BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HKI) bukanlah hal yang baru dikenal dalam sistim perundang-undangan di Indonesia. Secara historis pengaturan tentang HKI di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial Belanda yaitu sejak tahun 1880-an. Pada tahun 1885, Undang-Undang Merek mulai diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia dan disusul dengan diberlakukannya Undang-Undang Paten pada tahun 1910. Dua tahun kemudian, diberlakukanlah Undang-Undang Hak Cipta yaitu Auteurswet 1912,
staadblad Nomor 600 Tahun 1912 pada tanggal 23 September 1912.1
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan perundang-undangan tentang Hak Cipta yang pertama sekali berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Kemudian disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang diundangkan pada tanggal 17 Mei 1997. Terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang berlaku pada tanggal 29 Juli 2003 yang mencabut berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1999.2
Pengertian Hak Cipta diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yaitu sebagai hak eksklusif
1
Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hal. 6-7.
2
Suyud Margono dan Amir Angkasa, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, Edisi 1 (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), hal. 8-9.
bagi pencipta dan penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengertian Hak Cipta tersebut diperkuat lagi dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya hak eksklusif diartikan sebagai hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya. Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, hak eksklusif itu timbul secara otomatis setelah ciptaan dilahirkan. Sedangkan yang dimaksud hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan meliputi kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan ciptaan kepada publik melalui sarana apapun.3
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, maka Hak Cipta dapat didefenisikan sebagai hak monopoli untuk memperbanyak atau mengumumkan ciptaan yang dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta lainnya yang dalam
3
Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
implementasinya memperhatikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.4
Berpijak pada uraian tersebut, harus diakui bahwa sebenarnya konsep yang menyangkut perlindungan hak cipta bukanlah ide asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, karena konsep tentang hak cipta yang bersifat eksklusif dan tidak berwujud (immateril) sangat berbeda dengan konsep bangsa Indonesia yang pada umumnya di bawah payung pandangan komunal memahami benda sebagai barang yang berwujud (materil). Artinya masyarakat Indonesia pada umumnya memahami benda sebagai barang yang riil, dapat dilihat, disentuh dan sebagai objek yang nyata.
5
Masyarakat lokal Indonesia adalah masyarakat komunal yang menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan individu, meskipun itu tidak berarti pula bahwa individu kehilangan hak-haknya.6
Selain adanya perbedaan konsep pemahaman tersebut, pelanggaran hak cipta di Indonesia juga sering tidak terlepas dari faktor ekonomi yang berkisar pada keinginan untuk memperoleh keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para Pemegang Hak Cipta. Pelanggaran tersebut bila Konsep pemahaman masyarakat lokal yang bersifat komunal tersebut memiliki perbedaan dengan konsep HKI yang individualistik dalam hal ini memandang hak cipta sebagai hak eksklusif yang diartikan sebagai hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya.
4
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004 ), hal. 3.
5
Sebagaimana pernyataan Ismail Saleh dalam H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hal. 47.
6
Agus Sardjono, Hak Kekayaan Intelektual dan Pengetahuan Tradisional, (Bandung: PT. Alumni, 2006), hal. 170.
terus dibiarkan berlarut-larut akan memberikan dampak yang besar terhadap tatanan kehidupan bangsa baik di bidang ekonomi maupun hukum.7
Usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka perlindungan karya cipta dinilai belum membuahkan hasil yang maksimal. Berbagai macam pelanggaran terus berlangsung seperti pembajakan terhadap karya cipta, mengumumkan, mengedarkan, maupun menjual karya cipta orang lain tanpa seizin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.8
Dalam berbagai laporan atau pemberitahuan pers beberapa tahun terakhir sering terdengar kabar semakin besar dan meluasnya pelanggaran terhadap HKI di Indonesia termasuk hak cipta, bahkan Indonesia disebut sebagai sarang pembajakan hak cipta.9
Keadaan tersebut menunjukkan terjadinya pelanggaran hak cipta yang pada pokoknya terdiri dari 2 (dua) macam hak yang sifatnya mutual eksklusive
yaitu antara hak ekonomi (economic right) di satu pihak dan hak moral (moral right) di lain pihak.10
7
Sebagaimana juga disebut dalam H.OK. Saidin., Op. cit., 158.
Di dalam hak ekonomi tersebut ada hak menyewakan (rental right) dari Pencipta dan Pemegang Hak Cipta. Hak menyewakan adalah hak Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer maupun produser rekaman suara berupa hak untuk melarang orang atau
8
Suyud Margono dan Amir Angkasa, Op. cit., 22
9
Salah satunya adalah Sri Katonah dalam : ”Problem Pembajakan Dalam Era Global,”
http://www.haki.lipi.go.id., diunduh tanggal 3 Mei 2011.
10
Klasifikasi yang demikian untuk lengkapnya dapat dibaca di Suyud Margono dan Amir Angkasa . Op. cit. 21-22.
pihak lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk tujuan komersial.11
Terkait dengan penelitian ini, maka untuk karya sinematografi jika penjualan menimbulkan penyalinan secara meluas yang merugikan hak khusus penggandaan yang diberikan oleh Pencipta kepada Pemegang Hak Ciptanya maka negara yang terikat kepada perjanjian TRIPs termasuk Indonesia harus mengatur tentang rental right.12
Untuk pertama kalinya di dalam undang-undang hak cipta Indonesia, ketentuan tentang hak penjualan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997 yang kemudian disempurnakan oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang mengatur bahwa:
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 11 TRIPs yang mewajibkan setiap negara anggota WTO untuk mengatur masalah hak penjualan tersebut di dalam undang-undang Hak Cipta di tingkat nasional masing-masing.
”Pencipta atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.”
Namun walau ketentuan hak penjualan telah diatur dalam Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, hingga kini penegakan hukum terhadap hak penjualan ini dinilai belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Penilaian tersebut
11
Ibid, hal. 12
12
didasarkan kepada hasil survey awal yang dilakukan peneliti,13
Kondisi pemahaman kepemilikan yang demikian selaras dengan pernyataan Dias yang menyatakan bahwa pemilikan mempunyai arti tersendiri dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat tempat ia diterima sebagai konsep hukum. Apabila mulai membicarakan dalam arti yang demikian itu, berarti mulai membicarakan pemilikan dalam konteks sosial, tidak lagi sebagai kategori yuridis.
yang menemukan fakta bahwa pelaku usaha penjualan karya sinematografi dalam bentuk Video Compact Disc (untuk penulisan selanjutnya disebut DVD dan VCD) belum mematuhi ketentuan Hak penjualan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Umumnya mereka beranggapan dengan membeli DVD dan VCD secara sah telah terjadi peralihan hak milik secara langsung dan penuh dari penjual kepada pembeli, sehingga mereka beranggapan bahwa DVD dan VCD tersebut bisa diapakan saja termasuk dijual kepada pihak lain dengan tanpa perlu meminta izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya.
14
Uraian di atas mengindikasikan adanya keterkaitan antara upaya penegakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dengan faktor budaya masyarakat Indonesia yang belum mengenal adanya perlindungan Hak Cipta sebagai bagian HKI. Budaya masyarakat Indonesia cenderung
13
Dalam survey pendahuluan yang dilakukan peneliti di 5 (lima) usaha penjualan DVD DAN VCD di Kota Medan pada tanggal 3-4 Mei 2011, ditemukan bahwa tidak pelaku usaha penyewaan DVD DAN VCD yang mengajukan izin kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan tidak pernah ada razia oleh aparat terkait berkaitan usaha penyewaan DVD DAN VCD tersebut.
14
menganggap bahwa HKI merupakan public domain dan bukan merupakan suatu hak individu yang membutuhkan perlindungan hukum secara optimal. Dengan demikian perbedaan konsep kepemilikan tadi dapat menjadi kendala dalam kerangka penegakan undang-undang hak cipta di Indonesia. Realitas permasalahan penegakan hukum hak penjualan karya sinematografi, ditandai dengan temuan sementara dari peneliti di lapangan bahwa pelaku usaha penjualan, dalam hal ini pelaku usaha penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD tidak atau belum mengajukan izin kepada Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagai wujud pelaksanaan hak penjualan karya sinematografi, tidak atau belum adanya tuntutan dari Pencipta ataupun Pemegang Hak Cipta terhadap penyebarluasan DVD dan VCD melalui usaha penjualan tanpa izin.
Masyarakat Indonesia sendiri dalam mengapresiasi ketentuan hak cipta dirasakan masih sangat rendah misalnya ada anggapan bahwa perbuatan orang yang melakukan jual-beli barang-barang bajakan tidak dianggap perbuatan yang rendah atau hina. Berbeda dengan misalnya penjual narkoba secara umum sudah dianggap sebagai musuh masyarakat, sedangkan pembajak hak cipta dan penjual barang-barang bajakan belum dianggap sebagai musuh masyarakat. Padahal, pembajakan hak cipta atau penggandaan secara ilegal produk-produk hak cipta jelas-jelas melanggar hak ekonomi Pencipta yang disebut dengan hak memperbanyak ciptaan atau reproduction right.15
B. Permasalahan
15
Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 11.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, permasalahan yang akan diteliti dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah penegakan hukum yang selama ini berlaku telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD?
2. Bagaimanakah budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan?
3. Bagaimanakah peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan
a. Untuk mengetahui penegakan hukum yang selama ini berlaku apakah telah memberikan perlindungan secara memadai terhadap hak cipta atas karya sinematografi khususnya hak penjualan karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD
b. Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan
c. Untuk mengetahui peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan berguna-manfaat dalam mengembangkan konsep perlindungan dan mekanisme penegakan hukum di bidang hak cipta khususnya hak cipta karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD di Indonesia.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi pemerintah Indonesia melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan dalam menanggulangi pelanggaran atas HKI pada umumnya dan Hak Cipta pada khususnya.
D. Keaslian Penulisan
Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Penerapan Undang-Undang Hak Cipta dalam Bidang Karya Sinematografi (Studi di Kota Medan)” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari penelitian orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada penelitian yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.
1. Pengertian hak cipta
Istilah hak cipta diusulkan pertama kalinya oleh St. Moh. Syah pada Kongres Kebudayaan Indonesia II di Bandung pada bulan Oktober 1951 (yang kemudian diterima oleh kongres tersebut) sebagai penggantian dari istilah hak pengarang yang dianggap kurang luas cakupan pengertiannya. “Istilah hak pengarang itu sendiri merupakan terjemahan dari istilah bahasa Belanda yakni
Auters Recht”.16
Istilah hak cipta ini merupakan pengganti Auters Recht atau copyrights
yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, dibandingkan jika menggunakan istilah hak pengarang. Secara yuridis, istilah hak cipta telah dipergunakan dalam Undang-undang Hak Cipta (1982) sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912.17
Perkataan hak cipta itu sendiri terdiri dari dua kata hak dan cipta, kata “hak” yang sering dikaitkan dengan kewajiban adalah kewenangan yang diberikan kepada pihak tertentu yang sifatnya bebas untuk digunakan atau tidak. Dan kata “cipta” tertuju kepada hasil kreasi manusia dengan menggunakan sumber daya yang ada padanya berupa pikiran, perasaan, pengetahuan, dan pengalaman. Oleh karenanya, hak cipta berkaitan dengan intelektualitas manusia itu sendiri berupa hasil kerja otak.18
Hak cipta (copyright) adalah salah satu dari hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Umum
Hak-16
Ajip Rosidi, UNDANG-UNDANG Hak Cipta, Pandangan Seorang Awam (Jakarta: Djambatan, 1994), hal. 3
17
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia (Bandung: Alumni, 2003), hal. 85-86
18
hak Asasi Manusia) dan UN International Covenants (Perjanjian Internasional PBB) dan juga hak hukum yang sangat penting yang melindungi karya budaya. Karya budaya adalah apa saja yang dihasilkan seseorang yang memperkaya alam pikiran dan perasaan manusia. Karya budaya tidak mencakup hal-hal yang secara langsung menyumbang pada gaya hidup sehingga kehidupan atau pekerjaan lebih nyaman, seperti, misalnya, mesin atau teknologi. Mesin dan teknologi tidak termasuk karya budaya karena sebagian besar berkaitan dengan pengembangan peradaban di bidang teknologi dan karena itu hak-hak hukum yang melindunginya terpisah dari hak cipta.19
2. Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta
Apabila ditelusuri secara mendalam hak cipta ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yakni hak moral (moral rights) dan hak ekonomi (economic rights). Hak moral adalah hak-hak yang melindungi kepentingan pribadi si pencipta. Konsep hak moral ini berasal dari sistem hukum kontinental, yaitu dari Prancis. Menurut konsep hukum kontinental hak pengarang (droit d’auteur, author rights) terbagi menjadi hak ekonomi untuk mendapatkan keuntungan yang bernilai ekonomi seperti uang, dan hak moral yang menyangkut perlindungan atas reputasi si pencipta.
Untuk hak ekonomi diartikan sebagai hak yang dipunyai oleh si pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Menurut Djumhana hak ekonomi umumnya di setiap negara meliputi jenis hak:20
19
Tamotsu Hozumi, Asian Copyright Handbook Indonesian Version (Asia/ Pacific Cultural Centre for UNESCO dan Ikatan Penerbit Indonesia, 2004), hal. 2
20
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Praktiknya di Indonesia) (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 72
a. Hak Reproduksi atau Penggandaan
Hak pencipta untuk menggandakan ciptaannya, ini merupakan penjabaran dari hak ekonomi si pencipta. Bentuk penggandaan atau perbanyakan ini dapat dilakukan secara tradisional maupun melalui peralatan modern. Hak reproduksi ini juga mencakup perubahan bentuk ciptaan satu ke ciptaan lainnya, misalnya rekaman musik, pertunjukan drama, juga pembuatan duplikasi dalam rekaman suara dan film.
b. Hak adaptasi
Hak untuk mengadakan adaptasi, dapat berupa penerjemahan dari bahasa satu ke bahasa lain, aransemen musik, dramatisasi dari nondramatik, mengubah menjadi cerita fiksi dari karangan non fiksi, atau sebaliknya. Hak ini diatur baik dalam Konvensi Berne maupun Konvensi Universal (Universal Copyright Convention).
c. hak distribusi
Hak distribusi adalah hak yang dimiliki pencipta untuk menyebarkan kepada masyarakat setiap hasil ciptaannya. Penyebaran tersebut dapat berupa bentuk penjualan, penyewaan, atau bentuk lain yang maksudnya agar ciptaan tersebut dikenal oleh masyarakat.
Dari hak distribusi itu dapat dimungkinkan timbul hak berupa foreign right, yaitu suatu hak yang dilindungi di luar negaranya. Misalnya satu karya cipta berupa buku, karena merupakan buku yang menarik, maka sangat digemari di negara lain, dengan demikian buku itu didistribusikan
ke negara tersebut, sehingga mendapatkan perlindungan sebagai foreign right.
d. Hak Penampilan atau Performance Right
Hak untuk penyajian kuliah, pidato, khotbah, baik melalui visual atau presentasi suara, juga menyangkut penyiaran film, dan rekaman suara pada media televisi, radio dan tempat lain yang menyajikan tampilan tersebut. Setiap orang atau badan yang menampilkan, atau mempertunjukkan sesuatu karya cipta, harus meminta izin dari si pemilik hak performing
tersebut. Keadaan ini terasa menyulitkan bagi orang yang akan meminta izin pertunjukan tersebut maka diadakan suatu lembaga yang mengurus hak pertunjukan itu yang dikenal sebagai Performing Right Society.
e. Hak penyiaran atau broadcasting right
Hak untuk menyiarkan bentuknya berupa mentransmisikan suatu ciptaan oleh peralatan kabel. Hak penyiaran ini meliputi penyiaran ulang dan mentransmisikan ulang. Ketentuan hak ini telah diatur dalam Konvensi Berne, maupun Konvensi Universal, juga konvensi tersendiri misalnya Konvensi Roma 1961; dan Konvensi Brussel 1974 yang dikenal dengan
Relating on the Distribution Programme carrying Signals transmitted by Satellite. Hanya saja di beberapa negara, hak penyiaran ini masih merupakan cakupan dari hak pertunjukan.
f. Hak program kabel
Hak ini hampir sama dengan hak penyiaran hanya saja mentransmisikan melalui kabel. Badan penyiaran televisi mempunyai suatu studio tertentu,
dari sana disiarkan program-program melalui kabel kepada pesawat para pelanggan. Jadi siaran sudah pasti bersifat komersial.
g. Droit de suite
Droit de Suite adalah hak pencipta. Hak ini mulai diatur dalam Pasal 14 bis Konvensi Berne revisi Brussel 1948, yang kemudian ditambah lagi dengan Pasal 14 ter hasil revisi Stockholm 1967. Ketentuan droit de suite
ini menurut petunjuk dari WIPO yang tercantum dalam buku Guide to the Berne Convention, merupakan hak tambahan. Hak ini bersifat kebendaan. h. Hak Pinjam Masyarakat atau Public Lending Right
Hak ini dimiliki oleh pencipta yang karyanya tersimpan di perpustakaan, yaitu dia berhak atas suatu pembayaran dari pihak tertentu karena karya yang diciptakannya sering dipinjam oleh masyarakat dari perpustakaan milik pemerintah tersebut.
3. Pengertian sinematografi
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf (k) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa bahwa sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dalam pita seluloid, piringan video, pita video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.
Kata sinematografi sendiri berasal dari Bahasa Inggris “cinematography” yang asal katanya bersumber dari Bahasa Latin yaitu “kinema” yang artinya
gambar. Dalam pengertian umum Sinematografi adalah segala hal mengenai sinema (perfilman) baik dari estetika, bentuk, fungsi, makna, produksi, proses, maupun penontonnya. Dunia sinematografi dalam hal ini menyangkut pemahaman estetik melalui paduan seni akting, fotografi, teknologi optik, komunikasi visual, industri perfilman, ide, cita-cita dan imajinasi yang sangat kompleks. Pemahaman estetika dalam seni (secara luas), bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan penghayatan dalam menghadapi karya seni (termasuk film). Sinema (perfilman) merupakan sebuah proses kreatif, ada ekspresi/ide, ada simulasi peristiwa dan menimbulkan apresiasi. Sedangkan objek dalam film terdapat aspek material yang harus dipahami seperti medium celluloid, serat optik dalam compact disk (audio),
video compact disc (audio dan visual), dll. Aspek formal berbentuk gambar, gambaran ruang dan waktu secara virtual, dan film dibuat berdasarkan penyusunan skenario yang didasarkan atas ide kehidupan manusia secara virtual.21
Di dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses
21
Pengertian ini sebagaimana dijelaskan dalam http://dunia-sinematografi.blogspot.com , diunduh tanggal 3 Mei 2011.
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/ atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.22
F. Metode Penelitian 1. Spesifikasi penelitian
Berdasarkan dengan rumusan permasalahan dan tujuan dari penelitian, maka sifat penelitian yang sesuai adalah deskriptif analistis. Penelitian deskriptif analistis artinya bahwa penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it iswritten in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process)23. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.24
22
Sebagaimana rumusan di dalam Pasal 1 angka (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman.
23
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal 118.
24
J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hal 3.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolegal (sosio-legal approach).25 Studi sosiolegal melakukan studi tekstual, Pasal-Pasal dalam peraturan perundang-undangan dan kebijakan dapat dianalisis secara kritikal dan dijelaskan makna dan implikasinya terhadap subjek hukum, dalam hal ini dapat dijelaskan bagaimanakah makna yang terkandung dalam Pasal-Pasal tersebut merugikan atau menguntungkan kelompok masyarakat tertentu dan dengan cara bagaimana.26
Melalui pendekatan sosiolegal ini juga bahwa hukum tidak dipandang hanya sebagai peraturan atau kaedah-kaedah saja, akan tetapi meliputi bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat serta bagaimana hukum berinteraksi dengan lingkungan hukum itu diberlakukan.
2. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian kepustakaan bertujuan untuk meneliti dan mengkaji data sekunder yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan-peraturan yang mengatur tentang Hak Kekayaan Intelektual pada umumnya, khususnya Hak Cipta atas karya cipta sinematografi.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa buku, penelusuran internet, jurnal, surat kabar, dan makalah.27
25
Sulistyowati Irianto & Shidarta, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), 177-178.
26 Ibid 27
c. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus, ensiklopedia, dan artikel pada majalah, surat kabar, atau internet.
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
a. Wawancara (interview); dilakukan terhadap 3 orang penjual DVD/ VCD bajakan di tiga lokasi di Kota Medan dengan cara terarah dan terstruktur (directive interview) yang berdasar kepada sesuatu daftar pertanyaan yang sebelumnya telah disusun terlebih dahulu. Jadi di sini lebih terarah kepada informan yang diwawancarai untuk memberi penjelasan menurut kemauannya sendiri berdasarkan pertanyaan yang diajukan peneliti.
b. Mempelajari dokumen tertulis yang diharapan dapat berguna dalam penelitian ini, berupa perundang-undangan dan dari sumber sekunder berupa dokumen atau risalah perundang-undangan, konsep rancangan undang-undang, sumbersumber hukum, hasil-hasil penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya baik nasional maupun internasional, pendapat para ahli hukum dan eksiklopedi. Disamping itu dikumpulkan pula bahan-bahan dari data sekunder yang bersifat publik,terutama data statistik dari instansi-instansi pemerintah.
3. Metode Analisis Data
Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, sistematis, dan konsisten, dilakukan penelaahan
data yang lebih terperinci dan mendalam. Dari data primer yang telah berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini, melalui wawancara, maka dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu peneliti memaparkan dan menggambarkan (interpretatif) realita atas permasalahan yang ada di lapangan baik berupa uraian kata maupun bentuk tabel yang sifatnya menunjang dalam rangka hasil penelitian di lapangan.
G. Sistematika Penulisan
BAB I: Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Bab ini akan membahas aspek-aspek hukum hak cipta, yang memuat tentang hak cipta sebagai hak kekayaan intelektual, Sistem pendaftaran hak cipta, hak cipta dalam persetujuan TRIP’s dan
Bern Convention, dan pelanggaran terhadap hak cipta
BAB III: Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum terhadap karya sinematografi, yang mengulas tentang ruang lingkup karya sinematografi, perkembangan karya sinematografi dalam perfilman indonesia dan dunia, industri karya sinematografi di indonesia, pembajakan terhadap karya sinematografi, dan hubungan karya sinematografi dengan hak cipta
BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang pelaksanaan undang-undang hak cipta bidang sinematografi di Kota Medan, yang membahas dan menganalisa Karya sinematografi dalam bentuk DVD dan VCD, Produksi, penjualan, dan harga penjualan DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di beberapa toko penjualan Kota Medan, Budaya hukum masyarakat penjual dan pembeli DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan, dan Peranan aparat penegak hukum atas peredaran DVD dan VCD hasil karya sinematografi bajakan di Kota Medan
BAB V: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang dibahas.