• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis Hidrologi

Data hidrologi dianalisis untuk membuat keputusan dan menarik kesimpulan mengenai fenomena hidrologi berdasarkan sebagian data yang dikumpulkan. Untuk perencanaan hidrolis bangunan utama bendung, analisis hidrologi yaitu untuk menentukan debit banjir rencana.

Ada tiga macam cara yang umum dipakai dalam menghitung hujan ratarata kawasan: rata-rata aljabar, poligon Thiessen, dan isohyet. Dalam hal ini cara yang digunakan adalah Metode Poligon Thiessen, dengan mempertimbangkan tiga factor berikut (Suripin, 2004):

a) Jaring-jaring pos penakar hujan dalam DAS. b) Luas DAS.

c) Topografi DAS

a) Jaring-jaring pos penakar hujan

2.1 Penggunaan metode berdasarkan jaring-jaring pos penakar hujan

Jumlah pos penakar hujan cukup Metode isohyet, Thiessen atau ratarata aljabar dapat dipakai Jumlah pos penakar hujan terbatas Metode rata-rata aljabar atau Thiessen Pos penakar hujan tunggal Metode hujan titik

(2)

b) Luas DAS

2.2 Penggunaan metode berdasarkan luas DAS

DAS besar (> 5000 km2) Metode isohyet DAS sedang (500 s/d 5000 km2) Metode Thiessen DAS kecil (< 500 km2) Metode rata-rata aljabar

c) Topografi DAS

2.3 Penggunaan metode berdasarkan topografi DAS

Pegunungan Metode rata-rata aljabar

Dataran Metode Thiessen

Berbukit dan tidak beraturan Metode isohyet

2.1.1 Hujan Rata-Rata Sesuatu Daerah

Sebelum menuju ke pembahasan tentang hidrograf terlebih dahulu kita harus memahami tentang hujan rata-rata sesuatu daerah. Kalau dalam suatu daerah ada satu tempat, dimana diketahui besarnya curah hujan (karena di tempat ini ditempatkan takaran hujan –titik 0), berlakulah tinggi air hujan ini dibuat titik 0 atau dengan kata lain apakah untuk daerh itu tinggi hujannya sama? Jawabannya ialah: tidak dan ini telah dibuktikan oleh penyelidikan Melchior. Andaikata 0 adalah pusatnya hujan, maka tinggi air hujannya makin menjauh dari titik 0 makin berkurang dan titik-titik dengan tinggi air hujan sama merupakan lingkaran dengan titik pusatnya 0 sebagai pusat lingkaran.

(3)

Gambar 2.1 Gambar Punggung Kontur

Dengan memakai sumbu Y dan X melalui titik 0 dalarn satu bidang lengkung pengaruh dirumuskan : Y = 1 + 2 35 , 0 1 59 X  (2.11)

hingga; kalau ada titik X, dari pusat 0, maka : a. tinggi hujan pada jarak XI adalah :

Y1 = 1 + 2 1 35 , 0 1 59 X

(Sumber: Diktat Hidrologi-6) --- = batas daerah pematusan

(4)

pengaruh dari titik 0 dan M.

Gambar 2.2 Garis Bagi Pengaruh Titik

Jika dititik M hujannya lebih tinggi dari titik 0 apakah garis sama pengaruh ini akan bergeser ke arah 0 ? Pertanyaan kedua adalah, apakah tempat tempat takaran selalu tempat pusat hujan ? Karena uraian diatas masih kurangnya pengetahuan dalam bentuk pengaruh pusat hujan, maka untuk menghitung hujan rata-rata ditempuh jalan lain.

2.1.2 Cara Perhitungan Dengan Memakai “Rata-Rata Hujan”

Dengan tinggi hujan, h1, h2, h3 dan banyaknya station n, maka :

hrata-rata = n h h h123 ... (2.12)

(5)

Gambar 2.3 Contoh Titik Stasiun Hujan

dengan ketentuan tinggi hujan di : A = 4 mm/etmal F = 4 mm/ etm. B = 8 mm/etmal G = 3 mm' etm. C = 10 mm/etmal H = 14 mm/ etm. D = 4 mm/etmal I = 8 mm/ etm. E = 5 mm/etmal M = 7 mm/ etm. 4 + 8 + 10 + 4 + 5 + 4 + 3 + 10 + 8 + 7 Terdapat harga rata-rata =

(6)

2.1.2.1 Cara Segitiga

Stasiun-stasiun hujan dihubungkan hingga terbentuk jaringan segitiga, hujan rata-rata untuk tiap segitiga sama dengan dikalikan sepertiga jumlah tinggi hujan yang merupakan titik sudut segitiga atau secara umum :

3 C B A ABC e h h h x F q    (2.13) F h h h x F h C B A ABC rata          3  (2.14)

A B C

ABC rata h h h F F h     3 1 (2.15)

(7)

Tabel 2.4 Contoh Perhitungan Cara Segitiga  Q MFG MGB MBC MCH MHI MIE MFF FGH BCH HID AFE AGB CHD DHE 7 + 4 + 3 = 14 7 + 3 + 8 = 18 7 + 8 + 10 = 25 7 + 10 + 14 = 31 7 + 14 + 8 = 29 7 + 8 + 5 = 20 7 + 5 + 4 = 16 4 + 3 + 14 = 21 8 + 10 + 14 = 32 14 + 8 + 4 = 26 4 + 4 + 5 = 13 4 + 3 + 8 = 15 10 + 4 + 4 = 14 4 + 14 + 5 = 23 8 7 6 7 9 10 11 9 4 10 9 5 4 1 1,12 1,26 1,50 2,17 2,61 2,00 1,76 1,89 1,24 1,60 2,17 0,75 0,56 0,23  100% 20,42

(Sumber: Diktat Hidrologi-6)

2.1.2.2 Cara Thiesen

Sebagai dasar Thiesen mengambil garis bagi antara dua stasiun hujan dan dalam daerah yang dibatasi oleh garis bagi ini berlaku besarnya hujan dari stasiun di dalamnya.

(8)

Gambar 2.5 Contoh Cara Thiesen

Tabel 2.5 Contoh Cara Thiesen

(Sumber: Diktat Hidrologi-6)

2.1.2.3 Cara Isohyet

Dengan adanya pengukuran berbagai stasiun, maka diusahakan menarik garis sama tinggi hujan dan seterusnya harga rata tinggi hujan ditentukan.

(9)

Gambar 2.6 Contoh cara Isohyet Tabel 2.6 Contoh Cara Isohyet Luas km2 Luas relatif % Isotach

rata-rata mm Tinggi hujan mm 3 3 14 0,42 15 15 12 1,80 20 20 9 1,80 25 25 6,5 1,63 12 12 4,5 0,54 10 10 3,5 0,35 15 15 3 0,45 100 100% 6,99

Cara memakai koefisien 

maksimum rata rata h h   (2.16) 1970

(10)

2.1.3 Analisa Frekuensi

Hujan rencana adalah hujan harian maksimum yang akan digunakan untuk menghitung intensitas hujan. Untuk mendapatkan curah hujan rancangan (Rt) dilakukan melalui analisa frekuensi antara lain:

2.1.3.1 Metode Distribusi Normal

(2.17)

keterangan:

XT = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun X = rata-rata hitung variat

Sx = standard deviasi

k = faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss)

2.1.3.2 Metode Distribusi Log Normal

(2.18) keterangan:

X = nilai variat pengamatan Slog X = standart deviasi dari logaritma n = jumlah data

(11)

log X = logaritma rata-rata k = faktor frekuensi

2.1.3.3 Metode Distribusi Frekuensi Gumbel

(2.19)

keterangan:

XT = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun X = rata-rata x maksimum dari seri data Xi

k = faktor frekuensi

Yn, Sn = besaran yang mempunyai fungsi dari jumlah pengamatan Yt = reduksi sebagai fungsi dari probabilitas

n = jumlah data

2.1.3.4 Metode Distribusi Frekuensi Log Person Type III

Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson Type III adalah dengan mengkorvesikan rangkaian datanya menjadi bentuk logaritmis.

(12)

Nilai X bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan:

keterangan:

log X = logaritma rata-rata

Slog X = standart deviasi dari logaritma Cs = koefisien kemencengan

k = faktor frekuensi

n = jumlah dataketerangan:

XT = besarnya curah hujan yang terjadi dengan kala ulang T tahun X = rata-rata hitung variat

Sx = standard deviasi

k = faktor frekuensi (nilai variabel reduksi Gauss)

2.1.4 Penentuan Debit Banjir Rencana dengan Metode Unit Hydrrograph

Metode hidrograf satuan sintetis adalah metode yang populer digunakan dan memainkan peranan penting dalam banyak perencanaan di bidang sumber daya air khususnya dalam analisis debit banjir DAS yang tidak terukur. Metode ini sederhana, karena hanya membutuhkan data-data karakteristik DAS seperti luas DAS dan panjang sungai dan dalam beberapa kasus dapat juga mencakup

(13)

karakteristik lahan digunakan. Oleh karena itu, metode ini merupakan alat berguna untuk mensimulasikan aliran dari DAS tidak terukur dan daerah aliran sungai mengalami perubahan penggunaan lahan.

Menurut definisi hidrograf satuan sintetis adalah hidrograf limpasan langsung (tanpa aliran dasar) yang tercatat di ujung hilir DAS yang ditimbulkan oleh hujan efektif sebesar satuan (1 mm, 1 cm, 1 inchi) yang terjadi secara merata di seluruh DAS dengan intensitas tetap dalam suatu satuan waktu (misal 1 jam) tertentu. Beberapa asumsi dalam penggunaan hidrograf satuan adalah sebagai berikut:

1. Hujan efektif mempunyai intensitas konstan selama durasi hujan efektif. Untuk memenuhi anggapan ini maka hujan deras untuk analisis adalah hujan dengan durasi singkat.

2. Hujan efektif terdistribusi secara merata pada seluruh DAS. Dengan anggapan ini maka hidrograf satuan tidak berlaku untuk DAS yang sangat luas, karena sulit untuk mendapatkan hujan merata di seluruh DAS.

Karakteristik bentuk hidrograf yang merupakan dasar dari konsep hidrograf satuan.

(14)

Gambar 2.7 Prinsip Hidrograf Satuan

Prinsip penting dalam penggunaan hidrograf satuan dapat sebagai berikut:

1. Lumped response: hidrograf menggambarkan semua kombinasi dari karakteristik fisik DAS yang meliputi (bentuk, ukuran, kemiringan, sifat tanah) dan karakteristik hujan.

2. Time invariant: hidrograf yang dihasilkan oleh hujan dengan durasi dan pola yang serupa memberikan bentuk dan waktu dasar yang serupa pula.

(15)

3. Linear response: respons limpasan langsung dipermukaan (direct run off) terhadap hujan effektif bersifat linear, sehingga dapat dilakukan superposisi hidrograf.

Dan untuk mengembangkan hidrograf satuan sintetis, beberapa metoda telah tersedia. Beberapa metoda hidrograf satuan sintetis seperti cara nakayasu, snyder-alexeyev sangat populer dan umum digunakan di Indonesia untuk menghitung debit puncak dan bentuk hidrograf banjir.

2.1.5 Metode Nakayasu

Dalam kaitannya dengan studi tentang sumber daya air, hidrologi mempunyai peranan yang sangat penting. Salah satu faktor yang berperan adalah data hidrologi, kita dapat mengetahui besarnya debit rencana sebagai dasar perencanaan bangunan air. Adapun aspek hidrologi yang perlu dikaji pertama-tama adalah curah hujan daerah rata-rata harian maksimum.

Untuk mendapatkan gambaran mengenai distribusi curah hujan di seluruh daerah aliran sungai, maka di berbagai tempat pada suatu daerah aliran sungai tersebut dipasang alat pengukur curah hujan. Untuk menghitung besarnya curah hujan daerah dalam penulisan ini dilakukan dengan metode rerata aritmatik. Rumus perhitungan curah hujan rata-rata adalah:

Rn = (p1 + p2 + ... + pn)/n (2.21)

Dimana p1, p2, p3, hingga pn adalah stasiun yang dilengkapi alat pengukur curah hujan. Contoh stasiun hujan terlihat pada gambar 2.2.

(16)

Gambar 2.8 Contoh Stasiun Hujan

Curah hujan rancangan adalah hujan terbesar tahunan dengan suatu kemungkinan tertentu atau hujan dengan suatu kemungkinan periode ulang tertentu. Dalam analisis curah hujan rancangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti Normal, Log Normal, Pearson, Log Pearson tipe III, dan gumbel.

Tabel 2.7 Persyaratan Parameter Statistik Suatu Distribusi.

(Sumber: Hadidhy, 2010)

Uji distribusi probabilitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah persamaan distribusi probabilitas yang dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data

(17)

analisis. Pengujian distribusi probabilitas dapat dilakukan dengan metode Chi-kuadrat(X2).

Untuk memperoleh angka-angka kemungkinan besaran debit banjir pada banjir yang diakibatkan oleh luapan sungai, analisis dilakukan dengan menggunakan data banjir terbesar tahunan atau curah hujan terbesar tahunan yang sudah terjadi. HSS merupakan metode yang tepat untuk menghitung debit banjir karena dari perhitungan HSS akan menghasilkan nilai debit tiap jam dan pada saat hujan mulai turun, waktu puncak banjir hingga akhir banjir, dibanding dengan metode empiris. Dalam hal ini penulis menggunakan metode HSS Nakayasu.

Dengan rumusan sebagai berikut:

Tl = 0,21 L0,7 dengan L < 15 km (2.22) Tl = 0,527 + 0,058 L dengan L > 15 km (2.23)

Tp = Tl + 0,5 Tr (2.24)

Dimana:

Tl = Time lag (jam) L = panjang sungai (km) Tp = waktu puncak (jam) Qp = C A R/3,6 (0,3 Tp + 0,3) Tg = 0,21 L0,7 dengan L < 15 km Tg = 0,4 + 0,058 L dengan L > 15 km Tr = 0,75 Tg T0,8 = 0,8 Tr Tp = Tg + 0,8 Tr

(18)

2.1.6 Metode Snyder

Untuk mendapatkan suatu hidrograf satuan seperti diuraikan dengan prosedur tertentu perlu tersedia data yang baik, yaitu data AWLR, data pengukuran debit, data hujan harian, dan data hujan jam-jaman. Yang menjadi masalah adalah bahwa karena berbagai sebab data ini sangat sulit diperoleh atau tidak tersedia. Untuk mengatasi hal ini maka dikembangkan suatu cara untuk mendapat hidrograf satuan tanpa mempergunakan data tersebut. Salah satu cara tersebut dikembangkan oleh F.F. Snyder dari Amerika serikat pada tahun 1983 yang memanfaatkan parameter DAS yang diteliti oleh Snyder berada di dataran tinggi.

Snyder mengembangkan model dengan koefisien-koefisien empirik yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik DAS. Hal tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa pengalihragaman hujan menjadi aliran baik pengaruh translasi maupun tampungannya dapat dijelaskan dipengaruhi oleh sistem DAS-nya.

Hidrograf satuan tersebut ditentukan dengan unsur yang antara lain Qp (m3/detik), Tb (jam), dan tp (jam) dan tr (jam).

Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan: A = luas DAS (km2)

L = panjang aliran sungai utama (km)

Lc = panjang sungai utama diukur dari tempat pengukuran (pelepasan) sampai titik di sungai utama yang terdekat dengan titik berat DAS (km)

Dengan unsur-unsur tersebut di atas snyder membuat model hidrograf satuan sintetis sebagai berikut:

(19)

Tr = tp/5,5 (2.26)

Qp = 2,75 Cp.A/tp (2.27)

Tb = 72 + 3.tp atau (2.28)

Tb = 5,56/qpr (2.29)

Dimana

Tp = waktu kelambatan (time lag) (jam) Qp = debit puncak (m3/detik)

Tb = waktu dasar (jam)

Qpr = debit per satuan luas (m3/detik/km2)

(Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3)

Ct dan Cp adalah koefisien-koefisien yang bergantung pada satuan dan ciri DAS, koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditentukan secara empirik, karena besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Dalam sistem empirik besarnya Ct antara 0,75 sampai 3 sedangkan Cp antara 0,9 sampai 1,4. Besaran nilai Ct dan Cp tersebut diperoleh Snyder untuk sejumlah DAS di dataran tinggi, dimana bila nilai Cp mendekati nilai terbesaar maka nilai Ct akan mendekati nilai terkecil, demikian pula sebaliknya.

Menurut hasil penelitian Hoffmeister dan Weisman pada tahun 1977, bahwa pemakaian parameter Lc oleh Snyder disebabkan karena bagian hulu suatu DAS dianggap tidak terpengaruh terhadap debit puncak suatu hidrograf. Mengenai unsur debit puncak, penelitian yang telah dilakukan morgan dan johnson pada tahun 1962 dan Sri Harto menyatakan bahwa persamaan Snyder memberikan debit puncak

(20)

Pemakaian cara Snyder ini dibatasi hanya untuk dataran tinggi sedangkan untuk daerah lain dengan cara tersebut diperlukan ralat dan penyesuaian.

Snyder hanya membuat model untuk menghitung debit puncak dan waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak dari suatu hidrograf saja, sehingga untuk mendapatkan lengkung hidrografnya memerlukan waktu untuk menghitung parameter-parameternya.

Ada sebuah pembaharuan pernah dilakukan Amerika serikat juga, yaitu dalam penggunaan metode Snyder dengan parameter hidrograf satuan pada suatu daerah. Espey, Altman, dan Graves pada tahun 1977 mengembangkan satu set persamaan umum untuk menyusun hidrograf satuan dengan meneliti beberapa DAS yang mana menghasilkan persamaan: Tp = 3,1 L0,23 S-0,25 I-0,18 O1,57 (2.30) Qp = 31,62 . 103 A0,96 T-1,07 (2.31) Tb = 125,89 . 103 A Qp-0,95 (2.32) W50 = 16,22 . 103 A0,93 Qp-0,92 (2.33) W75 = 3,24 . 103 A0,79 I-0,18 Qp-0,78 (2.34) Dimana:

L = panjang total sungai utama (feet)

S = kemiringan sungai utama didefinisikan sebagai H/0,8L, dimana H adalah perbedaan elevasi A dan B. A adalah titik pada dasar sungai di bagian hulu yang berjarak 0,2L dari ujung sungai. B adalah titik pada dasar sungai di bagian hilir di tempat pengukuran (feet per foot)

I = prosentase daerah kedap air di dalam suatu DAS (%), diasumsi sama dengan 5% dari luasan DAS yang belum dikembanagkan.

(21)

O = dimensi faktor pengangkutan, dimana merupakan fungsi dari prosentase daerah kedap air dan kekasaran. (tanpa satuan)

Tp = waktu naik yang diukur dari permulaan limpasan sampai puncak hidrograf satuan (menit)

Qp = debit puncak hidrograf satuan (cfs/menit) Tb = waktu dasar hidrograf satuan (menit)

W50 = lebar hidrograf pada saat 50% tercapainya debit puncak (menit) W75 = lebar hidrograf pada saat 75% tercapainya debit puncak (menit) (Sumber: Hari Siswoyo, pengembangan model hidrograf)

Belakangan ini banyak juga digunakan model HSS Snyder yang telah diubah, dan telah banyak digunakan di Indonesia. Perubahan tersebut terletak pada:

1. Pangkat 0,3 pada rumus (l) diganti dengan n, sehingga menjadi tp = Ct . (L . Lc)n

2. Tr pada rumus (2) diganti dengan te yang merupakan durasi curah hujan efektif, sedangkan tr = 1 jam

Te = tp/5,5

3. Hubungan te, tp, tr, dan Tp adalah sebagai berikut:

Bila te > tr maka tp’ = tp + 0,25(tr-te), sehingga Tp = tp’ + 0,5 Bila te < tr maka Tp = tp + 0,5

4. Qp = 0,278 . Cp/Tp (2.35)

Dan Qp = qp . A untuk hujan 1 mm/jam Dimana:

(22)

Tp = waktu antara titik berat curah hujan hingga puncak hidrograf (jam) Tp = waktu yang diperlukan antara permulaan hujan hingga mencapai puncak hidrograf (jam)

(Sumber: Dantje K. Natakusumah Vol. 18-No. 3)

Dari tinjauan pustaka terhadap teori-teori yang ada, maka model HSS Snyder perlu dikembangkan untuk mempermudah pemakaiannya. Penentuan nilai Ct dan Cp dalam bentuk pendekatan persamaan dengan menggunakan model regrasi dianggap penting. Hal ini mengingat nilai-nilai tersebut akan berbeda antara DAS yang satu dengan yang lain, sehingga dalam setiap penggunaan model ini selalu dilakukan kalibrasi untuk tiap daerah yang berbeda.

2.1.7 Metode Rasional

Metode ini dapat menggambarkan hubungan antara debit limpasan dengan besar curah hujan statis. Dua komponen utama yang digunakan yaitu waktu konsentrasi (tc) dan intensitas curah hujan (I)

Rumus : Q = 0,287 x C x I x A (2.36)

Dimana :

Q = Debit masimum (m3/dt) A = Luas DAS (Km2) C = Koefisien Limpasan

(23)

2.2 Bendung

2.2.1 Tipe-tipe Bendung

Bangunan bendung merupakan bangunan yang dipakai untuk mengatur elevasi air di sungai atau dengan memperlebar pengambilan di dasar sungai. Ada dua tipe bendung yang digunakan untuk mengatur elavasi air sungai, yaitu:

2. Bendung tetap 3. Bendung gerak

Sementara bendung pengambilan air dasar sungai disebut juga bendung saringan bawah atau bendung Tyroller.

1. Bendung tetap

Bendung tetap dibuat melintang searah dengan sungai untuk menghasilkan elevasi air minimum agar air tersebut bisa dielakkan. Adapun penggunaan dari bendung tetap adalah sebagai berikut:

1. Dari data sungai, bendung tetap mempunyai lebar sungai <50 m. 2. Tidak ada aliran permukaan selama banjir

3. Dapat menghasilkan kerikil sampai ukuran 64 mm 4. Mempunyai debit saluran <10 m3/dt.

(24)

Gambar 2.9 Lay Out Bendung Tetap 2. Bendung Gerak

Bendung gerak merupakan bangunan air berpintu yang dibuka selama aliran besar. Bendung gerak dapat mengatur muka air di depan pengambilan air yang masuk tetap sesuai dengan kebutuhan. Kesulitan pada bendung gerak adalah pintu harus tetap dijaga dan dioperasikan dengan baik dalam keadaan apapun. Adapun penggunaan dari bendung gerak adalah sebagai berikut:

1. Kemiringan dasar sungai kecil/relatif kecil.

2. Peninggian dasar sungai akibat konstruksi bendung tetap dapat diterima karena ini akan mempersulit pembuangan air atau membahayakan pekerjaan sungai yang telah ada akibat meningginya muka air.

3. Debit tidak dapat dilawatkan dengan aman dengan bendung tetap. 4. Dapat mengangkut pasir dan kerikil ukuran 64 mm.

(25)

Berdasarkan dari penggunaan masing-masing nedung di atas, maka untuk tugas akhir ini menggunakan bendung tetap.

2.3 Hidrolik Bangunan Bendung Tetap 2.3.1 Bentang Bendung

Yaitu jarak antar pangkal – pangkalnya (abutment) harus sama dengan atau tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata – rata sungai pada bagian yang stabil. Adapun persamaannya sebagai berikut:

Be = B - 2 (n . Kp + Ka) H1 (2.1)

Dimana : n = Jumlah pilar

Kp = Koefisien konstraksi pilar

Ka = koefisien konstraksi pangkal bendung H1 = Tinggi energi (m)

B = Lebar bendung

(26)

Panjang mercu bruto = B

Gambar 2.10 Lebar Mercu

Tabel 2.8 Harga – harga Koefisien Konstruksi

URAIAN Kp

Untuk pilar berujung segi empat dengan sudut-sudut yang dibulatkan pada jari-jari yang hampir sama dengan 0,1

dari tebak pilar 0,02

Untuk pilar berujung bulat 0,01

Untuk pilar berujung runcing 0

URAIAN Ka

Untuk pangkal tembok segi empat dengan tembok hulu pada 900 ke arah aliran

0,02 Untuk pangkal tembok bulat dengan tembok hulu pada

900 ke arah aliran dengan 0,5 H

i>r>0,15 Hi

0,10

Untuk pangkal tembok bulat dimana r>0,5 H1 dan tembok hulu tidak lebih dari 450 ke arah aliran

0

(27)

2.3.2 Perencanaan Mercu

Gambar 2.11 Mercu Pada bendung

Di Indonesia biasanya menggunakan mercu tipe Ogee dan tipe bulat.

1. Mercu Bulat

Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisien debit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan koefisien bendung ambang lebar. Bendung akan memberikan banyak keuntungan bagi sungai, karena bangunan air ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi lebih tinggi, karena lengkung streamling dan tekanan negatif pada mercu.

Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara H1 dan r (H1/r). Untuk bendung dengan jari-jari (R2), jari-jari hilir akan dipergunakan untuk menemukan harga koefisien debit.

Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi sampai -4 m tekanan air, jika bangunan tersebut dari beton, untuk konstruksi pasangan batu, tekanan sub atmosfer sabaiknya dibatasi sampai dengan -1 m tekanan air. Persamaan energi debit untuk bendung ambang pendek dengan

(28)

Gambar 2.12 Bendung Dengan Mercu Bulat

Dari Gambar 4.4 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7 kali H.1maks

Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah:

Q = Cd . 2/3 √2/3.g.b.H11,5 Dimana :

Q = Debit (m3/dt)

Cd = Koefisien debit (Cd = Co C1 C2) g = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt2) b = Bentang efektif bendung (m) H1 = Tinggi air di atas ambang Co = Fungsi H1/r

(29)

C1 = Fungsi p/H1

C2 = Fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung

A. Dua R B. Satu R

Gambar 2.13 Tipe Mercu Bulat

C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0 seperti diperlihatkan pada Gambar 4.5.

Gambar 2.14 Tekanan Pada Mercu Bendung Bulat Sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

(30)

sampai dasar rata-rata sungai sebelum bendung tersebut dibuat. Untuk harga-harga p/h1 yang kurang dari 1,5, maka Gambar 4.6 dapat dipakai untuk menemukan faktor pengurangan C1.

Gambar 2.15 Harga – Harga koefisieb C0 Untuk Bendung Ambang Bulat

Sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

Gambar 2.16 Koefisien C1 Sebagai Fungsi Perbandingan H1/r

Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian hulu terhadap debit diberikan pada Gambar 4.7. Harga koefisien koreksi, C2, diandaikan kurang lebih sama dengan harga faktor

(31)

koreksi untuk bentuk-bentuk mercu tipe Ogee.

Gambar 2.17 Harga – Harga koefisieb C2 Untuk Bendung Mercu Tipe Ogee

Dengan Muka Hulu Melengkung (menurut USBR, 1960)

Gambar 2.18 Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam Sebagai Fungsi H2/H1

2. Mercu Ogee

Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam (aerasi). Oleh karena itu, mercu tidak akan memberikan tekanan sub atmosfer pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk

(32)

Untuk merencanakan mercu Ogee bagian hilir, US Army Corps of Engineers mengembangkan persamaan berikut:

(2.3)

Dimana :

X dan Y = Koordinat permukaan hilir hd = Tinggi rencana atas mercu k dan n = parameter

Tabel 2.9 Harga –harga k dan n

Kemiringan permukaan hilir k n

Vertikal 2,000 1,850

3 : 1 1,936 1,836

3 : 2 1,939 1,810

3 : 1 1,873 1,776

(33)

Bentuk – bentuk mercu dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.19 Tipe Mercu Ogee

Bangunan hulu mercu bervariasi disesuaikan dengan kemiringan permukaan hilir. Persamaan antara tinggi mercu dan debit untuk bendung Ogee adalah:

Q – Cd 2/3 √2/3.g.b.H11,5 Cd . 2/3.b.H √2/3.g H (2.4) Q = Debit (m3/dt)

Cd = Koefisien debit (Cd = Co C1 C2) g = Percepatan gravitasi (9,8 m/dt2) b = Bentang efektif bendung (m) H1 = Tinggi energi di atas ambang Co = Konstanta (=1,30)

(34)

2.3.3 Pangkal Bendung

Menghubungkan bendung dengan tanggul-tanggul dan tanggul-tanggul banjir, pangkal bendung harus mengalirkan air dengan tanah dan tidak menimbulkan turbulensi. Elevasi pangkal bendung di sisi hulu sebenarnya lebih tinggi dari elevasi air yang bergantung pada debit banjir rencana. Tinggi jagaan yang diberikan adalah 0.75 m sampai dengan 1,5 m. Gambar pangkal bendung dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 2.20 Pangkal Bendung 2.3.4 Peredam Energi

Aliran di atas mercu bendung dapat menunjukkan berbagi perilaku di sebelah hilir bendung akibat kedalaman air yang ada. Adapun kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari pola aliran di atas bendung akan ditunjukkan oleh Gambar 2.6 yang terdiri dari Gambar 2.6A menunjukkan aliran tenggelam yang menmbulkan gangguan di permukaan berupa timbulnya gelombang. Gambar 2.6B menunjukkan loncatan tenggelam diakibatkan oleh kedalaman air di hilir besar. Gambar 2.6C keadaan loncat air, dimana kedalaman air di hilir sama dengan

(35)

kedalaman konjungsi loncat air. Gambar 2.6D terjadi apabila kedalaman air di hilir kurang dari kedalaman konjungsi, sehingga loncatan akan bergerak ke hilir. Semua tahap ini bisa terjadi di hilir bendung yang dibangun di sungai. Kasus D keadaan yang tidak boleh terjadi, karena loncatan air akan menghempas bagian sungai yang tidak terlindungi dan menyebabkan penggerusan yang luas.

Gamb ar 2.21 Kondisi Aliran di Atas Mercu Bendung

Cara menemukan debit untuk peredaman energi, semua debit dicek dengan muka air di hilir. Apabila terjadi degradasi dibuat perhitungan dengan muka air hilir terendah yang mungkin terjadi degradasai. Hal-hal yang harus diperiksa bila terjadi degradasi:

1. Bendung dibangun pada sudetan

2. Sungai alluvial dan bahan tanah yang dilalui rawan terhadap erosi 3. Terdapat waduk di hulu bangunan

(36)

2.3.5 Kolam Olak

Tipe kolam olak yang akan direncanakan di sebelah hilir bangunan tergantung pada energi yang masuk, yang dinyatakan dengan bilangan Froude dan bahan konstruksi kolom olak.

Gambar 2.22 Hubungan Kedalaman Air Hulu dan Hilir

Rumus :

(2.5)

(2.6)

Dimana :

Dimana :

y2 = kedalaman air di atas embang ujung (m) yu = kedalaman air di awal loncat air (m) Fr = bilangan Froude

(37)

V1 = kecepatan awal loncatan (m/dt) g = percepatan gravitasi (9,8 m/dt2)

Berdasarkan bilangan Froude, dapat dibuat pengelompokan-pengelompokan dalam perencanaan kolam olak sebagai berikut:

1. Untuk Fr < 1,7 tidak diperlukan kolam olak pada saluran tanah, bagian hilir harus dilindungi dari bahaya erosi dan saluran pasangan batu atau beton tidak memerlukan perlindungan khusus.

2. Jika 2,5 < Fru < 4,5 maka akan timbul situasi paling sulit dalam memilih kolam olak yang tepat.

3. Jika 2,5 < Fru < 4,5 maka akan timbul situasi yang paling sulit dalam memilih kolam olak yang tepat. Loncatan air tidak terbentuk dengan baik dan menimbulkan gelombang sampai jarak yang jauh di saluran. Cara mengatasinya adalah mengusahakan agar kolam olak dengan bilangan

Froude ini mampu menimbulkan olakan (turbulensi) yang tinggi dengan

blok halangnya atau menambah intensitas pusaran dengan pemasangan blok depan kolam.

4. Jika Fr > 4,5 merupakan kolam yang paling ekonomis karena kolam ini pendek. Dengan loncatan yang air sama, tangga di bagian ujungnya akan jauh lebih panjang dan mungkin harus digunakan dengan pasangan batu. Terlepas dari kondisi hidrolis, bilangan Froude dan kedalaman hilir, berdasarkan kondisi dasar sungai dan tipe sedimen, maka kolam olak bisa ditentukan sebagai berikut:

(38)

 Bendung di sungai yang mengangkut bongkah atau batu-batu besar dengan dasar yang relatif tahan gerusan, biasanya cocok dengan kolam olak dengan tipe bak tenggelam (sub merged bucket).

 Bendung di sungai yang mengangkut batu-batu besar, tetapi sungai itu mengandung bahan alluvial, dengan dasar daya tahan gerusan, akan menggunakan kolam loncat air tanpa blok-blok halang atau tipe bak tenggelam.

 Bendung di sungai yang hanya menyangkut bahan-bahan sedimen halus dapat direncanakan dengan kolam loncat air yang diperpendek dengan menggunakan blok-blok halang.

2.3.5.1 Kolam Olak Tipe USBR

Beberapa kolam olak tipe ini telah dikembangkan oleh USBR. Pinggir dari tipe ini adalah vertikal dan pada umumnya mempunyai lantai yang panjang, blok-blok dan diambang hilir biasa maupun ambang hilir bergigi. Ruang olak dengan blok-blok dan ambang hilir tidak baik untuk sungai yang mengankut batu.

Macam-macam kolak olak tipe USBR adalah sebagi berikut:

1. Kolam olak USBR I, kolam yang terbentuk oleh loncatan hidraulik yang terjadi pada lantai dasar. Tipe ini biasanya tidak praktis karena terlalu panjang dan dipakai untuk bilangan Froude 1 (Fr = 2,5 – 4,5).

(39)

Gambar 2.23 Kolam Olak Tipe USBR I

2. Kolam olak USBR II, dikembangkan untuk kolam olak yang banyak digunakan pada bendungan tinggi, bendungan urug tanah dan struktur-struktur saluran besar. Kolam olak dilengkapi dengan blok-blok di ujung hulu dan ambang bergigi di ujung hilir. Panjang kolam olak dapat diperoleh dari kurva yang dibuat oleh biro tersebut. Kolam olak USBR II dapat dipakai pada bilangan Froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr > 4,5) namun dengan catatan percepatan Vi 16 m/dt untuk menghindari kavitasi.

(40)

3. Kolam olak USBR III digunakan pada bangunan drainase kecil dengan panjang ruang olak:

Tetapi mempuyai faktor keamanan yang lebih tinggi. Kolam olak USBR III dapat dipakai untuk bilangan Froude lebih besar atau sama dengan 4,5 (Fr > 4,5), tetapi untuk kecapatan v1 > 16 m/dt.

Gambar 2.25 Kolam Olak Tipe USBR III

4. Kolam olak USBR IV dirancang untuk mengatasi persoalan pada loncatan hidrolis yang berisolasi. Kolam ini hanya dapat digunakan untuk penampang persegi panjang. Kolam olak USBR IV dipakai untuk bilangan

(41)

Gambar 2.26 Kolam Olak Tipe USBR IV 2.3.5.2 Kolam Olak Tipe Vlugter

Kolam olak ini bisa digunakan pada tinggi air hilir di atas dan di bawah tinggi muka air yang telah diuji di laboratorium. Penyelidikan ini menunjukkan bahwa tipe bak tenggelam yang perencanaannya hampir sama dengan kolam

Vlugter lebih baik. Karena kolam Vlugter tidak bisa digunakan pada bendung

yang debitnya selalu mengalami fluktuasi. Kolam olak untuk bangunan terjun di saluran irigasi mempunyai batas-batas yang diberikan, untuk z/hc 0,5 ; 2,0 dan 1,5 dihubungkan dengan bilangan Froude yaitu 1,0 ; 2,8 ; dan 12,8. Bilangan-bilangan diambil dari kedalaman z di bawah tinggi energi hulu, bukan pada lantai kolam olak loncat air.

Rumus :

(42)

Jika 2,0 < z/hc < 15,0 maka t = 3,0 hc + 0,1 Z

(2.8)

D = R = L (ukuran meter)

Gambar 2.27 Kolam Olak Tipe Vlugter 2.3.5.3 Kolam Olak Bak Tenggelam

Kolam olak tipe bak tenggelam telah digunakan pada bendung-bendung rendah dan untuk bilangan-bilangan Froude rendah. Kriteria yang digunakan untuk perencanaan diambil dari bahan-bahan oleh Peterka dan hasil-hasil penyelidikan dengan model. Bahan ini diolah oleh Institut Teknik Hidrolika di Bandung untuk menghasilkan serangkaian perencanaan untuk kolam dengan tinggi energi rendah ini.

Rumus :

(43)

Dimana :

hc = kedalaman air kritis (m) q = debit perlebar satuan (m3/dt) g = percepatan gratvitasi (9,8 m/dt2)

Gambar

Gambar 2.1 Gambar Punggung Kontur
Gambar 2.2 Garis Bagi Pengaruh Titik
Gambar 2.3 Contoh Titik Stasiun Hujan
Gambar 2.4 Cara Segitiga
+7

Referensi

Dokumen terkait

Munculnya pertentangan antara struktur kognitif siswa atau pengetahuan awal siswa dengan sumber-sumber belajar dalam lingkungan belajar (Sabandar, 2005) Dari beberapa pendapat

Dari beberapa definisi tentang basis data yang telah disebutkan diatas, dapat disimpulkan bahwa basis data merupakan kumpulan data yang terhubung secara logis dan

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan petunjuk, rahmat, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Untuk hal ini pada umumnya siswa menanggapi positif tentang penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT, karena dengan model pembelajaran tersebut siswa dapat belajar bekerja sama

Dengan demikian hasil penelitian menyimpulkan bahwa hukum Islam menyikapi pemberian upah penjemur padi yang didasarkan pada keadaan cuaca dibolehkan, karena para penjemur padi

Guna menganalisis tujuan kedua yaitu mengetahui tingkat kesejahteraan rumahtangga nelayan tangkap dan nelayan tangkap budidaya melalui pola konsumsi pangan dan non

Berdasarkan hasil penelitian ini ekstrak etanol biji pepaya dengan dosis 30 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 300 mg/kg BB minimal selama 9 hari dapat menurunkan jumlah