• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. Wanita Karier - MUTAALI BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. Wanita Karier - MUTAALI BAB II"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Wanita Karier

Seiring dengan perkembangan zaman, peran wanita di masa sekarang sudah tidak lagi dikaitkan sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, yaitu hanya sebagai seorang istri dan ibu bagi anak-anaknya. Namun lebih jauh lagi, wanita sekarang sudah mulai berperan serta dalam setiap segi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini membuat kuantitas waktu yang mereka miliki menjadi berkurang terlebih lagi bagi wanita yang bekerja di kantor yang lebih banyak terikat oleh waktu kerjanya. Wanita mempunyai fungsi yang sangat dominan di dalam keluarga, karena seorang wanita mempunyai tanggung jawab untuk membina keluarga, seperti pertumbuhan pribadi anak (Iklima, 2014: 2).

(2)

1. Pengertian Wanita Karier

Istilah wanita karier lebih populer karena mengandung makna pemberdayaan wanita yang telah dijajah oleh budaya masyarakat, sehingga bisa merubah mindset masyarakat agar tidak terus menerus mengkonotasikan bahwa tugas wanita hanya di rumah saja. Penggunaan istilah wanita karier sekaligus bisa difungsikan untuk kepentingan promosi agar wanita bisa berperan aktif dalam profesi-profesi yang selama ini masih didominasi laki-laki dan bisa juga untuk kepentingan mengubah pola pikir masyarakat yang masih berpandangan konservatif, bahwa jatah pekerjaan wanita itu terkait dengan urusan internal rumah tangga seperti berhias, masak, dan melahirkan (Qomar, 2015: 10).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id), karier memiliki arti: (1) perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan, serta (2) pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju. Menurut Munandar (dalam Ermawati, 2016: 2), wanita karier adalah wanita yang berkecimpung di dalam kegiatan profesi (usaha dan perusahaan). Selain itu wanita yang berkarier merupakan wanita yang melakukan pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu dan keahliannya. Pada umumnya wanita karier adalah wanita yang berpendidikan cukup tinggi dan mempunyai status yang cukup tinggi dalam pekerjaannya, cukup berhasil dalam berkarya.

(3)

berperan ganda yaitu di samping sebagai ibu atau istri dalam rumah tangga, juga sebagai karyawati yang aktif mengerjakan tugas-tugas di luar urusan kerumahtanggaan.

Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa wanita karier adalah wanita yang mempunyai peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan sebagai pekerja yang mendapatkan gaji atau imbalan selain uang sesuai dengan bidang ilmu dan keahlian yang dimiliki.

2. Peran Ganda Wanita Karier

Pada dasarnya Islam telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap wanita dan menjunjung tinggi harkat dan martabat sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dalam perspektif Islam, wanita memiliki peran dan fungsi dalam kehidupan sehari-hari, yaitu wanita sebagai seorang ibu, wanita sebagai seorang istri, dan wanita sebagai anggota masyarakat (Ermawati, 2016: 3). Berikut penjelasan dari masing-masing peran wanita:

a. Wanita Sebagai Seorang Ibu

(4)

manusia dilahirkan. Selain itu seorang ibu juga sebagai motivator pertama bagi anak supaya tidak cepat putus asa ketika anak mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai hal (Harun & Rifqoh, 2016: 2).

Seorang ibu senantiasa mengetahui akan tugas dan tanggung jawab kepada anak-anak. Pembentukan dan pembinaan kepribadian inilah yang menjadi tanggung jawab seorang ibu kepada anak-anak. Ibu yang salihah juga harus peduli terhadap perkembangan agama anak, yaitu mengajarkan tata cara ibadah salat dan puasa serta ibadah yang lain. Ibu juga harus bersikap adil dalam memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak-anak, tidak boleh menganakemaskan dan menganaktirikan anak. Seorang ibu harus menanamkan akhlak terpuji kepada anak-anaknya, berupa sifat cinta kasih, saling tolong menolong, bersilaturahmi, suka membantu orang yang lemah, berbuat baik kepada teman dan tetangga, menepati janji, menyayangi anak kecil dan menghormati orang dewasa, adil dalam mengambil keputusan, dan bijaksana dalam bertindak (Arfah & Al Adani, 2012: 271-275).

(5)

Rasulullah mendatangi para tawanan. Tiba-tiba ada seorang perempuan tawanan berlari-lari karena ingin bertemu anak kecil di tengah-tengah para tawanan. Dipeluknya anak itu, lalu disusuinya.

Rasulullah bertanya, “Bagaimana pendapat kalian, apakah

perempuan ini rela melempar anaknya ke dalam bahaya (neraka)?”

Jawab mereka, “Tidak, demi Allah.” Beliau bersabda, “Niscaya Allah lebih mengasihi terhadap hamba-Nya, melebihi perempuan

ini kepada anaknya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

b. Wanita Sebagai Seorang Istri

Peran lain wanita dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai seorang istri. Suami dan istri adalah sepasang manusia yang atas dasar cinta dan kasih suci mengikat diri dalam jalinan nikah. Seorang suami berkewajiban untuk mencintai dan memberikan nafkah bagi istrinya, sedangkan istri berkewajiban mencintai dan melayani suaminya dengan sepenuh hati. Istri dan suami memiliki peran yang berbeda namun harus saling melengkapi (Ermawati, 2016: 3).

(6)

penyantu terhadap kekurangan dan kelemahan suami (Arfah & Al Adani, 2012: 279-281).

Wanita yang berperan sebagai istri adalah wanita yang pandai membelanjakan uang, tidak boros dalam pengeluaran uang dan tidak pula kikir. Jujur dalam segala hal dan tidak terlalu matrealisme. Maka semaksimal mungkin seorang istri akan mengabdi kepada suaminya sesuai dengan tuntunan Islam. Wanita sebagai istri yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam serta mampu memberikan ketenangan jiwa suaminya adalah istri yang patuh. Seorang istri hendaknya jangan terlalu pasif terhadap perintah suami, tetapi setidaknya istri yang patuh harus mempunyai pemikiran yang kreatif, aktif, tingkah laku yang baik, cara berbicara yang baik, dan tidak menggoda laki-laki lain (Marhijanto, tanpa tahun: 125-130). Dia mematuhi firman Allah:

(7)

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah. Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)

c. Wanita Sebagai Anggota Masyarakat

Masyarakat adalah sekelompok manusia yang berkumpul dan berinteraksi dalam rangka memenuhi kebutuhan bersama. Setiap individu membentuk keluarga, dan keluarga tersebut merupakan komponen masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat tersebut lebih kurang separuh anggota adalah wanita. Pada dasarnya Islam tidak melarang wanita untuk berkarier, namun dengan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang wanita demi terjaminnya kemaslahatan bagi wanita itu sendiri (Ermawati, 2016: 3-4).

Dalam bukunya Harun & Rifqoh (2016: 14-15), ada tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh wanita jika ingin berkarier, yaitu: 1) memperhatikan kelemahan fisik wanita. Fisik wanita dipandang

(8)

pengangkut batu, wanita yang berprofesi sebagai tukang becak, dan lain sebagainya,

2) mempertimbangkan tugas alamiahnya, seperti melahirkan, menyusui, dan menjaga keluarganya. Diperlukan sinergi antara tugas alamiah dengan aktivitas di luar rumah, dan

3) memperhatiakan aspek etika, yaitu mengatur keseimbangan hubungan antara laki-laki dan wanita. Agama Islam mengenal hukum Ikthilath atau berbaurnya laki-laki dan wanita dalam satu tempat tertentu. Hal tersebut dapat dipandang haram dan bersifat mubah. Misalnya, wanita berduaan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, terbuka aurat, dan sentuhan anggota badan. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi yang berprofesi sebagai dokter.

3. Pola Asuh Orang Tua

(9)

Diana Baumrind (dalam Santrock, 2007: 15-16) menekankan terdapat empat gaya pengasuhan orang tua yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berbeda dari perilaku remaja yang dijelaskan sebagai berikut. a. Pengasuhan Bergaya Otoritarian (Authoritarian Parenting)

Pola asuh seperti ini merupakan jenis pola asuh yang hanya berjalan dari satu arah saja, yaitu dari orang tua. Di mana anak harus selalu mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan usaha-usaha yang telah dilakukan orang tua. Remaja yang dibesarkan oleh orang tua otoritarian sering kali cemas terhadap perbandingan sosial, kurang memperlihatkan inisiatif, dan lebih buruknya lagi anak akan memiliki keterampilan berkomunikasi yang buruk. Hal yang sama di ungkapkan oleh Shapiro (dalam Jannah, 2012: 4), bahwa orang tua otoriter berusaha menjalankan rumah tangga yang didasarkan pada struktur dan tradisi, walaupun dalam banyak hal tekanan mereka keteraturan dan pengawasan membebani anak. Anak tidak diberi ruang untuk memilih sendiri apa yang menjadi kesukaannya dan apa yang diharapkan oleh anak tersebut.

b. Pengasuhan Bergaya Otoritatif (Authoritative Parenting)

(10)

hangat dan mengasuh. Pengasuhan orang tua yang otoritatif berkaitan dengan perilaku remaja yang kompeten secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial. Shapiro menambahkan (dalam Jannah, 2012: 4), bahwa dalam hal belajar, orang tua otoritatif menghargai kemandirian, memberikan dorongan, dan pujian.

c. Pengasuhan Bergaya Melalaikan (Neglectful Parenting)

Gaya pengasuhan ini merupakan sebuah gaya di mana orang tua tidak terlibat dalam kehidupan remaja. Apapun yang dipilih atau dilakukan oleh remeja, orang tua tidak peduli dengan yang remaja lakukan. Orang tua cenderung memikirkan dirinya sendiri. Pengasuhan orang tua yang bersifat lalai berkaitan dengan perilaku remaja yang tidak kompeten secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian diri. Remaja yang orang tuanya lalai biasanya tidak kompeten secara sosial, memperlihatkan pengendalian diri yang buruk dan tidak menyikapi kebebasan dengan baik. Jannah (2012: 4) menjelaskan bahwa orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak, orang tua pada pola asuh ini mengembangkan perasaan bahwa aspek-aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada anak-anak.

d. Pengasuhan yang Memanjakan (Indulgent Parenting)

(11)

yang diinginkan oleh anak, akan selalu diberikan oleh orang tuanya tanpa melihat sebelumnya apakah hal tersebut baik untuk mereka atau tidak. Akibatnya, remaja tersebut tidak pernah belajar untuk mengendalikan perilakunya sendiri dan selalu berharap agar kemauannya diikuti. Pengasuhan orang tua yang memanjakan berkaitan dengan rendahnya kompetensi sosial remaja, khususnya yang meyangkut pengendalian diri.

4. Dampak Wanita Karier

Bekerja dalam Islam merupakan hak setiap muslim secara mutlak, tidak ada perbedaan antara anak kecil dan orang tua, laki-laki atau perempuan. Pekerjaan terbuka pada pergulatan hidup di hadapan mereka, selama mereka menyukainya (Al-Kurdi, tanpa tahun: 212). Seperti sekarang ini, banyak wanita yang memilih untuk menjadi wanita karier. Wanita telah mendapatkan kesempatan yang luas untuk mengembangkan diri. Oleh sebab itu, banyak pekerjaan dan jabatan penting di masyarakat tidak lagi dimonopoli oleh kaum laki-laki (Harun & Rifqoh, 2016: 4).

Masalah wanita yang bekerja merupakan masalah yang sangat kompleks, sebab akan ada dampak positif maupun negatif yang berpengaruh langsung kepada mereka (Maghfiroh, 2005: 20), adapun dampak yang ditimbulkan di antaranya:

a. Dampak Positif

(12)

Menjadi wanita karier sudah merupakan profesi yang sangat lazim untuk dijalani. Selain dapat mengembangkan diri, kedudukan wanita atau ibu di dalam masyarakat pun secara otomatis akan terangkat secara sosial. Keuntungan lain juga akan dirasakan anak ketika seorang wanita harus memposisikan diri sebagai wanita karier (Zizousari & Chan, 2016: 103). Lebih jauh lagi, Zizousari & Chan (2016, 103-106) menyebutkan keuntungan menjadi wanita karier yaitu sebagai berikut. 1) Wanita Dapat Mendidik Anak Lebih Mandiri

Pastinya seorang ibu tidak akan pernah bosan menasehati anak ketika mereka harus berada di rumah sendiri. Sebelum ibu berangkat kerja dan sebelum mereka berpisah saat mengantar sekolah, berbagai nasihat pasti akan disampaikan. Tanpa disadari anak akan lebih mandiri dari usianya. Harun & Rifqoh (2016: 8) menambahkan bahwa anak yang dibesarkan dari wanita karier biasanya lebih mandiri dan memiliki kemampuan problem solving

yang lebih baik.

2) Wanita Dapat Lebih Berekspresi

(13)

Editor Gallup.com Elizabeth Mendes (dalam Zizousari & Chan, 2016: 103), wanita yang bekerja dapat terhindar dari stres, khawatir, sedih, serta akan selalu menerima energi positif.

3) Wanita Menjadi Lebih Dekat Dengan Anak

Ada beberapa cara yang dapat membuat hubungan ibu dengan anak tetap dekat walaupun ibu sibuk bekerja. Berikan pelukan hangat sebagai bentuk kasih sayang dan kumpul bersama keluarga ketika akhir pekan. Harun & Rifqoh (2016: 5-6) menambahkan ketika seorang wanita memilih untuk berkarier akan memiliki waktu sedikit untuk melihat perkembangan anak. Namun menjaga komunikasi merupakan solusi dari permasalahan tersebut, dengan Quality Time akan menggantikan banyaknya waktu yang telah hilang.

4) Wanita Bekerja, Anak Lebih Berprestasi

(14)

Menurut Harun & Rifqoh dalam Super Mom (2015: 8) menyebutkan dampak positif dari seorang wanita yang memilih untuk berkarier, yaitu:

1) mendapatkan penghasilan yang lebih atau bisa menambah uang bulanan,

2) mengisi waktu luang dengan sesuatu yang berguna, 3) dengan bekerja akan meningkatkan rasa percaya diri, dan 4) wanita yang bekerja akan lebih sadar soal merawat diri.

Berbeda halnya dengan Qomar (2015: 11-12), bahwa kelebihan keluarga karier antara lain:

1) potensi keuangan cukup baik untuk kehidupan rumah tangga maupun untuk pembiayaan pendidikan,

2) terdapat penyaluran kebudayaan yang positif dan cukup tinggi, 3) pemberian wawasan kehidupan yang memadai,

4) pengarahan yang strategis,

5) memiliki orientasi masa depan yang kuat,

6) tumbuhnya rasa percaya diri (self confident), dan 7) memiliki kualitas waktu yang baik.

b. Dampak Negatif

(15)

dan istri di dalam keluarga. Tugas kantor yang menyita banyak waktu dan lelah yang menghampiri wanita karier membuat wanita ketika di rumah dihabiskan untuk beristirahat (Rambitan,2014: 15-16).

Adapun dampak negatif yang dihasilkan dari wanita karier di

3) perilaku anak di rumah sering tidak terkontrol oleh orang tuanya, 4) ada kecenderungan anak mencari pelampiasan sendiri di luar

rumah,

5) anak mudah tergoda oleh berbagai hiburan terutama untuk keluarga yang terdapat di kota-kota besar, dan

6) tidak jarang anak terlibat dalam tindakan kenakalan.

As-Sya‟rawi (2005: 138-139), menjelaskan bahwa dengan keluarnya wanita untuk bekerja, maka hilanglah generasi-generasi umat di masa yang akan datang. Anak-anak telah kehilangan kasih sayang dan asuhan seorang ibu. Hal tersebut membuat mereka tertimpa kelainan jiwa dan berimbas pada moralitas mereka ketika menginjak usia dewasa. Kasih sayang seorang pengasuh dan guru yang baik tidak dapat menyamai kasih sayang alami seorang ibu, karena Allah telah meletakkan unsur-unsur cinta, kasih sayang, perhatian, dan cara pengasuhan yang benar. Kekurangan kasih sayang dari seorang ibu membuat anak menjadi bimbang, sehingga anak-anak memiliki temperamen yang keras dan tidak dapat diubah.

„Ulwan menambahkan dalam Tarbiyatul Aulad Fil Islam

(16)

hati orang tua adalah rasa kasih sayang kepada anak-anak. Jika hati yang tidak memiliki kasih sayang akan membuat sifat keras dan kasar. Tidak mustahil dari sifat-sifat yang buruk inilah akan menimbulkan perilaku-perilaku menyimpang pada anak-anak, membawa pada dekadensi moral, kebodohan, dan kesusahan. Sehingga tidak heran jika sering melihat anak-anak dari wanita karier yang sering melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan kenakalan remaja.

Keluarnya wanita untuk bekerja di luar rumah telah menjadi unsur penghancur kehidupan manusia. Wanita karier telah menyebabkan kekosongan dan kematian keindahan hidup sebuah keluarga. Oleh karena itu, wanita harus memilih antara dua pilihan, yaitu menjadi seorang ibu atau menjadi wanita karier. Ketika wanita keluar rumah untuk berkarier, mereka akan memetik hasilnya. Melihat anak-anaknya tumbuh tidak seimbang karena kehilangan kasih sayang dan cinta kasih dari seorang ibu. Lebih buruknya lagi, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang kurang bisa diandalkan oleh agama, negara, masyarakat bahkan keluarganya sendiri (As-Sya‟rawi, 2005: 142-143).

B. Perilaku Keagamaan

(17)

(abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan (maturity). Kematangan beragama terlihat dari kemampuan seseorang untuk memahami, menghayati, serta mengaplikasikan nilai-nilai luhur agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Keyakinan itu ditampilkan dengan sikap dan tingkah laku keagamaan yang mencerminkan ketaatan terhadap agamanya. Jika kita melihat orang dalam perilaku keagamaannya baik, maka dia sudah dipastikan memiliki kematangan beragama yang bisa dikatakan layak dalam kehidupan yang dijalaninya. 1. Pengertian Perilaku Keagamaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (kbbi.web.id). Perilaku merupakan manifestasi dari respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus lingkungan sosial tertentu. Perilaku termasuk dalam domain psikomotor. Neong Muhadjir menjelaskan perilaku tidak sekedar psikomotor, tetapi merupakan performance kecakapan. (Hakim, 2012: 4).

(18)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keagamaan berasal dari kata dasar agama yang artinya ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan terhadap Allah serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Jadi, keagamaan artinya yang berhubungan dengan agama (kbbi.web.id). Sedangkan menurut Harun Nasution (Jalaluddin, 2015: 10), agama adalah mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan yang memengaruhi perbuatan-perbuatan manusia.

Keagamaan (religiusitas) merupakan ketaatan dalam melakukan aktivitas agama yang dianutnya. Dalam kaitannya dengan tingkah laku keagamaan, dalam diri manusia telah diatur semacam sistem kerja untuk menyelaraskan tingkah laku manusia agar tercapai ketentraman dalam batinnya. Tingkah laku keagamaan merujuk pada agama sebagai tolak ukurnya. Keyakinan terhadap agama yang dianut akan mendorong seseorang dalam berperilaku sesuai dengan agama yang dianutnya. Jadi, perilaku keagamaan adalah suatu tindakan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, atau manusia dengan alam lingkungan (Suriati, 2014: 6-7).

(19)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku keagamaan adalah perilaku seseorang tentang keyakinan terhadap Allah yang diwujudkan dalam bentuk nilai-nilai agama yang dianutnya dengan selalu melakukan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.

2. Bentuk-Bentuk Perilaku Keagamaan

Menurut gambaran Elizabeth K. Notingham (dalam Jalaluddin, 2015: 275), agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna dan juga perasaan takut. Meskipun perhatian tertuju kepada adanya dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari-hari di dunia. Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Dengan agama yang dianut maka seseorang akan memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia tersebut sebagai manusia dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat yang akan membawa pengaruh baik bagi kelangsungan hidupnya, baik selama di dunia maupun untuk kelangsungan di akhirat.

Menurut Glock dan Stark (Idrus, 2014: 5-6), terdapat lima dimensi keagamaan dalam mengkaji ekspresi keagamaan yaitu:

a. Dimensi Keyakinan

(20)

Dalam agama Islam, dimensi keyakinan diwujudkan dengan pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat (syahadatain). Dimensi keyakinan menuntut dilakukannya praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Menurut Ilyas (2009: 3), bila seseorang sudah meyakini suatu kebenaran, dia harus menolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu. Artinya seseorang tidak akan bisa meyakini sekaligus dua hal yang bertentangan.

b. Dimensi Praktek atau Ritualistik Agama

Dimensi praktek dalam Islam dapat seperti menjalankan ibadah salat, puasa, zakat, ibadah haji ataupun praktek muamalah lainnya. Unsur ketaatan dalam menjalankan aktivitas tersebut memang diharapkan muncul dalam diri setiap orang yang menjalankannya. Dijelaskan oleh Hajaroh (1998: 4), dimensi praktek adalah partisipasi dan ketaatan pada acara ibadah atau hal yang menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya.

c. Dimensi Pengalaman

(21)

d. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini secara erat terkait dengan dimensi keyakinan, karena salah satu syarat yang harus dimiliki bagi penerimaan satu ajaran adalah dimilikinya seperangkat pengetahuan tentang ajaran agama hal yang bersangkutan. Hajaroh (1998: 4) menerangkan bahwa dimensi pengatahuan agama menggambarkan seberapa jauh orang yang beragama mengetahui doktrin (dasar-dasar keyakinan), ritus-ritus, tradisi-tradisi, dan norma-norma agama yang dianutnya.

e. Dimensi Konsekuensi

Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan agama, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang. Sedangkan Hajaroh (1998: 4) menjelaskan bahwa dimensi konsekuensi menunjukkan seberapa jauh komitmen dan perilaku kehidupan sesuai dan selaras dengan dimensi lainnya.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa objek kajian dalam dimensi keagamaan meliputi dimensi keyakinan, dimensi praktek, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi konsekuensi. Selanjutnya berkaitan dengan penelitian ini, peneliti membatasi perilaku keagamaan subjek berdasarkan aspek nilai-nilai ajaran Islam yang dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) keyakinan (aqidah), (2) praktek agama (ibadah), dan (3) akhlak (Hakim, 2012: 3).

(22)

praktek membahas tentang ibadah salat, serta dimensi akhlak membahas tentang jujur. Berikut penjelasannya:

a. Dimensi keyakinan meliputi iman kepada Allah sebagaimana dijelaskan berikut ini:

1) Iman Kepada Allah

Iman kepada Allah SWT berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah itu nyata, Allah Maha Esa. Kemudian diucapkan dengan kalimat syahadat, sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan, harus diikuti dengan perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah SWT (Fatoni, 2013: 32). Iman kepada Allah merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam. Iman kepada Allah merupakan bentuk keimanan yang pertama dan utama yang menyalurkan kepada keimanan selanjutnya.

(23)

b. Dimensi praktek meliputi ibadah salat, berikut penjelasannya: 1) Salat

Salat merupakan ibadah langsung yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Secara bahasa, salat artinya doa. Sedangkan secara istilah, salat adalah suatu amalan yang dilakukan dengan perkataan dan gerakan tertentu yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan salam (Jamaluddin, 2013: 81).

Allah berfirman:

"Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah: 43)

c. Dimensi akhlak meliputi jujur, berikut penjelasannya: a) Jujur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, jujur artinya lurus hati, tidak bohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas (kbbi.web.id). Jujur adalah perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan kebenaran. Jujur merupakan induk dari sifat terpuji. Jujur juga disebut dengan benar, sesuai dengan kenyataan serta mengatakan

sesuatu dengan apa adanya (Rachmat Safe‟I, 2000: 77).

Allah berfirman:

(24)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keragamaan

Agama menyangkut kehidupan batin manusia. kesadaran agama dan pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula muncul sikap keagamaan yang ditampilkan seseorang. Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Jika manusia memiliki ketaatan yang baik, maka dalam berperilaku juga akan baik. Mereka akan berperilaku sesuai dengan aturan yang ada dalam agama yang dianutnya. Semua itu terdapat faktor-faktor yang melatarbelakangi ketaatan terhadap ajaran agama yang dianutnya (Jalaluddin, 2015: 263).

Dalam buku Jalaluddin (2015: 265) menyebutkan bahwa sikap keagamaan terbentuk oleh dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

a. Faktor Intern

Secara garis besar, faktor yang ikut berpengaruh terhadap perkembangan keagamaan seseorang antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan.

1) Faktor Hereditas

(25)

turun-temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan, akan menimbulkan rasa bersalah dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan yang berdampak pada perilaku keberagamaan seseorang sebagai unsur hereditas (Jalaluddin, 2015: 265-266).

2) Tingkat Usia

Ernest Harms (Jalaluddin, 2015: 267) mengungkapkan bahwa perkembangan agama anak ditentukan oleh tingkat usia mereka. Perkembangan tersebut dipengaruhi pula oleh perkembangan berbagai aspek kejiwaan termasuk perkembangan berfikir. Tingkat perkembangan usia dan kondisi yang dialami remaja menimbulkan konflik kejiwaan, yang cenderung mempengaruhi terjadinya konversi agama. Jika usia anak sudah cukup, maka akan memperoleh pengetahuan agama akan lebih mudah diterimanya.

3) Kepribadian

(26)

faktor kepribadian menurut Costa & Mc Crae (Wardani & Suseno, 2012: 4) yaitu sifat-sifat dasar kepribadian individu yang saling terkait yang tersusun dengan lima ciri sifat utama yang luas di dalamnya, seperti exstravision, neuroticism, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness.

Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter (Jalaluddin, 2015: 267-268).

4) Kondisi Kejiwaan

(27)

b. Faktor Ekstern

Manusia sering disebut dengan homo religious (makhluk beragama). Pernyataan tersebut menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama. Jadi manusia dilengkapi potensi berupa kesiapan untuk menerima pengaruh luar sehingga dirinya dapat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perilaku keagamaan (Jalaluddin, 2015: 270).

Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan, yaitu:

1) Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai salah satu lembaga pendidikan pertama yang dilalui oleh seseorang. Lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap perilaku seseorang dalam segala hal. Sigmund Freud dengan konsep Father Image (citra kebapaan) menyatakan bahwa perkembangan jiwa keagamaan anak dipengaruhi oleh citra anak kepada bapaknya. Jika seorang bapak menunjukan sikap dan perilaku yang baik, maka anak akan cenderung mengidentifikasikan sikap dan tingkah laku. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan (Jalaluddin, 2015: 270-271).

(28)

hidupnya. Pengalaman-pengalaman yang diserap masa kecilnya sangat berpengaruh pada perilaku individual dan perilaku sosialnya dalam pergaulan hidup di tengah masyarakat. Apalagi masa kecil merupakan masa emas bagi penanaman, pembentukan, dan pengembangan intelektual, perilaku, kebiasaan, dan karakter seseorang (Qomar, 2015: 1)

2) Lingkungan Institusional

Menurut Singgih D. Gunarsa, pengaruh itu dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu a) kurikulum dan anak, b) hubungan guru dan murid, dan c) hubungan antar anak. Dalam ketiga kelompok tersebut secara umum tersirat unsur-unsur yang menopang pembentukan tersebut seperti ketekunan, kedisiplinan, kejujuran, simpati, sosiabilitas, toleransi, keteladanan, sabar, dan keadilan, perlakuan dan pembiasaan bagi pembentukan sifat seperti itu umumnya menjadi bagian dari program pendidikan di sekolah (Jalaluddin, 2015: 271).

(29)

3) Lingkungan Masyarakat

Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan, dan lingkungan masyarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka (Jalaluddin, 2015: 258-259). Lingkungan masyarakat yang agamis akan membantu dalam menciptakan jiwa keagamaan seseorang atau memperkuat keagamaan seseorang. Sedangkan lingkungan masyarakat yang non agamis mungkin dapat menghilangkan jiwa keagamaan yang ada dalam diri sendiri. Fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri (Jalaluddin, 2015: 272).

C. Hasil Penelitian Terdahulu

(30)

penelitiannya, penulis dapat menyimpulkan bahwa perhatian orang tua pada pendidikan agama memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku keberagamaan peserta didik Di MTs Darul Ulum Wates Ngaliyan Semarang tahun pelajaran 2011/2012. Terbukti berdasarkan analisis regresi satu predictor yaitu bahwa Ftabel pada taraf signifikan 5% = 4,08 dan pada taraf signifikan 1% = 7,31%. Maka nilai Freg sebesar 21,596 lebih besar dari Ftabel, baik pada taraf signifikan 5% maupun 1%.

Penelitian tersebut lebih mengacu kepada perhatian orang tua, baik orang tua yang bekerja maupun tidak bekerja. Dan penelitian tersebut merupakan penelitian kuantitatif. Sedangkan penelitian saya lebih mengacu terhadap strategi yang digunakan wanita karier dalam membentuk perilaku, dan jenis penelitian yaitu kualitatif. Namun persamaannya terletak pada hasil yang diperoleh yaitu sama-sama meneliti tentang perilaku keagamaan.

(31)

mudah membentuk Kecerdasan Emosi (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) anak.

Penelitian tersebut hanya meneliti tentang peran dari keluarga untuk membangun karakter anak, sedangkan penelitian saya tentang strategi atau cara yang digunakan oleh wanita karier dalam membentuk perilaku keagamaan anak. Persamaan yang nampak yaitu pada anak sebagai subjek penelitian dan sama-sama meneliti di keluarga.

3. Penelitian dengan judul “Pola Asuh Orang Tua Karier Dalam Mendidik Anak (Studi Kasus Keluarga Sunaryadi, Komplek TNI AU Blok K No 12

Lanud Adisutjipto Yogyakarta)” oleh Akmal Janan Abror dari FAI UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2009. Penulis meneliti tentang deskripsi dan analisis secara kritis tentang penerapan pola asuh orang tua karier di keluarga Sunaryadi dalam mendidik anak, faktor penghambat dan pendukung. Dan hasil dari penelitian tersebut bahwa (1) Pola asuh yang diterapkan oleh keluarga Sunaryadi adalah pola asuh demokratis. (2) Faktor pendukung adalah keadaan ekonomi orang tua, pengalaman, pendidikan, keadaan anak, bantuan dari pihak lain, dan lingkungan yang representatif. Faktor penghambat yaitu pekerjaan yang menyita banyak waktu dan kelelahan, keterbatasan pemahaman agama. (3)

(32)

Persamaannya ada pada jenis penelitian yang sama menggunakan penelitian kualitatif dan menggunakan anak sebagai subjek penelitian. 4. Penelitian dengan judul “Wanita Karier dan Keluarga (Studi atas

Pandangan Para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di Kota Yogyakarta Tahun2004-2009)” yang disusun oleh Heri Purwanto dari

Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 2010.

Penulis meneliti tentang bagaimanakah pandangan anggota dewan perempuan di Kota Yogyakarta terhadap wanita karier di DPRD. Hasil penelitiannya adalah menjelaskan bentuk dan kiat-kiat para anggota DPRD untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis walaupun anggota dewan mempunyai tugas yang banyak di dalam menyelesaikan persoalan dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kadang dalam kesehariannya, mereka hanya bertatap muka dengan keluarga tidak kurang dari 3-5 jam. Jika ini tidak disikapi dengan baik, maka bisa saja keluarga itu akan hancur dan banyak masalah di dalamnya.

Referensi

Dokumen terkait

Gigi tiruan sebagian lepasan merupakan pergantian gigi yang mengenai sebagian dari lengkung gigi dan jaringan sekitarnya, dapat terjadi pada rahang atas maupun

Tata Usaha pada UPTD Tindak Darurat Dinas Cipta Karya dan Tata Kota Samarinda Eselon

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau

Berdasarkan hasil dari penelitian yang dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Deskripsi kemampuan

untuk mengidentifikasi panjang yang tepat, klik di sini ), sesuai dengan rantai roller sekitar sprockets dan membawa ujung bebas bersama-sama ke salah satu sprocket,

Kesimpulan, tidak terdapat hubungan bermakna antara posisi duduk dengan kejadian nyeri punggung bawah pada tenaga kependidikan Fakultas Kedokteran

Penulisan skripsi ini dibagi dalam enam bab, terdiri dari Bab I Pendahuluan, Bab II Landasan Teori, Bab III Metode Penelitian, Bab IV Gambaran Umum Emiten yang Diteliti, Bab V

Beberapa dampak negatif yang timbul diantaranya keluarga terpecah karena suami istri sibuk bekerja dan anak-anak menjadi terlantar, istri menjadi terlalu lelah