• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tinjauan Umum

Material beton bertulang cukup banyak diminati, selain karena harganya yang relatif lebih murah dibanding struktur baja, material beton juga lebih mudah dibentuk menjadi suatu bentuk yang diinginkan. Beton mempunyai keunggulan di dalam penempatan pada bekisting dilakukan pada keadaan cair, sehingga mendapatkan bentuk dan tekstur yang diinginkan. Hal ini didapat melalui bekisting dan teknik penyempurnaan (finishing)..

Struktur beton dibuat dan dibentuk dalam satu bekisting dan dalam proses penyambungan dilakukan dengan metode penyambungan tulangan pada bagian tertentu, sehingga struktur beton yang terbentuk merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini memberikan keistimewaan pada elemen-elemen struktur yang berupa plat datar atau tipe lantai lainnya tersebut dapat bertindak sebagai penahan beban dan menyalurkan ke struktur kolom, sekaligus permukaan jadi dari lantai atau langit-langit. Hal yang sama dapat pula ditunjukkan oleh beton bertulang yang menarik secara arsitektual sekaligus mempunyai kemampuan menahan beban berat sendiri, angin atau gempa. Keistimewaan lainnya adalah ketersediaan ukuran dan bentuk , pilihan terhadap ukuran dan bentuk dapat ditentukan oleh perancang, bukan oleh ketersediaan ukuran dan bentuk baku dari pabrik.

(2)

Di dalam merencanakan dan mendesain suatu struktur beton bertulang, harus diperhatikan kriteria-kriteria yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan apakah struktur tersebut dapat diterima untuk penggunaan yang diinginkan atau untuk maksud desain tertentu.

Kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam merencanakan dan mendesain struktur diantaranya yaitu:

1. Kemampuan layan (Serviceability)

Struktur harus mampu memikul beban rancangan secara aman, tanpa kelebihan tegangan pada material dan mempunyai batas deformasi dalam batas yang diizinkan.

Kemampuan layan meliputi:

− Kriteria kekuatan yaitu pemilihan dimensi serta bentuk elemen struktur pada taraf yang dianggap aman sehingga kelebihan tegangan pada material (misalnya ditunjukkan

adanya keratakan) tidak terjadi.

− Variasi kekakuan struktur yang berfungsi untuk mengontrol deformasi yang diakibatkan oleh beban. Deformasi merupakan perubahan bentuk bagian struktur yang akan tampak jelas oleh pandangan mata, sehingga sering tidak diinginkan terjadi. Kekakuan sangat tergantung pada jenis, besar, dan distribusi bahan pada sistem struktur. Untuk mencapai kekakuan struktur seringkali diperlukan elemen struktur yang cukup banyak bila dibandingkan untuk memenuhi syarat kekuatan struktur. − Gerakan pada struktur yang juga berkaitan dengan deformasi. Kecepatan dan percepatan aktual struktur yang memikul beban dinamis dapat dirasakan oleh pemakai bangunan, dan dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. Pada struktur bangunan tinggi terdapat gerakan struktur akibat beban angin. Untuk itu diperlukan kriteria mengenai

(3)

batas kecepatan dan percepatan yang diizinkan. Kontrol akan tercapai melalui manipulasi kekakuan struktur dan karakteristik redaman.

2. Efisiensi

Kriteria ini mencakup tujuan desain struktur yang relatif lebih ekonomis. Ukuran yang sering digunakan adalah banyak material yang diperlukan untuk memikul beban yang diberikan dalam ruang pada kondisi dan kendala yang ditentukan.

3. Konstruksi

Tinjauan konstruksi sering juga mempengaruhi pilihan struktural dimana perakitan elemen-elemen struktural akan efisien apabila materialnya mudah dibuat dan dirakit. Syarat-syarat dalam mendesain suatu struktur diantaranya yaitu:

a. Kekuatan

Struktur harus kuat terhadap gaya-gaya dan beban-beban yang bekerja padanya seperti beban mati, beban hidup, beban angin dan beban gempa.

b. Kekakuan

Dalam perencanaan suatu gedung perlu diperhitungkan kekakuannya agar didapat struktur yang kaku dan tidak mudah rusak saat terjadi gempa serta aman dari faktor tekuk.

c. Stabilitas

Dalam mendesain struktur perlu juga diperhatikan kestabilannya terhadap momen-momen yang bekerja padanya seperti momen-momen guling, momen-momen geser dan gaya uplift. II.2 Tinjauan Desain Struktur dan Pembebanan

(4)

Desain struktur mengharuskan sebuah konstruksi bangungan memiliki nilai arsitektur/ estetika tinggi tanpa mengabaikan kemampuan kontruksi tersebut di dalam menerima/ memikul beban yang direncanakan. Dalam tinjauan keamanan, untuk menyatakan suatu struktur sudah dirancang dengan cukup aman atau tidak dinyatakan dengan faktor keamanan. Faktor keamanan bergantung pada banyak hal seperti bahaya terhadap kehidupan dan barang-barang sebagai akibat collapse satu jenis elemen struktur, keyakinan dalam metode analisis struktur, prediksi beban, variasi sifat material, dan kerusakan yang mungkin terjadi selama masa hidup struktur, dll. Untuk itu, perlu ditinjau hal-hal yang mempengaruhi dalam tinjauan desain suatu struktur seperti kondisi pembebanan serta desain struktur bangunannya.

Faktor keamanan di dalam perencanaan sebuah kontruksi gedung bertingkat lebih banyak ditentukan dari nilai pembebanan yang akan bekerja pada konstruksi tersebut, baik beban alami (angin, hujan, gempa) maupun beban dari benda mati dan beban penghuni dari bangunan itu sendiri (beban hidup).

Tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung sesuai SNI 03-2847-2002 memberikan ketentuan-ketentuan untuk perecanaan struktur gedung bertingkat, secara garis besar dapat dituliskan antara lain :

(1) Perhitungan perencanaan lebih diutamakan serta diarahkan untuk menggunakan metoda kekuatan (ultimit), sedangkan metoda elastik (cara n) masih tercantum sebagai alternatif dan diberikan di bagian belakang;

(2) Konsep perhitungan keamanan dan beban yang lebih realistik yang dihubungkan dengan tingkat daktilitas struktur;

(5)

(4) Ketentuan-ketentuan detail penulangan yang lebih rinci untuk beberapa komponen struktur;

(5) Mengetengahkan beberapa ketentuan yang belum tersedia pada peraturan sebelumnya (SK SNI T-15-1991-03 dan lainnya), misalnya mengenai struktur bangunan tahan gempa yang dibagi dalam Sistem Rangka Pemikul Momen.

Sementara berdasarkan standar perencanaan ketahanan gempa untuk struktur gedung SNI-1726-2002 gedung dapat dikategorikan menjadi dua yakni struktur gedung beraturan dan tidak beraturan. Suatu struktur gedung akan ditetapkan sebagai struktur gedung beraturan, apabila memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Tinggi struktur gedung diukur dari taraf penjepitan lateral tidk lebih dari 10 tingkat atau 40 m.

b. Denah struktur gedung adalah persegi pajang tanpa tonjolan, panjang tonjolan tersebut tidak lebih dari 25% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah tonjolan tersebut

c. Denah struktur gedung tidak menunjukkan coakan sudut dan kalaupun mempunyai coakan sudut, panjang sisi coakan tersebut tidak lebih dari 15% dari ukuran terbesar denah struktur gedung dalam arah sisi coakan tersebut.

d. Sistem struktur gedung terbentuk oleh subsistem-subsistem penahan beban lateral yang arahnya saling tegak lurusdan sejajar dengan sumbu-sumbu utama orthogonal denah struktur gedung secara keseluruhan

e. Sistem struktur gedung tidak menunjukkan loncatan bidang muka dan kalaupun mempunyai loncatan bidang muka, ukuran dari denah struktur bagian gedung yang menjulang dalam masing-masing arah, tidak kurang dari 75% dari ukuran terbesar

(6)

denah struktur bagian gedung sebelah bawahnya. Dalam hal ini, struktur rumah atap yang tingginya tidak lebih dari 2 tingkat tidak perlu dianggap menyebabkan adanya loncatan bidang muka.

f. Sistem struktur gedung tidak memiliki kekakuan lateral yang beraturan, tanpa adanya tingkat lunak. Yang dimaksud dengan tingkat lunak adalah suatu tingkat, di mana kekakuan lateralnya adalah kurang 70% kekakuan lateral tingkat diatasnya atau kurang dari 80% kekakuan lateral rata-rata 3 tingkat diatasnya. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kekakuan lateral suatu tingkat adalah gaya geser yang bila bekerja di tingkat itu menyebabkan satu satuan simpangan antar tingkat.

g. Sistem struktur gedung memiliki berat lantai tingkat yang beraturan, artinya setiap lantai tingkat memiliki berat yang tidak lebih dari 150% dari berat lantai tingkat diatasnya atau dibawahnya. Berat atap atau rumah atap tidak perlu memenuhi ketentuan ini.

h. Sistem struktur gedung memiliki unsur-unsur vertikal dari sistem penahan beban lateral yang menerus, tanpa perpindahan titik beratnya, kecuali bila perpindahan tersebut tidak lebih dari setengah ukuran unsur dalam arah perpindahan tersebut.

i. Sistem struktur gedung memiliki lantai tingkat yang menerus, tanpa lubang atau bukaan yang luasnya lebih dari 50% luas seluruh lantai tingkat. Kalaupun ada lantai tingkat dengan lubang atau bukaan seperti itu, jumlahnya tidak boleh melebihi 20% dari jumlah lantai tingkat seluruhnya.

Untuk struktur gedung beraturan, pengaruh gempa rencana dapat ditinjau sebagai pengaruh beban gempa static ekivalen, sehingga menurut standar ini analisanya dapat dilakukan berdasarkan analisis static ekuivalen.

(7)

II.3 Sistem Rangka Pemikul Moment Khusus (SRPMK)

Bangunan sipil harus memiliki elemen struktur (seperti pelat, balok, kolom, tangga dll) dengan dimensi penampang serta tulangan yang cukup agar bangunan tersebut kuat, nyaman dan ekonomis. Struktur yang kuat berarti tegangan yang terjadi pada setiap penampang tidak melebihi kekuatan bahan dari struktur. Struktur yang aman berarti untuk segala kondisi pembebanan, struktur tersebut tidak runtuh. Struktur nyaman berarti deformasi dari struktur tidak sampai membuat pemakainya merasa tidak nyaman dalam memakainya. Maka dari itu, pada struktur rangka beton portal terbuka dirancang menggunakan konsep strong column weak beam, sehingga kolom didesain lebih kuat daripada baloknya yang dimaksudkan agar sendi plastis terjadi pada balok.

SRPM adalah singkatan dari Sistem Rangka Pemikul Momen atau dalam istilah internasional adalah Moment Resisting Frame Sistem Rangka Pemikul Momen adalah suatu sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang pemikul beban gravitasi secara lengkap. Istilah SRPM sering terdapat pada pembahasan mengenai struktur gedung tahan gempa. Istilah ini juga digunakan pada peraturan-peraturan SNI yang membahas tata cara perencanaan bangunan gedung baik bangunan dengan struktur beton, baja maupun bangunan tahan gempa lainnya.

SRPM merupakan salah satu pilihan pada saat melakukan perencanaan sebuah

bangunan tahan gempa. Adapun karakteristik dari Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) antara lain :

 Beban lateral khususnya gempa, ditransfer melalui mekanisme lentur antara balok dan kolom. Sehingga peranan balok, kolom, dan sambungan balok kolom memiliki peranan penting.

(8)

 Tidak menggunakan dinding geser, walaupun terdapat dinding, dinding tersebut tidak direncanakan untuk menahan beban lateral.

 Tidak menggunakan bresing (bracing)/ pengaku. Untuk struktur baja, penggunaan bresing kadang sangat diperlukan terutama pada arah sumbu lemah kolom. Dalam hal ini, bangunan tersebut dapat dianalisis sebagai SRPM pada arah sumbu kuat kolom, dan sistem bresing pada arah lainnya.

Sistem Rangka Pemikul Momen (SRPM) memiliki tiga tingkatan diantaranya :

 Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa, disingkat SRPMB (Ordinary Moment Resisting Frame, OMRF)

 Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah, disingkat SRPMM (Intermediate Moment Resisting Frame, IMRF)

 Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus, disingkat SRPMK (Special Moment Resisting Frame, SMRF)

Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) biasa digunakan di daerah dengan resiko gempa tinggi. Pada sistem struktur SRPMK, kualitas pendetailan pada daerah sendi-sendi plastis perlu didetail secara khusus. Berikut perbedaan SRPMK dengan Sistem Rangka pemikul Momen lainnya :

 Pada SRPMK sendi plastis terbentuk pada seluruh balok pemikul gempa sebelum terjadi keruntuhan dan terdapat detailing khusus pada balok, kolom, dan joint balok-kolom.

 Pada SRPMM sendi plastis harus terbentuk, akan tetapi bangunan sudah runtuh sebelum semua balok mengalami sendi plastis dan detailing pada balok dan kolom tidak spesifik / khusus seperti pada SRPMK.

(9)

 Pada SRPMB tidak terjadi sendi plastis pada balok dan tidak terdapat detailing khusus seperti pada SRPM lainnya.

SRPMK memperhitungkan kapasitas geser pada kolom dan balok untuk menghindari tekuk inelastic premature pada balok dan menjamin terjadinya sendi plastis pada balok, sedangkan di daerah luar sendi plastis tidak perlu didetail secara khusus. Adapun syarat terjadinya sendi plastis setidaknya ada 3 yaitu:

 Balok tidak boleh mengalami kegagalan geser di daerah tumpuan karena selain momen lentur yang besar, gaya geser di daerah tumpuan balok pun sangat besar.  HBK (Hubungan Balok Kolom) tidak boleh gagal pada saat mentransfer gaya-gaya

yang cukup besar dari balok ke kolom.

 Kolom harus lebih kuat dari pada balok. Sehingga pada SRPMK muncul istilah “Strong Column & Weak Beam”.

Dapat digambarkan sebagai berikut mengenai kronologis sendi plastis pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus.

Jika beban V bertambah, momen lentur juga bertambah, simpangan lantai atap pun bertambah. Ketika terjadi sendi plastis yang pertama, pada saat itu mulai terjadi perubahan perilaku struktur. Salah satu yang bisa diamati adalah simpangan lantai atap, yaitu Delta ( Delta sudah tidak linear lagi terhadap V.

(10)

 Begitu pula ketika V semakin besar, terbentuk lagi sendi plastis kedua, ketiga, dan seterusnya. Hingga akhirnya semua ujung-ujung balok mengalami sendi plastis. Besarnya Delta pun semakin bertambah.

 Jika semua ujung balok telah mengalami sendi plastis dan ternyata momen terbesar terdapat di ujung bawah kolom. Berarti selanjutnya kolom yang akan mengalami sendi plastis. Jika kolom telah menjadi sendi maka keruntuhan pun terjadi.

II.4 Pembebanan Pada Gedung Bertingkat Banyak

Beban-beban yang bekerja pada suatu kontruksi bangunan bertingkat dapat dibedakan menjadi :

1. Beban mati (D)

Beban mati merupakan beban yang bekerja pada struktur bangunan yang terdiri dari keseluruhan beban bangunan itu sendiri dan beban-beban yang ditambahkan pada

(11)

bangunan sebagai fungsi yang akan dicapai dari perencanaan bangunan tersebut oleh pemilik. Di dalam tugas akhir ini, studi kasus beban mati yang diberikan pada struktur meliputi :

a. Berat sendiri (pelat, balok, kolom, dan dinding bata) b. Berat penutup lantai (keramik & screed/ adukan) c. Langit-langit (plafon gypsum dan rangkanya)

d. Perlengkapan gedung yang bersifat tetap (installasi mekanikal elektrikal)

Berdasarkan SKBI – 1.3.53.1987 , perancangan pembebanan (beban mati) pada rumah dan gedung dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung

BAHAN BANGUNAN BERAT UNIT

Pasir (kering udara sampai lembab) 1600 kg/m3

Pasir (jenuh air) 1800 kg/m3

Kerikil (kering udara sampai lembab, tidak diayak) 1650 kg/m3

Pasir kerikil (kering udara sampai lembab) 1850 kg/m3

Batu pecah (tidak diayak) 1450 kg/m3

Batu belah, batu gunung dan batu bulat (berat tumpuk) 1500 kg/m3

(12)

lembab)

Tanah, tanah liat dan tanah geluh (basah) 2000 kg/m3

Batu alam 2600 kg/m3

Beton *) **) 2200 kg/m3

Beton bertulang **) 2400 kg/m3

Pasangan batu bata 1700 kg/m3

Pasangan batu belah, batu gunung dan batu bulat 2200 kg/m3

Pasangan batu karang 1450 kg/m3

Besi tuang 7250 kg/m3

Baja 7850 kg/m3

Timah hitam (timbel) 11400 kg/m3

Jenis-jenis kayu : lihat P.K.K.I - N.I. 5

Lantai kayu sederhana dengan balok kayu, tanpa langit-langit dengan bentang maksimum 5 m dan untuk muatan hidup paling tinggi 200 kg/m2

40 kg/m2

Langit-langit dan dinding (termasuk rusuk-rusuknya, tetapi tanpa penggantung langit-langit atau pengku-pengku), terdiri dari :

(13)

BAHAN BANGUNAN BERAT UNIT a. Semen asbes (eternit dan bahan lain sejenis, dengan

tebal maksimum 4 mm) 11 kg/m

2

b. Kaca, dengan 3-4 mm 10 kg/m2

Panggung langit-langit (dari kayu) , dengan bentang

maksimum 5m dan jarak s.ks.s minimum 0,80 7 kg/m

2

Adukan, per cm tebal :

a. Dari semen 21 kg/m2

b. Dari kapur, tras atau semen merah 17 kg/m2

Dinding-dinding pasangan batu bata :

a. Satu batu 450 kg/m2

b. Setengah batu 250 kg/m2

Penutup lantai dari ubin semen portland, teraso dan beton,

tanpa adukan, per cm tebal 24 kg/m

2

Aspal, termasuk bahan-bahan mineral penambah, per cm

tebal 14 kg/m

2

Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m2

bidang atap 50 kg/m

2

(14)

bidang atap

Penutup atap seng gelombang (BWG 24) tanpa gordeng/

gulung-gulung 10 kg/m

2

Semen asbes gelombang (tebal 5 mm) 11 kg/m2

Sumber : Pedoman Perancangan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung (SKBI – 1.3.53.1987)

2. Beban hidup (L)

Beban hidup merupakan beban yang terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung, termasuk beban dari barang-barang yang dapat dipindah, mesin dan peralatan yang berpindah-pindah. Nilai beban yang diberikan pada struktur untuk perencanaan berbeda-beda sesuai fungsi yang akan diambil dari bangunan itu sendiri, misalnya untuk tempat tinggal, perkantoran, pertokoan, ataupun tempat ibadah. Di dalam studi kasus tugas akhir ini, berdasarkan SNI 1726, penulis menetapkan nilai beban hidup adalah 250kg/m2 sebagai fungsi bangunan untuk pertokoan.

Berdasarkan SKBI – 1.3.53.1987, perancangan pembebanan (beban hidup) pada rumah dan gedung dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Beban Hidup Pada Lantai Gedung a Lantai dan tangga rumah tinggal

200 kg/m

(15)

b Lantai dan tangga rumah tinggal sederhana dan gudang-gudang tidak penting, yang bukan untuk toko atau ruang kerja

150 kg/m

2

c Lantai sekolah, ruang kuliah, kantor, toko, restoran,

hotel, asrama 250

kg/m

2

d Lantai ruang olah raga 400

e Tangga, bordes tangga, gang, dari yang disebut dalam c

300 kg/m

2

f Lantai ruang dansa

500 kg/m

2

g Lantai dan balkon - dalam dari ruang-ruang untuk pertemuan tidak termasuk dari a s/d f seperi gereja, ruang konser, ruang pertunjukan, ruang rapat, bioskop, dsb, juga panggung penonton dengan tempat duduk tetap

400 kg/m

2

h Panggung penonton tempat berdiri atau dengan tempat

duduk tidak tetap 500

kg/m

2

i Tangga, bordes tangga, lantai dan gang dari

ruang-ruang yang disebut dalam d, f, g, dan h 500

kg/m

2

j Lantai ruang pelengkap dari ruang-ruang yang disebut

dalam c, d, f, dan g 250

kg/m

(16)

k Untuk lantai-lantai ruang kerja, ggudang, garasi, perpustakaan, ruang arsip, toko, buku, toko besi, ruang alat-alat dan mesin, dll; muatan hidup harus ditentukan tersendiri, sesuai dengan muatan hidup maksimum yang dapat diharapkan akan tetapi tidak boleh kurang dari

250 kg/m

2

l Balkon-balkon yang menjorok bebas ke luar harus diperhitungkan terhadap muatan hidup dari lantai dalam yang berbatasan dengan minimum

300 kg/m

2

Sumber : Pedoman Perancangan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung (SKBI – 1.3.53.1987)

3. Beban angin (W)

Beban angin merupakan keseluruhan gaya yang bekerja pada struktur gedung atau bagian gedung yang diakibatkan oleh angin.

4. Beban gempa (E)

Beban gempa adalah semua gaya statik ekivalen yang bekerja pada gedung atau bagian gedung, yang menirukan pengaruh dari gerakan tanah akibat gempa itu. Berdasarkan SNI 1726, di Indonesia ditetapkan terbagi dalam 6 wilayah gempa. Besarnya beban gempa sulit ditentukan secara tepat karena sifatnya yang acak (random). Gerakan yang diakibatkan gempa tersebut berprilaku tiga dimensi. Gerakan tanah horizontal biasanya merupakan bentuk terpenting dalam tinjauan desain struktural. Perhitungan beban gempa dilakukan dengan analisis statik ekivalen, dimana statik ekivalen

(17)

ini merupakan metode analisis struktur dengan getaran gempa yang dimodelkan sebagai beban horizontal static yang bekerja pada pusat tertentu.

Untuk menentukan pengaruh gempa rencana pada struktur gedung, yaitu berupa beban geser dasar nominal statik ekivalen yang terjadi di tingkat dasar pada struktur bangunan beraturan dihitung menurut persamaan (2.1) :

V = Wt

R

C.I (2.1)

Di mana :

I : faktor keutamaan bangunan R : faktor reduksi gempa C : nilai faktor respons gempa Wt : berat total bangunan

Nilai faktor keutamaan bangunan bergantung pada kategori gedung yang akan direncanakan, sedangkan faktor reduksi gempa bergantung pada tingkat daktilitas struktur. Nilai faktor respons ge1mpa didapatkan dari grafik respons spektrum gempa rencana tergantung pada wilayah gempanya masing-masing yang besarnya ditentukan oleh nilai waktu getar (T). Nilai waktu getar (T) untuk struktur beton dihitung dengan persamaan (2.2) berikut :

(18)

Studi kasus penelitian pada skirpsi ini mengambil lokasi di daerah wilayah gempa 3 dan 3. Berikut adalah grafik respon spektrum gempa rencana dalam SNI 03 – 1726 – 2002 untuk wilayah gempa 3, seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Respon Spektrum Gempa Rencana Wilayah Gempa 3 (sumber : Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung SNI – 1726 – 2002)

Nilai waktu getar pada persamaan (2.2) dikoreksi kembali dengan menggunakan persamaan (2.3). Di mana waktu getar alami fundamental struktur gedung beraturan dalam arah masing-masing sumbu utama dapat ditentukan dengan persamaan Rayleigh (persamaan 2.3). T1 = 6.3

  n i iX iX n i i iX d F g d W 1 1 2 (2.3)

(19)

Dimana :

Wi : Berat lantai pada tingkat ke-i, termasuk beban hidup yang sesuai.

d : Simpangan horisontal tingkat ke-i yang dinyatakan dalam mm. g : percepatan grafitasi yang nilainya ditetapkan sebesar 9810 mm/det2

Fi : Beban gempa nominal statik ekivalen lantai pada tingkat ke-i yang bekerja pada

pusat massa lantai. Besarnya merupakan pembagian beban geser dasar nominal dalam persamaan (2.1), sepanjang tinggi struktur gedung yang ditentukan dengan persamaan (2.4).

Fi = xV x Z W x Z W i i 1 i i

  n i (2.4)

zi : Ketinggian lantai tingkat ke-i yang diukur dari taraf penjepitan lateral, dan n

adalah nomor lantai tingkat paling atas.

Waktu getar alami fundamental T struktur gedung untuk penentuan Faktor Respon Gempa Rencana (C) yang ditentukan dengan rumus-rumus empirik pada persamaan (2.2) atau didapat dari hasil analisis 3 dimensi, nilainya tidak boleh menyimpang lebih dari 20 % dari nilai yang dihitung berdasarkan persamaan (2.3). Apabila nilai selisih waktu getar alami fundamental terhadap T1 pada persamaan (2.3) nilainya lebih besar dari 20 %, maka beban

gempa harus di hitung kembali dengan menggunakan waktu getar (T) hasil koreksi (T1)

tersebut.

Dalam persamaan (2.3) terdapat varibel (di) yaitu simpangan horizontal tingkat lantai

ke-i akibat pengaruh gempa nominal, dimana simpangan ini merupakan penentu kinerja batas layan struktur gedung. Berdasarkan SNI-1726-2002, kinerja batas layan struktur gedung perlu ditentukan untuk membatasi terjadinya pelelehan baja dan peretakan beton yang berlebihan,

(20)

selain itu untuk mencegah kerusakan non-struktural dan ketidaknyamanan penghuni.

Simpangan antar tingkat (d) ini harus dihitung dari simpangan struktur gedung tersebut akibat gempa nominal yang telah dibagi faktor skala.

Simpangan maksimum yang diijinkan pada struktur akibat pengaruh gempa nominal dihitung dengan persamaan :

i

i R h

d 0.03 (2.5)

Dimana :

di : Simpangan horisontal tingkat ke-i yang dinyatakan dalam mm

R : Faktor reduksi gempa hi : Tinggi lantai ke-i

Untuk memenuhi persyaratan kinerja batas layan struktur gedung, simpangan antar tingkat yang dihitung dari simpangan struktur gedung tidak boleh melampaui 0,03R kali tinggi tingkat yang bersangkutan atau 30 mm, tergantung yang mana yang nilainya terkecil.

5. Beban atap

Merupakan beban hidup yang khusus bekerja pada atap yang terdiri atas beban peralatan tidak tetap yang diletakkan di atap dan orang yang bekerja di atap (A), dan beban air hujan (R)

(21)

SNI 2847 menentukan kombinasi beban sesuai yang dipakai oleh ACI 2002. Load factor lama untuk E memakai nilai 1,4. Kini diganti 1,0, karena peraturan baru telah memakai beban gempa berupa beban batas. Berikut ini tabel kombinasi pembebanan.

Untuk prarencana pelat dan balok kombinasi beban yang perlu diperhitungkan adalah :

1. U = 1,4 D

2. U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5 ( A atau R )

Secara umum menurut SNI beton 2002 pasal 11.2, ada 6 macam kombinasi beban yang harus dipertimbangkan :

1. U = 1,4 D 2. U = 1,2 D + 1,6 L + 0,5(A atau R) 3. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,6 W + 0,5(A atau R) 4. U = 0,9 D ± 1,6 W 5. U = 1,2 D + 1,0 L ± 1,0 E 6. U = 0,9 D + ± 1,0 E dimana

D = Beban mati : yaitu beban yang selalu ada pada struktur. L = Beban hidup : yaitu beban yang sifatnya berpindah-pindah.

A = Beban atap : beban yang tidak tetap di atap (beban orang bekerja atau/dan beban peralatan).

(22)

R = Beban hujan : genangan air hujan di atap. W = Beban angin

E = Beban gempa : beban ekivalen yang bekerja pada struktur akibat pergerakan tanah pada peristiwa gempa.

II.5 Balok

Lentur pada balok merupakan akibat dari adanya regangan yang timbul karena adanya beban luar, apabila bebannya bertambah, maka pada balok terjadi deformasi dan rengangan tambahan yang mengakibatkan timbulnya (atau bertambahnya) retak lentur disepanjang bentang balok. Bila beban semakin bertambah, pada akhirnya dapat terjadi keruntuhan elemen stuktur yaitu pada saat beban luarnya mencapai beban kapasitas elemen taraf pembebanan, demikian disebut keadaan limit dari keruntuhan pada lentur karena itulah perencanaan harus mendesain penampang elemen balok sedemikian rupa sehingga tidak terjadi retak yang belebihan pada saat beban bekerja dan masih mempunyai keamanan yang cukup dan kekuatan cadangan untuk menahan beban dan tegangan tanpa mengalami keruntuhan.

Pada desain ukuran penampangnya ditentukan terlebih dahulu untuk kemudian dianalisis untuk menentukan apa penampang tersebut dapat dengan aman memikul beban luar yang diperlukan atau tidak, untuk mendalami prinsip-prinsip mekanika dasar mengenai keseimbangan merupakan hal yang harus terpenuhi untuk setiap keadaan pembebanan.

Seperti pada plat, balok juga terdapat beberapa peraturan penggambaran detail penulangan yang lebih banyak berhubungan dengan praktek merencana struktur yang baik daripada berdasarkan perhitungan.

(23)

Jarak antara batang tulangan harus cukup lebar agar butir-butir aggregat terbesar dapat melewatinya dan jarum penggetarpun mungkin dapat dimasukkan kedalam untuk memadatkan beton. Untuk ini jarak antara batang tulangan diambil sebesar 40 mm baik untuk tulangan atas maupun bawah dan jarak inipun dianggap sebagai nilai minimum.

Peraturan ”Syarat penulangan balok yang baik” diatas ini dapat dilihat pada gambar

Jarak Minimum 25 mm

Jarak minimum tulangan utama Jarak minimum tulangan utama 25 mm

Jarak minimum tulangan utama 25 mm Penutup beton

150 mm pada maksimum momen lapangan momen tumpuan momen jepit tak terduga 300 mm momen menurun Jarak maksimum sengkang 250 mm tulangan polos 300 mm tulangan diprofilkan

tidak langsung berhubungan dengan tanah/cuaca

- Untuk tulangan utama : 40 mm yang langsung berhubungan dengan tanah/cuaca

- untuk > 16 : 50 mm - untuk 16 : 40 mm (disarankan 40 mm)

samping 300 mm Jarak maksimum tulangan

Gambar 2.3 Syarat-syarat penulangan balok

Sebagai dimensi awal perencanaan balok, berdasarkan SNI 03-2847-2002 prarencana / preliminary desain dimensi h minimum balok dihitung sebagai berikut :

(24)

Tabel 2.3 Tinggi (h) minimum balok beton bertulang Dua tumpuan sederhana Satu ujung menerus Kedua ujung menerus Kantilever Balok atau pelat rusuk satu arah ℓ/16 ℓ/18.5 ℓ/21 ℓ/8

Sumber : Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Gedung (SNI 03 – 2874 – 2002) Sedangkan untuk dimensi awal lebar b balok dihitung sebagai fungsi dari pada h yang besarnya diperkirakan :

b = 0.5 s/d 0.65h (2.6) Prosedur coba-coba dan penyesuaian untuk memilih penampang beton menjadikan konvegensi antara analisis dan desain. Jadi artinya setiap desain menjadi analisis apabila satu bentuk penampang telah dipilih. Adapun tujuan dengan adanya preliminary desain adalah untuk mendapatkan hasil desain ukuran balok yang optimum dan ekonomis.

Untuk mencapai tujuan tersebut dimensi prarencana dianalisa terhadap beban-beban yang bekerja sehingga menghasilkan Momen terfaktor (Mu), dimana Mu ini merupakan fungsi dari pada beban merata terfaktor (qu atau Wu). Biasanya dalam perhitungan preliminary desain balok beban-beban yang diperhitungkan merupakan beban yang terletak pada bentang terbesar yang memberikan kontribusi beban atau momen paling besar, karena besarnya bentang balok berbanding lurus dengan besarnya beban atau momen. Mu dihitung dengan rumus umum balok sederhana di bawah ini :

8 .2 u

u q

(25)

Tinggi balok effektif (d) dan lebar balok (b) aktual yang diperlukan berdasarkan momen terfaktor adalah

  ' 1 0.59 2   c u f M bd (2.8) Dimana : ' . c y f f    (2.9)

Nilai b dan d dari persamaan di atas dianalisa dengan cara trail & error (coba-coba) sehingga menghasilkan nilah hbaru yang nilainya harus lebih besar daripada h minimum (h > hmin).

II.6 Kolom

Kolom harus direncanakan untuk memikul beban aksial terfaktor yang bekerja pada semua lantai atau atap dan momen maksimum yang berasal dari beban terfaktor pada sato bentang terdekat dari lantai atau atap yang ditinjau. Kombinasi pembebanan yang menghasilkan rasio maksimum dari momen terhadap beban aksial juga harus diperhitungkan

Pada konstruksi rangka atau struktur menerus, pengaruh dari adanya beban yang tak seimbang pada lantai atau atap terhadap kolom luar ataupun dalam harus diperhitungkan. Demikian pula pengaruh dari beban eksentris karena sebab lainnya juga harus diperhitungkan .

Kolom adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan vetikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak 3 kali dimensi lateral terkecil, bagian-bagian dari suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan peran seperti tersebut, kolom menempati posisi penting didalam sistem stuktur bangunan.

(26)

Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen stuktur lain yang berhubungan dengan, atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan struktur bangunan, secara garis besar ada 3 jenis kolom beton bertulang, seperti terlihat pada gambar 2.2. Pembahasan kolom ada 2 jenis yang pertama, yaitu kolom dengan mengunakan pengikat lateral sengkang dan spiral, untuk komponen stuktur tekan yang diperkuat dengan gelagar atau pipa baja disebut kolom komposit.

Gambar 2.4 Jenis-jenis kolom

Tulangan pengikat lateral berfungsi untuk memegang tulangan pokok me- manjang agar tetap kokoh ditempatnya dan memberikan tumpuan lateral sehingga masing-masing tulangan memanjang hanya dapat tertekuk pada tempat diantara dua pengikat. Dengan demikian tulangan pengikat lateral tidak dimaksudkan untuk memberikan sumbangan terhadap kuat lentur penampang tetapi meperkokoh kedudukan tulangan pokok kolom.

Spasi Kolom pengikat sengkang lateral Pengikat spiral (a) Pengikat sengkang Tulangan pokok memanjang Penampang Sengkang Kolom komposit beton-baja Kolom pengikat spiral (b) (c) Pipa baja Spiral Gelagar baja

(27)

II.6.1 Kolom Tegak

a. Preliminari Desain Kolom

Begitu juga halnya balok, elemen struktur kolom pun perlu dilakukan analisa dimensi awal atau dimensi prarencana untuk dapat memberikan output dimensi yang optimum. Dimensi awal kolom dalam hal ini diwakili dengan notasi Ag merupakan fungsi daripada

gaya aksial terfaktor (Pu) dimana besarnya gaya terfaktor diambil berdasarkan area

pembebanan di sekitar kolom yang memberikan kontribusi terbesar pada kolom. Permasamaan untuk menentukan besaran beban terfaktor Pu adalah :

Pu = 1.2DL + 1,6LL (2.10)

Adapun persamaan untuk pendekatan dimensi awal kolom, sebagai berikut : - Untuk kolom dengan sengkang persegi

c y t

u g fP f A   ' 4 . 0 (2.11)

- Untuk kolom dengan sengkang spiral

c y t

u g f P f A   ' 5 . 0 (2.12)

Persamaan di atas merupakan pendekatan dimensi awal kolom dengan beban aksial, sedangkan kolom yang juga menerima beban momen maka faktor pembagi dapat diturunkan sesuai kebutuhan. Untuk struktur tanpa dinding geser sebagai komponen pemikul beban lateral, maka faktor pembagi tersebut ±0,2. Pada tugas akhir ini, difokuskan pada penentuan nilai koefisien n yang merupakan nilai koefisien oleh rumus Mac Gregor tersebut, dengan tujuan diperolehnya ukuran kolom yang paling optimum pada kolom miring.

(28)

b. Perencanaan Kolom dengan SRPMK

Dalam Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus perencanaan komponen struktur yang menerima kombinasi beban lentur dan aksial, dalam hal ini adalah kolom, harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam SNI 03 – 2847 – 2002. Secara umum ketentuan dan persyaratan yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

 Beban aksial tekan terfaktor > 0.1 Ag f’c

 Ukuran penampang terkecil, diukur pada garis lurus yang melalui titik pusat geometris penampang, tidak kurang dari 300mm

Rasio dimensi terkecil penampang terhadap dimensi tegak lurusnya ≥ 0.4

Ketentuan dan persyaratan lain yang lebih khusus dan mendetail seperti detail penulangan lentur, geser, sambungan, dan lain-lain sebagaimana dijelaskan pada SNI 03 – 2847 – 2002 adalah :

1. Penulangan Lentur Kolom

 Kuat lentur kolom pada SRPMK harus memenuhi,

      g e M M 5 6 (2.13) Dimana :

e : Jumlah momen lentur nominal kolom di muka pertemuan balok kolom (HBK). g : Jumlah momen lentur nominal balok di muka pertemuan balok kolom (HBK).

Pada konstruksi balok-T, dimana pelat dalam keadaan tertarik pada muka kolom, tulangan pelat yang berada dalam daerah lebar efektif pelat harus diperhitungkan dalam menentukan kuat lentur nominal balok bila tulangan tersebut terangkur dengan baik pada penampang kritis lentur.

(29)

Ketentuan tersebut di atas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.5 HBK pada Struktur SRPMK

 Rasio penulangan ( g) tidak boleh kurang dari 0.01 dan tidak boleh melebihi 0.06

g ≤ 0.06 (2.14)

2. Sambungan Lewatan Tulangan Lentur Kolom

Sambungan lewatan pada Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK) hanya diijinkan di sekitar tengah bentang komponen, dimana direncanakan sebagai sambungan tarik, dan harus dipasang tulangan transversal / sengkang tertutup sepanjang panjang penyalurannya. Contoh sengkang tertutup dapat kita lihat pada gambar (2.6). Berikut dapat kita perhatikan sketsa gambar penulangan sambungan lewatan berdasarkan SNI 03 – 2847 – 2002.

(30)

Gambar 2.6 Sambungan Lewatan Pada Kolom (Sumber : Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa (Rachmat Purwono, dkk. : 2005))

3. Penulangan Transversal Kolom

Berdasarkan SNI 03 – 2847 – 2002 persyaratan penulangan tulangan transversal diatur sebagai berikut :

 Rasio tulangan sengkang, s

yh c s f f ' 12 . 0 

(2.15) y c c g s A ff A ' 1 45 . 0          (2.16)

Luas penampang sengkang tertutup persegi,                0.3 ' 1 ch g yh c c sh A A f f sh A (2.17)

(31)

         yh c c sh shf f A 0.09 ' (2.18)

Spasi tulangan sengkang sepanjang l0,

sx ≤ ¼ h (2.19) sx ≤ 6 ø tulangan longitudinal (2.20)          3 350 100 x x h s , dimana 100 mm ≤ sx ≤ 150 mm (2.21)

 Tulangan pengikat silang tidak boleh dipasang dengan spasi lebih dari 350 mm pada penampang

Gambar 2.7 Tulangan Pengikat Silang pada Struktur Kolom (Sumber : Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa (Rachmat Purwono, dkk. : 2005))

(32)

Panjang minimum area penulangan tranversal (l0),

l0 ≥ h (2.22)

l0 ≥ 1/6 Ln (2.23)

l0 ≥ 500 mm (2.24)

Gambar 2.8 Batasan Jarak dan Area Penempatan Sengkang Tertutup (Sumber : Perencanaan Struktur Beton Bertulang Tahan Gempa (Rachmat Purwono, dkk. : 2005))

4. Persyaratan Kuat Geser Kolom

Berdasarkan SNI 03 – 2847 – 2002 persyaratan geser kolom diatur sebagai berikut :

 Geser rencana kolom ditentukan berdasarkan persamaan berikut ;

H

M

M

V

pr pr e 3 4

(2.25)

(33)

Gambar 2.9 Gaya Geser Rencana Struktur Kolom pada SRPMK (Sumber : Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Gedung SNI 03 – 2874 – 2002)

Geser rencana, Ve, ditentukan dengan memperhitungkan gaya maksimum yang dapat terjadi pada muka hub balok-kolom pada setiap ujung komponen struktur. Momen ujung Mpr

kolom tidak perlu lebih besar daripada momen yang dihasilkan oleh Mpr balok yang

merangka pada hubungan balok-kolom. Vetidak boleh lebih kecil daripada nilai hasil analisis

struktur.

Mpr kolom < Mpr balok (2.26)

Ve > Vu (2.27)

Tulangan transversal sepanjang lo, dapat direncanakan untuk menahan geser Vedengan

menganggap Vc= 0 bila:

1) Gaya geser akibat gempa yang dihitung sesuai dengan Mpr mewakili 50% atau lebih

kuat geser perlu maksimum pada bagian sepanjang lodan,

2) Gaya tekan aksial terfaktor termasuk akibat pengaruh gempa tidak melampaui Ag f 'c / 20.

(34)

II.6.2 Kolom Miring

Secara teori perbedaan kolom miring dengan kolom tegak terletak pada besar nilai kemiringannya. Nilai kemiringan disini adalah besar kemiringan kolom terhadap garis horizontal. Kemiringan yang terjadi pada komponen kolom mengakibatkan gaya yang bekerja pada kolom terbagi menjadi gaya vertikal ke bawah, gaya hotizontal (samping), dan gaya moment pada struktur perletakan kolom (pondasi). Semakin kecil kemiringan, gaya yang terbagi dan moment yang terjadi pada perletakan kolom menjadi semakin besar. Pengaruh besar kemiringan terhadap gaya-gaya yang bekerja pada kolom dapat kita lihat pada gambar berikut :

Pu

Pu

a

Cos.a

Pu

Sin.a

L

h

r

(35)

Dari gambar di atas dapat kita lihat karena pengaruh kemiringan α, maka kolom akan mengalami gaya moment yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

=Pu.L (2.28)

atau

(2.29) Dimana :

Pu = gaya reaksi terfaktor dari ujung balok

L = lengan moment jarak datar antara titik gaya reaksi Pu terhadap titik tumpu

α = sudut kemiringan kolom

r = jarak miring titik tangkap gaya P terhadap titik tumpu

Dengan adanya perbesaran moment akibat kemiringan kolom, maka untuk perhitungan gaya geser akan mempunyai penambahan sebesar Mα. Sehingga untuk

menentukan gaya geser kolom makan moment kapasitas di titik bawah kolom, Mu.kb

mengalami tambahan Mα, sehingga persamaan menajadi :

(36)

II.7 Pelat Lantai

Untuk merencanakan pelat beton bertulang yang perlu dipertimbangan tidak hanya pembebanan, tetapi juga ukuran dan syarat-syarat tumpuan pada tepi. Syarat-syarat tumpuan menentukan jenis perletakan dan jenis penghubung ditempat tumpuan. Bila pelat dapat berotasi bebas pada tumpuan, maka pelat itu dikatakan ”ditumpu bebas” karena pelat tertumpu oleh tembok bata. Bila tumpuan mencegah pelat berotasi dan relatif sangat kaku terhadap momen puntir, maka pelat itu ”terjepit penuh” dimana pelat itu adalah monolit (menyatu) dengan balok yang tebal.

Stuktur bangunan gedung umumnya tersusun atas komponen pelat lantai, balok anak, balok induk, dan kolom yang umumnya dapat merupakan satu kesatuan monolit atau terangkai seperti halnya pada sistem pencetakan, pelat juga di pakai untuk atap, dinding, dan lantai tangga, jembatan, atau pelabuhan. Petak plat dibatasi oleh balok anak pada kedua sisi panjang dan terhadap sisi pendek yang saling tegak lurus, namun apabila perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek yang saling tegak lurus lebih dari 2, pelat dapat dianggap hanya berkerja sebagai pelat satu arah dapat didefinisikan sebagai pelat yang didukung pada dua tepi yang berhadapan sehingga lenturan timbul hanya dalam satu arah saja, yaitu pada arah yang tegak lurus terhadap arah dukungan tepi.

(37)

a. Plat Satu Arah

Beam Beam

Beam

b. Plat Dua Arah

Beam

Gambar 2.11 Sistem plat lantai

Pada gedung kantor yang direncanakan menggunakan sistem pelat 2 arah dan dikerjakan dengan metode monolit.

Pelat tanpa balok interior menurut SNI-03-2847-2002 pasal 11.5.3.2, tebal minimum pelat tanpa balok interior yang menghubungkan tumpuan-tumpuannya dan β < 2 harus memenuhi ketentuan seperti tabel 2.4

(38)

Tabel 2.4 Tebal minimum pelat (h)

Tegangan leleh fya

(Mpa)

Tanpa penebalanb Dengan penebalanb

Panel luar Panel

dalam Panel luar

Panel dalam Tanpa balok pinggir Dengan balok pinggir Tanpa balok pinggir Dengan balok pinggir 300 ln/33 ln/36 ln/36 ln/36 ln/40 ln/40 400 ln/30 ln/33 ln/33 ln/33 ln/36 ln/36 500 ln/28 ln/31 ln/31 ln/31 ln/34 ln/34

 a ; untuk tulangan dengan tegangan leleh diantara 300Mpa dan 400Mpa atau antara 400Mpa dan 500Mpa gunakan interpolasi linear

 b ; penebalan panel didefinisikan dalam SNI-03-2847-2002 pasal 15.3.(7(1)) dan pasal 15.3(7(2))

 c ; pelat dengan balok diantara kolom-kolomnya di sepanjang tepi luar. Nilai α untuk balok tepi tidak boleh kurang dari 0,8.

Tebal minimum pelat lantai

Syarat-syarat untuk menentukan tebal minimum pelat berdasarkan SNI 03-2847-2002 adalah :

(39)

 Untuk αm lebih besar dari 0,2 tapi tidak lebih dari 2,0, ketebalan pelat minimum harus memenuhi

mm f n h m y 120 2 . 0 5 36 1500 8 . 0               (2.31)

 Untuk αmlebih besar dari 2,0, ketebalan pelat minimum tidak boleh kurang dari:

mm f n h y 90 9 36 1500 8 . 0             (2.32) Dimana :

ln : Panjang bentang terpendek antara kedua sisi pelat lantai

 : Rasio / perbandingan sisi panjang terhadap sisi pendek pelat lantai

m : Rasio / perbandingan rata-rata kekakuan lentur penampang balok terhadap

kekakuan lentur suatu pelat dengan lebar yang dibatasi dalam arah lateral oleh sumbu dari panel yang bersebelahan (bila ada) pada tiap sisi dari balok

Gambar

Tabel  2.1  Berat Sendiri Bahan Bangunan dan Komponen Gedung
Tabel  2.2  Beban Hidup Pada Lantai Gedung  a  Lantai dan tangga rumah tinggal
Gambar 2.1   Respon  Spektrum  Gempa  Rencana  Wilayah  Gempa  3  (sumber  :  Standar  Perencanaan  Ketahanan  Gempa  Untuk  Struktur  Bangunan  Gedung SNI – 1726 – 2002)
Gambar 2.3  Syarat-syarat penulangan balok
+7

Referensi

Dokumen terkait

Begitu juga kepala madrasah, ia harus mempunyai 4 (empat) kompetensi sebagai seorang pemimpin, salah satunya ialah profesionalisme. Dalam hal ini, salah satu

Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah komite audit, ukuran perusahaan, pajak, kepemilikan manajerial, dan kualitas audit untuk mengetahui

Metode verifikasi yang digunakan pada penelitian ini untuk mengetahui dan mengkaji rumusan masalah nomor empat Seberapa besar pengaruh promosi penjualan dan lokasi secara

2) Algoritme Dijkstra dapat diimplementasikan/digunakan sebagai alternatif dalam penentuan jarak efisien suatu daerah kedaerah yang lain dalam hal ini adalah

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian ini yang dilakukan oleh Penelitian yang dilakukan oleh Rolos (2015) tentang hubungan dukungan orang tua dengan kecemasan

Pada gambar 2.1 bahwa seorang manajer pusat laba yang berkemampuan tinggi dan berbakat di dalam mencapai target pendapatan dan atau biaya akan menghasilkan kinerja

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran histologi dari pengaruh ekstrak daun C.odorata dalam berbagai konsentrasi terhadap proses kesembuhan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan karuniaNYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Sistem Pemasaran Kelapa