• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA DALAM MENGHORMATI ORANG TUA PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA DALAM MENGHORMATI ORANG TUA PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA

DALAM MENGHORMATI ORANG TUA

PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Rio Hartomo NIM: 029114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

PERBEDAAN SIKAP TERHADAP TATA KRAMA JAWA

DALAM MENGHORMATI ORANG TUA

PADA REMAJA DESA DAN REMAJA KOTA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh: Rio Hartomo NIM: 029114135

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

(3)
(4)
(5)

LEMBAR MOTTO

Aja sira wani marang wong tuwanira, jalaran sira bakal kena bendhu

saka Kang Murbeng Dumadi.

Wong kang ora weruh tatakrama udanagara (unggah-ungguh), iku

padha karo ora bisa ngrasakake rasa nem warna

(legi, kecut, asin, pedhes, sepet, lan pait).

Wong tuwa kang ora ngudi kabecikan sarta ora ngerti marang

udanagara (trapsila, unggah-ungguh) lan tata krama, kuwi sejatine

dudu panutane putra wayah.

www.sekarjagad.org

“Witing trisno jalaran soko kulino”

(Pembiasaan dan pengenalan secara baik adalah akar dari kecintaan kasih yang harmonis)

(6)
(7)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Karya sederhan a in i kupersem bahkan un tuk bapak ibuku tercin ta, kakak dan adikku, seseoran g yan g kukasihi, sahabat-sahabatku, ikan -ikan di

aquarium ku, serta ilm u pen getahuan , dem i kem ajuan bersam a.

(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 18 Januari 2008 Penulis,

Rio Hartomo

(9)

ABSTRAK

RIO HARTOMO (2008). Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota. Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai variabel tergantung, sedangkan remaja desa dan remaja kota sebagai variabel bebas.

Secara keseluruhan, jumlah subyek dalam penelitian ini terdiri dari 122 orang yang berada pada rentangan usia antara 15-18 tahun. Dengan rincian subjek sebagai berikut; 61 siswa SMK Diponegoro kelas satu, 2 dan 3, serta 61 siswa SMU Marsudi Luhur kelas satu, 2 dan 3, keduanya merupakan keturunan suku Jawa.

Instrument penelitian ini adalah skala sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua yang terdiri dari 45 aitem dengan koefisien alpha

sebesar 0.896. Melalui analisis data dengan uji-t diperoleh p>0.05 (p= 0,302), sehingga disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota.

(10)

ABSTRACT

RIO HARTOMO (2008). The Difference Attitude About Javanese Manners Within Respecting Their Parents Between Adolescent Villager and Adolescent Townsman. Faculty of Psychology University of Sanata Dharma Yogyakarta.

The purpose of this research is to find out whether there is a difference in the attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman. The variables as used in this research are attitude about Javanese manners within respecting their parents as dependent variable, whereas adolescent villager and adolescent townsman as an independent variable.

Over all, the total subjects of this research are 122 people in the age range of 15-18 years old. In more detail the subjects of this research are; 61 SMK Diponegoro’s first, 2nd, 3rd degree students, and 61 SMU Marsudi Luhur’s first, 2nd, 3rd degree students. Both of them are Javanese.

This research instrument is a measurement scale of the attitude about Javanese manners within respecting their parents which consist of 45 items with an alpha coefficient of 0.896. Through the analysis of the data using t-test, it was found that p> 0.05 (p= 0,302), thus it is inferential that there is no difference attitude about Javanese manners within respecting their parents between adolescent villager and adolescent townsman.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang dilimpahkanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi dengan judul “perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua pada remaja desa dan remaja kota” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama proses pengerjaan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak sehingga karya ini dapat terwujud. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Edi Suhartanto, Selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk segala bimbingan dan nasehat beliau selama penulis menimba ilmu di Fakultas Psikologi ini.

2. Bapak Minta Istono, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk selalu mengingatkan penulis dimanapun dan kapanpun.

3. Pihak-pihak yang terlibat sebagai responden dalam penelitian ini, kepala sekolah, dan guru-guru yang bersedia meluangkan jam mengajarnya. Terima kasih atas segala bantuan dan juga kerelaan membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Ibuku yang selalu mendoakan kelulusanku. Trimakasih atas doanya, nasehatnya dan yang tidak kalah penting adalah kucuran dananya, hehehe...

5. Bayu my brother, atas bantuannya mengetik beberapa halaman. Setidaknya bisa ngetik 10 jari ada gunanya kan....

6. Mas Brian the big brother, yang selalu memotivasi tanpa kenal lelah (kapan tesisnya selesai?).

(12)

7. Teman-temanku. Joe yang bantuin cari sekolahan (fiuh..., it’s the hardest part, thanks bro), Tanti, yang banyak memberi masukan (baik dalam bentuk ilmu maupun logistik, sampaikan trimakasih buat mamahmu ya, suguhanya enak, hehe..), dan Lisna yang menjadi motivasi (lulusnya cepet), serta semua teman-teman angkatan ’02 (Pandji, Ohaq, Obet, Vincen, Ciryl, Dedi, dan semua yang belum disebut), tnx yaa... yang sudah lulus moga cepet dapet kerja, yang belum moga cepet lulus...

8. To my best part of me, Aril Halida. Kau membuat hidupku lebih bermakna dengan rasa sayangmu, cintamu, perhatianmu, nasehatmu, dorongamu, motivasimu, sampai ancamanmu, pokoknya u complete me deh...

9. Keluarga Aril. Mamah, papah, mas Neo, serta sepupu-sepupu dan keponakan-keponakannya atas penerimaan yang tulus yang telah menganggapku sebagai bagian dari keluarga, trimakasih banyak.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu dengan terbuka, saya menerima saran dan kritik demi perbaikan dan kesempurnaan karya ini. Besar harapan saya agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penulis

Rio Hartomo

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. ii

HALAMAN PENGESAHAN……… iii

HALAMAN MOTO ………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……… v

PERNYATAAN KEASLIANKARYA……… vi

ABSTRAK………. vii

ABSRACT……….. viii

KATA PENGANTAR………... ix

DAFTAR ISI ………. xi

DAFTAR TABEL……….. xiv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xv

BAB I PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang……… 1

B. Rumusan Masalah ……….. 7

C. Tujuan Penelitian..……….. 7

D. Manfaat Penelitian……….. 7

BAB II DASAR TEORI………. 9

A. Sikap ………. 9

1. Pengertian Sikap……… 9

2. Struktur Sikap……… 12

3. Pembentukan Sikap……… 15

4. Fungsi Sikap……….. 18

B. Tata Krama Jawa ………. 20

1. Pengertian Tata Krama Jawa………. 20

2. Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua………... 22

Aspek Tata Krama Jawa………. 24

(14)

C. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa

Dalam Menghormati Orang Tua... 25

D. Remaja………. 27

1. Perkembangan Sosial Remaja……….. 29

E. Pengertian Kota dan Desa ... 30

1. Pengertian Kota... 30

2. Pengertian Desa... 32

F. Perbedaan Remaja Desa dan Remaja Kota... 36

1. Karakter Remaja Desa... 36

2. KarakterRemaja Kota... 37

G. Perbedaan Sikap Remaja Kota Dan Remaja Desa Terhadap Tata Krama Jawa dalam Menghormati Orang Tua... 40

H. Hipotesa Penelitian... 41

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 42

A. Jenis Penelitian... 42

B. Identifikasi Variabel... 42

C. Definisi Operasional... 42

1. Remaja... 42

2. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua... 44

D. Subyek Penelitian ... 46

E. Prosedur penelitian... 47

F. Metode dan Pengumpulan Data……… 47

1. Metode Penyusunan Skala……….... 48

G. Validitas dan Realibilitas Alat Ukur... 49

1. Validitas... 49

2. Uji Kesahihan Aitem... 50

3. Realibilitas... 51

H. Analisis Data... 52

(15)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 53

A. Pelaksanaan Penelitian... 53

B. Hasil Penelitian... 54

1. Uji validitas... 54

2. daya diskriminasi aitem... 54

3. Uji Reliabilitas... 55

4. Uji asumsi analisis data... 56

5. uji Hipotesisi penelitian... 57

6. Kategori Skor Penelitian... 59

C. Pembahasan... 60

BAB V PENUTUP 65

A. Kesimpulan... 65

B. Saran... 65

DAFTAR PUSTAKA... 67

LAMPIRAN... 70

(16)

DAFTAR TABEL

TABEL

1. Spesifikasi sikap terhadap Tata Krama Jawa... 48 2. Pemberian Skor Terhadap Skala Sikap

Terhadap Tata Krama Jawa... 48 3. Distribusi Usia Kelompok Remaja Desa

dan Remaja Kota... 53 4. Proporsi Sebaran Aitem Yang Gugur Setelah Uji

Coba... 55 5. Ringkasan Uji-t (hipotesis)... 58 6. Ringkasan Uji-t (kategorisasi)... 59

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A

1. Data Penelitian Kelompok Remaja Desa dan Kelompok Remaja Kota

LAMPIRAN B

1. Uji Reliabilitas Alpha Skala Penelitian 2. Uji Reliabilitas Alpha Aitem Sahih

LAMPIRAN C

1. Data Penelitian Sahih Kelompok Remaja Desa dan Kelompok Remaja Kota

LAMPIRAN D

1. Analisa Statistik: Perbedaan Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua Pada Remaja Desa dan Remaja Kota

LAMPIRAN E

1. Skala Penelitian 2. Surat Ijin Penelitian

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ciri masyarakat Indonesia saat ini adalah sebagai masyarakat transisi

yang sedang beranjak dari keadaanya yang tradisional menuju kepada kondisi

yang lebih modern (Sarwono, 1989). Masyarakat Indonesia dihadapkan pada

budaya asing yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan nilai-nilai dalam

budaya tradisional yang telah lama menjadi pedoman dalam berperilaku.

Budaya Jawa sebagai bagian dari budaya tradisonal Indonesia juga mengalami

hal yang sama. Seiring dengan laju perkembangan informasi dan komunikasi

yang begitu pesat, nilai-nilai tata krama, terutama bagi generasi muda sudah

semakin menipis. Perkembangan tersebut berpengaruh pada memudarnya

aturan-aturan tata krama Jawa.

Orang Jawa yang hidup di masa kini mulai meninggalkan beberapa

aturan dalam tata krama. Pada intinya, sudah ada pergeseran pandangan

terhadap nilai-nilai budaya Jawa. Misalnya saja masalah penggunaan bahasa,

dimana anak muda yang berkomunikasi dalam bahasa Jawa krama halus

kepada orang tuanya sudah jarang ditemui. Banyak pasangan-pasangan muda

Jawa yang justru hanya menggunakan bahasa Indonesia tanpa mengenalkan

atau membiasakan bahasa Jawa krama halus kepada anaknya, karena

menganggap bahasa Jawa tidak penting lagi atau bisa juga disebabkan karena

tuntutan masyarakat modern yang ingin serba praktis dan cepat sehingga

(19)

bahasa krama halus sejak dini sangat penting karena komunikasi orang Jawa

dalam pergaulan sangat memperhatikan unggah-ungguhing basa. Kepribadian

seseorang bisa dicitrakan dalam bentuk kemampuan berbahasa, penggunaan

yang tepat akan mendatangkan sikap hormat dan pilihan kata yang benar

menyebabkan urusan menjadi lancar (Purwadi, 2005).

Tata krama adalah aturan yang diajarkan secara turun-temurun yang

berguna dalam bergaul dengan orang lain. Tata krama Jawa mencakup

aturan-aturan dalam bersikap dan bergaul terhadap orang yang lebih tua atau muda,

makan, duduk, berpakaian dan bertuturkata. Tata krama ini menentukan

bagaimana seseorang harus bersikap terhadap orang lain, yang tujuannya

adalah untuk menjaga keselarasan dalam hidup bermasyarakat.

Tata krama yang merupakan bagian dari budaya Jawa pada dasarnya

diajarkan secara turun-temurun. Seseorang yang memiliki garis keturunan Jawa

cenderung mempelajari budaya Jawa dari orang tua dan lingkungannya.

Misalnya saja anak akan melihat, mengamati, dan mungkin mengaplikasikan

bagaimana orang tua bertutur kata ataupun bersikap terhadap orang lain. Orang

tua dapat mengajarkan bagaimana anak seharusnya berperilaku dilingkungan

sosialnya. Tidak jarang pula orang tua yang masih kental dengan didikan Jawa

cenderung akan memberikan suatu bentuk hukuman bilamana anak dianggap

telah bersikap tidak sopan terhadap orang tua. Hal ini dilakukan karena

menganggap perilaku anak tersebut dapat berpengaruh terhadap nama baik

(20)

terhadap pelanggaran tata krama juga berlaku ditingkat masyarakat, misalnya

saja menjadi bahan pergunjingan atau sindiran dari orang sekitarnya.

Melihat realita ini, dapat dikatakan bahwa orang Jawa sebenarnya sangat

menjunjung tinggi nilai tata krama kepada orang lain. Sikap tersebut umumnya

ditujukan terhadap orang yang lebih tua atau dituakan karena orang Jawa

sangat mementingkan adanya kerukunan dan keselarasan dalam hidup

bermasyarakat. Di dalam tata krama itu pula terdapat suatu pedoman

bagaimana cara seseorang menghargai keberadaan orang lain.

Tata krama bagi orang Jawa sangat penting artinya, karena tata krama

dapat mencerminkan peradaban suatu bangsa. Orang Jawa pada umumnya

beranggapan bahwa penampilan lahir pencerminan dari batin. Penampilan lahir

yang dimaksud antara lain adalah tata krama. Seseorang yang dapat bertata

krama dengan baik akan mendapat sanjungan, begitu sebaliknya, akan

dipandang rendah oleh orang lain. Jadi tata krama bagi orang Jawa merupakan

pedoman hidup dalam pergaulan bermasyarakat dan berbangsa, yang sudah

berlaku secara turun-temurun (Taryati dalam Ariani, dkk., 2002). Individu

yang bisa memahami tata krama dengan baik, dia akan dapat membedakan

hal-hal yang baik dan buruk dalam menghadapi budaya asing. Akan tetapi bagi

mereka yang tidak memahami tata krama dengan baik, akan sangat rentan bagi

mereka dalam menerima begitu saja budaya asing tanpa memilah baik

buruknya. Jadi, tata krama dapat berfungsi sebagai pedoman untuk

(21)

Terdapat kenyataan dimana terjadi kecenderungan pada masyarakat saat

ini terutama yang tinggal di kota besar untuk tidak terlalu mempedulikan

adanya tata krama atau bahkan sanksi sosial yang mungkin mereka terima.

Pengaruh budaya luar yang semakin gencar diera globalisasi ini membuat

semakin banyak aturan-aturan yang sebenarnya baik menjadi bergeser makna

dan penghayatannya, termasuk juga nilai tata krama dalam budaya Jawa.

Masyarakat Jawa terutama remaja memegang peranan penting sebagai

penerus tradisi dan budaya. Budaya modern yang masuk membawa pengaruh

yang baik dan buruk bagi remaja. Pengaruh yang buruk akan menjauhkan

remaja dari kesadaran akan adanya pandangan-pandangan budaya asli Jawa.

Masyarakat kota terdiri dari berbagai individu dengan latar belakang budaya

yang berbeda dan hal ini sekiranya yang membuat remaja Jawa di kota lebih

terbuka terhadap hal-hal baru, dan tidak terikat terhadap nilai-nilai yang dianut

orang tua. Ariani, dkk. (2002) dalam penelitiannya mengatakan, di lingkungan

keluarga ada beberapa tata krama yang mulai bergeser terutama tata krama

yang berkaitan dengan berbicara, tata cara mengeluarkan pendapat, dan tata

cara bertegur sapa. Dikalangan generasi muda dewasa ini sudah tidak lagi

digunakan bahasa Jawa krama halus dalam percakapan sehari-hari terhadap

orang tua. Adanya pergeseran kedudukan seperti itu mengakibatkan

unggah-ungguh, tata krama, etika anak muda kepada orang tua tidak terlihat. Remaja Jawa terlihat mulai meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya

Jawa yang menjadi pedoman untuk mengatur perilaku mereka. Hal ini

(22)

kepada orang lain sehingga seringkali menimbulkan benturan dengan pihak

orang tua atau lingkungan yang menginginkan pembinaan tata krama yang

ketat.

Remaja kota mendapat pengaruh budaya asing yang terkadang

berlawanan dengan apa yang mereka dapatkan dari pembina mereka (orang

tua, guru, lingkungan, dan lain-lain). Remaja kota memiliki karakter yang

berbeda dengan remaja desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok

yang memiliki akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut

informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan poster di

pinggir jalan (Swastika, 2003). Mereka punya kesempatan untuk

memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat hiburan dan

ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi

dan pertukaran informasi (Swastika, 2003). Remaja Jawa yang tidak mampu

mengintegrasikan gencarnya budaya modern yang sedang melanda dengan

eksistensi nilai-nilai budaya Jawa akan segera kehilangan kesadaran akan

adanya filosofi budaya Jawa yang mengandung nilai-nilai kearifan (Wijayanti,

2005). Remaja Jawa tersebut seringkali menimbulkan kesalahpahaman atau

benturan dengan pihak orang tua dalam pergaulan sehari-hari yang pada

akhirnya dapat menimbulkan pertentangan sosial yang mengganggu

ketentraman dan ketertiban masyarakat seperti ugal-ugalan, mabuk-mabukan,

kebut-kebutan, dan sebagainya (Soehardi dalam Ariani, dkk., 2005).

Lain daerah, tentu lain pula kondisi masyarakat yang terdapat di

(23)

mereka adat istiadat masih dipegang kuat (Denprita, 2005). Karakteristik

remaja desa di Indonesia adalah terikat pada nilai-nilai orang tua dan

masyarakat sehingga mereka memiliki cara berpikir yang serupa dengan orang

tua dan tergantung pada orang tua (Sugiyanto, 1981). Remaja desa biasanya

hidup dalam lingkungan yang masih mememegang teguh tata krama sehingga

sejak kecil remaja di desa dikenalkan dengan aturan-aturan oleh orang tuanya.

Telah disebutkan oleh Swastika (2003) bahwa remaja desa memiliki akses

yang terbatas ke sumber informasi bila dibandingkan dengan remaja kota.

Informasi disini dapat diartikan sebagai budaya asing yang dapat

mempengaruhi perilaku remaja di desa. Keterbatasan informasi tersebut

sekiranya adalah yang menimbulkan perbedaan sikap pada remaja desa

terhadap remaja kota dalam hal tata krama Jawa.

Uraian diatas belum memberikan gambaran yang pasti bagaimana

sebenarnya sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa. Karena di

desa sendiri sudah banyak perubahan seperti yang disebutkan oleh Denprita

(2005) bahwa tingkat aktivitas hedonis remaja desa tergolong tinggi. Mereka

biasanya meniru teman mereka yang terpengaruh media maupun urbanisasi.

Karakter remaja desa yang mulai berubah pun dapat menyebabkan remaja desa

sekarang menjadi lebih terbuka untuk menerima hal-hal baru. Keadaan di kota

sendiri bisa terjadi sebaliknya yaitu tidak selalu jauh dari pembinaan yang baik

mengenai tata krama. Sebagai contoh, daerah Kelurahan Kadipaten Daerah

Istimewa Yogyakarta yang merupakan daerah perkotaan dan letaknya dekat

(24)

(Taryati, dkk., 1995). Kesimpulannya adalah, penelitian ini menjadi penting

karena belum ada kepastian akan adanya perbedaan sikap antara remaja Jawa

di kota dan di desa terhadap tata krama Jawa.

Hal inilah yang menimbulkan rasa keingintahuan peneliti untuk

mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota

terhadap nilai tata krama budaya Jawa khususnya dalam menghormati orang

tua. Maksud dari sikap ini adalah bagaimana remaja desa maupun kota

mempersepsikan, memaknai, muatan-muatan emosi/perasaannya serta

kecenderungan untuk berperilaku terkait dengan budaya Jawa, khususnya

masalah tata krama Jawa atau sopan santun dalam menghormati orang tua.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan remaja kota

terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui apakah ada perbedaan sikap antara remaja desa dengan

remaja kota terhadap tata krama budaya Jawa dalam menghormati orang tua.

D. Manfaat Penelitian a. Praktis

Sebagai sumber data yang dapat digunakan untuk menindak

(25)

pelajaran muatan lokal di sekolah atau intervensi lain yang

diperuntukkan bagi remaja dalam meningkatkan apresiasi terhadap

budaya Jawa.

b. Teoretis

(26)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap

1. Pengertian Sikap

Sikap merupakan suatu hal yang cukup banyak dibicarakan dalam

dunia psikologi. Hal ini tampaknya disebabkan oleh sifat dari sikap itu

sendiri yang merupakan penghubung antara keadaan psikologis individu

dengan orientasi objek dalam dunia individu itu sendiri (Newcomb dalam

Jahoda & Warren, 1970). Sikap ialah suatu hal yang menentukan sifat,

hakekat, baik perbuatan sekarang maupun yang akan datang (Ahmadi,

1991).

Menurut Chaplin (2000) sikap merupakan satu predisposisi atau

kecenderunan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk

bertingkah laku atau untuk mereaksi dengan satu cara tertentu terhadap

pribadi lain, lembaga, atau persoalan tertentu. Sikap juga merupakan

kecenderungan untuk mereaksi terhadap orang, institusi atau kejadian, baik

secara positif maupun negatif.

Sikap adalah suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun

negatif dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis (Thurstone

dalam Walgito, 1991). Afeksi yang positif yaitu afeksi senang, sedangkan

afeksi negatif adalah afeksi yang tidak menyenangkan.

Sikap sendiri melibatkan proses evaluasi, seperti yang diungkapkan

(27)

tendensi psikologis yang diekspresikan dengan cara mengevaluasi sesuatu

dengan tingkatan seperti rasa suka dan tidak suka. Sikap adalah sesuatu

yang dipelajari dan bersifat relatif dan meliputi tendensi atau predisposisi

untuk mengevaluasi seseorang, peristiwa, atau situasi pada suatu waktu

dan untuk bertindak berdasarkan evaluasi tersebut (Zanden, 1984). Senada

dengan Zanden, Katz dan Stotland (dalam Lindgren, 1969) mereka

mendefinisikan sikap sebagai suatu tendensi individual atau predisposisi

untuk mengevaluasi suatu objek atau simbol dari objek tersebut pada suatu

waktu.

Newcomb (Jahoda & Warren, 1970) mendefinisikan sikap sebagai

suatu organisasi proses-proses psikologis individu yang diinferensikan dari

perilakunya yang ditujukan pada aspek-aspek diluar dirinya yang ia

peroleh dari aspek-aspek lainnya.

Gerungan (1988) mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek

tertentu dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi

sikap tersebut disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap

terhadap objek itu.

Sikap juga merupakan organisasi pendapat, keyakinan seseorang

mengenai objek atau situasi yang relatif ajeg, yang disertai adanya

perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk

membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang

(28)

Sikap seseorang terhadap objek adalah perasaan mendukung atau

memihak ataupun perasaan tidak mendukung objek tersebut. Sikap adalah

kesatuan komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi

dalam diri individu yang kemudian menjadi kecenderungan dalam

merespon suatu objek yang dalam manifestasinya sikap dapat diungkap

berdasarkan penampilan suka atau tidak suka, maupun pernyataan positif

atau negatif terhadap suatu objek (Sears, 1991).

Sikap adalah kecenderungan yang dipelajari untuk merespon secara

kognitif, afektif, dan behavioral terhadap objek tertentu dengan cara

tertentu (Huffman, 2000).

Definisi diatas memberikan gambaran bahwa sikap merupakan

pandangan atau keyakinan yang terbentuk dari pengalaman seseorang

terhadap stimulus tertentu. Pandangan ini kemudian direfleksikan pada

suatu stimulus tertentu yang sama atau hampir sama dengan stimulus yang

pernah dihadapi dalam pengalaman sebelumnya. Hasil dari refleksi ini

adalah pandangan positif atau negatif individu terhadap stimulus tersebut,

baik itu dalam ranah perasaan, pemikiran, maupun pada tindakan individu

tersebut.

Bisa saja seseorang yang mengalami pengalaman tidak

menyenangkan terhadap suatu stimulus tetap melakukan atau merespon

positif terhadap stimulus tersebut secara konatif, walau sebenarnya secara

afektif atau kognisi ia tidak menerima. Hal ini, umpamanya, terjadi ketika

(29)

Jadi, sikap seseorang merupakan suatu konstruk psikologis yang

kompleks. Sikap tidak bisa dipisahkan antara aspek afektif, kognitif,

maupun konasi. Sikap juga tidak bisa dipisahkan begitu saja dari

pengalaman atau keyakinan seseorang terhadap suatu hal.

2. Struktur Sikap

Dalam teori skema triadik disebutkan bahwa struktur sikap terdiri

atas tiga komponen yang saling berinteraksi dalam memahami, merasakan

dan berperilaku terhadap suatu objek, yaitu komponen kognitif

(kepercayaan atau believe), afektif (perasaan atau feelings) dan konatif

(perilaku atau behavior).

Para psikolog sosial pada umumnya setuju bahwa sikap memiliki tiga

komponen: kognitif, afektif dan behavioral. Komponen kognitif terdiri dari

pemikiran dan kepercayaan, komponen afektif terdiri dari perasaan, dan

komponen behavioral terdiri dari kecenderungan untuk bertindak dengan

cara-cara tertentu terhadap objek sikap (Huffman, 2000).

Menurut Ahmadi (1991) tiap-tiap sikap memiliki 3 aspek:

a. Aspek kognitif: yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal

fikiran. Ini berarti berwujud pengolahan, pengalaman dan keyakinan

serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek

(30)

b. Aspek afektif: berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan

tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati antipati dan

sebagainya yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

c. Aspek konatif: berwujud proses tendensi/ kecenderungan untuk

berbuat sesuatu objek, misalnya: kecenderungan memberi

pertolongan, menjauhkan diri dan sebagainya.

Azwar (2005) menguraikan tiga komponen tersebut sebagai berikut:

a. Komponen Kognitif

Komponen kognitif berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang

berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Apa yang dipercayai

seseorang itu merupakan stereotipe atau sesuatu yang telah terpolakan

dalam pikirannya. Kepercayaan datang dari apa yang telah individu lihat

atau apa yang telah individu ketahui. Berdasarkan apa yang telah dilihat

tersebut kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau

karakteristik umum suatu objek. Sekali kepercayaan itu telah terbentuk,

maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang

dapat diharapkan dari objek tertentu.

Kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selalu akurat. Kadang

kepercayaan itu terbentuk justru dikarenakan kurang atau tiadanya

informasi yang benar mengenai objek yang dihadapi.

b. Komponen Afektif

Komponen afektif menyangkut masalah emosional subjektif

(31)

disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Pada

umumnya, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak

dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai sebagai benar

dan berlaku bagi objek termaksud.

c. Komponen Konatif

Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana

perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri sesorang

berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya. Kaitan ini didasari oleh

asumsi bahwa kepercayaan dan perasaan banyak mempengaruhi perilaku.

Maksudnya, bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan

terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana

kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

Berdasarkan uraian tentang struktur sikap diatas, dalam penelitian ini

peneliti bermaksud untuk memfokuskan pada ketiga komponen sikap itu

sendiri, yaitu komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen

konatif individu terhadap objek sikap. Hal ini dikarenakan ketiga

komponen tersebut sangat tepat dalam menggambarkan sikap individu

(32)

3. Pembentukan Sikap

Setiap orang dalam kehidupannya pasti terlibat dalam interaksi sosial

dan dari interaksi inilah sikap terbentuk. Dalam interaksi tersebut, individu

bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek

psikologis yang dihadapinya (Azwar, 2005). Dari proses interaksi ini

muncullah faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap.

Ahmadi (1991) mengungkapkan bahwa faktor-faktor pembentukan

sikap terdiri dari:

a. Lingkungan yang terdekat dengan kehidupan sehari-hari

b. Keluarga yang terdiri dari orang tua dan saudara-saudara di rumah

c. Media masa

d. Kelompok sebaya

e. Kelompok yang meliputi lembaga sekolah, lembaga keagamaan,

organisasi kerja, dan sebagainya.

Azwar (2005) juga memberikan uraian mengenai faktor-faktor dalam

proses pembentukan sikap manusia. Faktor-faktor tersebut adalah:

a. Pengalaman Pribadi

Untuk menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman pribadi

haruslah meninggalkan kesan yang kuat. Karena itu sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam

situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi yang

melibatkan emosi, penghayatan akan pengalaman akan lebih

(33)

b. Pengaruh Orang Lain yang Dianggap Penting

Orang lain di sekitar kita merupakan salah satu diantara

komponen sosial yang ikut mempengaruhi sikap kita. Seseorang

yang kita anggap penting, seseorang yang kita harapkan

persetujuannya bagi setiap gerak tingkah dan pendapat kita, seorang

yang tidak ingin kita kecewakan, atau seorang yang berarti khusus

bagi kita (significant others), akan banyak mempengaruhi

pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Di antara orang yang

biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang

yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru,

teman kerja, istri atau suami, dan lain-lain.

c. Pengaruh Kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita hidup

dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi pergaulan

heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai sikap yang

mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan heteroseksual.

Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis

pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah

mewarnai sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaan pulalah

yang menjadi corak pengalaman individu-individu yang menjadi

(34)

d. Media Massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dll. Mempunyai

pengaruh besar dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang.

Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media

massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai

sesuatu hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya

sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh

informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif

dalam menilai sesuatu hal sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.

e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama sebagai suatu sistem

mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan

keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri

individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara

sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,diperoleh dari

pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya.

f. Pengaruh Faktor Emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan

dan pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk

sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi berfungsi

(35)

mekanisme pertahanan ego. Sikap yang demikian dapat merupakan

sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustrasi telah hilang

akan tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih persisten dan

bertahan lama.

Uraian tentang faktor pembentukan sikap diatas memberikan

gambaran bahwa sikap terhadap objek sikap dalam penelitian ini

dihasilkan dari proses interaksi sosial yang dialami individu. Dengan

kata lain sikap terhadap objek sikap dalam penelitian ini dipengaruhi

baik oleh faktor-faktor eksternal seperti lingkungan, budaya,

keluarga, media masa, kelompok sebaya, dan kelompok yang

meliputi lembaga-lembaga, maupun internal seperti pengalaman

pribadi dan faktor emosional.

4. Fungsi Sikap

Fungsi sikap bagi manusia telah dirumuskan oleh Katz (dalam

Azwar, 2005 dan Walgito, 1991) menjadi empat macam, yaitu:

a. Fungsi Instrumental, Fungsi Penyesuaian, atau Fungsi Manfaat

Sikap merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Bila objek

sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka

orang akan bersikap positif terhadap objek sikap tersebut, demikian

sebaliknya bila objek sikap menghambat dalam mencapai tujuan,

maka orang akan bersikap negatif terhadap objek sikap yang

(36)

sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal-hal yang diinginkan

dan meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian,

individu akan membentuk sikap positif terhadap hal-hal yang

dirasakannya akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap

negatif terhadap hal-hal yang dirasanya akan merugikan dirinya.

Karena itu fungsi ini disebut fungsi manfaat.

Dalam pergaulan sosial, sikap yang sesuai akan memungkinkan

seseorang untuk memperoleh persetujuan sosial dari orang di

sekitarnya. Pernyataan sikap tertentu akan dihargai oleh orang-orang

yang dianggap penting seperti orang tua, atasan, teman akrab, dll.

b. Fungsi Pertahanan Ego

Merupakan sikap yang diambil oleh seseorang demi

mempertahankan egonya. Sewaktu individu mengalami hal yang

tidak menyenangkan dan dirasa akan mengancam egonya atau

sewaktu ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan

bagi dirinya maka sikapnya dapat berfungsi sebagai mekanisme

pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan

tersebut. Sikap, dalam hal ini merefleksikan problem kepribadian

yang tidak terselesaikan.

c. Fungsi Pernyataan Nilai

Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi

individu untuk mengekspresikan nilai yang ada dalam dirinya.

(37)

tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang

dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep dirinya.

d. Fungsi Pengetahuan

Menurut fungsi ini menusia mempunyai dorongan dasar untuk

ingin tahu, untuk mencari penalaran, dan untuk mengorganisasikan

pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak

konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun,

ditata kembali, atau diubah sedemikian rupa sehingga tercapai suatu

konsistensi. Jadi sikap berfungsi sebagai skema, yaitu suatu cara

strukturalisasi agar di dunia sekitar tampak logis dan masuk akal.

Sikap digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap fenomena luar

yang ada dan mengorganisasikannya. Bila seseorang mempunyai

sikap tertentu terhadap suatu objek, maka hal ini menunjukkan

tentang pengetahuan orang tersebut terhadap obek sikap yang

bersangkutan.

B. Tata krama Jawa 1. Pengertian

Tata krama berasal dari bahasa Jawa yang biasa diartikan dengan

adat sopan santun atau dalam bahasa Jawa disebut dengan unggah-ungguh

yaitu adat istiadat yang berkaitan dengan interaksi sosial antar sesama

manusia baik dalam keluarga ataupun lingkungan masyarakat (Darsono,

(38)

bahwa tata krama atau sopan santun adalah suatu tata cara atau aturan yang

turun temurun telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat, yang

berguna dalam bergaul dengan orang lain agar terjalin hubungan yang

akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut adat yang telah

ditentukan.

Menurut Supajar (dalam Ariani, dkk, 2002) tata krama antara

manusia dengan sesamanya dibedakan antara yang muda dengan yang

lebih tua (anak-bapak, adik-kakak, murid-guru); bawahan–atasan (anak

buah-pimpinan); suami - istri, teman akrab atau baru dan sebagainya.

Ariani,dkk (2002) mengatakan adanya pengelompokan tatanan dalam

berinteraksi tersebut mengharuskan orang Jawa untuk berperilaku atau

berbicara sebagaimana seharusnya diwujudkan ketika berinteraksi dengan

seseorang. Ketika berinteraksi dengan sesamanya tersebut orang Jawa

harus melihat posisi yang diajak berinteraksi. Hal itu sangat penting untuk

menentukan bagaimana seseorang harus bersikap. Sedangkan menurut

Sukari, dkk (1992) tata krama adalah peraturan tidak tertulis yang

merupakan tolok ukur tinggi rendahnya kesesusilaan seseorang dalam

pergaulan sesamanya.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa tata krama Jawa

adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun telah berkembang

dalam suatu budaya dan adat istiadat yang berkaitan dengan interaksi

sosial antar sesama manusia baik dalam keluarga ataupun lingkungan

(39)

hubungan yang akrab, saling pengertian hormat-menghormati menurut

adat istiadat Jawa.

2. Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua

Melihat cakupan dari konsep tata krama Jawa yang sangat luas,

peneliti memilih tata krama Jawa dalam menghormati orang tua sebagai

objek dalam penelitian ini agar penelitian ini menjadi lebih spesifik.

Berikut ini penjelasan mengenai objek tersebut.

Dalam keluarga, seorang anak mengalami proses penanaman

nilai-nilai dari orang tuanya. Bagi anak tidak ada pemberian yang lebih baik

dari orang tuanya, kecuali dengan pemberian pendidikan yang baik,

menanamkan budi pekerti yang luhur, juga bimbingan untuk belajar

mengucapkan kata-kata yang baik, dan diajarkan belajar untuk

menghormati orang lain (Taryati, dkk., 1995). Peran orang tua sangat

penting, karena di dalam keluarga anak dapat belajar bagaimana beretiket

atau bertatakrama baik kepada sesama anggota keluarga ataupun dengan

anggota masyarakat (Ariani, dkk., 2002).

Menurut Ariani, dkk (2002) tata krama menghormati orang tua di

dalam keluarga ternyata sangat dipengaruhi oleh masa sosialisasi

seseorang. Artinya, mereka mendapat tuntunan untuk menghormati orang

tua yang ada di dalam keluarganya, termasuk disini menghormati

kakek/nenek atau orang-orang yang dituakan dalam keluarga. Tata cara

(40)

didasarkan kepada alur atau silsilah kekerabatannya. Di dalam budaya

Jawa, sudah selayaknya bagi kerabat yang lebih muda untuk tetap dan

selalu menghormati kepada kerabat yang lebih tua atau yang dituakan.

Segala sikap hormat tersebut ditunjukan melalui bahasa yang

diucapkan dan bahasa tubuh. Dalam kehidupan sehari-hari rasa hormat dan

patuh dari anak-anak kepada tatanan, partama-tama harus dinyatakan

dengan tunduk, yaitu dengan cara yang terlihat mata mengangguk dan

tunduk pada keinginan orang tuanya (Mulder, 1985). Sedangkan

aktualisasi dalam menghormati orang tua juga ditunjukan melalui perilaku

menuruti perintahnya, mendahulukan segala keperluannya, selalu

menjalankan nasehatnya, selalu sopan dan tidak menyinggung perasaannya

(Ariani, dkk., 2002).

Alasan peneliti menggunakan tata krama Jawa dalam menghormati

orang tua adalah karena orang tua merupakan tempat pembelajaran

nilai-nilai yang pertama kali bagi seseorang. Dalam proses sosialisasi di

lingkungan keluarga peranan orang tua menjadi amat penting, sebab

melalui anak-anak mereka nilai-nilai budaya dan gagasan utama manjadi

perwujudan kebudayaan masyarakatnya (Taryati, Dkk., 1995). Maka dari

itu tata krama Jawa dalam menghormati orang tua merupakan awal

pembelajaran tata krama sehingga mendasari tata krama terhadap anggota

(41)

3. Aspek Tata Krama Jawa

Pendidikan Jawa yang ditanamkan pada anak-anak suku Jawa adalah

bahwa manusia harus berbudaya dan beradab. Mereka sadar sebagai

mahluk sosial mereka mengetahui tatanan dan memperhatikan tingkah

laku yang sopan, mengucapkan kata-kata yang pantas dan

mempertahankan tatanan yang ada di masyarakat (Mulder, 1985).

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa tata krama suku bangsa Jawa

tidak hanya tampak pada tatanan bahasa yang digunakan, tetapi juga pada

gerakan tubuh atau badan. Dari isyarat gerakan tubuh maupun tatanan

bahasa yang digunakan tersebut dapat diketahui seseorang itu sedang

berhadapan dengan siapa (Ariani, dkk., 2002). Dari penjelasan diatas

nampak bahwa aspek tata krama terdiri dari dua macam, yaitu:

a) Tatanan Bahasa

Tatanan bahasa dalam kaitannya dengan tata krama Jawa (unggah

ungguhing basa) merupakan pernyataan rasa menghargai atau menghormati orang yang diajak bicara. Unggah-ungguhing basa

merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial, namun disisi lain

Unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Bahasa yang mengenal Unggah-ungguhing basa merupakan pantulan

dari struktur masyarakat yang mengenal tingkatan-tingkatan sosial atau

stratifikasi sosial. Unggah-ungguhing basa pada dasarnya dibagi

menjadi tiga: Basa Krama, Basa Madya, Basa Ngoko (Purwadi, 2005).

(42)

berbicara kepada orang yang sangat dihormati, basa madya tidak

sehalus basa krama dan biasanya digunakan oleh pedagang, sedangkan

basa ngoko adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang sudah akrab sekali dalam pergaulan (Taryati, dkk.,1995).

b) Gerakan Tubuh atau Badan

Rasa penghormatan terhadap orang lain dalam tata krama Jawa

juga dapat dilihat pada gerakan tubuh. Misalnya anggukan kepala,

kedua tangan ditelungkupkan kedepan (ngapurancang) dan sebagainya.

Cara orang Jawa berjalan dengan membungkuk, gerak isyarat

penunjukkan arah dengan selalu menggunakan ibu jari yang

dibengkokkan, berbicara dengan suara yang pelan di hadapan orang

yang dihormati, menunjukkan rasa estetika yang halus. Sebaliknya

orang yang berjalan tegap (petentengan) di hadapan orang yang

dihormati dianggap sangat kasar (Ariani, dkk., 2002).

C. Sikap Terhadap Tata Krama Jawa Dalam Menghormati Orang Tua

Sikap merupakan salah satu topik dari ilmu psikologi yang dianggap

cukup menarik untuk diteliti. Hal ini dikarenakan manusia dari hari ke hari

selalu dihadapkan pada suatu situasi, objek, maupun orang lain dan karena

interaksi itulah akan memunculkan berbagai macam sikap. Sikap itu sendiri

bisa bernilai positif ataupun negatif (Gerungan, 1988). Maksud nilai positif ini

(43)

situasi atau orang lain dan sebaliknya bersifat negatif manakala orang menolak

atau tidak setuju dengan situasi, objek ataupun orang lain.

Sikap antara orang satu dengan yang lain dapat berbeda, meskipun objek,

situasi yang dihadapinya sama. Hal ini disebabkan karena sikap sendiri

merupakan suatu bentuk pandangan dan tiap-tiap individu mempunyai skema

tersendiri atas sesuatu. Begitu pula ketika dihadapkan pada objek tertentu. Jika

dikaitkan dengan penelitian ini objeknya adalah tata krama Jawa dalam

menghormati orang tua, maka sikap antara orang yang satu dengan lainnya

tentu akan berlainan.

Tata krama Jawa adalah suatu tata cara atau aturan yang turun temurun

telah berkembang dalam suatu budaya masyarakat Jawa, yang berguna dalam

bergaul dengan orang lain agar terjalin hubungan yang akrab, saling pengertian

hormat-menghormati menurut adat yang telah ditentukan. Sikap seseorang

terhadap objek dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Demikian pula dengan

sikap seseorang terhadap tata krama dalam menghormati orang tua dipengaruhi

oleh adanya faktor eksternal seperti lingkungan, budaya, keluarga, media masa,

kelompok sebaya, dan kelompok yang meliputi lembaga-lembaga, maupun

internal seperti pengalaman pribadi dan faktor emosional. Faktor-faktor

tersebut mempengaruhi bagaimana seseorang menentukan respon evaluatif ke

dalam bentuk memihak atau tidak memihak terhadap tata krama Jawa dalam

menghormati orang tua.

Sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua meiliki

(44)

pengetahuan dan keyakinan individu terhadap peran, nilai dan praktek tata

krama Jawa dalam menghormati orang tua. Aspek afeksi meliputi perasaan

individu terhadap peran, nilai dan praktek tata krama Jawa dalam menghormati

orang tua. Aspek konasi meliputi kecenderungan individu untuk melakukan

praktek yang berhubungan dengan tata krama Jawa dalam menghormati orang

tua.

Dengan demikian sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati

orang tua adalah respon evaluatif ke dalam bentuk memihak atau tidak

memihak pada tata cara atau aturan dalam pergaulan yang turun temurun telah

berkembang dalam suatu budaya masyarakat dan praktek yang berhubungan

dengan tata cara atau aturan tersebut.

D. Remaja

1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh

menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Remaja merupakan salah satu masa

perkembangan yang harus dilewati setiap individu. Di bawah ini adalah

definisi remaja yang dikemukakan oleh para ahli.

Remaja dimaksudkan sebagai periode transisi antara masa anak-anak

dan masa dewasa. Batasan usianya tidak ditentukan dengan jelas, tetapi

kira-kira berawal dari usia 12 sampai akhir usia belasan, saat pertumbuhan

(45)

maturitas seksual dan menegakkan identitas sebagai individu yang terpisah

dari keluarga (Atkinson, dkk., 2001).

Menurut Monks (1999) remaja atau adolescent adalah masa

peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa remaja ini

berada diantara masa kanak-kanak dan masa dewasa bukan termasuk

golongan anak, tetapi juga bukan termasuk golongan dewasa. Masa remaja

menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi atau peralihan karena

masa remaja belum memperoleh status dewasa tetapi tidak lagi memiliki

status anak-anak (Calon dalam Monks, 1999).

Menurut Gunarsa (1982) masa remaja adalah masa peralihan dari

masa anak kemasa dewasa yang ditandai oleh berbagai macam perubahan

psikis dan fisik. Ia menyebutkan usia 12-22 tahun sebagai masa remaja.

Monks (1999) mengungkapkan bahwa rentang umur pada remaja

dibagi lagi menjadi tiga yaitu: 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia

15-18 tahun adalah remaja pertegahan, sedangkan umur 18-21 adalah masa

remaja akhir.

Kesimpulannya adalah, masa remaja merupakan masa peralihan dari

masa kanak-kanak ke masa dewasa yang berkisar antara 12 sampai dengan

21 tahun. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertegahan yang

(46)

2. Perkembangan Sosial Remaja

Masa remaja merupakan masa yang paling banyak mengalami

perubahan dalam segi sosial. Dalam perkembangan sosial remaja dapat

dilihat adanya dua macam gerak yaitu, pertama memisahkan diri dari

orang tua. Kedua menuju ke arah teman-teman sebaya. Kedua gerak

tersebut erat kaitannya karena apabila gerak pertama tanpa adanya gerak

kedua akan menyebabkan rasa kesepian. Kedua gerak ini merupakan suatu

reaksi terhadap status interim (posisi yang sebagian diberikan oleh orang

tua dan sebagian diperoleh dengan usaha sendiri) anak muda (Monks,

1999).

Remaja banyak bergaul dengan teman sebaya sebagai kelompok,

maka pengaruh teman sebaya sangat besar. Pengaruh tersebut meliputi

sikap, pembicaraan, minat, penampilan, sampai pada perilaku. Pengaruh

teman sebaya terhadap perilaku lebih besar daripada pengaruh yang

diberikan keluarga (Hurlock, 1994).

Disisi lain, remaja mudah dipengaruhi oleh lingkungan. Umumnya,

remaja lebih peka terhadap reaksi-reaksi lingkungan yang ada

disekitarnya. Baik itu dari media massa, televisi, film atau orang-orang

disekitarnya (Herdiyani, 2004). Informasi-informasi baru selalu menarik

perhatian remaja dan atau teman sebayanya.

Dari uraian diatas dapat dapat diketahui bahwa remaja sangat

dipengaruhi oleh teman sebayanya dan disisi lain remaja juga dipengaruhi

(47)

sikapnya terhadap sesuatu dapat dipengaruhi oleh lingkungannya baik

secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui teman sebayanya.

E. Pengertian Kota dan Desa

Lingkungan tempat tinggal dapat mempengaruhi karakteristik

remaja. Dalam penelitian ini lingkungan yang digunakan adalah kota dan

desa. Di bawah ini merupakan uraian mengenai pengertian kedua

lingkungan tersebut.

1. Pengertian Kota

Menurut Prof. Drs. R. Bintarto kota adalah suatu sistem jaringan

kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial

ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik

(www.organisasi.org).

Max Weber (Nas, 1984) menjelaskan bahwa kota adalah suatu

tempat yang mempunyai sifat kosmopolitan. Di sana terdapat berbagai

struktur sosial yang menimbulkan bermacam-macam gaya hidup. Di kota

ada dorongan membentuk suatu kepribadian sosial dan mengadakan

perubahan, kota merupakan sarana untuk perubahan sosial.

Simmel (Nas, 1984) menganggap bahwa kehidupan dalam kota

membawa peningkatan rangsangan syaraf. Dalam kota metropolitan orang

mendapat bermacam-macam kesan yang tak terduga, dan orang harus

bereaksi dengan otaknya, bukan dengan hatinya seperti dalam masyarakat

(48)

Kota merupakan pusat kegiatan yang beraneka ragam, seiring dengan

tuntutan kehidupan penduduknya yang semakin kompleks. Selain sebagai

tempat tinggal, kota juga berfungsi antara lain sebagai pusat pemerintahan,

perindustrian, perdagangan perbankan, transportasi, pendidikan,

kebudayaan, kesehatan, olahraga rekreasi dan hiburan (geografi untuk

SMU kelas II, 2001), dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Masyarakat yang heterogen

b. Bersifat individualistis dan materialistis

c. Mata pencaharian masyarakat kota non agraris

d. Hubungan kekerabatan mulai pudar

e. Adanya kesenjangan sosial antara golongan masyarakat kaya dan

miskin.

f. Norma-norma keagamaan tidak begitu ketat

g. Pandangan hidup lebih rasional

Daljoeni (1997) mengungkapkan ciri-ciri sosial kota sebagai berikut:

a. Heterogenitas sosial

Kota merupakan melting pot bagi aneka suku ataupun ras. Kepadatan

penduduk mendorong terjadinya persaingan dalam pemanfaatan ruang.

Orang dalam bertindak memilih-milih mana yang paling

(49)

b. Hubungan sekunder

Jika hubungan antara penduduk di desa disebut primer, di kota disebut

sekunder. Pengenalan dengan orang lain serba terbatas pada bidang

hidup tertentu.

c. Kontrol (pengawasan) sekunder

Di kota orang tidak memperdulikan tingkah laku pribadi sesamanya.

Meski ada kontrol sosial ini sifatnya non pribadi; asal tidak merugikan

bagi umum, tindakan dapat ditoleransikan.

d. Toleransi sosial

Orang-orang kota secara fisik dapat berdekatan, tetapi secara sosial

berjauhan. dapat saja di sini orang berpesta dan pada saat yang sama

tetangga menangisi orang yang mati.

e. Mobilitas sosial

Yang dimaksudkan adalah perubahan status sosial seseorang. Orang

menginginkan kenaikan dalam jenjang kemasyarakatan (social

climbing). Dalam kehidupan kota segalanya di profesionalkan, dan

melalui profesinya orang dapat naik posisinya.

f. Ikatan sukarela

Secara sukarela orang menggabungkan diri ke dalam perkumpulan yang

disukainya, seperti sport, aneka grup musik, filateli, dan sebagainya.

g. Individualisasi

Orang dapat memutuskan apa saja secara pribadi, merencanakan

(50)

h. Segregasi keruangan

Terjadi pemisahan berdasarkan ras atau kelompok tertentu. Misalnya

ada wilayah kaum cina, arab, orang patuh beragama, kaum elit, kaum

gelandangan, daerah operasi pelacuran, pencopetan, kegiatan olahraga,

hiburan, pertokoan dan pasar, kompleks kepegawaian tertentu dan

seterusnya.

Swalem (1987) mengatakan bahwa masyarakat kota adalah

masyarakat yang bersifat perorangan, dinamis dan kritis, kehidupan serba

tergesa-gesa, menyendiri, tegas, proses meniru sesuatu yang baru sangat

cepat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu hal adalah tidak besar dan

tidak terlalu berkesan, tingkat pendidikan masyarakat telah maju, lebih

mengetahui waktu dan ruang beserta perincian kedua-duanya, rasional.

Uraian diatas menunjukkan gambaran mengenai kota bahwa kota

merupakan pusat kegiatan yang beraneka ragam dengan penduduk yang

padat dan heterogen serta memiliki karakter masyarakat yang bersifat

individualistis, rasional, dinamis dan kritis.

2. Pengertian Desa

Pengertian desa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda sesuai

dengan pendapat dari para ahli. Berdasarkan undang-undang no.5/1979

tentang pemerintahan desa (Marbun, 1988) desa adalah suatu wilayah yang

ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk

didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi

(51)

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Pengertian desa menurut Bintarto (www.organisasi.org) adalah suatu

hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan

lingkungannya. Hasil perpaduan itu adalah suatu wujud atau kenampakan

di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial,

ekonomi, politik, dan kultural yang saling berinteraksi dan juga dalam

hubungannya dengan daerah-daerah lain.

Desa dalam ensiklopedia nasional Indonesia (1997) dijelaskan

sebagai suatu unit sosial, yaitu sekelompok manusia yang hidup bermukim

secara menentap dalam wilayah tertentu, yang tidak selalu sama dengan

wilayah administrasi setempat dan mencakup tanah pertanian yang

kadang-kadang dikuasai secara bersama. Ciri-ciri desa secara umum

adalah sebagai berikut, terletak sangat dekat dengan pusat wilayah usaha

tani, pertanian merupakan kegiatan ekonomi yang dominan, faktor

penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakatnya, populasi

penduduk lebih bersifat “terganti dari dirinya sendiri”, kontrol sosial

bersifat personal atau pribadi dalam bentuk tatap muka, ikatan sosial relatif

lebih ketat daripada kota.

Bouman (Handayani, 2000) menjelaskan batasan desa sebagai suatu

pergaulan hidup yang meliputi beberapa ribu jiwa, saling mengenal, dan

(52)

group, karena orang desa hampir semuanya saling mengenal sekurang-kurangnya mengenal muka.

Faisal (1981) menyatakan bahwa desa merupakan masyarakat

keluarga atau masyarakat paguyuban. Hal ini dikarenakan masyarakat desa

memiliki ciri-ciri saling mengenal dengan baik antara yang satu dengan

yang lainnya, memiliki keintiman yang tinggi di kalangan warganya,

memiliki rasa persaudaraan dan persekutuan yang tinggi, memiliki jalinan

emosional yang kuat di kalangan warganya dan saling bantu-membantu,

tolong-menolong atas dasar kekeluargaan.

Menurut Swalem (1987) masyarakat desa merupakan masyarakat

yang bersifat gotong-royong, statis, kehidupan tenang, proses meniru

sesuatu yang baru lambat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu adalah

cepat dan berkesan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat masih

tebelakang, cenderung irasional, magis dan mistis.

Kesimpulan dari beberapa penjelasan diatas tersebut yaitu desa

adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai

kesatuan masyarakat termasuk yang mempunyai organisasi pemerintahan

terendah langsung dibawah camat. Desa juga membentuk masyarakat

dengan komunitas kecil yang penduduknya terikat pada adat kebiasaan,

mayoritas penduduknya bertani, kontrol sosial yang ada bersifat personal,

memiliki ikatan kekeluargaan yang erat serta ikatan sosial lebih ketat

(53)

F. Perbedaan Remaja Desa dan Remaja Kota

Perbedaan remaja desa dan remaja kota dalam penelitian ini

ditujukan pada perbedaan karakter yang dipengaruhi oleh lingkungan

dimana remaja tersebut tinggal dan dibesarkan. Remaja desa dapat

diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di desa, sedangkan

remaja kota diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di kota.

Berikut ini perbedaan karakter remaja desa dan karakter remaja kota:

1. Karakter Remaja Desa

Karakter remaja desa dijelaskan oleh Susilawati (Handayani,

2000) adalah sebagai berikut, tidak suka menonjolkan diri, umumnya

sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, ada

perasaan curiga terhadap orang lain, memiliki perasaan untuk

mengekspresikan dirinya.

Sugiyanto (1981) menjelaskan mengenai karakteristik remaja

desa yaitu mempunyai kesediaan untuk bekerjasama. Mau berkorban

untuk kepentingan orang lain, perhatian terutama ditunjukkan pada

kemanusiaan sehingga tindakannya banyak dikendalikan oleh

kecintaan terhadap manusia, memiliki dorongan untuk mendapat

bantuan dan simpati.

Karakteristik remaja desa di Indonesia adalah terikat pada

nilai-nilai orang tua dan masyarakat sehingga mereka memiliki cara

berpikir yang serupa dengan orang tua dan tergantung pada orang tua

(54)

Pemuda desa memilih cara berpikir seperti orang tuanya. Hal itu

dilakukan karena adanya sikap hormat kepada orang tua sehingga

untuk berbeda pendapat pun dianggap suatu sikap yang kurang sopan.

Oleh karena itu mereka memilih untuk bersikap sama dengan orang

tuanya. Adanya sikap yang seperti itu akan berakibat kurangnya daya

kritis pemuda padahal mereka merupakan tulang punggung

masyarakat (Fakhrurrozi, 2000).

Dari pernyataan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa

karakter remaja desa adalah tidak suka menonjolkan diri, sering

menunjukkan perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat

pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat. Dengan kata lain remaja

desa cenderung terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat

dalam menentukan sikapnya terhadap sesuatu.

2. Karakter Remaja Kota

Remaja kota memiliki karakter yang berbeda dengan remaja

desa karena anak-anak muda di kota adalah kelompok yang memiliki

akses paling terbuka ke sumber informasi. Mereka memungut

informasi di mana saja, dari televisi, majalah, radio bahkan sobekan

poster di pinggir jalan. Mereka punya kesempatan untuk

memanfaatkan waktu luang di pusat-pusat perbelanjaan, tempat

hiburan dan ruang-ruang publik yang memungkinkan mereka untuk

(55)

Karakter yang menonjol dari remaja kota yaitu remaja kota

selalu mengikuti perkembangan jaman terutama mengenai gaya hidup

dan penampilan. Gaya hidup yang ditawarkan dalam majalah remaja

maupun dalam sinetron adalah gaya hidup hedonis sebagai remaja

kota besar yang tertular dari gaya hidup Barat (Herdiyani, 2004).

Penampilan yang dimaksud bukan saja apa yang melekat pada tubuh

semata, melainkan juga bagaimana keseluruhan "potensi" dalam

diri yang memungkinkan mereka untuk menampilkan citra diri

tertentu. Bahasa dianggap salah satu hal penting yang akan

memberikan ciri khusus pada remaja kota. Cara, logat dan pilihan kata

dalam berbicara, adalah salah satu dari usaha remaja kota untuk

membentuk citra tertentu melalui penampilannya (Swastika, 2003).

Menurut Daldjoeni (1997) ada beberapa karakter remaja kota

yaitu:

a.Berpikiran secara rasional dan menghindari perdebatan yang

berlatar belakang mistis. Adanya kebiasaan untuk mengembangkan

perbedaan dalam lingkungan keluarga telah menghasilkan

pribadi-pribadi yang kreatif, inovatif, dan kritis.

b.Lebih peka dalam menangkap gejala perubahan sosial serta ingin

terlibat aktif untuk menjadi pembaharu. Pengembangan aspek

kognitif remaja kota melalui pendidikan formal telah menjadikan

mereka sebagai remaja yang dinamis dan tidak menyukai keadaan

(56)

c.Cenderung untuk senantiasa mengikuti perubahan jaman serta

berusaha untuk dengan segera mengabulkan keinginan. Adanya

gengsi yang tinggi pada diri mereka mengakibatkan mereka

menjadi pribadi-pribadi yang mudah berubah pendirian asal mereka

bisa mengikuti perubahan jaman dan mengungguli teman

sebayanya. Remaja di kota selalu berusaha untuk terus

memperbaharui penampilannya.

d.Remaja kota terlihat ingin mandiri dan ingin segera memisahkan

diri dari tuanya. Karena sudah terbiasa berbeda dengan orang

tuanya telah menjadikan mereka cepat mandiri. Mereka akan

merasa bangga jika dengan cepat memisahkan diri dari orang

tuanya untuk menghidupi dirinya sendiri.

e.Sektor-sektor industri perdagangan lebih menarik perhatian bagi

mereka. Karena jauh dari lokasi pertanian dan kehidupan mereka

berhubungan dengan masalah untung rugi, maka orientasi mereka

pun lebih mengarah pada sektor-sektor yang bisa dengan cepat

mendatangkan penghasilan berlipat ganda.

Dari uraian diatas, secara garis besar karakter remaja kota

diantaranya adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan,

dan tidak ingin tergantung pada orang tua atau ingin mandiri. Dengan

begitu remaja kota tidak tergantung pada orang tua, kritis, dan berpikir

(57)

G. Perbedaan Sikap Remaja Kota Dan Remaja Desa Terhadap Tata Krama Jawa dalam menghormati Orang Tua

Perbedaan sikap remaja kota dan desa terhadap tata krama Jawa dalam

menghormati orang tua merupakan perbedaan penghayatan antara remaja

desa dan remaja kota terhadap tata krama Jawa terhadap orang tua yang

mengandung komponen kognitif, afektif dan konatif.

Sikap remaja desa dan kota terhadap tata krama Jawa dalam

menghormati orang tua dapat bersifat positif dan negatif. Kedua sifat ini akan

berpengaruh berbeda terhadap kelangsungan nilai-nilai budaya Jawa

khususnya tata krama dalam menghormati orang tua. Jika remaja bersikap

positif terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua berarti tata

krama tersebut masih di hayati dan di yakini sebagai pedoman dalam

pergaulan mereka, sementara sikap negatif dari remaja terhadap tata krama

Jawa dalam menghormati orang tua menandakan bahwa bagi remaja, tata

krama Jawa dalam menghormati orang tua tidak lagi relevan dengan

kehidupan mereka saat ini.

Remaja desa dan remaja kota memiliki karakter berbeda. Karakter

remaja desa umumnya tidak suka menonjolkan diri, sering menunjukkan

perasaan malu, lebih dapat mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang

tua dan masyarakat. Selain itu, remaja desa tinggal dalam lingkungan yang

masih kental dengan adat-istiadatnya. Sedangkan, karakter remaja kota

diantaranya adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, mudah

(58)

Perbedaan karakter remaja desa dan remaja kota disebabkan oleh

lingkungan mereka yang berbeda, salah satunya yaitu desa memiliki akses

yang lebih terbatas terhadap informasi daripada di kota (Swastika, 2003).

Perbedaan tersebut menentukan perbedaan remaja desa dan kota dalam

mengambil sikap terhadap sesuatu. Kebudayaan dimana kita hidup dan

dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita

(Azwar, 2005). Hal ini sejalan dengan pernyataan Sears (1991) bahwa orang

yang tinggal di kota besar jauh lebih mau menolong orang yang tidak

mematuhi norma sosial. Kalimat diatas dapat diartikan bahwa orang kota

lebih longgar terhadap sanksi pelanggaran dalam pelaksanaan norma sosial

khususnya terkait dengan penelitian ini yaitu tata krama. Berbeda dengan di

desa dimana pelaksanaan tata krama lebih ketat karena desa memiliki

pengawasan masyarakat atau kontrol sosial yang tinggi (Swalem, 1987).

H. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan keterangan yang telah dijelaskan pada bagian kajian teoritis

di depan, peneliti mengajukan hipotesa sebagai berikut:

“Ada perbedaan sikap terhadap tata krama Jawa dalam menghormati orang tua

(59)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian komparatif yang bertujuan untuk

mengetahui dan membandingkan apakah terdapat perbedaan sikap terhadap

tata krama Jawa dalam menghormati orang tua antara remaja desa dan remaja

kota.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

Variabel bebas : remaja desa dan remaja kota

Variabel tergantung : sikap terhadap tata krama Jawa dalam

menghormati orang tua

C. Definisi Operasional

Terdapat dua faktor yang didefinisikan secara operasional, yakni:

1. Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh

menjadi dewasa (Hurlock, 1994). Remaja merupakan salah satu masa

perkembangan yang harus dilewati setiap individu. Masa remaja

merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang

berkisar antara 12 sampai dengan 21 tahun. Monks (1999)

(60)

yaitu: 12-15 tahun adalah masa remaja awal, usia 15-18 tahun adalah

remaja pertegahan, sedangkan umur 18-21 adalah masa remaja akhir.

Subjek dalam penelitian ini adalah remaja pertegahan yang berumur 15-18

tahun.

Tipe remaja yang digunakan dalam penelitian ini yaitu remaja desa

dan remaja kota.

a. Remaja Desa

Remaja desa dapat diartikan sebagai remaja yang tinggal dan

dibesarkan di desa. Ciri dari desa adalah masyarakatnya yang bersifat

gotong-royong, statis, kehidupan tenang, proses meniru sesuatu yang

baru lambat, pengawasan masyarakat terhadap sesuatu adalah cepat

dan berkesan, tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat masih

terbelakang, cenderung irasional, magis dan mistis (Swalem, 1987).

Sedangkan remaja desa itu sendiri memiliki karakter tidak suka

menonjolkan diri, sering menunjukkan perasaan malu, lebih dapat

mengekang diri, dan terikat pada nilai-nilai orang tua dan masyarakat.

b. Remaja Kota

Remaja kota diartikan sebagai remaja yang tinggal dan dibesarkan di

kota. Ciri–ciri masyarakat kota adalah bersifat perorangan, dinamis

dan kritis, kehidupan serba tergesa-gesa, menyendiri, tegas, proses

meniru sesuatu yang baru sangat cepat, pengawasan masyarakat

terhadap sesuatu hal adalah tidak besar dan tidak terlalu berkesan,

(61)

dan ruang beserta perincian kedua-duanya dan cenderung rasional

(Swalem 1987). Sehingga dapat dikatakan bahwa karakter remaja kota

adalah suka menonjolkan diri, peka terhadap perubahan, dan tidak

ingin tergantung pada orang tua atau ingin mandiri.

2. Sikap terhadap

Gambar

TABEL
Tabel. 3 Distribusi usia kelompok remaja desa dan remaja kota
Tabel 5. Ringkasan uji-t
Tabel 6 Ringkasan Uji-t

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hasil Prediksi Khasiat dan Formulasi Jamu Baru 5 Ikan zebra sebagai Hewan Model dalam Pengujian Efek Antidiabetes 8 Efek Pemberian Jamu Terhadap Kadar Gula Darah Ikan zebra

Tahap pertama adalah identifikasi masalah manajemen produksi yang tidak optimal di UKM Furnitur, dilanjutkan pengumpulan data biaya-biaya produksi dan pengolahan data.Tahap

Sedangkan untuk variabel Intensitas, Positif Valensi, Negatif Valensi, dan Konten memiliki pengaruh yang tidak signifikan terhadap variabel terikat yaitu keputusan

Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang

Dari uraian-uraian diatas tersebut maka maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti tentang pandangan para ulama dari organisasi masyarakat yang cukup besar

Bahan kering susu tanpa lemak memiliki fungsi yang peting untuk memperbaiki struktur es krim dan dapat meningkatkan kandungan padatan pada es krim, meningkatkan

Langkah penyusunan laporan arus kas dapat dilakukan dengan empat tahapan yaitu : menghitung perubahan saldo rekening kas dan setara kas dengan membandingkan