NINO

Oleh

M. Furqon Azis1)

ABSTRACT

TO KNOW EL NINO. El Nino, an abnormal warming of surface ocean waters in the eastern tropical Pacific, is one part of what’s called the Southern Oscillation. The Southern Oscillation is the see-saw pattern of reversing surface air pressure between the eastern and western tropical Pacific; when the surface pressure is high in the eastern tropical Pacific it is low in the western tropical Pacific, and vice-versa. Because the ocean warming and pressure reversals are, for the most part, simultaneous, scientists call this phenomenon the El Nino/Southern Oscillation (ENSO). South American fishermen have given this phenomenon the name El Nino, which is Spanish for “The Christ Child,” because it comes about the time of the celebration of the birth of the Christ Child-Christmas.

PENDAHULUAN

Kata ‘El Nino’ berasal dari bahasa spanyol yang berarti anak dewa. Kata ini pertama kali digunakan oleh nelayan Peru, karena terjadinya El Nino sering kali berbarengan dengan perayaan natal dan fenomena El Nino ini memberikan berkah bagi mereka dengan melimpahnya hasil perikanan di sepanjang Pantai Barat Amerika Selatan (DUXBURY, A. et al., 2002). Orang awam mengatakan bahwa El Nino adalah bencana yang menyebabkan terjadinya kemarau panjang dan kebakaran hutan, namun El Nino pada hakekatnya adalah fluktuasi klimatologi yang terjadi dalam perioda 2-7 tahun. Karena peristiwa El Nino berhubungan dengan pola naik turunnya tekanan atmosfer di Samudera

Pasifik dan Samudera Hindia yang disebut osilasi selatan (southern oscillation), maka kedua proses fenomena alam ini sering digabung penyebutannya menjadi El Nino Southern Oscillation (ENSO) (ALLAN et al., 1996).

Semenjak pertengahan tahun 1970-an fenomena ENSO telah menjadi perhatian seluruh dunia. Hal ini dikarenakan terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO tahun 1972-1973 dan 1982-1983 yang menyebabkan terjadinya anomali kondisi iklim yang berkepanjangan. Daerah inti terjadinya fenomena ENSO adalah pada daerah Indo-Pasifik, yang juga merupakan daerah interaksi sistem monsun planeter. Pada kejadian ENSO kuat, pengaruhnya terhadap kondisi laut dan

(2)

daratan sangatlah besar. Hal tersebut terjadi melalui adanya sistem iklim yang semakin berkembang pada samudera Indo-Pasifik selama siklus ENSO berlangsung. Pada beberapa daerah pengaruh dari fenomena ENSO dapat terjadi dalam skala bulanan hingga musiman, dan hal ini sangat mempengaruhi terhadap kondisi iklim seperti curah hujan dan temperatur udara (STEWART, 2002).

Sampai saat ini fenomena El-Nino masih menjadi misteri, karena belum banyak yang diketahui tentang kehadirannya. Berdasarkan pengalaman selama 100 tahun terakhir, kehadiran El-Nino tersebut belum pernah ditemukan dua kejadian yang serupa. Baik derajat anomali maupun durasi kehadirannya selalu berbeda, demikian juga tanda-tanda awal kehadirannya. Akibatnya ramalan jangka panjang kehadiran El-Nino masih sulit diharapkan. Berdasarkan pengalaman selama ini kehadiran El-Nino dapat dikategorikan ke dalam wujud-wujud berikut : (1) Anomali kecil dengan kondisi yang tidak berbeda jauh dari kondisi normal; (2) El-Nino lemah dengan kondisi yang sedikit lebih kering daripada kondisi normal; (3) El-Nino penuh yang berupa masa kemarau yang lebih panjang dan lebih kering dibanding musim kemarau yang normal (MATTHIAS & GODFREY, 1994).

Selama dekade terakhir ini kerugian yang diderita karena kehadiran El-Nino berasal dari dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung dari kekeringan yang mengikuti El-Nino antara lain adalah terganggunya proses fotosintesa dan metabolisme tanaman, terjadinya aborsi bunga, pelayuan bahkan kematian tanaman. Penurunan produksi akibat kekeringan yang diderita oleh pertanaman lada, teh, kopi, cengkeh, kakao, karet dan tebu dapat mencapai 10-65 %. Pada tanaman kelapa dan kelapa sawit dampak kekeringan baru terlihat jelas pada tahun berikutnya berupa penurunan produksi sampai 40 %. Diperkirakan kehadiran El-Nino juga berperan pada peledakan berbagai jenis hama

penting tanaman perkebunan. Dalam seminar disampaikan dampak kekeringan pada tanaman Kopi, Tebu, Kakao, Karet, Teh dan Kelapa Sawit. Dampak tidak langsung dari kehadiran El-Nino adalah peningkatan kasus kebakaran kebun dan hutan. Banyak kerugian yang telah diderita akibat kebakaran tersebut, antara lain berupa berkurangnya keanekaragaman hayati, terganggunya keseimbangan ekosistem, terganggunya kesehatan masyarakat dan terganggunya kegiatan transportasi akibat asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut. Kebakaran yang terjadi, khususnya yang berkaitan dengan proses pembukaan lahan telah menyebabkan munculnya klaim dari negara tetangga yang terganggu oleh asap. Bahkan ancaman penghentian impor komoditas perkebunan Indonesia telah pula disuarakan oleh beberapa negara konsumen di Eropa.

Kehadiran El-Nino tidak mungkin dicegah, tetapi dampaknya dapat diminimumkan. Karena itu, perlu ditempuh berbagai upaya agar kerugian yang harus kita tanggung tidak terlalu berat, dan dalam hubungan ini perlu diupayakan langkah-langkah yang efektif untuk pencegahan dan penanggulangannya. Langkah-langkah tersebut harus dilaksanakan secara optimal, tidak tergantung pada perkiraan kategori El-Nino yang diperkirakan akan muncul.

EL NINO DAN ENSO a. Gejala Tampak

Pada kondisi normal sebelum terjadinya El Nino kondisi alam terlihat sebagai berikut (Gambar 1) :

• Bertiup angin pasat yang kuat di Samudera Pasifik dari timur (perairan Peru) ke barat (perairan Indonesia) yang mengakibatkan terbentuknya “slope” muka laut dengan muka air yang lebih tinggi di Pasifik bagian barat dan menarik kolam air hangat

(3)

menjauhi garis pantai Amerika Selatan sehingga terjadi konveksi di perairan Indonesia, awan terbentuk dan terjadi hujan. • Lapisan termoklin tertekan ke bawah di sebelah barat sehingga lapisan termoklin lebih tebal di sebelah barat.

• Angin pasat yang terjadi dipertahankan oleh sistem tekanan udara yang rendah di Indonesia dan tekanan tinggi di Pasifik bagian timur (ENSO positif).

Sedangkan pada kondisi El Nino akan menunjukan gejala alam sebagai berikut (Gambar 1) :

• Angin pasat yang bertiup kuat menjadi melemah (alasan melemah belum diketahui), angin barat dominan di Pasifik equator. Slope muka air yang lebih tinggi di bagian barat tidak dapat dipertahankan lagi sehingga kolam air hangat bergeser ke arah timur.

• Tinggi permukaan air laut menurun di bagian barat dan meningkat di bagian timur, menyebabkan lapisan termoklin di bagian timur menjadi lebih dalam.

Terbentuk awan hujan di Pasifik tengah dan timur karena kolam air hangat memanaskan udara di atasnya, sementara di Indonesia dan Australia mengalami kekeringan.

Gambar 1. Perbedaan kondisi normal dan kondisi El Nino www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htm Normal Conditions Convective loop Equator 1200E 600E El Nino Conditions Increased Convection Equator 1200E 600E

(4)

b. Pengaruh Perubahan Sifat Fisis Laut

Kondisi El Nino ditandai dengan perubahan suhu permukaan air laut yang drastis hingga 5 °C dari keadaan normal. Selain itu, kedalaman lapisan termoklin pun turut berubah. Pada kondisi normal lapisan termoklin

di bagian barat lebih dalam dari pada bagian timur namun pada kondisi El Nino lapisan termoklin di bagian timur menjadi lebih dalam karena kekuatan angin pasat melemah serta angin baratan menjadi dominan (Gambar 2).

December - February Normal Conditions December - February El Nino Conditions

Gambar 2. Perubahan temperatur laut saat sebelum dan sesudah El Nino. www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htm

PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENGENALI EL-NINO Salah satu instrumen yang digunakan untuk mendeteksi gejala-gejala El Nino adalah TOPEX POSEIDON (T/P). Satelit ini diluncurkan pada September 1992, yang merupakan misi bersama Amerika Serikat dan Perancis. Hal ini akan menyoroti hubungan dari inderaja dengan suhu permukaan laut, yaitu adanya perubahan yang terjadi dan bagaimana penginderaan jauh ini dapat mendeteksi El Nino. Walaupun TOPEX POSEIDON dapat mendeteksi gejala El Nino setahun sebelum

panas memuncak di bagian timur Pasifik, namun kali ini kita hanya membahas pendeteksian gejala El Nino sejak sebulan sebelumnya.

a. Anomali Sea Level

Anomali level laut merupakan selisih antara permukaan laut maksimum dengan permukaan laut rata-rata dalam setahun. Anomali ini dicari atau ditentukan sebab perhitungan total dari permukaan laut yang diperoleh dari altimeter bervariasi, dapat lebih atau kurang hingga 100 m. Sebagian besar adalah konstan atau sama sebab mendapat pengaruh dari gravitasi bumi dan sirkulasi laut.

(5)

Variasi dari permukaan laut yang disebabkan oleh El Nino hanyalah 1 % dari data yang diperoleh. Jika bagian yang konstan ini tidak dimanipulasi, maka El Nino tidak dapat diteliti. El Nino ditandai dengan level laut yang lebih tinggi dari normalnya di timur dan level laut yang lebih rendah di bagian barat. Level laut yang mulai menurun di timur merupakan gejala permulaan dari El Nino. Level laut sebenarnya adalah yang tertinggi (upwelling) pada kedua bagian Kutub Utara dan Selatan. Ketinggian level laut di Samudera Hindia merupakan cerminan dari El Nino di daerah Pasifik.

b. Cara Kerja Satelit Untuk Mendeteksi El Nino

Altimeter tidak menghitung level laut secara langsung. Alat ini menghitung jarak ruang udara di atas permukaan laut, atau dengan kata lain altimeter menghitung ketinggian atau jarak antara muka laut dengan altimeter itu sendiri. Dari data yang diperoleh kemudian dapat dikonversikan menjadi level laut. Perhitungan dari level laut yang diperoleh dapat dipetakan dalam grid yang serupa, kode warna ataupun gambar. Namun perlu diperhatikan bahwa proses konversi yang berlangsung tidaklah sederhana, memerlukan perhitungan matematis lebih lanjut yang kompleks.

TOPEX/Poseidon melintasi bumi pada ketinggian 1.300 km. Altimeternya mengirim ribuan sinyal radar ke arah laut setiap detik

kemudian menghitung waktu yang dibutuhkan sinyal-sinyal tersebut untuk kembali ke angkasa. Komputer tidak hanya mencocokkan sinyal transmisi dengan sinyal yang diterima, namun juga menghitung waktu perjalanan sinyal tersebut secara tepat. Error waktu yang kurang dari satu detik saja merupakan error sebesar puluhan sentimeter.

Untuk memperoleh ketinggian satelit di atas laut, waktu yang dibutuhkan oleh sinyal untuk kembali, harus dikonversikan ke dalam jarak menggunakan kecepatan cahaya. Perlu diingat, kecepatan cahaya adalah konstan pada ruangan vakum atau hampa udara. Sinyal radar menjalar melalui atmosfer dua kali, dimana sinyal ini direfleksikan oleh molekul-molekul air, uap air, elektron-elektron bebas dan sebagian dihamburkan oleh gelombang-gelombang permukaan. Distorsi-distorsi inilah yang kemudian menambah error-nya dari sentimeter menjadi ukuran meter, mencapai 3 meter. Namun tetap, data yang diperoleh kemudian dapat diolah ataupun dimodelkan.

Akhirnya, lokasi satelit perlu diketahui secara tepat mengingat level lautnya merupakan perbedaan ketinggian antara lokasi satelit di atas pusat bumi dengan tinggi satelit di atas laut. Namun, seberapa akurat kah image yang diperoleh? Sangat akurat. Perhitungan level laut menggunakan TOPEX/Poseidon lebih baik jika dibandingkan dengan perhitungan level laut di permukaan laut menggunakan pengukuran pasang-surut (Gambar 3).

Gambar 3. Merupakan perbedaan perhitungan altimeter antara TOPEX/Poseidon dengan pengukuran pasang-surut pada Pohnpei di Pasifik bagian barat.

(6)

Level laut pada daerah ini sangatlah besar selama fenomena El Nino. Ditandai oleh anak panah pada gambar. Jika pengukuran pasang surut diasumsikan akurat (namun sesungguhnya tidak), keakuratan dari altimeter adalah sebesar 3 meter. Namun jika error nyata lebih diasumsikan pada pengukuran pasang surut maka keakuratan dari altimeter hanyalah sekitar 2 meter. Standar deviasi rata-rata digunakan sebagai perhitungan besar error yang terjadi. Perbedaannya dalam suatu waktu dapat meningkatkan nilai error hingga tiga kali lipat. Rata-ratanya adalah 2,5.

c. Hubungan Level Laut, Kenaikan Temperatur dan El Nino

Level laut memiliki hubungan yang erat dengan perubahan temperatur dan kekentalan (densitas) pada lapisan permukaan. Jika temperatur dan kekentalannya naik, maka level laut akan naik pula. Level laut mengikuti perubahan temperatur dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan membandingkan data T/P dengan data yang diperoleh dari pelampung-pelampung TAO yang tertambat di Pasifik (Gambar 3). Pelampung hanya menghitung temperatur pada kedalaman yang bervariasi yang kemudian dapat dikonversikan ke dalam densitas dan level laut yang diakibatkan oleh variasi kenaikan temperatur saja (Gambar 4).

Gambar 4. Korelasi T/P dengan Pelampung TAO www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htm

Tipe instrumen lain yang digunakan untuk menghitung El Nino yaitu Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR). Instrumen ini juga tergolong sebagai instrumen penginderaan jauh. Cara kerja instrumen ini dengan mengubah pengamatan radiasi infra merah menjadi temperatur permukaan laut atau Sea Surface Temperature (SST). Temperatur permukaan laut yang diukur oleh satelit-satelit ini merupakan temperatur pada lapisan tertipis di permukaan laut. Perubahan level laut selama El Nino disebabkan oleh variasi panas.

Walaupun SST dan level laut terkesan serupa, sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara keduanya. Lupakan sejenak bahwa efek arus, angin dan gaya lainnya dari level laut mempengaruhi El Nino yang terjadi di bawah permukaan laut. Dibutuhkan waktu untuk memanaskan atau menaikkan temperatur laut dari kedalaman 100 m hingga permukaan. Namun perubahan dapat dilihat secara langsung melalui perhitungan altimetri atau pun dengan

(7)

pelampung-pelampung tambatan yang memonitor temperatur laut hingga ke level dasar dimana pemanasannya mulai terjadi. Perbedaan waktu ini memang tergolong kecil, sekitar dua minggu hingga sebulan. Dengan menggabungkan kedua perhitungan ini (TOPEX/Poseidon dan AVHRR), akan diperoleh gambaran evolusi El Nino yang lebih lengkap, yaitu dari segi perubahan level laut dan temperatur permukaan lautnya (Gambar 5).

Beberapa percobaan pada pemanasan SST di barat selatan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik timur menunjukkan adanya

korelasi atau hubungan antara anomali pemanasan di Samudera Hindia dan EL Nino, walupun nyatanya sinyal SST di daerah Pasifik timur justru lebih besar. Dari pengamatan ini ditemukan hubungan antara Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik dalam setiap fenomena El Nino sejak tahun 1946. Dengan mengkombinasikan seluruh pengamatan dengan peta beresolusi tinggi yang terbuat dari data TOPEX/Poseidon, dapat diketahui hubungan dari pemanasan Samudera Hindia terhadap El Nino (Gambar 5).

Gambar 5. Hubungan T/P Sea-level dengan SST www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htm

KESIMPULAN

Dengan bantuan satelit TOPEX/ Poseidon gejala El Nino dapat diketahui secara dini. Data yang diperoleh dari gabungan T/P dan sensor AVHRR mengenai El Nino sudah sangat akurat. Dengan menganalisis perubahan level laut dengan anomali suhu permukaan (Sea Surface Temperature) dan densitas air laut informasi tentang El Nino dapat diidentifikasi

dengan baik, seperti kapan terjadinya, berapa lama, seberapa kuat, daerah mana yang mengalami dampak El Nino dan kapan berakhirnya. Dengan diketahui kapan El Nino terjadi, maka kerugian yang akan diakibatkan oleh El Nino akan dapat diantisipasi, seperti mencegah kebakaran hutan, menyiapkan persediaan air bersih dan lain-lain.

(8)

Walaupun terjadinya El Nino pada bidang equator bumi namun pengaruh ENSO berdampak besar pada North Atlantic Osilation (NAO) dengan pengertian dampak yang disebabkan El Nino tidak hanya pada Indonesia, Australia, Amerika Tengah dan Timur namun negara-negara di belahan utara pun mengalami dampak dari El Nino walaupun tidak dominan.

El-Nino adalah fenomena alam yang masih penuh dengan misteri. Tidak ada jaminan bahwa yang akan hadir di tahun mendatang adalah El-Nino kecil dan lemah atau El-Nino besar dan kuat. Karena itu kewaspadaan yang tinggi yang didukung dengan upaya pemantauan yang intensif atas tanda-tanda kehadiran El-Nino mutlak diperlukan. Meskipun demikian diharapkan prakiraan terhadap El Nino tidak meleset jauh dari perkiraan kondisi yang akan terjadi. Untuk itu upaya pencegahan, penanggulangan, dan rehabilitasi harus dilakukan secara maksimal, agar dampak negatif dan kerugian yang timbul dapat diminimalisir.

DAFTAR PUSTAKA

ALLAN, R.; J. LINDESAY and D. PARKER 1996. EL Nino Southern Oscillation and Climatic Variability, CSIRO publishing, Collingwood, Australia.

DUXBURY, A.; B. ALYN; C. DUXBURY and K. A. SVERDRUP 2002. Fundamentals of Oceanography-4th Ed, McGraw-Hill publishing, New York.

MATTHIAS, T. and J. S. GODFREY 1994. Regional Oceanography : An Introduction. Pergamon Press, New York, 1994 : 422 pp.

STEWART, R. H. 2002. Introduction to Physical Oceanography, A & M University. Texas.

Gambar

Gambar 1. Perbedaan kondisi normal dan kondisi El Nino www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htmNormal ConditionsConvective loopEquator1200E600EEl Nino Conditions Increased ConvectionEquator1200E600E
Gambar 2. Perubahan temperatur laut saat sebelum dan sesudah El Nino. www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htm
Gambar 3. Merupakan perbedaan perhitungan altimeter antara TOPEX/Poseidon dengan pengukuran pasang-surut pada Pohnpei di Pasifik bagian barat.
Gambar 4. Korelasi T/P dengan Pelampung TAO www.geoph.itb.ac.id/~musa/index-elnino.htm
+2

Referensi

Dokumen terkait