PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA
DALAM MENGHORMATI ORANG TUA
PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Rio Hartomo NIM: 029114135
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA
DALAM MENGHORMATI ORANG TUA
PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh: Rio Hartomo NIM: 029114135
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
LEMBAR MOTTO
Aja sira wani marang wong tuwanira, jalaran sira bakal kena bendhu
saka Kang Murbeng Dumadi.
Wong kang ora weruh tatakrama udanagara (unggah-ungguh), iku
padha karo ora bisa ngrasakake rasa nem warna
(legi, kecut, asin, pedhes, sepet, lan pait).
Wong tuwa kang ora ngudi kabecikan sarta ora ngerti marang
udanagara (trapsila, unggah-ungguh) lan tata krama, kuwi sejatine
dudu panutane putra wayah.
www.sekarjagad.org
“Witing trisno jalaran soko kulino”
(Pembiasaan dan pengenalan secara baik adalah akar dari kecintaan kasih yang harmonis)
LEMBAR PERSEMBAHAN
Karya sederhan a in i kupersem bahkan un tuk bapak ibuku tercin ta, kakak dan adikku, seseoran g yan g kukasihi, sahabat-sahabatku, ikan -ikan di
aquarium ku, serta ilm u pen getahuan , dem i kem ajuan bersam a.
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 18 Januari 2008 Penulis,
Rio Hartomo
ABSTRAK
RIO HARTOMO (2008). Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai variabel tergantung, sedangkan remaja desa dan remaja kota sebagai variabel bebas.
Secara keseluruhan, jumlah subyek dalam penelitian ini terdiri dari 122 orang yang berada pada rentangan usia antara 15-18 tahun. Dengan rincian subjek sebagai berikut; 61 siswa SMK Diponegoro kelas satu, 2 dan 3, serta 61 siswa SMU Marsudi Luhur kelas satu, 2 dan 3, keduanya merupakan keturunan suku Jawa.
Instrument penelitian ini adalah skala sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua yang terdiri dari 45 aitem dengan koefisien alpha
sebesar 0.896. Melalui analisis data dengan uji-t diperoleh p>0.05 (p= 0,302), sehingga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota.
ABSTRACT
RIO HARTOMO (2008). The Difference Attitude About Javanese Manners Within Respecting Their Parents Between Adolescent Villager and Adolescent Townsman. Faculty of Psychology University of Sanata Dharma Yogyakarta.
The purpose of this research is to find out whether there is a difference in the attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman. The variables as used in this research are attitude about Javanese manners within respecting their parents as dependent variable, whereas adolescent villager and adolescent townsman as an independent variable.
Over all, the total subjects of this research are 122 people in the age range of 15-18 years old. In more detail the subjects of this research are; 61 SMK Diponegoro’s first, 2nd, 3rd degree students, and 61 SMU Marsudi Luhur’s first, 2nd, 3rd degree students. Both of them are Javanese.
This research instrument is a measurement scale of the attitude about Javanese manners within respecting their parents which consist of 45 items with an alpha coefficient of 0.896. Through the analysis of the data using t-test, it was found that p> 0.05 (p= 0,302), thus it is inferential that there is no difference attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Selama proses pengerjaan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga karya ini dapat terwujud. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Edi Suhartanto, Selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk segala bimbingan dan nasehat beliau selama penulis menimba ilmu di Fakultas Psikologi ini.
2. Bapak Minta Istono, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk selalu mengingatkan penulis dimanapun dan kapanpun.
3. Pihak-pihak yang terlibat sebagai responden dalam penelitian ini, kepala sekolah, dan guru-guru yang bersedia meluangkan jam mengajarnya. Terima kasih atas segala bantuan dan juga kerelaan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Bapak Ibuku yang selalu mendoakan kelulusanku. Trimakasih atas doanya, nasehatnya dan yang tidak kalah penting adalah kucuran dananya, hehehe...
5. Bayu my brother, atas bantuannya mengetik beberapa halaman. Setidaknya bisa ngetik 10 jari ada gunanya kan....
6. Mas Brian the big brother, yang selalu memotivasi tanpa kenal lelah (kapan tesisnya selesai?).
7. Teman-temanku. Joe yang bantuin cari sekolahan (fiuh..., it’s the hardest part, thanks bro), Tanti, yang banyak memberi masukan (baik dalam bentuk ilmu maupun logistik, sampaikan trimakasih buat mamahmu ya, suguhanya enak, hehe..), dan Lisna yang menjadi motivasi (lulusnya cepet), serta semua teman-teman angkatan ’02 (Pandji, Ohaq, Obet, Vincen, Ciryl, Dedi, dan semua yang belum disebut), tnx yaa... yang sudah lulus moga cepet dapet kerja, yang belum moga cepet lulus...
8. To my best part of me, Aril Halida. Kau membuat hidupku lebih bermakna dengan rasa sayangmu, cintamu, perhatianmu, nasehatmu, dorongamu, motivasimu, sampai ancamanmu, pokoknya u complete me deh...
9. Keluarga Aril. Mamah, papah, mas Neo, serta sepupu-sepupu dan keponakan-keponakannya atas penerimaan yang tulus yang telah menganggapku sebagai bagian dari keluarga, trimakasih banyak.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan terbuka, saya menerima saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan karya ini. Besar harapan saya agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Penulis
Rio Hartomo
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN……… iii
HALAMAN MOTO ………. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……… v
PERNYATAAN KEASLIANKARYA……… vi
ABSTRAK………. vii
ABSRACT……….. viii
KATA PENGANTAR………... ix
DAFTAR ISI ………. xi
DAFTAR TABEL……….. xiv
DAFTAR LAMPIRAN……….. xv
BAB I PENDAHULUAN……… 1
A. Latar Belakang……… 1
B. Rumusan Masalah ……….. 7
C. Tujuan Penelitian..……….. 7
D. Manfaat Penelitian……….. 7
BAB II DASAR TEORI………. 9
A. Sikap ………. 9
1. Pengertian Sikap……… 9
2. Struktur Sikap……… 12
3. Pembentukan Sikap……… 15
4. Fungsi Sikap……….. 18
B. Tata Krama Jawa ………. 20
1. Pengertian Tata Krama Jawa………. 20
2. Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua………... 22
Aspek Tata Krama Jawa………. 24
C. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa
Dalam Menghormati Orang Tua... 25
D. Remaja………. 27
1. Perkembangan Sosial Remaja……….. 29
E. Pengertian Kota dan Desa ... 30
1. Pengertian Kota... 30
2. Pengertian Desa... 32
F. Perbedaan Remaja Desa dan Remaja Kota... 36
1. Karakter Remaja Desa... 36
2. KarakterRemaja Kota... 37
G. Perbedaan Sikap Remaja Kota Dan Remaja Desa Terhadap Tata Krama Jawa dalam Menghormati Orang Tua... 40
H. Hipotesa Penelitian... 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 42
A. Jenis Penelitian... 42
B. Identifikasi Variabel... 42
C. Definisi Operasional... 42
1. Remaja... 42
2. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua... 44
D. Subyek Penelitian ... 46
E. Prosedur penelitian... 47
F. Metode dan Pengumpulan Data……… 47
1. Metode Penyusunan Skala……….... 48
G. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur... 49
1. Validitas... 49
2. Uji Kesahihan Aitem... 50
3. Realibilitas... 51
H. Analisis Data... 52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 53
A. Pelaksanaan Penelitian... 53
B. Hasil Penelitian... 54
1. Uji validitas... 54
2. daya diskriminasi aitem... 54
3. Uji Reliabilitas... 55
4. Uji asumsi analisis data... 56
5. uji Hipotesisi penelitian... 57
6. Kategori Skor Penelitian... 59
C. Pembahasan... 60
BAB V PENUTUP 65
A. Kesimpulan... 65
B. Saran... 65
DAFTAR PUSTAKA... 67
LAMPIRAN... 70
DAFTAR TABEL
TABEL
1. Spesifikasi sikap terhadap Tata Krama Jawa... 48 2. Pemberian Skor Terhadap Skala Sikap
Terhadap Tata Krama Jawa... 48 3. Distribusi Usia Kelompok Remaja Desa
dan Remaja Kota... 53 4. Proporsi Sebaran Aitem Yang Gugur Setelah Uji
Coba... 55 5. Ringkasan Uji-t (hipotesis)... 58 6. Ringkasan Uji-t (kategorisasi)... 59
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A
1. Data Penelitian Kelompok Remaja Desa dan Kelompok Remaja Kota
LAMPIRAN B
1. Uji Reliabilitas Alpha Skala Penelitian 2. Uji Reliabilitas Alpha Aitem Sahih
LAMPIRAN C
1. Data Penelitian Sahih Kelompok Remaja Desa dan Kelompok Remaja Kota
LAMPIRAN D
1. Analisa Statistik: Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota
LAMPIRAN E
1. Skala Penelitian 2. Surat Ijin Penelitian
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ciri masyarakat Indonesia saat ini adalah sebagai masyarakat transisi
yang sedang beranjak dari keadaanya yang tradisional menuju kepada kondisi
yang lebih modern (Sarwono, 1989). Masyarakat Indonesia dihadapkan pada
budaya asing yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam
budaya tradisional yang telah lama menjadi pedoman dalam berperilaku.
Budaya Jawa sebagai bagian dari budaya tradisonal Indonesia juga mengalami
hal yang sama. Seiring dengan laju perkembangan informasi dan komunikasi
yang begitu pesat, nilai-nilai tata krama, terutama bagi generasi muda sudah
semakin menipis. Perkembangan tersebut berpengaruh pada memudarnya
aturan-aturan tata krama Jawa.
Orang Jawa yang hidup di masa kini mulai meninggalkan beberapa
aturan dalam tata krama. Pada intinya, sudah ada pergeseran pandangan
terhadap nilai-nilai budaya Jawa. Misalnya saja masalah penggunaan bahasa,
dimana anak muda yang berkomunikasi dalam bahasa Jawa krama halus
kepada orang tuanya sudah jarang ditemui. Banyak pasangan-pasangan muda
Jawa yang justru hanya menggunakan bahasa Indonesia tanpa mengenalkan
atau membiasakan bahasa Jawa krama halus kepada anaknya, karena
menganggap bahasa Jawa tidak penting lagi atau bisa juga disebabkan karena
tuntutan masyarakat modern yang ingin serba praktis dan cepat sehingga
bahasa krama halus sejak dini sangat penting karena komunikasi orang Jawa
dalam pergaulan sangat memperhatikan unggah-ungguhing basa. Kepribadian
seseorang bisa dicitrakan dalam bentuk kemampuan berbahasa, penggunaan
yang tepat akan mendatangkan sikap hormat dan pilihan kata yang benar
menyebabkan urusan menjadi lancar (Purwadi, 2005).
Tata krama adalah aturan yang diajarkan secara turun-temurun yang
berguna dalam bergaul dengan orang lain. Tata krama Jawa mencakup
aturan-aturan dalam bersikap dan bergaul terhadap orang yang lebih tua atau muda,
makan, duduk, berpakaian dan bertuturkata. Tata krama ini menentukan
bagaimana seseorang harus bersikap terhadap orang lain, yang tujuannya
adalah untuk menjaga keselarasan dalam hidup bermasyarakat.
Tata krama yang merupakan bagian dari budaya Jawa pada dasarnya
diajarkan secara turun-temurun. Seseorang yang memiliki garis keturunan Jawa
cenderung mempelajari budaya Jawa dari orang tua dan lingkungannya.
Misalnya saja anak akan melihat, mengamati, dan mungkin mengaplikasikan
bagaimana orang tua bertutur kata ataupun bersikap terhadap orang lain. Orang
tua dapat mengajarkan bagaimana anak seharusnya berperilaku dilingkungan
sosialnya. Tidak jarang pula orang tua yang masih kental dengan didikan Jawa
cenderung akan memberikan suatu bentuk hukuman bilamana anak dianggap
telah bersikap tidak sopan terhadap orang tua. Hal ini dilakukan karena
menganggap perilaku anak tersebut dapat berpengaruh terhadap nama baik
terhadap pelanggaran tata krama juga berlaku ditingkat masyarakat, misalnya
saja menjadi bahan pergunjingan atau sindiran dari orang sekitarnya.
Melihat realita ini, dapat dikatakan bahwa orang Jawa sebenarnya sangat
menjunjung tinggi nilai tata krama kepada orang lain. Sikap tersebut umumnya
ditujukan terhadap orang yang lebih tua atau dituakan karena orang Jawa
sangat mementingkan adanya kerukunan dan keselarasan dalam hidup
bermasyarakat. Di dalam tata krama itu pula terdapat suatu pedoman
bagaimana cara seseorang menghargai keberadaan orang lain.
Tata krama bagi orang Jawa sangat penting artinya, karena tata krama
dapat mencerminkan peradaban suatu bangsa. Orang Jawa pada umumnya
beranggapan bahwa penampilan lahir pencerminan dari batin. Penampilan lahir
yang dimaksud antara lain adalah tata krama. Seseorang yang dapat bertata
krama dengan baik akan mendapat sanjungan, begitu sebaliknya, akan
dipandang rendah oleh orang lain. Jadi tata krama bagi orang Jawa merupakan
pedoman hidup dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa, yang sudah
berlaku secara turun-temurun (Taryati dalam Ariani, dkk., 2002). Individu
yang bisa memahami tata krama dengan baik, dia akan dapat membedakan
hal-hal yang baik dan buruk dalam menghadapi budaya asing. Akan tetapi bagi
mereka yang tidak memahami tata krama dengan baik, akan sangat rentan bagi
mereka dalam menerima begitu saja budaya asing tanpa memilah baik
buruknya. Jadi, tata krama dapat berfungsi sebagai pedoman untuk
Terdapat kenyataan dimana terjadi kecenderungan pada masyarakat saat
ini terutama yang tinggal di kota besar untuk tidak terlalu mempedulikan
adanya tata krama atau bahkan sanksi sosial yang mungkin mereka terima.
Pengaruh budaya luar yang semakin gencar diera globalisasi ini membuat
semakin banyak aturan-aturan yang sebenarnya baik menjadi bergeser makna
dan penghayatannya, termasuk juga nilai tata krama dalam budaya Jawa.
Masyarakat Jawa terutama remaja memegang peranan penting sebagai
penerus tradisi dan budaya. Budaya modern yang masuk membawa pengaruh
yang baik dan buruk bagi remaja. Pengaruh yang buruk akan menjauhkan
remaja dari kesadaran akan adanya pandangan-pandangan budaya asli Jawa.
Masyarakat kota terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang budaya
yang berbeda dan hal ini sekiranya yang membuat remaja Jawa di kota lebih
terbuka terhadap hal-hal baru, dan tidak terikat terhadap nilai-nilai yang dianut
orang tua. Ariani, dkk. (2002) dalam penelitiannya mengatakan, di lingkungan
keluarga ada beberapa tata krama yang mulai bergeser terutama tata krama
yang berkaitan dengan berbicara, tata cara mengeluarkan pendapat, dan tata
cara bertegur sapa. Dikalangan generasi muda dewasa ini sudah tidak lagi
digunakan bahasa Jawa krama halus dalam percakapan sehari-hari terhadap
orang tua. Adanya pergeseran kedudukan seperti itu mengakibatkan
unggah-ungguh, tata krama, etika anak muda kepada orang tua tidak terlihat. Remaja Jawa terlihat mulai meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya
Jawa yang menjadi pedoman untuk mengatur perilaku mereka. Hal ini
kepada orang lain sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan pihak
orang tua atau lingkungan yang menginginkan pembinaan tata krama yang
ketat.
Remaja kota mendapat pengaruh budaya asing yang terkadang
berlawanan dengan apa yang mereka dapatkan dari pembina mereka (orang
tua, guru, lingkungan, dan lain-lain). Remaja kota memiliki karakter yang
berbeda dengan remaja desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok
yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut
informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di
pinggir jalan (Swastika, 2003). Mereka punya kesempatan untuk
memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan
ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi
dan pertukaran informasi (Swastika, 2003). Remaja Jawa yang tidak mampu
mengintegrasikan gencarnya budaya modern yang sedang melanda dengan
eksistensi nilai-nilai budaya Jawa akan segera kehilangan kesadaran akan
adanya filosofi budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai kearifan (Wijayanti,
2005). Remaja Jawa tersebut seringkali menimbulkan kesalahpahaman atau
benturan dengan pihak orang tua dalam pergaulan sehari-hari yang pada
akhirnya dapat menimbulkan pertentangan sosial yang mengganggu
ketentraman dan ketertiban masyarakat seperti ugal-ugalan, mabuk-mabukan,
kebut-kebutan, dan sebagainya (Soehardi dalam Ariani, dkk., 2005).
Lain daerah, tentu lain pula kondisi masyarakat yang terdapat di
mereka adat istiadat masih dipegang kuat (Denprita, 2005). Karakteristik
remaja desa di Indonesia adalah terikat pada nilai-nilai orang tua dan
masyarakat sehingga mereka memiliki cara berpikir yang serupa dengan orang
tua dan tergantung pada orang tua (Sugiyanto, 1981). Remaja desa biasanya
hidup dalam lingkungan yang masih mememegang teguh tata krama sehingga
sejak kecil remaja di desa dikenalkan dengan aturan-aturan oleh orang tuanya.
Telah disebutkan oleh Swastika (2003) bahwa remaja desa memiliki akses
yang terbatas ke sumber informasi bila dibandingkan dengan remaja kota.
Informasi disini dapat diartikan sebagai budaya asing yang dapat
mempengaruhi perilaku remaja di desa. Keterbatasan informasi tersebut
sekiranya adalah yang menimbulkan perbedaan sikap pada remaja desa
terhadap remaja kota dalam hal tata krama Jawa.
Uraian diatas belum memberikan gambaran yang pasti bagaimana
sebenarnya sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa. Karena di
desa sendiri sudah banyak perubahan seperti yang disebutkan oleh Denprita
(2005) bahwa tingkat aktivitas hedonis remaja desa tergolong tinggi. Mereka
biasanya meniru teman mereka yang terpengaruh media maupun urbanisasi.
Karakter remaja desa yang mulai berubah pun dapat menyebabkan remaja desa
sekarang menjadi lebih terbuka untuk menerima hal-hal baru. Keadaan di kota
sendiri bisa terjadi sebaliknya yaitu tidak selalu jauh dari pembinaan yang baik
mengenai tata krama. Sebagai contoh, daerah Kelurahan Kadipaten Daerah
Istimewa Yogyakarta yang merupakan daerah perkotaan dan letaknya dekat
(Taryati, dkk., 1995). Kesimpulannya adalah, penelitian ini menjadi penting
karena belum ada kepastian akan adanya perbedaan sikap antara remaja Jawa
di kota dan di desa terhadap tata krama Jawa.
Hal inilah yang menimbulkan rasa keingintahuan peneliti untuk
mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota
terhadap nilai tata krama budaya Jawa khususnya dalam menghormati orang
tua. Maksud dari sikap ini adalah bagaimana remaja desa maupun kota
mempersepsikan, memaknai, muatan-muatan emosi/perasaannya serta
kecenderungan untuk berperilaku terkait dengan budaya Jawa, khususnya
masalah tata krama Jawa atau sopan santun dalam menghormati orang tua.
B. Rumusan Masalah
Apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota
terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua?
C. Tujuan Penelitian
Mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan
remaja kota terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua.
D. Manfaat Penelitian a. Praktis
Sebagai sumber data yang dapat digunakan untuk menindak
pelajaran muatan lokal di sekolah atau intervensi lain yang
diperuntukkan bagi remaja dalam meningkatkan apresiasi terhadap
budaya Jawa.
b. Teoretis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sikap
1. Pengertian Sikap
Sikap merupakan suatu hal yang cukup banyak dibicarakan dalam
dunia psikologi. Hal ini tampaknya disebabkan oleh sifat dari sikap itu
sendiri yang merupakan penghubung antara keadaan psikologis individu
dengan orientasi objek dalam dunia individu itu sendiri (Newcomb dalam
Jahoda & Warren, 1970). Sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat,
hakekat, baik perbuatan sekarang maupun yang akan datang (Ahmadi,
1991).
Menurut Chaplin (2000) sikap merupakan satu predisposisi atau
kecenderunan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk
bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap
pribadi lain, lembaga, atau persoalan tertentu. Sikap juga merupakan
kecenderungan untuk mereaksi terhadap orang, institusi atau kejadian, baik
secara positif maupun negatif.
Sikap adalah suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun
negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis (Thurstone
dalam Walgito, 1991). Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan
afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan.
Sikap sendiri melibatkan proses evaluasi, seperti yang diungkapkan
tendensi psikologis yang diekspresikan dengan cara mengevaluasi sesuatu
dengan tingkatan seperti rasa suka dan tidak suka. Sikap adalah sesuatu
yang dipelajari dan bersifat relatif dan meliputi tendensi atau predisposisi
untuk mengevaluasi seseorang, peristiwa, atau situasi pada suatu waktu
dan untuk bertindak berdasarkan evaluasi tersebut (Zanden, 1984). Senada
dengan Zanden, Katz dan Stotland (dalam Lindgren, 1969) mereka
mendefinisikan sikap sebagai suatu tendensi individual atau predisposisi
untuk mengevaluasi suatu objek atau simbol dari objek tersebut pada suatu
waktu.
Newcomb (Jahoda & Warren, 1970) mendefinisikan sikap sebagai
suatu organisasi proses-proses psikologis individu yang diinferensikan dari
perilakunya yang ditujukan pada aspek-aspek diluar dirinya yang ia
peroleh dari aspek-aspek lainnya.
Gerungan (1988) mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek
tertentu dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi
sikap tersebut disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap
terhadap objek itu.
Sikap juga merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang
mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya
perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk
membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang
Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau
memihak ataupun perasaan tidak mendukung objek tersebut. Sikap adalah
kesatuan komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi
dalam diri individu yang kemudian menjadi kecenderungan dalam
merespon suatu objek yang dalam manifestasinya sikap dapat diungkap
berdasarkan penampilan suka atau tidak suka, maupun pernyataan positif
atau negatif terhadap suatu objek (Sears, 1991).
Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk merespon secara
kognitif, afektif, dan behavioral terhadap objek tertentu dengan cara
tertentu (Huffman, 2000).
Definisi diatas memberikan gambaran bahwa sikap merupakan
pandangan atau keyakinan yang terbentuk dari pengalaman seseorang
terhadap stimulus tertentu. Pandangan ini kemudian direfleksikan pada
suatu stimulus tertentu yang sama atau hampir sama dengan stimulus yang
pernah dihadapi dalam pengalaman sebelumnya. Hasil dari refleksi ini
adalah pandangan positif atau negatif individu terhadap stimulus tersebut,
baik itu dalam ranah perasaan, pemikiran, maupun pada tindakan individu
tersebut.
Bisa saja seseorang yang mengalami pengalaman tidak
menyenangkan terhadap suatu stimulus tetap melakukan atau merespon
positif terhadap stimulus tersebut secara konatif, walau sebenarnya secara
afektif atau kognisi ia tidak menerima. Hal ini, umpamanya, terjadi ketika
Jadi, sikap seseorang merupakan suatu konstruk psikologis yang
kompleks. Sikap tidak bisa dipisahkan antara aspek afektif, kognitif,
maupun konasi. Sikap juga tidak bisa dipisahkan begitu saja dari
pengalaman atau keyakinan seseorang terhadap suatu hal.
2. Struktur Sikap
Dalam teori skema triadik disebutkan bahwa struktur sikap terdiri
atas tiga komponen yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan
dan berperilaku terhadap suatu objek, yaitu komponen kognitif
(kepercayaan atau believe), afektif (perasaan atau feelings) dan konatif
(perilaku atau behavior).
Para psikolog sosial pada umumnya setuju bahwa sikap memiliki tiga
komponen: kognitif, afektif dan behavioral. Komponen kognitif terdiri dari
pemikiran dan kepercayaan, komponen afektif terdiri dari perasaan, dan
komponen behavioral terdiri dari kecenderungan untuk bertindak dengan
cara-cara tertentu terhadap objek sikap (Huffman, 2000).
Menurut Ahmadi (1991) tiap-tiap sikap memiliki 3 aspek:
a. Aspek kognitif: yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal
fikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan
serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek
b. Aspek afektif: berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan
tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati antipati dan
sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.
c. Aspek konatif: berwujud proses tendensi/ kecenderungan untuk
berbuat sesuatu objek, misalnya: kecenderungan memberi
pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.
Azwar (2005) menguraikan tiga komponen tersebut sebagai berikut:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang
berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Apa yang dipercayai
seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang telah terpolakan
dalam pikirannya. Kepercayaan datang dari apa yang telah individu lihat
atau apa yang telah individu ketahui. Berdasarkan apa yang telah dilihat
tersebut kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau
karakteristik umum suatu objek. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk,
maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang
dapat diharapkan dari objek tertentu.
Kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selalu akurat. Kadang
kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurang atau tiadanya
informasi yang benar mengenai objek yang dihadapi.
b. Komponen Afektif
Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif
disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada
umumnya, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak
dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar
dan berlaku bagi objek termaksud.
c. Komponen Konatif
Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana
perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri sesorang
berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh
asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.
Maksudnya, bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan
terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana
kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.
Berdasarkan uraian tentang struktur sikap diatas, dalam penelitian ini
peneliti bermaksud untuk memfokuskan pada ketiga komponen sikap itu
sendiri, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen
konatif individu terhadap objek sikap. Hal ini dikarenakan ketiga
komponen tersebut sangat tepat dalam menggambarkan sikap individu
3. Pembentukan Sikap
Setiap orang dalam kehidupannya pasti terlibat dalam interaksi sosial
dan dari interaksi inilah sikap terbentuk. Dalam interaksi tersebut, individu
bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek
psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2005). Dari proses interaksi ini
muncullah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap.
Ahmadi (1991) mengungkapkan bahwa faktor-faktor pembentukan
sikap terdiri dari:
a. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan sehari-hari
b. Keluarga yang terdiri dari orang tua dan saudara-saudara di rumah
c. Media masa
d. Kelompok sebaya
e. Kelompok yang meliputi lembaga sekolah, lembaga keagamaan,
organisasi kerja, dan sebagainya.
Azwar (2005) juga memberikan uraian mengenai faktor-faktor dalam
proses pembentukan sikap manusia. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Pengalaman Pribadi
Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi
haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam
situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang
melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih
b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting
Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang
yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan
persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seorang
yang tidak ingin kita kecewakan, atau seorang yang berarti khusus
bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi
pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang yang
biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang
yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru,
teman kerja, istri atau suami, dan lain-lain.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup
dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan
heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang
mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual.
Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis
pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah
mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah
yang menjadi corak pengalaman individu-individu yang menjadi
d. Media Massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dll. Mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.
Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media
massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat
mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai
sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya
sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh
informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif
dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan
keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri
individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara
sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,diperoleh dari
pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.
f. Pengaruh Faktor Emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan
dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk
sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi berfungsi
mekanisme pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan
sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang
akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan
bertahan lama.
Uraian tentang faktor pembentukan sikap diatas memberikan
gambaran bahwa sikap terhadap objek sikap dalam penelitian ini
dihasilkan dari proses interaksi sosial yang dialami individu. Dengan
kata lain sikap terhadap objek sikap dalam penelitian ini dipengaruhi
baik oleh faktor-faktor eksternal seperti lingkungan, budaya,
keluarga, media masa, kelompok sebaya, dan kelompok yang
meliputi lembaga-lembaga, maupun internal seperti pengalaman
pribadi dan faktor emosional.
4. Fungsi Sikap
Fungsi sikap bagi manusia telah dirumuskan oleh Katz (dalam
Azwar, 2005 dan Walgito, 1991) menjadi empat macam, yaitu:
a. Fungsi Instrumental, Fungsi Penyesuaian, atau Fungsi Manfaat
Sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Bila objek
sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka
orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut, demikian
sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam mencapai tujuan,
maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap yang
sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan
dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian,
individu akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang
dirasakannya akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap
negatif terhadap hal-hal yang dirasanya akan merugikan dirinya.
Karena itu fungsi ini disebut fungsi manfaat.
Dalam pergaulan sosial, sikap yang sesuai akan memungkinkan
seseorang untuk memperoleh persetujuan sosial dari orang di
sekitarnya. Pernyataan sikap tertentu akan dihargai oleh orang-orang
yang dianggap penting seperti orang tua, atasan, teman akrab, dll.
b. Fungsi Pertahanan Ego
Merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi
mempertahankan egonya. Sewaktu individu mengalami hal yang
tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau
sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan
bagi dirinya maka sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme
pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan
tersebut. Sikap, dalam hal ini merefleksikan problem kepribadian
yang tidak terselesaikan.
c. Fungsi Pernyataan Nilai
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi
individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya.
tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang
dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya.
d. Fungsi Pengetahuan
Menurut fungsi ini menusia mempunyai dorongan dasar untuk
ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan
pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak
konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun,
ditata kembali, atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu
konsistensi. Jadi sikap berfungsi sebagai skema, yaitu suatu cara
strukturalisasi agar di dunia sekitar tampak logis dan masuk akal.
Sikap digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fenomena luar
yang ada dan mengorganisasikannya. Bila seseorang mempunyai
sikap tertentu terhadap suatu objek, maka hal ini menunjukkan
tentang pengetahuan orang tersebut terhadap obek sikap yang
bersangkutan.
B. Tata krama Jawa 1. Pengertian
Tata krama berasal dari bahasa Jawa yang biasa diartikan dengan
adat sopan santun atau dalam bahasa Jawa disebut dengan unggah-ungguh
yaitu adat istiadat yang berkaitan dengan interaksi sosial antar sesama
manusia baik dalam keluarga ataupun lingkungan masyarakat (Darsono,
bahwa tata krama atau sopan santun adalah suatu tata cara atau aturan yang
turun temurun telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat, yang
berguna dalam bergaul dengan orang lain agar terjalin hubungan yang
akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut adat yang telah
ditentukan.
Menurut Supajar (dalam Ariani, dkk, 2002) tata krama antara
manusia dengan sesamanya dibedakan antara yang muda dengan yang
lebih tua (anak-bapak, adik-kakak, murid-guru); bawahan–atasan (anak
buah-pimpinan); suami - istri, teman akrab atau baru dan sebagainya.
Ariani,dkk (2002) mengatakan adanya pengelompokan tatanan dalam
berinteraksi tersebut mengharuskan orang Jawa untuk berperilaku atau
berbicara sebagaimana seharusnya diwujudkan ketika berinteraksi dengan
seseorang. Ketika berinteraksi dengan sesamanya tersebut orang Jawa
harus melihat posisi yang diajak berinteraksi. Hal itu sangat penting untuk
menentukan bagaimana seseorang harus bersikap. Sedangkan menurut
Sukari, dkk (1992) tata krama adalah peraturan tidak tertulis yang
merupakan tolok ukur tinggi rendahnya kesesusilaan seseorang dalam
pergaulan sesamanya.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa tata krama Jawa
adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun telah berkembang
dalam suatu budaya dan adat istiadat yang berkaitan dengan interaksi
sosial antar sesama manusia baik dalam keluarga ataupun lingkungan
hubungan yang akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut
adat istiadat Jawa.
2. Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua
Melihat cakupan dari konsep tata krama Jawa yang sangat luas,
peneliti memilih tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai
objek dalam penelitian ini agar penelitian ini menjadi lebih spesifik.
Berikut ini penjelasan mengenai objek tersebut.
Dalam keluarga, seorang anak mengalami proses penanaman
nilai-nilai dari orang tuanya. Bagi anak tidak ada pemberian yang lebih baik
dari orang tuanya, kecuali dengan pemberian pendidikan yang baik,
menanamkan budi pekerti yang luhur, juga bimbingan untuk belajar
mengucapkan kata-kata yang baik, dan diajarkan belajar untuk
menghormati orang lain (Taryati, dkk., 1995). Peran orang tua sangat
penting, karena di dalam keluarga anak dapat belajar bagaimana beretiket
atau bertatakrama baik kepada sesama anggota keluarga ataupun dengan
anggota masyarakat (Ariani, dkk., 2002).
Menurut Ariani, dkk (2002) tata krama menghormati orang tua di
dalam keluarga ternyata sangat dipengaruhi oleh masa sosialisasi
seseorang. Artinya, mereka mendapat tuntunan untuk menghormati orang
tua yang ada di dalam keluarganya, termasuk disini menghormati
kakek/nenek atau orang-orang yang dituakan dalam keluarga. Tata cara
didasarkan kepada alur atau silsilah kekerabatannya. Di dalam budaya
Jawa, sudah selayaknya bagi kerabat yang lebih muda untuk tetap dan
selalu menghormati kepada kerabat yang lebih tua atau yang dituakan.
Segala sikap hormat tersebut ditunjukan melalui bahasa yang
diucapkan dan bahasa tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan
patuh dari anak-anak kepada tatanan, partama-tama harus dinyatakan
dengan tunduk, yaitu dengan cara yang terlihat mata mengangguk dan
tunduk pada keinginan orang tuanya (Mulder, 1985). Sedangkan
aktualisasi dalam menghormati orang tua juga ditunjukan melalui perilaku
menuruti perintahnya, mendahulukan segala keperluannya, selalu
menjalankan nasehatnya, selalu sopan dan tidak menyinggung perasaannya
(Ariani, dkk., 2002).
Alasan peneliti menggunakan tata krama Jawa dalam menghormati
orang tua adalah karena orang tua merupakan tempat pembelajaran
nilai-nilai yang pertama kali bagi seseorang. Dalam proses sosialisasi di
lingkungan keluarga peranan orang tua menjadi amat penting, sebab
melalui anak-anak mereka nilai-nilai budaya dan gagasan utama manjadi
perwujudan kebudayaan masyarakatnya (Taryati, Dkk., 1995). Maka dari
itu tata krama Jawa dalam menghormati orang tua merupakan awal
pembelajaran tata krama sehingga mendasari tata krama terhadap anggota
3. Aspek Tata Krama Jawa
Pendidikan Jawa yang ditanamkan pada anak-anak suku Jawa adalah
bahwa manusia harus berbudaya dan beradab. Mereka sadar sebagai
mahluk sosial mereka mengetahui tatanan dan memperhatikan tingkah
laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas dan
mempertahankan tatanan yang ada di masyarakat (Mulder, 1985).
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa tata krama suku bangsa Jawa
tidak hanya tampak pada tatanan bahasa yang digunakan, tetapi juga pada
gerakan tubuh atau badan. Dari isyarat gerakan tubuh maupun tatanan
bahasa yang digunakan tersebut dapat diketahui seseorang itu sedang
berhadapan dengan siapa (Ariani, dkk., 2002). Dari penjelasan diatas
nampak bahwa aspek tata krama terdiri dari dua macam, yaitu:
a) Tatanan Bahasa
Tatanan bahasa dalam kaitannya dengan tata krama Jawa (unggah
ungguhing basa) merupakan pernyataan rasa menghargai atau menghormati orang yang diajak bicara. Unggah-ungguhing basa
merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun disisi lain
Unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Bahasa yang mengenal Unggah-ungguhing basa merupakan pantulan
dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau
stratifikasi sosial. Unggah-ungguhing basa pada dasarnya dibagi
menjadi tiga: Basa Krama, Basa Madya, Basa Ngoko (Purwadi, 2005).
berbicara kepada orang yang sangat dihormati, basa madya tidak
sehalus basa krama dan biasanya digunakan oleh pedagang, sedangkan
basa ngoko adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sudah akrab sekali dalam pergaulan (Taryati, dkk.,1995).
b) Gerakan Tubuh atau Badan
Rasa penghormatan terhadap orang lain dalam tata krama Jawa
juga dapat dilihat pada gerakan tubuh. Misalnya anggukan kepala,
kedua tangan ditelungkupkan kedepan (ngapurancang) dan sebagainya.
Cara orang Jawa berjalan dengan membungkuk, gerak isyarat
penunjukkan arah dengan selalu menggunakan ibu jari yang
dibengkokkan, berbicara dengan suara yang pelan di hadapan orang
yang dihormati, menunjukkan rasa estetika yang halus. Sebaliknya
orang yang berjalan tegap (petentengan) di hadapan orang yang
dihormati dianggap sangat kasar (Ariani, dkk., 2002).
C. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua
Sikap merupakan salah satu topik dari ilmu psikologi yang dianggap
cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan manusia dari hari ke hari
selalu dihadapkan pada suatu situasi, objek, maupun orang lain dan karena
interaksi itulah akan memunculkan berbagai macam sikap. Sikap itu sendiri
bisa bernilai positif ataupun negatif (Gerungan, 1988). Maksud nilai positif ini
situasi atau orang lain dan sebaliknya bersifat negatif manakala orang menolak
atau tidak setuju dengan situasi, objek ataupun orang lain.
Sikap antara orang satu dengan yang lain dapat berbeda, meskipun objek,
situasi yang dihadapinya sama. Hal ini disebabkan karena sikap sendiri
merupakan suatu bentuk pandangan dan tiap-tiap individu mempunyai skema
tersendiri atas sesuatu. Begitu pula ketika dihadapkan pada objek tertentu. Jika
dikaitkan dengan penelitian ini objeknya adalah tata krama Jawa dalam
menghormati orang tua, maka sikap antara orang yang satu dengan lainnya
tentu akan berlainan.
Tata krama Jawa adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun
telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat Jawa, yang berguna dalam
bergaul dengan orang lain agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian
hormat-menghormati menurut adat yang telah ditentukan. Sikap seseorang
terhadap objek dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Demikian pula dengan
sikap seseorang terhadap tata krama dalam menghormati orang tua dipengaruhi
oleh adanya faktor eksternal seperti lingkungan, budaya, keluarga, media masa,
kelompok sebaya, dan kelompok yang meliputi lembaga-lembaga, maupun
internal seperti pengalaman pribadi dan faktor emosional. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi bagaimana seseorang menentukan respon evaluatif ke
dalam bentuk memihak atau tidak memihak terhadap tata krama Jawa dalam
menghormati orang tua.
Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua meiliki
pengetahuan dan keyakinan individu terhadap peran, nilai dan praktek tata
krama Jawa dalam menghormati orang tua. Aspek afeksi meliputi perasaan
individu terhadap peran, nilai dan praktek tata krama Jawa dalam menghormati
orang tua. Aspek konasi meliputi kecenderungan individu untuk melakukan
praktek yang berhubungan dengan tata krama Jawa dalam menghormati orang
tua.
Dengan demikian sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati
orang tua adalah respon evaluatif ke dalam bentuk memihak atau tidak
memihak pada tata cara atau aturan dalam pergaulan yang turun temurun telah
berkembang dalam suatu budaya masyarakat dan praktek yang berhubungan
dengan tata cara atau aturan tersebut.
D. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh
menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Remaja merupakan salah satu masa
perkembangan yang harus dilewati setiap individu. Di bawah ini adalah
definisi remaja yang dikemukakan oleh para ahli.
Remaja dimaksudkan sebagai periode transisi antara masa anak-anak
dan masa dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, tetapi
kira-kira berawal dari usia 12 sampai akhir usia belasan, saat pertumbuhan
maturitas seksual dan menegakkan identitas sebagai individu yang terpisah
dari keluarga (Atkinson, dkk., 2001).
Menurut Monks (1999) remaja atau adolescent adalah masa
peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ini
berada diantara masa kanak-kanak dan masa dewasa bukan termasuk
golongan anak, tetapi juga bukan termasuk golongan dewasa. Masa remaja
menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena
masa remaja belum memperoleh status dewasa tetapi tidak lagi memiliki
status anak-anak (Calon dalam Monks, 1999).
Menurut Gunarsa (1982) masa remaja adalah masa peralihan dari
masa anak kemasa dewasa yang ditandai oleh berbagai macam perubahan
psikis dan fisik. Ia menyebutkan usia 12-22 tahun sebagai masa remaja.
Monks (1999) mengungkapkan bahwa rentang umur pada remaja
dibagi lagi menjadi tiga yaitu: 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia
15-18 tahun adalah remaja pertegahan, sedangkan umur 18-21 adalah masa
remaja akhir.
Kesimpulannya adalah, masa remaja merupakan masa peralihan dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa yang berkisar antara 12 sampai dengan
21 tahun. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertegahan yang
2. Perkembangan Sosial Remaja
Masa remaja merupakan masa yang paling banyak mengalami
perubahan dalam segi sosial. Dalam perkembangan sosial remaja dapat
dilihat adanya dua macam gerak yaitu, pertama memisahkan diri dari
orang tua. Kedua menuju ke arah teman-teman sebaya. Kedua gerak
tersebut erat kaitannya karena apabila gerak pertama tanpa adanya gerak
kedua akan menyebabkan rasa kesepian. Kedua gerak ini merupakan suatu
reaksi terhadap status interim (posisi yang sebagian diberikan oleh orang
tua dan sebagian diperoleh dengan usaha sendiri) anak muda (Monks,
1999).
Remaja banyak bergaul dengan teman sebaya sebagai kelompok,
maka pengaruh teman sebaya sangat besar. Pengaruh tersebut meliputi
sikap, pembicaraan, minat, penampilan, sampai pada perilaku. Pengaruh
teman sebaya terhadap perilaku lebih besar daripada pengaruh yang
diberikan keluarga (Hurlock, 1994).
Disisi lain, remaja mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Umumnya,
remaja lebih peka terhadap reaksi-reaksi lingkungan yang ada
disekitarnya. Baik itu dari media massa, televisi, film atau orang-orang
disekitarnya (Herdiyani, 2004). Informasi-informasi baru selalu menarik
perhatian remaja dan atau teman sebayanya.
Dari uraian diatas dapat dapat diketahui bahwa remaja sangat
dipengaruhi oleh teman sebayanya dan disisi lain remaja juga dipengaruhi
sikapnya terhadap sesuatu dapat dipengaruhi oleh lingkungannya baik
secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui teman sebayanya.
E. Pengertian Kota dan Desa
Lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi karakteristik
remaja. Dalam penelitian ini lingkungan yang digunakan adalah kota dan
desa. Di bawah ini merupakan uraian mengenai pengertian kedua
lingkungan tersebut.
1. Pengertian Kota
Menurut Prof. Drs. R. Bintarto kota adalah suatu sistem jaringan
kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial
ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik
(www.organisasi.org).
Max Weber (Nas, 1984) menjelaskan bahwa kota adalah suatu
tempat yang mempunyai sifat kosmopolitan. Di sana terdapat berbagai
struktur sosial yang menimbulkan bermacam-macam gaya hidup. Di kota
ada dorongan membentuk suatu kepribadian sosial dan mengadakan
perubahan, kota merupakan sarana untuk perubahan sosial.
Simmel (Nas, 1984) menganggap bahwa kehidupan dalam kota
membawa peningkatan rangsangan syaraf. Dalam kota metropolitan orang
mendapat bermacam-macam kesan yang tak terduga, dan orang harus
bereaksi dengan otaknya, bukan dengan hatinya seperti dalam masyarakat
Kota merupakan pusat kegiatan yang beraneka ragam, seiring dengan
tuntutan kehidupan penduduknya yang semakin kompleks. Selain sebagai
tempat tinggal, kota juga berfungsi antara lain sebagai pusat pemerintahan,
perindustrian, perdagangan perbankan, transportasi, pendidikan,
kebudayaan, kesehatan, olahraga rekreasi dan hiburan (geografi untuk
SMU kelas II, 2001), dengan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Masyarakat yang heterogen
b. Bersifat individualistis dan materialistis
c. Mata pencaharian masyarakat kota non agraris
d. Hubungan kekerabatan mulai pudar
e. Adanya kesenjangan sosial antara golongan masyarakat kaya dan
miskin.
f. Norma-norma keagamaan tidak begitu ketat
g. Pandangan hidup lebih rasional
Daljoeni (1997) mengungkapkan ciri-ciri sosial kota sebagai berikut:
a. Heterogenitas sosial
Kota merupakan melting pot bagi aneka suku ataupun ras. Kepadatan
penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang.
Orang dalam bertindak memilih-milih mana yang paling
b. Hubungan sekunder
Jika hubungan antara penduduk di desa disebut primer, di kota disebut
sekunder. Pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang
hidup tertentu.
c. Kontrol (pengawasan) sekunder
Di kota orang tidak memperdulikan tingkah laku pribadi sesamanya.
Meski ada kontrol sosial ini sifatnya non pribadi; asal tidak merugikan
bagi umum, tindakan dapat ditoleransikan.
d. Toleransi sosial
Orang-orang kota secara fisik dapat berdekatan, tetapi secara sosial
berjauhan. dapat saja di sini orang berpesta dan pada saat yang sama
tetangga menangisi orang yang mati.
e. Mobilitas sosial
Yang dimaksudkan adalah perubahan status sosial seseorang. Orang
menginginkan kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan (social
climbing). Dalam kehidupan kota segalanya di profesionalkan, dan
melalui profesinya orang dapat naik posisinya.
f. Ikatan sukarela
Secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang
disukainya, seperti sport, aneka grup musik, filateli, dan sebagainya.
g. Individualisasi
Orang dapat memutuskan apa saja secara pribadi, merencanakan
h. Segregasi keruangan
Terjadi pemisahan berdasarkan ras atau kelompok tertentu. Misalnya
ada wilayah kaum cina, arab, orang patuh beragama, kaum elit, kaum
gelandangan, daerah operasi pelacuran, pencopetan, kegiatan olahraga,
hiburan, pertokoan dan pasar, kompleks kepegawaian tertentu dan
seterusnya.
Swalem (1987) mengatakan bahwa masyarakat kota adalah
masyarakat yang bersifat perorangan, dinamis dan kritis, kehidupan serba
tergesa-gesa, menyendiri, tegas, proses meniru sesuatu yang baru sangat
cepat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu hal adalah tidak besar dan
tidak terlalu berkesan, tingkat pendidikan masyarakat telah maju, lebih
mengetahui waktu dan ruang beserta perincian kedua-duanya, rasional.
Uraian diatas menunjukkan gambaran mengenai kota bahwa kota
merupakan pusat kegiatan yang beraneka ragam dengan penduduk yang
padat dan heterogen serta memiliki karakter masyarakat yang bersifat
individualistis, rasional, dinamis dan kritis.
2. Pengertian Desa
Pengertian desa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sesuai
dengan pendapat dari para ahli. Berdasarkan undang-undang no.5/1979
tentang pemerintahan desa (Marbun, 1988) desa adalah suatu wilayah yang
ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk
didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Pengertian desa menurut Bintarto (www.organisasi.org) adalah suatu
hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan
lingkungannya. Hasil perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan
di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,
ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi dan juga dalam
hubungannya dengan daerah-daerah lain.
Desa dalam ensiklopedia nasional Indonesia (1997) dijelaskan
sebagai suatu unit sosial, yaitu sekelompok manusia yang hidup bermukim
secara menentap dalam wilayah tertentu, yang tidak selalu sama dengan
wilayah administrasi setempat dan mencakup tanah pertanian yang
kadang-kadang dikuasai secara bersama. Ciri-ciri desa secara umum
adalah sebagai berikut, terletak sangat dekat dengan pusat wilayah usaha
tani, pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang dominan, faktor
penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya, populasi
penduduk lebih bersifat “terganti dari dirinya sendiri”, kontrol sosial
bersifat personal atau pribadi dalam bentuk tatap muka, ikatan sosial relatif
lebih ketat daripada kota.
Bouman (Handayani, 2000) menjelaskan batasan desa sebagai suatu
pergaulan hidup yang meliputi beberapa ribu jiwa, saling mengenal, dan
group, karena orang desa hampir semuanya saling mengenal sekurang-kurangnya mengenal muka.
Faisal (1981) menyatakan bahwa desa merupakan masyarakat
keluarga atau masyarakat paguyuban. Hal ini dikarenakan masyarakat desa
memiliki ciri-ciri saling mengenal dengan baik antara yang satu dengan
yang lainnya, memiliki keintiman yang tinggi di kalangan warganya,
memiliki rasa persaudaraan dan persekutuan yang tinggi, memiliki jalinan
emosional yang kuat di kalangan warganya dan saling bantu-membantu,
tolong-menolong atas dasar kekeluargaan.
Menurut Swalem (1987) masyarakat desa merupakan masyarakat
yang bersifat gotong-royong, statis, kehidupan tenang, proses meniru
sesuatu yang baru lambat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu adalah
cepat dan berkesan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat masih
tebelakang, cenderung irasional, magis dan mistis.
Kesimpulan dari beberapa penjelasan diatas tersebut yaitu desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk yang mempunyai organisasi pemerintahan
terendah langsung dibawah camat. Desa juga membentuk masyarakat
dengan komunitas kecil yang penduduknya terikat pada adat kebiasaan,
mayoritas penduduknya bertani, kontrol sosial yang ada bersifat personal,
memiliki ikatan kekeluargaan yang erat serta ikatan sosial lebih ketat
F. Perbedaan Remaja Desa dan Remaja Kota
Perbedaan remaja desa dan remaja kota dalam penelitian ini
ditujukan pada perbedaan karakter yang dipengaruhi oleh lingkungan
dimana remaja tersebut tinggal dan dibesarkan. Remaja desa dapat
diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di desa, sedangkan
remaja kota diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di kota.
Berikut ini perbedaan karakter remaja desa dan karakter remaja kota:
1. Karakter Remaja Desa
Karakter remaja desa dijelaskan oleh Susilawati (Handayani,
2000) adalah sebagai berikut, tidak suka menonjolkan diri, umumnya
sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, ada
perasaan curiga terhadap orang lain, memiliki perasaan untuk
mengekspresikan dirinya.
Sugiyanto (1981) menjelaskan mengenai karakteristik remaja
desa yaitu mempunyai kesediaan untuk bekerjasama. Mau berkorban
untuk kepentingan orang lain, perhatian terutama ditunjukkan pada
kemanusiaan sehingga tindakannya banyak dikendalikan oleh
kecintaan terhadap manusia, memiliki dorongan untuk mendapat
bantuan dan simpati.
Karakteristik remaja desa di Indonesia adalah terikat pada
nilai-nilai orang tua dan masyarakat sehingga mereka memiliki cara
berpikir yang serupa dengan orang tua dan tergantung pada orang tua
Pemuda desa memilih cara berpikir seperti orang tuanya. Hal itu
dilakukan karena adanya sikap hormat kepada orang tua sehingga
untuk berbeda pendapat pun dianggap suatu sikap yang kurang sopan.
Oleh karena itu mereka memilih untuk bersikap sama dengan orang
tuanya. Adanya sikap yang seperti itu akan berakibat kurangnya daya
kritis pemuda padahal mereka merupakan tulang punggung
masyarakat (Fakhrurrozi, 2000).
Dari pernyataan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
karakter remaja desa adalah tidak suka menonjolkan diri, sering
menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat
pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat. Dengan kata lain remaja
desa cenderung terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat
dalam menentukan sikapnya terhadap sesuatu.
2. Karakter Remaja Kota
Remaja kota memiliki karakter yang berbeda dengan remaja
desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki
akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut
informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan
poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk
memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat
hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk
Karakter yang menonjol dari remaja kota yaitu remaja kota
selalu mengikuti perkembangan jaman terutama mengenai gaya hidup
dan penampilan. Gaya hidup yang ditawarkan dalam majalah remaja
maupun dalam sinetron adalah gaya hidup hedonis sebagai remaja
kota besar yang tertular dari gaya hidup Barat (Herdiyani, 2004).
Penampilan yang dimaksud bukan saja apa yang melekat pada tubuh
semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan "potensi" dalam
diri yang memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri
tertentu. Bahasa dianggap salah satu hal penting yang akan
memberikan ciri khusus pada remaja kota. Cara, logat dan pilihan kata
dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha remaja kota untuk
membentuk citra tertentu melalui penampilannya (Swastika, 2003).
Menurut Daldjoeni (1997) ada beberapa karakter remaja kota
yaitu:
a.Berpikiran secara rasional dan menghindari perdebatan yang
berlatar belakang mistis. Adanya kebiasaan untuk mengembangkan
perbedaan dalam lingkungan keluarga telah menghasilkan
pribadi-pribadi yang kreatif, inovatif, dan kritis.
b.Lebih peka dalam menangkap gejala perubahan sosial serta ingin
terlibat aktif untuk menjadi pembaharu. Pengembangan aspek
kognitif remaja kota melalui pendidikan formal telah menjadikan
mereka sebagai remaja yang dinamis dan tidak menyukai keadaan
c.Cenderung untuk senantiasa mengikuti perubahan jaman serta
berusaha untuk dengan segera mengabulkan keinginan. Adanya
gengsi yang tinggi pada diri mereka mengakibatkan mereka
menjadi pribadi-pribadi yang mudah berubah pendirian asal mereka
bisa mengikuti perubahan jaman dan mengungguli teman
sebayanya. Remaja di kota selalu berusaha untuk terus
memperbaharui penampilannya.
d.Remaja kota terlihat ingin mandiri dan ingin segera memisahkan
diri dari tuanya. Karena sudah terbiasa berbeda dengan orang
tuanya telah menjadikan mereka cepat mandiri. Mereka akan
merasa bangga jika dengan cepat memisahkan diri dari orang
tuanya untuk menghidupi dirinya sendiri.
e.Sektor-sektor industri perdagangan lebih menarik perhatian bagi
mereka. Karena jauh dari lokasi pertanian dan kehidupan mereka
berhubungan dengan masalah untung rugi, maka orientasi mereka
pun lebih mengarah pada sektor-sektor yang bisa dengan cepat
mendatangkan penghasilan berlipat ganda.
Dari uraian diatas, secara garis besar karakter remaja kota
diantaranya adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan,
dan tidak ingin tergantung pada orang tua atau ingin mandiri. Dengan
begitu remaja kota tidak tergantung pada orang tua, kritis, dan berpikir
G. Perbedaan Sikap Remaja Kota Dan Remaja Desa Terhadap Tata Krama Jawa dalam menghormati Orang Tua
Perbedaan sikap remaja kota dan desa terhadap tata krama Jawa dalam
menghormati orang tua merupakan perbedaan penghayatan antara remaja
desa dan remaja kota terhadap tata krama Jawa terhadap orang tua yang
mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif.
Sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa dalam
menghormati orang tua dapat bersifat positif dan negatif. Kedua sifat ini akan
berpengaruh berbeda terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya Jawa
khususnya tata krama dalam menghormati orang tua. Jika remaja bersikap
positif terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua berarti tata
krama tersebut masih di hayati dan di yakini sebagai pedoman dalam
pergaulan mereka, sementara sikap negatif dari remaja terhadap tata krama
Jawa dalam menghormati orang tua menandakan bahwa bagi remaja, tata
krama Jawa dalam menghormati orang tua tidak lagi relevan dengan
kehidupan mereka saat ini.
Remaja desa dan remaja kota memiliki karakter berbeda. Karakter
remaja desa umumnya tidak suka menonjolkan diri, sering menunjukkan
perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang
tua dan masyarakat. Selain itu, remaja desa tinggal dalam lingkungan yang
masih kental dengan adat-istiadatnya. Sedangkan, karakter remaja kota
diantaranya adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, mudah
Perbedaan karakter remaja desa dan remaja kota disebabkan oleh
lingkungan mereka yang berbeda, salah satunya yaitu desa memiliki akses
yang lebih terbatas terhadap informasi daripada di kota (Swastika, 2003).
Perbedaan tersebut menentukan perbedaan remaja desa dan kota dalam
mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebudayaan dimana kita hidup dan
dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita
(Azwar, 2005). Hal ini sejalan dengan pernyataan Sears (1991) bahwa orang
yang tinggal di kota besar jauh lebih mau menolong orang yang tidak
mematuhi norma sosial. Kalimat diatas dapat diartikan bahwa orang kota
lebih longgar terhadap sanksi pelanggaran dalam pelaksanaan norma sosial
khususnya terkait dengan penelitian ini yaitu tata krama. Berbeda dengan di
desa dimana pelaksanaan tata krama lebih ketat karena desa memiliki
pengawasan masyarakat atau kontrol sosial yang tinggi (Swalem, 1987).
H. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan keterangan yang telah dijelaskan pada bagian kajian teoritis
di depan, peneliti mengajukan hipotesa sebagai berikut:
“Ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian komparatif yang bertujuan untuk
mengetahui dan membandingkan apakah terdapat perbedaan sikap terhadap
tata krama Jawa dalam menghormati orang tua antara remaja desa dan remaja
kota.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel bebas : remaja desa dan remaja kota
Variabel tergantung : sikap terhadap tata krama Jawa dalam
menghormati orang tua
C. Definisi Operasional
Terdapat dua faktor yang didefinisikan secara operasional, yakni:
1. Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh
menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Remaja merupakan salah satu masa
perkembangan yang harus dilewati setiap individu. Masa remaja
merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang
berkisar antara 12 sampai dengan 21 tahun. Monks (1999)
yaitu: 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18 tahun adalah
remaja pertegahan, sedangkan umur 18-21 adalah masa remaja akhir.
Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertegahan yang berumur 15-18
tahun.
Tipe remaja yang digunakan dalam penelitian ini yaitu remaja desa
dan remaja kota.
a. Remaja Desa
Remaja desa dapat diartikan sebagai remaja yang tinggal dan
dibesarkan di desa. Ciri dari desa adalah masyarakatnya yang bersifat
gotong-royong, statis, kehidupan tenang, proses meniru sesuatu yang
baru lambat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu adalah cepat
dan berkesan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat masih
terbelakang, cenderung irasional, magis dan mistis (Swalem, 1987).
Sedangkan remaja desa itu sendiri memiliki karakter tidak suka
menonjolkan diri, sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat
mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat.
b. Remaja Kota
Remaja kota diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di
kota. Ciri–ciri masyarakat kota adalah bersifat perorangan, dinamis
dan kritis, kehidupan serba tergesa-gesa, menyendiri, tegas, proses
meniru sesuatu yang baru sangat cepat, pengawasan masyarakat
terhadap sesuatu hal adalah tidak besar dan tidak terlalu berkesan,
dan ruang beserta perincian kedua-duanya dan cenderung rasional
(Swalem 1987). Sehingga dapat dikatakan bahwa karakter remaja kota
adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, dan tidak
ingin tergantung pada orang tua atau ingin mandiri.
2. Sikap terhadap