• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan

Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat

Surakarta (1932-1959)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sejarah

Disusun Oleh : CHANDRA HALIM

024314004

JURUSAN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

(3)
(4)

(5)

MOTTO

MOTTO

MOTTO

MOTTO

Keinginan tanpa disertai dengan tindakan adalah sia-sia. Sebaliknya

ketekunan dan kerja keras akan mendatangkan keberhasilan yang

melimpah.

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tiada kebahagiaan yang terindah selain mempersembahkan

skripsi ini kepada :

Thian Yang Maha Kuasa serta Para Buddha Boddhisattva dan dewa

dewi semuanya yang berkenan membukakan jalan bagi kelancaran

studiku.

Papa dan Mama tercinta, serta adik-adikku tersayang yang selalu

mendoakan aku untuk keberhasilanku.

(7)

ABSTRAK

Komunitas Tionghoa di Solo: Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta

(1932-1959) Chandra Halim

024314004

Skripsi ini berjudul “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan yang diungkapkan, yaitu sejarah masuknya Etnik Tionghoa di Solo, kehidupan berorganisasi Etnik Tionghoa di Solo dan pembentukan organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) hingga berubah menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan penulisan. Selain itu juga menggunakan metode wawancara sebagai sumber utama, dan studi pustaka sebagai sumber sekunder dengan mencari sumber yang berasal dari buku-buku, koran, dan majalah.

(8)

ABSTRACT

Chinese Community in Solo: From the Formed of Chuan Min Kung Hui until Organization of Surakarta Society

(1932-1959) Chandra Halim

024314004

The title of this thesis is “Komunitas Tionghoa di Solo: Dari Terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)” (Chinese Comunity in Solo: From the Formed of Chuan Min Kung Hui until Organization of Surakarta Society 1932-1959). This research purposed to describe and analyze three revealed problems; these are a history of Tionghoa in Solo; how about the system organisation of Tionghoa in Solo; and the establishment of Chuan Min Kung Hui (CMKH) until to reform into Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS).

Method was used in this thesis writing was historical method of which included heuristic, critics, interpretation, and historiography. Beside it also used interview method as the main source and the literature study as the secondary source by finding any sources which produced from literary books, daily news, and magazine.

This research revealed that the existence of the Tionghoa in Solo is since 1740, exactly when The Mataram Islam has the authority in Solo. With their existence make a forming of Tionghoa organization that useful not for intern of Tionghoa but also the other community. For example is CMKH that using as a coordinating institution for Tionghoa in Solo to finishing their intern problem. The difference back ground that show on their, isn’t influence their system organisation. CMKH is an instrument for overseas Chinese in Solo to solve their problem. For The First, this research is certainly to explain how about existence of Tionghoa in Indonesia, include them is a result of their culture that makes their organization Character. After get an illustration about their culture, these researches try to analyze how about their system organisation. Establishment CMKH is an evidence of their system organisastion. Although the name of their organisation change into PMS, but the existence of that organisation can be feeling as yet and experienced some government. The change of AD/ ART CMKH, included of inside them is contains the people from Javanese ethnic, that make a change for CMKH. To show their nationalism, and to keep in touch with the other ethnic, the Tionghoa in Solo make a board meeting to change the name of organisation and change their AD / ART too.

(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Thian Yang Maha Pemurah karena atas segala kebaikan-Nya, Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“.

Penulisan Skripsi ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia dan Komunitas Tionghoa yang ada di Solo. Selain itu, diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat umum dapat mengenal Kehidupan masyarakat Tionghoa khususnya Tionghoa di Solo dan kehidupan berorganisasi mereka. Skripsi ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(11)

SJ., Rm. Dr. G. Budi Subanar SJ., Dr. ST. Sunardi, Prof. Dr. PJ. Suwarno S.H., Drs. H Purwanta, M.A., Drs. Ign. Sandiwan Suharso; Drs. Anton Haryono, M.Hum., Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, yang berkenan menjadi pengajar bagi kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa di kampus ini.

Sebagai hasil penelitian pemula, dalam proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan bimbingan dari Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M.Hum. yang telah berkenan dengan sabar meluangkan waktu untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini dari awal hingga akhir sekaligus menjadi teman diskusi dengan pemikiran-pemikirannya yang aktual. Pada masa-masa penelitian saya mendapat bantuan dari staf sekretariat Fakultas Sastra, Perpustakaan Sanata Dharma Yogyakarta seperti : Bu Wiwiek, Mas Drajat dan Mbak Tina yang dengan sabar berkenan memberikan pelayanan terbaiknya selama pencarian bahan sebagai sumber dari skripsi ini. Oleh sebab itu, sudah selayaknyalah penulis mengucapkan terimakasih. Dikota Solo, penulis juga banyak mendapatkan bantuan dan dukungan baik itu berupa bahan-bahan tertulis, maupun bahan dari diskusi.

(12)

lain Feni, Nana Bul-bul, Ida, Gusti, Yosi, Daniel, Markus, Hananto, Devi, dan Eva, dengan tulus penulis mengucapkan terimakasih karena telah berkenan memberikan dorongan semangat untuk didalam menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terimakasih yang tulus juga penulis berikan kepada Sahabat-sahabat tersayang, antara lain : Koh Han, Koh Jiang, Koh Tiong Ping, Koh San-san, Koh Candra, Koh Willy, Koh Agus Swijono, Koh Roby, Erwin, Richie, Henry Kupang, Andre Kis, Andre Agung, Yesaya, Teguh, Kevin, Grace, Wulan, Dini, Lusi, Nurrita Ling-ling, Nana, Agustina, Hana, Linda pesek dan sahabat yang lain, yang berkenan memberikan masukan, nasehat, dan dorongan semangat didalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sangat bersyukur memiliki keluarga yang hangat dan akrab, baik Papa, Mama, Adik-adik maupun keluarga Om Frananto Hidayat di Yogyakarta. Dari mereka penulis mendapat dorongan moral yang kuat hingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Kepada mereka, penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih.

Seperti pepatah yang berbunyi : “ Tiada Gading yang tak retak “, demikian halnya dengan tulisan ini yang tentunya tak luput dari kekurangan dan kelemahan meskipun penulis telah berusaha menyusunnya dengan sebaik mungkin. Oleh sebab itu, penulis menerima sumbangan pemikiran, saran atau kritik. Semoga penulisan skripsi ini berguna bagi siapa saja.

Yogyakarta, 5 Juni 2008

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 11

F. Tinjauan Pustaka ... 12

G. Metodologi ... 16

a) Lokasi penelitian ... 16

b) Landasan Teori... 16

c) Metode Penelitian ... 21

H. Sistematika Penulisan ... 22

(14)

B. Sekilas budaya dan Peradaban Tionghoa di Indonesia ... 48

a. Hari-hari Raya Tionghoa... 50

b. Kepercayaan dan Kuil pemujaan masyarakat Tionghoa... 62

BAB III : MASYARAKAT TIONGHOA DI SOLO ... 71

A. Keberadaan Orang Tionghoa di Solo... 73

B. Keragaman Suku – Antara Tionghoa Totok dan Peranakan .... 75

C. Agama dan Budaya ... 82

D. Organisasi Tionghoa di Solo... 85

BAB IV : TERBENTUKNYA CHUAN MIN KUNG HUI ... 89

A. Sejarah Berdirinya Chuan Min Kung Hui (CMKH) ... 89

B. Kepengurusan CMKH... 91

C. Peran CMKH dan PMS dalam Masyarakat... 103

a. Peran CMKH ... 104

b. Peran PMS ... 107

BAB V : PENUTUP ... 113

A. Kesimpulan... ... 113

B. Saran... 116

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Lokasi Pemukiman terbesar Etnik Tionghoa tahun 1906-1910... 37

Tabel 2: Penyebaran Penduduk Tionghoa tahun 1961... 38

Tabel 3: Penduduk Tionghoa di Indonesia menurut generasi dan daerah ... 38

Tabel 4: Perkembangan Penduduk Tionghoa ... 46

Tabel 5: Komunitas Tionghoa Peranakan dan Totok di Indonesia 1920 ... 47

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gb. 1: Model Kapal Jung yang dipakai oleh Laksamana Cheng Ho ... 29

Gb. 2: Foto Sebagian Sekolah-sekolah THHK di Indonesia ... 42

Gb. 3: Para Boddhisattva dalam Agama Buddha... 49

Gb. 4: Upacara Ceng Beng... 56

Gb. 5: Meja Abu Leluhur ... 56

Gb. 6: Perayaan Peh Cun ... 57

Gb. 7: Upacara Ulambana atau Sembahyang Cioko ... 59

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Komunitas Tionghoa merupakan gambaran sebuah etnik yang unik di Indonesia. Bermacam-macam suku terdapat dalam etnik ini yang datang ke Indonesia1. Khususnya di wilayah Surakarta sendiri, Etnik Tionghoa terdiri dari beberapa suku meskipun mereka mengakui berasal dari keturunan yang sama, yakni keturunan bangsa Han2. Gambaran mengenai Etnik Tionghoa di Surakarta (selanjutnya disebut Solo), memang terasa lain dari pada di daerah lain; seperti di Surabaya, Jakarta, Bandung, dan kota lainnya di Indonesia meskipun sifat atau karakteristik Etnik Tionghoa Solo mirip dengan Tionghoa di Yogyakarta3.

1

Terdapat paling tidak 5 etnik yang datang ke Indonesia, yakni : Hokkian, Hakka (Khek), Teo Ciu, Hokjia dan Kwang Fu (Cantonis).

2

Wawancara dengan Bp. Iswayudya (Chou Hong Yen) yang berusia 56 tahun. Beliau merupakan tokoh pemerhati komunitas Tionghoa di Solo dan aktif di organisasi seperti PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta) dan Perhimpunan INTI cabang Solo.

3

(18)

Pada masa Kolonial Belanda, Solo merupakan sebuah kota karesidenan dan masih berada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat4, namun setelah Indonesia merdeka, Solo menjadi sebuah Kotamadya yang memiliki lima kecamatan dan 51 kelurahan, dan dikelilingi oleh 6 wilayah kabupaten di sekitarnya, yaitu : di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Sukoharjo; di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Klaten; di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Boyolali dan Karanganyar; di sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri. Dari setiap wilayah kabupaten tersebut setidaknya dihuni oleh keluarga yang berasal dari golongan atau Etnik Tionghoa, namun penelitian ini lebih memfokuskan pada wilayah kota Solo sebagai pusat kota kabupaten yang dihuni oleh banyak keluarga Tionghoa. Di Solo terdapat berbagai macam etnik, yang paling terlihat oleh masyarakat adalah Etnik Jawa, India, Arab, dan Tionghoa; Etnik yang terakhir ini yang akan dikaji sebagai bahan penelitian untuk skripsi. Masyarakat Tionghoa sendiri di Solo ada berbagai macam suku yang datang dari negaranya (RRT), ada Hokkian, Hokjia, Tio Ciu, Gek (Hakka) dan masih banyak suku yang lain dalam masyarakat Tionghoa di Solo.

Orang-orang Tionghoa datang ke Solo pada waktu wilayah ini masih menjadi bagian dari Kerajaan Mataram Islam. Pada waktu itu kerajaan yang berkembang ini dipimpin oleh Pakubuwana II. Ketika terjadi pemberontakan oleh

4

(19)

orang-orang Tionghoa di Kartasura, keraton yang berada di Kartasura berhasil dikuasai oleh orang-orang Tionghoa5. Namun karena kala itu Pakubuwana II bekerjasama dengan Belanda, maka Keraton berhasil direbut kembali, dan orang-orang Tionghoa yang menjadi pelaku pemberontakan berhasil disingkirkan. Akibat dari peristiwa tersebut, pamor keraton menjadi suram dan harus dipindahkan ketempat lain. Pusat kerajaan Mataram Islam yang semula berada di Kartasura, pindah ke Desa Solo yang letaknya di sebelah timur Kartasura. Kepindahan Keraton Mataram Islam pemerintahan Pakubuwana II ke Solo, diikuti pula dengan kepindahan Klenteng Tien Kok Sie ke wilayah baru tersebut, maka secara tidak langsung banyak Etnik Tionghoa yang juga hengkang ke wilayah ini. Dari tahun pembuatan Klenteng Tien Kok Sie (ketika itu masih di Kartasura) yang berangka 1745, diketahui bahwa Etnik Tionghoa sudah ada di Solo kurang lebih sekitar tahun 17406.

Sebelum melangkah lebih jauh perlu dijelaskan lebih lanjut tentang masyarakat Tionghoa sendiri, bahwa masyarakat Tionghoa dibagi ke dalam dua

5

Moedjanto G., 2002, Suksesi dalam sejarah jawa, Yogyakarta : Kanisius. Hal 116.

6

(20)

macam, yaitu : Tionghoa peranakan dan Tionghoa totok7. Mereka yang menjadi Tionghoa peranakan biasanya memakai bahasa Tionghoa dialek Hokkian dengan dicampur bahasa setempat dan bagi mereka orang Tionghoa totok biasanya masih memakai bahasa Kuo-yü8 atau dialek masing-masing suku (dialek Hokkian, Hakka, Tio ciu dan lain-lain), dan biasanya bersekolah pada sekolah-sekolah Tionghoa, namun pada prakteknya di Solo sekolah-sekolah Tionghoa seperti Khong kau, Wakung, Shin Min, dan lain lain; juga terdapat Tionghoa peranakan yang ikut serta belajar di dalamnya. Berdagang adalah keahlian yang sudah mendarah daging pada komunitas ini, semasa jaman kolonial pun, golongan minoritas Tionghoa menjadi suatu alat bagi Belanda untuk melakukan perdagangan perantara, walaupun pada prakteknya nanti, justru etnik ini akan disingkirkan oleh Belanda karena terlalu banyak memonopoli perdagangan kala itu. Selain halnya berdagang, orang – orang tionghoa juga memiliki keahlian lain, seperti memasak (dalam hal ini berbisnis rumah makan), menjadi tukang kayu (dalam hal ini sebagai pembuat mebel), juga menjadi seorang ahli politik.

Era tahun 1740, para imigran Tionghoa masih terlalu sedikit di Indonesia. Baru pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, penyebaran orang-orang Tionghoa ke Indonesia (dulu Hindia Belanda) semakin meningkat tajam. Emigrasi besar-besaran termasuk kaum perempuan Tiongkok ini terjadi akibat perkembangan teknologi perkapalan dan dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar Dinasti Ching. Namun dapat dibedakan bahwa ketika tahun

7

Melly G Tan, 1981, GOLONGAN ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA – Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : LIPI , cetakan ke-2. hal : xi

8

(21)

1800, kedatangan orang-orang Tionghoa secara berkelompok dan tujuan mereka kebanyakan ke daerah di luar jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan daerah perkebunan lainnya9. Sedangkan para periode pasca tahun 1900, kedatangan orang-orang Tionghoa sudah secara individu, kebanyakan dari mereka yang datang tersebut merupakan seorang pedagang atau pelajar yang memiliki kemampuan secara finansial10.

Orang-orang Tionghoa yang datang pada masa tersebut kebanyakan menetap di wilayah-wilayah di pulau Jawa; seperti halnya di Solo. Mereka kemudian menikah dengan penduduk setempat atau pribumi11 dan menghasilkan Tionghoa peranakan. Hal pertama yang mereka lakukan ketika menetap di Solo selain berdagang adalah membentuk organisasi sosial untuk mengurusi masalah kematian, pernikahan, dan masalah intern mereka12.

Banyak organisasi yang dibentuk oleh orang-orang Tionghoa ini namun salah satu organisasi sosial yang besar adalah Chuan Min Kung Hui, dan kebanyakan anggotanya adalah Tionghoa peranakan. Eksistensi organisasi

9

Orang-orang Tionghoa yang datang kala ini, dapat dikatakan, kebanyakan merupakan seorang budak atau kuli di perkebunan-perkebunan milik asing. Mereka didatangkan dari Tiongkok hanya dengan bermodalkan pakaian seadanya bahkan hanya dengan kolor jelek, untuk bekerja sebagai buruh.

10

Dikatakan demikian, karena kedatangan mereka dengan memakai kapal motor. Jika mereka tidak memiliki uang, mereka tidak akan mampu membayar tiket kapalnya. Ini berbeda jauh dengan kedatangan orang-orang Tionghoa periode tahun 1800an. Tujuan kedatangan mereka pun juga ke wilayah-wilayah di pulau jawa.

11

yang dimaksud dengan orang pribumi adalah orang yang masih asli dari daerah tersebut, bukan seorang pendatang.

12

(22)

tersebut hingga saat ini masih terlihat, dan menariknya organisasi ini tidak bubar akibat tergerus oleh kerasnya politik di Negara Indonesia ini. Berawal masalah mengenai organisasi sosial orang-orang Tionghoa di Solo ini, maka penulis mencoba untuk meneliti dan mengetengahkan bagaimana sejarah keberadaan orang-orang Tionghoa di Solo dan bagaimana awal mula terbentuknya Chuan Min Kung Hui. Selain untuk menambah perbendaharaan Sejarah Tinghoa di Solo, tulisan yang berjudul : “Komunitas Tionghoa di Solo : Dari terbentuknya Chuan Min Kung Hui Hingga Perkumpulan Masyarakat Surakarta (1932-1959)“ juga diharapkan menjadi inspirasi bagi masyarakat Tionghoa untuk lebih

meningkatkan kehidupan berorganisasi mereka, dan mengubah pandangan mereka bahwa berorganisasi itu berbeda dengan berpolitik13. Selain sebagai bahan penelitian tentang Kecinaan di Solo, tulisan ini diharapkan mampu dipakai untuk pengajuan syarat kelulusan mencapai gelar S1.

B.

IDENTIFIKASI DAN BATASAN MASALAH

Pada latar belakang di atas telah dijelaskan bagaimana kehidupan masyarakat Etnik Tionghoa yang ada di kota solo, bahwasanya yang berhubungan dengan kehidupan berorganisasi mereka antara tahun 1932 hingga 1959, sehingga mampu membentuk sebuah organisasi sosial Tionghoa yang mampu bertahan hingga saat ini. Adapun penelitian tentang Tionghoa ini, di batasi hanya pada

13

(23)

kaum Tionghoa Peranakan dan salah satu organisasinya. Dasar tersebut diambil karena terdapat perbedaan yang besar antara Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok14 meskipun dari satu leluhur. Selain itu, beberapa pertimbangan telah diambil di dalam penelitian ini untuk memilih periodisasi antara tahun 1932 sampai 1959. Tahun 1932 ditandai dengan berdirinya organisasi Chuan Min Kung Hui meskipun sebelum dan hingga pada tahun tersebut sudah berdiri banyak organisasi Tionghoa. Sementara diakhiri dengan batasan tahun 1959, disebabkan organisasi Chuan Min Kung Hui (CMKH) yang berdiri berubah nama menjadi Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) agar lebih ke Indonesiaan.

Dengan iklim yang kurang kondusif dan corak kota yang sejak jaman kemerdekaan sampai sekarang merupakan kota oposisi, membentuk karakteristik manusia Solo yang keras, arogan, egois atau individualis dan sedikit radikal. Namun demikian peradaban yang sudah terbentuk di Solo tersebut, tidak mempengaruhi ambisi yang demikian besar bagi golongan Etnik Tionghoa khususnya Tionghoa peranakan untuk membentuk sebuah organisasi sosial sebagai wadah pemersatu mereka. Solo memang kala itu dikenal sebagai pusat Budaya Jawa15, tetapi jati diri yang melekat dalam kota ini adalah sebuah kota

14

Dilihat dari aspek Sosial, terdapat sedikit perbedaan antara Tionghoa Totok dan Peranakan. Dalam pergaulan sehari-hari, orang Tionghoa Totok cenderung memakai bahasa mandarin atau dialek suku masing-masing ketika mereka berbicara dengan sesama mereka, dan cenderungnya mereka lebih memilih untuk menutup diri. Sedangkan Tionghoa Peranakan sudah meninggalkan bahasa asli mereka dan cenderung memakai bahasa setempat, pergaulan mereka luas dan tidak terbatas pada komunitas mereka saja.

15

(24)

perjuangan yang ditandai dengan banyaknya gerakan-gerakan oposisi yang sangat revolusioner.

Peranan keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat yang diharapkan mampu menjadi panutan dan pusat dari segala bidang ternyata lambat laun semakin memudar. Dasar yang dibangun adalah yang berdasarkan campuran antara nilai-nilai budaya jawa dengan nilai-nilai pola pikir yang modern, sehingga campuran itu akan membentuk karakteristik masyarakat yang intelektual namun memiliki perilaku yang sopan dan temperamen yang halus. Meskipun Solo tidak memiliki sebuah fondasi yang kuat mengenai karakter masyarakat yang halus, orang-orang Tionghoa mampu beradaptasi dengan masyarakat asli. Hal tersebut terbukti dengan banyak berdirinya organisasi-organisasi Tionghoa pada masa pra dan pasca kolonial Belanda.

Pengaruh dari sebuah tradisi yang maju16, membentuk Etnik Tionghoa yang demikian berkembang meskipun hanya golongan minoritas di kota tersebut. Tradisi atau budaya leluhur sangat dipegang kuat oleh Tionghoa generasi penerus, hal tersebut tidak lepas dari kata bijak orang-orang tua Tionghoa, yang mengatakan bahwasanya “Air harus ingat akan sumbernya” artinya: orang harus ingat kepada leluhurnya17. Selain itu, semakin banyak orang-orang Tionghoa yang

ditunjang dengan keberadaan sebuah kerajaan besar seperti Kasunanan Surakarta Hadiningrat (pecahan dari Kerajaan Mataram Islam).

16

Tradisi yang maju identik dengan adanya struktur sosial masyarakat yang terorganisir dengan baik ditunjang dengan perangkat/sistem ekonomi yang maju.

17

(25)

tinggal di Solo akan mempengaruhi kompleksitas permasalahan yang terjadi. Oleh karenanya, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang terjadi, penulis memiliki sebuah pemikiran bahwasanya dibentuklah suatu organisasi sosial18 dikalangan mereka.

C.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang diteliti, yakni :

1. Bagaimana sejarah masuknya Etnik Tionghoa ke Solo ? 2. Bagaimana sejarah terbentuknya Chuan Min Kung Hui ?

3. Apakah yang melatarbelakangi terbentuknya organisasi tersebut hingga berubah menjadi PMS?

D.

Tujuan Penelitian

a. Akademis

Komunitas tionghoa jika dipahami secara mendalam memang merupakan gambaran sebuah komunitas yang unik, dan banyak hal-hal menarik yang ada di dalamnya. Dari aspek sosial, budaya, ekonomi maupun politik mampu dijadikan asli (Chungkuoren) memiliki suatu ikatan organisasi yang kuat, biasanya mereka membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti organisasi kematian dan lain-lain.

18

(26)

sebagai bahan kajian untuk penelitian akademisi. Dalam dunia sejarah, penelitian dan penulisan mengenai sejarah Etnik Tionghoa di Indonesia sudah terlalu banyak. Namun penulisan dan penelitian mengenai Etnik Tionghoa di Solo, masih sedikit dan dapat dikatakan belum begitu berkembang. Dalam penelitian mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, diharapkan menambah perbendaharaan penulisan mengenai mereka, sehingga nantinya dapat dijadikan referensi bagi penulisan Komunitas Tionghoa masa mendatang. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan untuk memahami kehidupan Etnik Tionghoa yang ada di kota Solo dan mendeskripsikan dinamika dan gejolak yang terjadi sebagai proses dari perubahan-perubahan yang terjadi di Indonesia, khususnya di Solo; sehingga mampu membentuk sebuah organisasi yang bernafaskan sosial yang masih eksis hingga saat ini.

b. Praktis

Diharapkan dengan adanya tulisan mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, masyarakat umum di luar akademisi dan di luar komunitas ini, tahu dengan jelas bagaimana sejarah mereka, bagaimana kehidupan yang ada di dalam komunitas ini, sehingga mampu membentuk sebuah organisasi sosial yang kala itu dapat dikatakan sudah bercorak modern dan dapat bertahan hingga saat ini meskipun harus mengalami pergantian nama.

(27)

E.

Manfaat Penelitian

a. Akademis

Dalam dunia akademisi, penelitian mengenai Etnik Tionghoa Solo ini kurang mengalami perkembangan, apalagi yang menyangkut masalah organisasi tionghoa yang ada di Solo. Referensi yang memprioritaskan tentang Etnik Tionghoa Solo dan organisasi sosialnya masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah diharapkan mampu menjadi bahan bagi penelitian-penelitian tentang Etnik Tionghoa di Solo khususnya mengenai organisasi yang didirikan oleh mereka. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan sejarah etnisitas di Indonesia yang selama kurun waktu belakangan ini masih kurang produktif. Dengan adanya penelitian mengenai komunitas Tionghoa di Solo ini, akan menambah referensi yang menyoroti mengenai seluk beluk kehidupan yang ada di dalam Etnik Tionghoa, termasuk kehidupan berorganisasi mereka.

b. Praktis

Tulisan ini juga diharapkan mampu menjadi suatu pertimbangan sikap dan tindakan setiap orang-orang Tionghoa yang ada di Solo saat ini, untuk mengubah pandangan mereka bahwa berorganisasi identik dengan politik, yang diakibatkan oleh trauma politik peninggalan era tahun 196519. Selain itu, dengan adanya

19

(28)

penelitian mengenai kehidupan mereka ini, masyarakat umum boleh memahami lebih lanjut seperti apa kehidupan komunitas ini, sehingga sikap saling pengertian akan muncul dalam benak mereka dan menambah rasa kebersamaan. Sikap rasialis yang selama ini ada di solo boleh luntur seiring dengan pemahaman mereka mengenai komunitas Tionghoa ini20.

F.

Tinjauan Pustaka

Buku-buku yang membahas mengenai Etnik Tionghoa di Solo sangat terbatas, kalaulah ada hanya berupa cuplikan-cuplikan dalam buku sejarah Tionghoa Indonesia atau majalah yang diterbitkan oleh organisasi-organisasi Tionghoa yang ada di Solo.

Penulisan tentang Komunitas Tionghoa, terdapat hanya beberapa buku yang boleh dikatakan fokus di dalam membahas mengenai permasalahan Tionghoa di Indonesia secara umum dan Tionghoa di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Yogyakarta dan lain-lain. Buku-buku tersebut diantaranya :

Tionghoa Dalam Pusaran Politik, ditulis oleh Benny G Setiono, diterbitkan oleh ELKASA, 2006. Isi yang terkandung di dalamnya berkaitan dengan masalah Etnik Tionghoa di Indonesia dan kiprahnya di dalam dunia perpolitikan tanah air. Indonesia masa Orde Lama disangkutkan oleh Pemerintahan Orde Baru sebagai organisasi yang berbau komunis, sehingga anggotanya sebagian besar di bunuh tanpa diadili terlebih dahulu. Etnik Tionghoa lebih suka menjadi anggota dari sebuah organisasi yang didirikan oleh lembaga keagamaan tertentu dari pada organisasi sosial swasta seperti PMS, Perhimpunan INTI dan lain-lain.

20Dari hasil observasi dan diambil suatu perbandingan etnik yang dilakukan

(29)

Benny memusatkan perhatiannya lebih pada masalah Tionghoa dibidang politik, peranan mereka dalam bidang lain seperti budaya dan sosial tidak dibahas secara signifikan olehnya. Dalam buku ini Benny mampu menerangkan secara terinci bagaimana sejarah keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia, meskipun buku ini lebih menitik beratkan pada permasalahan politik yang berkaitan dengan Etnik Tionghoa di Indonesia. Buku ini akan dipakai untuk menjelaskan sejarah keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia juga penjelasan mengenai Tionghoa pada masa kolonial khususnya mengenai hubungan keduanya yang akan diuraikan dalam bab II.

Kemudian buku Peradaban Tionghoa Selayang Pandang, ditulis oleh Nio Joe Lan, diterbitkan oleh Keng Po, 1961. Dalam bukunya ini, Nio bermaksud

menjelaskan mengenai Etnik Tionghoa secara keseluruhan dan budaya mereka di Indonesia. Buku ini cocok untuk dipakai sebagai acuan mengenai ketionghoaan Indonesia, tetapi apabila dipakai untuk penelitian mengenai kompleksitas masalah Tionghoa Indonesia dewasa ini, buku ini tidak up to date. Tetapi buku ini masih boleh dipakai untuk menjelaskan bagaimana sejarah asal usul Tionghoa dan budayanya di Indonesia21.

Hoa Kiau di Indonesia, ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, diterbitkan oleh Bintang Press, 1960. Pram bermaksud menjelaskan mengenai keadaan Etnik Tionghoa di Indonesia dan bagaimana interaksi mereka serta sikap masyarakat lokal di dalam menerima keberadaan etnik tersebut. Secara spesifik, Pram mencoba mengangkat masalah sosial dan ekonomi yang ada dikalangan Tionghoa

21

(30)

dan pandangan masyarakat lokal di dalam menyikapi masalah ekonomi yang dikuasai oleh golongan Tionghoa. Pram juga membahas mengenai sikap diskriminasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal akibat peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Meskipun demikian, Pram kurang jeli di dalam memasukkan asal usul keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia. Buku ini dipakai untuk menjelaskan uraian dalam bab III.

Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia – suatu masalah pembinaan

kesatuan Bangsa, ditulis oleh Melly G Tan, diterbitkan oleh Gramedia, 1981. isi yang terkandung di dalam buku ini merupakan sebuah karya banyak orang yang dijadikan satu dalam sebuah buku dan diedit oleh Melly. Dalam buku ini terlihat jelas bagaimana keberadaan Etnik Tionghoa di Indonesia dan pemisahan antara Tionghoa peranakan dan Totok. Melly bermaksud menguraikan panjang lebar mengenai suatu golongan yakni Tionghoa, namun uraian tersebut dirasa masih kurang jelas dan penggunaan Tionghoa Totok dan Peranakan sekarang sudah tidak up to date lagi. Meskipun demikian, buku ini tetap dipakai sebagai penjelasan di dalam uraian pada bab II.

(31)

kepada pihak keraton Yogyakarta. Namun demikian buku ini kurang di dalam penjelasan mengenai asal usul seorang Secodiningrat, karena Werdoyo kemungkinannya ragu untuk memastikan bahwasanya Secodiningrat adalah seorang jawa tulen atau Tionghoa tulen. Buku ini dipakai sebagai acuan mengenai keberadaan Tionghoa di Yogyakarta dan interaksinya dengan penduduk lokal, dan dipakai untuk menjelaskan uraian pada bab II.

Orang jawa dan Masyarakat Cina (1755-1825), terjemahan, ditulis oleh Dr. Peter Carey, diterbitkan oleh Pustaka Azet, 1985. Peter mengulas mengenai

keberadaan Tionghoa di Solo dan interaksinya dengan penduduk lokal, disini diceritakan bagaimana konflik antara masyarakat jawa dengan Tionghoa yang disebabkan juga oleh masalah-masalah politik yang kemudian menjalar kearah diskriminasi ras. Kegagalan yang dilakukan oleh Peter dalam bukunya ini adalah terlalu banyak Peter menyudutkan golongan Tionghoa dan seakan-akan mereka menjadi tersangka di dalam konflik tersebut.

70 tahun PMS 1932-2002, diterbitkan oleh Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS), 2002. Ini hanya majalah yang menjelaskan mengenai eksistensi PMS yang merupakan organisasi sosial yang didirikan oleh Etnik Tionghoa di Solo. Majalah ini diterbitkan sekedar untuk mengisi Ulang Tahun PMS yang ke-70, namun di dalamnya berisi sejarah singkat Etnik Tionghoa dan peranannya di dalam masyarakat di Solo.

(32)

komunitas Tionghoa di Solo, tidak disebutkan dalam tulisan-tulisan di buku-buku referensi tersebut di atas. Oleh sebab itu, skripsi ini mencoba untuk mengangkat masalah mengenai kehidupan (dari sisi berorganisasi) komunitas Tionghoa di Solo, meskipun tidak menutup kemungkinan juga akan menjelaskan mengenai sejarah komunitas Tionghoa di Indonesia.

G.

Metodologi

a. Lokasi Penelitian

Penelitian ini, mengambil batas spasial pada kota Solo, jangkauan yang mungkin akan masuk dalam penelitian ini adalah wilayah Karanganyar, Boyolali, Sragen, Klaten, Sukoharjo dan Wonogiri; karena tidak menutup kemungkinan bahwa di wilayah-wilayah itu dapat membantu menjelaskan keberadaan komunitas Tionghoa di Solo.

Setelah Clash II (Agresi Militer Belanda II), banyak komunitas Tionghoa yang ada di Solo, berpencar lari ke wilayah kabupaten bahkan ada yang lari mengungsi hingga ke wilayah pedesaan. Terjadinya Agresi militer Belanda yang kedua pada 19 Desember 1948, membuat ketakutan kalangan Etnik Tionghoa di Solo, sehingga banyak yang menyelamatkan diri hingga ke desa-desa di wilayah eks. Karesidenan Surakarta seperti Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, dan Wonogiri.

b. Landasan Teori

(33)

beberapa konsep atau teori yang digunakan dalam penelitian ini, secara garis besar teori yang akan dipakai meminjam dari teori para ahli sosiolog, meskipun juga tidak menutup kemungkinan akan memakai beberapa teori yang dikemukakan oleh para antropolog. Misalnya seperti Teori Tindakan sosial dan teori asimilasi yang keduanya meminjam teori sosiolog dan antropolog seperti Talcott Parsons dan Koentjaraningrat. Penjelasan mengenai beberapa teori tersebut sangat penting, sebab merupakan landasan berpikir dan sebagai pembatas masalah, supaya tidak terjadi salah penafsiran.

Dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat membahas mengenai teori akulturasi dan asimilasi. Teori ini dipakai menindaklanjuti mengenai fenomena yang terjadi di dalam kehidupan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Tionghoa di Indonesia seperti sudah dibahas di atas, bukan lagi disebut sebagai seorang berkebangsaan Tiongkok, karena secara hukum mereka sudah bukan warganegara Tiongkok di samping juga secara fisik sudah merupakan perpaduan antara orang Indonesia asli dan Tiongkok22. Selain itu, Koentjaraningrat juga menguraikan mengenai masalah kebudayaan, dimana dijelaskan juga unsur-unsur yang ada dalam kebudayaan, salah satunya adalah organisasi sosial. Oleh para sosiolog, ini diartikan sebagai sebuah Sistem

22

Beberapa istilah mengenai orang Tionghoa :

• Tionghoa Perantarauan / Overseas Chinese disebut sebagai Hoa Kiau;

adalah semua orang-orang Etnik Tionghoa yang hidup di luar negara RRT (Republik Rakyat Tiongkok), namun berwarganegara Cina/ Tiongkok.

• Chungkuoren/ Chungkuo cungming; adalah orang-orang Tionghoa asli/

warganegara Tiongkok atau RRT.

(34)

kemasyarakatan atau dapat disebut juga sebagai Pranata Sosial. Pranata sosial merupakan sebuah sistem norma/ aturan-aturan yang menyangkut suatu aktivitas masyarakat yang bersifat khusus, untuk mengatur dan melaksanakan pranata tersebut diperlukan adanya suatu “lembaga” atau “Institut” yang berupa organisasi23.

Semakin banyak orang-orang yang berkumpul dalam satu daerah, yang memiliki ciri khas yang sama maka diperlukan suatu kelembagaan untuk mengaturnya. Sosiolog Indonesia Soerjono Soekanto mengatakan bahwa dalam suatu lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia, pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

1. Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan.

2. Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian-sosial (Social control) yaitu artinya sistem pengawasan daripada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya24.

23

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta. Hal: 165.

24

(35)

Selain teori tersebut di atas, dipakai juga suatu teori Tindakan Sosial yang dikemukakan oleh Talcott Parsons, yang merupakan elemen penting di dalam pembentukan konsep mengenai “sistem sosial”. Parsons melihat suatu sistem sosial sebagai satu dari tiga cara dimana tindakan sosial bisa terorganisir. Selain terdapat dua sistem tindakan lain yang saling melengkapi yaitu : sistem kultural yang mengandung nilai dan simbol-simbol serta sistem kepribadian para pelaku individual. Menurut Parsons, masyarakat merupakan sebuah sistem sosial yang dilihat secara total. Talcott Parsons juga mengembangkan suatu “ Pattern variables” yang terkenal sebagai sarana untuk mengkategorikan tindakan atau untuk “mengklarifikasikan tipe-tipe peranan dalam sistem sosial”. The Pattern variables itu adalah:

1. Affective versus affective neutrality. Dalam suatu hubungan sosial orang bisa bertindak untuk pemuas afeksi/ kebutuhan emosional atau bertindak tanpa unsur afeksi itu (netral). Misalnya : hubungan suami-istri, dalam hubungan ini dianggap sebagai hubungan antara pelanggan dan penjual. 2. Self-orientation versus collective-orientation. Dalam hubungan yang

berorientasi hanya pada dirinya orang mengejar kepentingan pribadi, sedang dalam hubungan berorientasi kolektif, kepentingan tersebut sebelumnya telah didominir oleh kelompok.

(36)

dengan dasar kualifikasi pekerjaan, termasuk lulus ujian pegawai negeri, adalah contoh hubungan-hubungan universalistik. Secara teoritis pemerintah menggaji orang berdasarkan ukuran-ukuran yang dapat diterapkan pada pegawai itu, terlepas dari jenis kelamin, suku bangsa, dan sebagainya. Sedang kalau tidak menyertakan seseorang karena termasuk anggota kelompok suku bangsa, jenis kelamin tertentu dan lain sebagainya merupakan hubungan particularistik.

4. Quality versus performance. Variable quality menunjuk pada “status askrib” (ascribed status) atau keanggotaan dalam kelompok berdasarkan kelahiran. Performance berarti prestasi (“achievement”) atau apa yang dicapai oleh seseorang. Contoh hubungan kualitas adalah seorang pemuda kaya yang membina persahabatan hanya dengan pemuda kaya lainnya; sedangkan hubungan performance adalah berupa persahabatan yang berdasarkan suka atau tidak suka secara timbal balik, terlepas dari perbedaan dalam usia atau kelas sosial.

5. Specificity versus diffusness. Dalam hubungan yang spesifik, orang dengan orang lain berhubungan dalam situasi yang terbatas atau segmented. Seorang penjual dan pelanggan merupakan ilustrasi hubungan sangat terbatas yang berdasarkan jual-beli. Di pihak lain, hubungan keluarga adalah contoh dari hubungan diffuse, dimana semua orang (bukan karena status tertentu) terlibat dalam proses interaksi25.

25

(37)

c. Metode Penelitian

Dalam dunia sejarah dikatakan bahwa metode penelitian sejarah memiliki 4 tahapan yakni, heuristik, kritik sumber, interpretasi data, dan historiografi. Pengertian metode penelitian itu sendiri adalah proses analisa terhadap suatu peristiwa sejarah secara kritis dan teruji.

Heuristik merupakan metode pengumpulan sumber-sumber yang ada, entah itu sumber tertulis maupun sumber lisan. Sumber sejarah memang bermacam-macam ada yang berupa naskah, artefak benda, atau juga yang bersifat lisan. Untuk penelitian kali ini, peneliti memperoleh data melalui sumber lisan dan sumber tertulis. Kategori sumber lisan diperoleh melalui wawancara dan diskusi dengan banyak orang-orang Tionghoa khususnya mereka yang masih eksis dalam organisasi orang-orang Tionghoa; dalam hal ini ada PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta), Khong Kauw Hwee, Hoo Hap, Fu Qing, dan masih banyak yang lain. Sedangkan untuk sumber tertulis, skripsi ini mendapatkan referensi bantu dari buku-buku karangan Nio Joe lan, Melly G Tan, Leo Suryadinata, P. Haryono, Benny G Setiono, Ig. Wibowo dan buku – buku lain yang diperoleh dari perpustakaan USD, arsip dan perpustakaan daerah Solo dan arsip PMS.

(38)

sebagai sumber lisan dalam dunia sejarah. Wawancara dianggap menunjang penelitian karena observasi harus dilengkapi dengan wawancara; dengan melakukan wawancara maka pewawancara dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan responden26.

Kritik sumber merupakan proses pengujian data yang diperoleh dalam penelitian sejarah, pengujian data ini dilihat dari segi kredibilitas dan otentisitas data tersebut (valid atau tidak data tersebut). Data-data yang telah diseleksi dan diuji ini lalu dianalisa dan ini akan menunjukkan tingkat keberhasilan sebuah penelitian sehingga mampu mendekati kebenarannya.

Interpretasi data merupakan suatu metode untuk memilah data yang sudah ada kemudian mengolah data tersebut menjadi sebuah sumber yang dapat dipakai dalam penulisan. Dalam metode ini, diadakan pembandingan sumber satu dengan sumber yang lain sebelum melangkah ke pengolahan data oleh penulis. Metode akhir setelah melalui interpretasi data adalah historiografi atau dapat dikatakan sebagai suatu proses penulisan. Artinya, data-data yang sudah diolah melalui beberapa langkah di atas, kemudian ditulis berdasarkan deskripsi dari penulis sehingga menjadi sebuah tulisan yang mampu dikonsumsi oleh umum.

H.

Sistematika penulisan

Pada akhirnya nanti hasil penelitian tersebut akan disajikan antara lain meliputi bab satu hingga bab lima, yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutupan yang berupa kesimpulan dan saran.

26

(39)

Pada Bab satu yang merupakan suatu pendahuluan, berisi mengenai latar belakang penelitian dan permasalahan yang akan diangkat sebagai skripsi ini. Selain itu dalam bab pendahuluan ini juga berisi mengenai tujuan dan manfaat penelitian serta meliputi beberapa metodologi penelitian yang memuat hal-hal mengenai lokasi penelitian, landasan teori dan metode penelitian. Adapun pada bab pendahuluan ini akan diakhiri dengan sistematika penulisan.

Setelah melalui Bab pendahuluan, penulisan skripsi ini akan dilanjutkan pada bab dua, tiga, dan bab empat yang merupakan bab pokok atau isi dari hasil penelitian skripsi. Tulisan ini apabila diuraikan adalah sebagai berikut : bab dua

mengandung uraian mengenai latar belakang Etnik Tionghoa di Indonesia, yang diawali dengan mendeskripsikan kedatangannya ke Indonesia, hingga pada pembentukan Tionghoa di Indonesia sehingga membentuk suatu budaya dan peradaban Tionghoa di Indonesia.

(40)
(41)

BAB II

LATAR BELAKANG TIONGHOA DI INDONESIA

A.

Dari kedatangan sampai munculnya istilah Peranakan

Perlu diketahui bahwa asal usul keberadaan orang-orang Tionghoa yang pertama di Nusantara tidaklah begitu jelas. Dugaan selama ini hanya berdasarkan hasil temuan benda-benda kuno seperti tembikar Tiongkok di Jawa Barat, Lampung, daerah Batanghari, dan Kalimantan Barat maupun yang disimpan di berbagai keraton dan Nekara perunggu Dongson atau Heger type I, yang diproduksi di Dongson, sebuah desa kecil di Propinsi Thanh Hoa, teluk Tongkin, sebelah utara Vietnam pada masa antara tahun 600 SM sampai abad III Masehi. Jauh sebelum abad ke-11, sudah ada kunjungan-kunjungan kapal-kapal Tionghoa ke pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Tetapi baru pada jaman Sriwijaya-lah, perantau ini mulai menetap terutama di daerah pesisir. Sekalipun masih dalam jumlah kecil, pada abad ke-14, setelah perang Tionghoa-Sriwijaya, orang-orang Tionghoa datang dan mendirikan koloni-koloni di Palembang. Pada abad ke-15 dan 16 mereka mulai berdatangan lebih banyak ke pulau Jawa dan Kalimantan sampai berjumlah ratusan ribu orang.

(42)

mengikutinya dengan melakukan ziarah dari Tiongkok ke India. Sekitar tahun 629-645, Pendeta Hiuen Thsang mengembara di India dan pengalamannya diuraikan secara teliti dalam buku Si Yu Ki. Pada tahun 671 Pendeta I-tsing berangkat dari Canton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Seluruh pengalamannya diuraikan dengan cermat dalam bukunya yang berjudul Nan Hai Chi Kuei Fa Ch’uan dan Ta T’ang Si Yu Ku Fa Kao Seng Ch’uan. Pendeta I Tsing mengembara di luar Tiongkok selama 25 tahun, Ia kembali ke Guandong (Kwantung) pada pertengahan musim panas tahun pertama pemerintahan Cheng Heng (tahun 695 M) dengan membawa pulang empat ribu naskah yang terdiri dari 500.000 Sloka27. Hingga abad ke VII hanya pendeta Buddha Tionghoa yang melakukan perjalanan ke India yang mengunjungi Sriwijaya28.

Pendeta I-tsing tinggal di Sriwijaya selama 14 tahun dan banyak menulis segala adat-istiadat dan kejadian di Sriwijaya. Menurut catatan dari dinasti Han, pada tahun 131 SM telah ada hubungan resmi antara Tiongkok dengan Jawadwipa. Prof. Dr. Moh. Yamin, S.H. dalam makalah yang tidak sempat dibacakannya sendiri karena keburu meninggal dunia, dihadapan kongres Ilmu Pengetahuan ke-2 di Yogyakarta pada Nopember 1962 menceritakan tentang penemuan batu tulis (Linggapala) yang ditemukan di Guangzhou (Canton) secara lebih terperinci. Dalam prasasti yang ditemukan tahun 1961 tersebut terdapat tulisan yang mendeskripsikan hubungan antara Sriwijaya dengan Tiongkok

27

Benny G Setiono, 2002, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta : ELKASA. Hal : 19.

28

(43)

(Dinasti Sung) khususnya mengenai sumbangan Kedatuan Sriwijaya guna keperluan pembangunan kembali kuil Tien Ching di Canton. Prasasti tersebut ditemukan di sebuah sekolah rakyat di lorong Cusou, jalan Taicu Utara, Canton. Tempat tersebut bekas letak kuil Tien Ching pada jaman Dinasti Sung29.

Tugu Batu itu merupakan prasasti yang dibuat oleh Ho Sun To, ketika melakukan pembangunan kembali kuil Tien Ching pada tanggal 9 bulan 9 tahun Yuang-feng kedua jaman Kaisar Sung Cen Cung. Ketika itu usaha penyebaran agama Dao (Tao) merata diseluruh kecamatan di Tiongkok, demikian pula di Canton. Tahun 1052 M (Huang-Yu ke-4), suku bangsa minoritas dari daerah Kwang-Yuan yang dipimpin Nung Ce Kau menyerbu kota Canton, yang mengakibatkan kuil Tien Ching musnah dimakan api.

Pada tahun 1064 ketika jaman pemerintahan Kaisar Sung Ing Cung (1064-1067), raja Kerajaan Sriwijaya mengutus orang (yakni saudaranya, bernama Ce-lol-lo) berkunjung ke Canton. Dia melihat kuil Tien Ching dikota Canton yang telah hancur dan melaporkan hal ini kepada raja (Tie-hua-cia-lo). Maka atas kebaikan raja, dengan rela disumbangkan lima ratus ribu tail emas untuk perbaikan kuil besar Tien Ching tersebut. Hal itu terlihat dari sebuah batu yang ditulis ketika jaman Dinasti Tang (618-906) yang ditemukan sekitar tahun 1959 di Guangzhou.

Dalam catatan sejarah melayu, disebutkan ada seorang anak Pangeran (tidak dituliskan namanya dengan pasti) dari Tiongkok yang menjadi Raja di Palembang. Kemudian pada abad ke-15, Kaisar Dinasti Ming mengirim delegasi

(44)

persahabatan kepada Raja Zulkarnaen dari Kerajaan Malaka, disertai seorang Putri Cina yang diiringi oleh 500 dayang-dayangnya30. Sementara itu pada sumber lain disebutkan bahwa pada tahun 525, 528, 666, dan 669 SM; Kaisar Dinasti Tang kedatangan utusan kerajaan To-Lo-Mo yang ternyata Tarumanegara (To-Lo-Mo sesuai dengan ucapan lidah orang-orang Tionghoa).

Orang-orang Tionghoa mulai berdatangan pada abad ke-9 yakni pada masa pemerintahan Dinasti Song (960-1279M) untuk berdagang dengan membawa barang-barang kerajinan seperti barang-barang porselen, sutera, teh, alat-alat pertukangan, pertanian untuk ditukar dengan hasil-hasil pertanian lain terutama rempah-rempah, sarang burung walet, gambir, bahan obat-obatan dan sebagainya. Mereka yang semula hanya menunggu pedagang-pedagang asing (seperti Arab dan India) yang datang ke Canton dengan menggunakan kapal-kapal Persia kemudian tertarik untuk melakukan perdagangan sendiri ke negara-negara Laut Selatan (Nanyang). Mereka pada umumnya datang dengan Jung-jung31 melalui perjalanan panjang dengan menghadapi gelombang laut dan perompak yang ganas. Mereka harus tinggal berbulan-bulan menunggu bergantinya musim dan angin yang akan membawa mereka kembali ke daratan Tiongkok, tentunya yang

30

Prof. Liang Liji dalam ceramah yang diselenggarakan perhimpunan INTI di Omni Batavia hotel, Jakarta, 15 desember 1999.

31

(45)

datang ketika itu hanya laki-laki saja karena perjalanan tersebut sangat berbahaya32.

Gambar 1

Model Kapal Jung yang dipakai oleh Laksamana Cheng Ho

Sekitar abad ke-13, pasukan Mongol dari Dinasti Yuan (1280-1367) menyerbu kerajaan-kerajaan Pagan, Angkor, Campa, dan Jawa. Hanya kerajaan Sukhotai dari Thailand mempunyai hubungan yang baik dengan Tiongkok dengan mengirimkan misi-misi persahabatan timbal-balik antara 1293-1323. Pada tahun 1293, Kaisar Kubilai Khan memerintahkan gubernur Hokkian untuk mengirimkan Shih-Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing memimpin tentara untuk menekan Jawa. Sebanyak 20.000 orang tentara direkrut dari Hokkian, Kiangsi, dan Hukuang. Raja Kertanegara dari Kerajaan Singosari dianggap tidak bersahabat oleh Kaisar

32Sedikit catatan penting, bahwa emigrasi besar-besaran orang-orang

(46)

Kubilai Khan karena telah memotong muka dan telinga Meng Chi (utusan Kaisar Mongol) dan kemudian mengusir rombongannya untuk kembali ke Tiongkok.

Namun ketika pasukan Shih-pi, Ike Mese, dan Kau Hsing tiba di Tu-ping-tsuh (Tuban) dan melanjutkan perjalanan ke mulut sungai Sugalu (Sedayu) lalu memasuki sebuah sungai kecil Pa-tsieh (Kali Mas), maka oleh Raden Wijaya dibujuk dan dikelabui untuk membantunya menggulingkan Raja Jayakatwang dari Kediri. Setelah berhasil, pasukan Mongol tersebut diusir keluar dari Pulau Jawa, sementara Raden Wijaya berhasil mendirikan kerajaan baru yakni Majapahit dan menjadi raja pertamanya dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana33. Majapahit dapat menjadi kerajaan yang kuat disebabkan oleh orang-orang Tionghoa yang mempraktekan teknologi-teknologi dari Tiongkok di Jawa. Teknologi tersebut antara lain : Teknik pembuatan kapal dan mata uang serta senjata api.

Pada abad ke-15 jaman Dinasti Ming (1368-1643), orang-orang Tionghoa dari wilayah Yunnan mulai banyak berdatangan untuk menyebarkan agama Islam terutama di Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Kaisar Yung Lo (1402) ini diterapkan kebijaksanaan baru berupa modifikasi sistem perpajakan34. Dalam sejarah pemerintahan raja tersebut, tercatat adanya perjalanan laut ’legendaris’ yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho/Zheng He. Ekspedisi pertama Cheng ho pada tahun 1405 singgah di pelabuhan Samudera Pasai dan bertemu dengan Sultan Zainal Abidin Bahian Sjah. Kedatangannya di Samudera Pasai dalam rangka membangun hubungan politik dan dagang antara kedua negara. Setelah

33

Drs. G Moedjanto, M.A., 2003, Suksesi dalam Sejarah Jawa, Yogyakarta: USD Press. Hal : 30.

34

(47)

terbentuk hubungan baik antara Tiongkok dan Samudera Pasai, semakin banyak pedagang-pedagang Tionghoa yang datang ke Pasai dan banyak diantaranya yang beragama Islam dan mengawini perempuan-perempuan setempat yang kemudian menetap dan berbaur di sana.

Tahun 1410 dan 1416 Sam Po Kong (Laksamana Cheng Ho/ Zheng He/ Haji Sam Po Bo)35 dan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang; selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga membawa misi untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Pengiriman armada Dinasti Ming yang dipimpin Laksmana Cheng Ho dan Ma Huan juga bertujuan untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang (Asia Tenggara) yang banyak diganggu bajak laut orang-orang Hokkian dipimpin Lin Tao-ch’ien yang telah menguasai Pattani, sebuah pelabuhan di selatan Siam (Thailand) dan Kukang (Palembang). Seorang pemimpin bajak laut lainnya yang berasal dari Canton bernama Tan Tjo Gi berhasil menguasai kota Palembang dan dari sana melakukan perompakan terhadap kapal-kapal yang melalui Selat Malaka yang sempit. Hal ini bisa terjadi karena pemerintah Palembang sangat lemah, sehingga Palembang berhasil dikuasai gerombolan perompak Tionghoa tersebut beberapa tahun sebelum kedatangan Cheng Ho yang kemudian berhasil menumpasnya. Tan Tjo Gi berhasil ditangkap, dirantai kemudian dibawa ke

35

(48)

Peking. Disana ia dipancung di muka umum sebagai peringatan kepada orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nanyang.

(49)

permata. Di samping kapal penumpang untuk mengangkut pasukan dan kapal kargo, armada ini juga terdiri dari kapal tangki air, kapal pengangkut kuda untuk pasukan kavaleri, kapal-kapal tempur dan kapal patroli cepat yang mempunyai banyak dayung.

Pelayaran pertama Cheng Ho dimulai dari Su-chou ke Hokkian dan terus melalui Campa menuju Jawa, Sumatera, Malaka, Siam, Sri Langka, dan pantai selatan India. Lalu dilanjutkan ke Teluk Persia, Aden, Afrika Timur, dan pantai Selatan Arab. Cheng Ho dengan setia telah mengabdi pada tiga Kaisar Dinasti Ming dan selama 7 kali dikirim sebagai utusan, ia telah mengunjungi Campa, Jawa, Kamboja, Kukang, Siam, Kalikut, Malaka, Brunei, Sumatera, Aru, Cochin, Lambri, Pahang, Kelantan, Hormus, Pi-ja, Kepulauan Maldives, Sunda, Magadoxu, Ma-lin-la-sah, Dsaffar, Sa-li-wa-ni, Jubo (Dsheba), Bengal, Arabia, Li-tai, dan Nakur; seluruhnya lebih dari 30 negeri yang berbeda36. Sam Po Kong menjadi legenda tanda kebesaran dari kejayaan Dinasti Ming serta turut mendorong orang-orang Tionghoa terutama para pedagang dari bagian selatan Propinsi Hokkian untuk pergi dan menetap di daerah Nanyan. Cheng Ho meninggal di Nanking (Nanjing) pada tahun 143537, namun menurut Louis Levathes dan Prof. Kong Yuanzi, dalam pelayaran kembali dari Mekkah setelah seluruh armadanya dipersatukan kembali di Kalikut, India, dalam ekspedisi ke-7 atau ekspedisi terakhir (Cheng Ho yang karena kesehatannya terganggu dan

36Benny G Setiono., op. cit. Hal : 29. 37

(50)

sakitan sejak 1432, terpaksa menunggu di Kalikut dan tidak turut ke Mekkah), pada tahun 1433 meninggal dunia pada usia 62 tahun38. Pelayaran Cheng Ho ini berlangsung lebih dari 60 tahun sebelum Bartolomeus Diaz dengan armadanya pada tahun 1487 berhasil memutari Tanjung Harapan di Ujung Selatan Afrika menuju Samudera Hindia dan Vasco da Gama pada tahun 1497 mendarat di India.

Puncak penyebaran orang-orang Tionghoa ke Nusantara adalah pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, dimana para emigran ini berasal dari tiongkok bagian selatan dan Tengah. Emigrasi besar-besaran termasuk kaum perempuan Tiongkok ini bermula dari berkembangnya fasilitas kapal motor dan dicabutnya larangan bepergian ke luar Tiongkok oleh Kaisar Dinasti Ching. Ketertarikan akan keindahan dan kesuburan daerah-daerah yang mereka kunjungi dan keramahan penduduk setempat, membuat sebagian dari mereka menetap dan bahkan yang laki-laki (masih bujang atau tidak membawa serta istrinya dari Tiongkok) mengawini perempuan-perempuan setempat39. Mereka pada umumnya menjadi petani, tukang dan pedagang pengumpul hasil-hasil pertanian dan hasil hutan untuk ditukar dengan barang-barang dari daratan Tiongkok. Akhirnya mereka berasimilasi40 dengan penduduk setempat dan saling mempengaruhi dalam proses percampuran budaya, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan lainnya termasuk dalam hal bahasa, kesenian, makanan, bahkan cara berpakaiannya pun

38

Benny G Setiono., op. cit. Hal : 32.

39

Dari proses perkawinan ini kemudian menghasilkan Tionghoa Peranakan atau sering disebut Babah; dan para peranakan Tionghoa ini akan mengikuti tradisi dari Ibunya (notebene merupakan pribumi) namun juga tidak meninggalkan budaya leluhur ayahnya (merupakan orang asli Tiongkok).

40

(51)

juga mengadopsi pakaian setempat, inilah yang kemudian menghasilkan budaya tionghoa peranakan atau babah41.

Sejak kedatangan orang-orang Tionghoa kenusantara, mereka hidup berdampingan secara damai dan rukun dengan penduduk lokal atau setempat. Bahkan ketika jaman Cheng Ho (sekitar abad ke-15), armadanya yang datang dengan persenjataan yang besar dan kuat (dapat dikatakan jauh melebihi armada negara-negara Eropa manapun pada masa tersebut), ternyata hanya bermaksud mengadakan kunjungan persahabatan, perdagangan, menarik upeti bagi daerah-daerah protektoratnya dan menyiarkan agama Islam. Orang-orang Tionghoa kala itu, selain datang untuk tujuan berdagang juga mengajarkan teknik baru mengenai pengolahan padi, antara lain pada tahun 1750 memperkenalkan alat penyosoh padi (dengan memakai jasa dua-tiga ekor sapi) yang dapat mengolah sampai 500 ton padi per hari, untuk menggantikan sistem tumbuk tradisional memakai lesung yang hanya menghasilkan 100 ton per hari. Selain itu orang-orang Tionghoa juga memperkenalkan pompa berpedal, pemeras kelapa dan bajak serta teknik pembuatan garam. Orang-orang Tionghoa juga mengenalkan jarum jahit (dengan cara menjahit atau menyulamnya), bahkan kain yang dijahit untuk pakaian pun berasal dari Tiongkok. Mereka juga mengembangkan budi daya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang kedelai, semangka dan nila atau tarum yang dijadikan bahan pewarna. Sejak tahun 1611 mereka mengembangkan penyulingan arak

41

(52)

yang dibuat dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Dari kacang hijau dan kedelai mereka menghasilkan taoge, tahu, tauco dan kecap.

Ketika Kolonial Belanda masuk ke Nusantara, keadaan menjadi berbeda. Tercatat dalam sejarah Indonesia, bahwa pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa secara resmi di Hindia Timur (Indonesia) tanggal 31 Desember 1799. Memang tidak dapat dibantah, bahwa pada bulan Juni 1596 Belanda sudah menjejakkan kakinya di Indonesia, dan daerah yang pertama menjadi tempat pendaratan mereka adalah Banten42. Setelah melalui tahapan yang pertama, ekspedisi itu berkembang menjadi sebuah perdagangan dalam skala besar. Baru pada tahun 1602, perwakilan dagang Belanda membentuk sebuah kongsi dagang yang diberi nama VOC (Verenigde Oost Indische Campagnie). Hubungan perdagangan tersebut dijalin juga oleh orang-orang Belanda dengan orang-orang Tionghoa di Indonesia, kebanyakan dari mereka dipakai sebagai pedagang perantara dan menghubungkan antara Belanda dengan penduduk setempat. Pada awalnya praktek semacam ini berjalan lancar, dan membuat hubungan Tionghoa dengan penduduk setempat bertambah dekat. Hubungan yang erat antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk setempat hampir terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, penyebaran ini menimbulkan suatu generasi-generasi Tionghoa baru baik itu yang peranakan maupun yang Totok. Berikut adalah data mengenai lokasi pemukiman Tionghoa di Indonesia tahun 1906-1910, disertai dengan data jumlah

42Ekspedisi Belanda ini di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dengan

(53)

penyebaran penduduk Tionghoa dan data jumlah penduduk Tionghoa menurut generasi dan daerahnya :

TABEL 1

Lokasi Pemukiman terbesar golongan Etnik Tionghoa antara tahun 1906-1910

KOTA TOTAL PENDUDUK

DI WILAYAH

JUMLAH TIONGHOA DALAM ANGKA

JUMLAH TIONGHOA

DALAM %

Jakarta 138.551 28.150 20,31

Semarang 96.660 13.636 14,11

Palembang 60.985 7.304 11,98

Solo 118.378 6.532 5,51

Medan 14.230 6.397 44,95

Jogjakarta 79.567 5.266 6,61

Padang 47.607 5.103 10,72

Bandung 47.491 3.704 7,80

Surabaya 133.632 2.693 2,02

Tanjung pinang 4.088 2.406 58,86

Jatinegara 33.989 2.398 7,06

Pangkal pinang 3.017 1.566 51,91

Kutaraja 3.704 1.025 27,67

Tanjung pandan 4.900 1.015 20,71

Sumber : Mely G Tan., ed., 1981, Golongan etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : Gramedia. Hal : xiii.

(54)

TABEL 2

Penyebaran Penduduk Tionghoa tahun 1961

Wilayah Penduduk Tionghoa Seluruh penduduk % orang Tionghoa dari

seluruh penduduk

Jawa dan Madura 1.230.000 63.059.000 2,0

Sumatera 690.000 15,739.000 4,4

Kalimantan 370.000 4.102.000 9,0

Indonesia Timur 160.000 13.427.000 1,2

Jumlah 2.450.000 96.327.000 2,5

Sumber : Skinner, 1981, Golongan minoritas Tionghoa, dalam Mely G Tan, 1981,

Golongan etnis Tionghoa di Indonesia : Suatu masalah pembinaan kesatuan bangsa, Jakarta : Gramedia. Hal: 3.

Hampir sebagian besar masyarakat Tionghoa menghuni wilayah Jawa dan Madura, hal tersebut terlihat dari tabel persebaran penduduk Tionghoa di Indonesia. Namun prosentasi terbesar penyebaran penduduk Tionghoa justru terjadi di wilayah Indonesia bagian Timur.

TABEL 3

Penduduk Tionghoa di Indonesia menurut generasi dan daerah (dalam ribuan) Tahun 1930 Imigran Generasi I Imigran Generasi II Imigran Generasi III Jumlah Daerah

Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Jawa & Madura

120 20,6 93 15,9 370 63,5 582 100

Sumatera 259 57,8 111 24,7 78 17,5 449 100

Kalimantan Barat

17 25,1 14 20,6 36 54,3 67 100

Tempat Lain

37 40,6 25 27,5 29 31,9 92 100

Jumlah 434 36,4 243 20,5 514 43,2 1.190 100 Sumber : Charles A Coppel, 1994, Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Jakarta : Pustaka

(55)

Pertambahan jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia semakin lama semakin bertambah pesat. Terlihat dari tabel, bahwa Imigran Tionghoa sudah mencapai generasi ke-3, dan dari generasi awal hingga generasi ke-3 mengalami lonjakan yang demikian besar.

Bertahun-tahun, dari awal menjejakkan kaki ke Indonesia hingga akhir abad ke-19, Belanda melihat keakraban yang terjadi antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk setempat atau pribumi. Melihat kenyataan semacam ini, pemerintah Hindia Belanda merasa iri dan ketakutan43, kemudian mulai melakukan politik pecah belah atau segregasi terhadap orang-orang Tionghoa. Dengan dibuat suatu sistem 3 kelompok atau lapisan ras yakni golongan Eropa (menduduki lapisan pertama), golongan Timur asing seperti Tionghoa, India, dan Arab (Vreemde Oosterlingen) menduduki lapisan kedua atau tengah, dan golongan Indonesia Pribumi (Inlanders) yang berada pada lapisan terakhir atau paling bawah. Selain itu, bagi golongan Tionghoa diwajibkan untuk tinggal di wilayah-wilayah yang ditentukan pemerintah (Wijkenstelsel) untuk memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk setempat. Untuk keluar dari permukiman atau wilayah tersebut orang-orang Tionghoa harus mempunyai surat jalan

43

(56)

(Passenstelsel)44. Bagi yang melanggar akan diadili oleh politie roll, sebuah pengadilan tanpa hak membela diri. Wilayah yang ditempati oleh orang-orang Tionghoa ini yang kemudian disebut dengan Pecinan. Orang-orang Tionghoa juga dilarang memakai pakaian orang-orang bumiputera atau pakaian barat sehingga mudah dikenali. Ordonansi yang dikeluarkan pada tahun 1854 tersebut membuat ketiga kelompok itu tunduk kepada sejumlah buku undang-undang yang berbeda-beda. Tetapi khusus untuk perdagangan sejak awal VOC, bagi orang Tionghoa diberlakukan Hukum Dagang Belanda, sepanjang hukum itu masih dapat diterapkan. Dalam bidang Hukum atau untuk masalah kriminal, status orang-orang Tionghoa disamakan dengan golongan Indonesia Pribumi (Inlanders) dan perkaranya diadili di Pengadilan Polisi (Politie roll) untuk pelanggaran kriminal kecil-kecil, dan di pengadilan pribumi (Landraad) untuk pelanggaran berat.

Perseteruan orang-orang Tionghoa dengan pemerintah Belanda semakin besar dengan diumumkannya Undang-undang Agraria (1870) yang melarang orang Tionghoa dan golongan nonpribumi lainnya untuk memiliki tanah pertanian baru. Tetapi puncak dari semuanya ini terjadi menjelang akhir abad ke-19 ketika Belanda memberlakukan Politik etis45 yang menyerang kekuatan ekonomi dari

44

Passenstelsel biasanya dapat diperoleh dari wijkmeester yang biasa disebut sebagai Kapiten Tionghoa, dengan membayarkan uang sejumlah f. 0,50, 10 cent untuk meterai, dan 40 cent untuk ongkos bagi juru tulis.

45

(57)

orang-orang Tionghoa46. Dalam waktu yang bersamaan pula, semangat nasionalisme Tiongkok telah menyebar ke wilayah Asia Tenggara. Semangat nasionalisme inilah yang kemudian membentuk perhimpunan-perhimpunan Cina Raya (Pan-Cina) seperti Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Tepatnya tanggal 17 maret 1900 di Batavia berdiri THHK di bawah pimpinan Phoa Keng Hek.

THHK yang merupakan organisasi peranakan Tionghoa didirikan dengan tujuan untuk memajukan kembali budaya Tionghoa dan agama Khonghucu serta mendidik orang-orang Tionghoa agar menghentikan kebiasaan buruk berjudi dan menghambur-hamburkan uang dalam melaksanakan upacara kematian. Tahun 1901, THHK membuka sekolah untuk anak-anak Tionghoa bertempat di jalan Patekoan No.19 Jakarta (sekarang Jl. Perniagaan). Sekolah THHK ini memiliki orientasi ke daratan Tiongkok, dan mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Tionghoa di Indonesia; sehingga dalam waktu singkat, di kota-kota lain juga dibuka sekolah Tionghoa. Sebagai contoh, pada tanggal 2 nopember 1902 berdiri sekolah THHK di Bogor, 1903 di Cirebon, 17 januari 1904 di Semarang, 30 Juli 1904 di Tangerang, 19 Oktober 1904 di Solo, 11 Nopember 1904 di Bandung, tahun 1905 di Pemalang dan Jombang, 28 maret 1905 di Indramayu, 5 mei 1905 di Malang, 22 desember 1905 di Purbalingga, 21 April 1907 di Sumedang, 29 juni 1907 di Cilacap, 21 agustus 1907 di Purwokerto, tahun 1909 di Demak, 26 mei 1912 di Kebumen, 22 juni 1917 di Banyumas, 26 oktober

46Dengan adanya politik etis, secara tidak langsung posisi perekonomian

(58)

1917 di Tasikmalaya, 1 juli 1939 di Wonosobo dan masih banyak sekolah THHK yang didirikan di kota-kota lain di Indonesia47.

Gambar 2

Sebagian sekolah-sekolah THHK di Indonesia

THHK Solo THHK Surabaya THHK Jombang

THHK Indramayu THHK Yogyakarta THHK Cilacap

Pada awal mulanya oleh pemerintah Belanda, cara berpakaian orang-orang Tionghoa harus sesuai dengan adat istiadatnya dan tidak diperkenankan meniru cara pakaian orang-orang eropa kala itu. Termasuk juga pemotongan kuncir orang Tionghoa, meskipun orang tersebut adalah seorang konglomerat atau pejabat Tionghoa. Kebijakan tersebut dapat sedikit melonggar mana kala pada tahun 1905 seorang pengusaha Tionghoa di Semarang bernama Oei Tiong Ham mengusulkan kebebasan berpakain dan pemotongan kuncir. Baru ketika usulan tersebut diterima oleh pemerintah Belanda, secara otomatis orang-orang Tionghoa boleh memakai

47

(59)

pakaian orang-orang Eropa seperti Jas dan celana pantolan48. Adapun salinan surat izin berpakaian bebas dan pemotongan kuncir yang ditujukan kepada pembesar negeri (Gubernur Jendral atau Resident), adalah sebagai berikut :

De Resident, Sudah denger enz. Mengambil putusan :

Kepada Cina The…….(nama orang tersebut) Diberi izin akan zonder kuncir dan dengen pakean Europa boleh mengunjukkan diri ditempat umum.

Salinan dari ini putusan diserahkan pada yang tersangkut supaya jadi tau. Cocok dengen bunyinya register,

Secretaris dari Residentie, (w.g.)……….

(dikutip dari buku karangan Liem Thian Joe yang berjudul Riwayat Semarang)

Dengan dibukanya sek

Gambar

Gambar 1
TABEL 1
TABEL 2
Gambar 2
+7

Referensi

Dokumen terkait