MUKIM DI ACEH
Taqwaddin Husin, dkk
MUKIM DI ACEH
Belajar dari Masa Lalu untuk Membangun Masa Depan Penulis : Dr. Taqwaddin Husin, SH, SE, MS, dkk Editor : Sulaiman, S.H.,M.H
Sampul : Musthafa Lay Out : Musthafa Diterbitkan oleh:
Diandra Pustaka Indonesia (Kelompok Penerbit Diandra) Anggota IKAPI
Jl. Kenanga No. 164 Sambilegi Baru Kidul Maguharjo Depok, Sleman, Yogyakarta, 55282
Cetakan Pertama, Mei 2015 x + 350 hlm., 14,8 x 21 cm ISBN: 978-602-1612-36-1
Mukim dan Fenomena Senjakala
Sulaiman Tripa
Latar Belakang
Melalui Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh, dapat ditemukan
lima
jenjang
Pemerintahan
di
Aceh,
yakni
Pemerintahan Aceh, Pemerintahan Kabupaten/Kota,
Pemerintah Kecamatan, Pemerintahan Mukim, dan
Pemerintahan Gampong.
Berdasarkan aturan tersebut, menggambarkan
bahwa secara yuridis, posisi Mukim terdapat dalam
salah satu strata pemerintahan di Aceh. Secara konsep
yuridis, yang dimaksudkan dengan mukim adalah
kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang
terdiri atas gabungan beberapa gampong yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh
12 | Mukim di Aceh
imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan
langsung di bawah camat (dalam Pasal 1 ayat (19)
Undang-Undang Pemerintahan Aceh).
Di samping pengaturan mengenai strata
pemerintahan, Mukim itu sendiri juga harus dilihat
dalam dua pemosisian. Pemosisian pertama, apa yang
diatur dalam Pasal 98 Undang-Undang Pemerintahan
Aceh. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa imuem
mukim sebagai salah satu lembaga adat (Pasal 98 ayat
(3) huruf b), dimana lembaga tersebut berfungsi dan
berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan
pemerintahan kabupaten/kota di bidang keamanan,
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat
(Pasal 98 ayat (1)), serta penyelesaian masalah sosial
kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui
lembaga adat (Pasal 98 ayat (2)). Menariknya, qanun
pelaksana terhadap pasal tersebut (sebagaimana
diamanahkan Pasal 98 ayat (4)), sudah tersedia, yakni
Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Pemosisian Kedua, apa yang diatur dalam Pasal
114 Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Dalam pasal
tersebut disebutkan mengenai ketentuan pembentukan
mukim yang terdiri atas beberapa gampong yang
dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara
tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh tuha peuet
mukim atau nama lain (Pasal 114 ayat (1) dan (2)).
Imeum mukim dipilih melalui musyawarah mukim
untuk masa jabatan 5 (lima) tahun (Pasal 114 ayat (3)).
Ketentuan tersebut melahirkan dua amanah, yakni
Qanun Kabupaten/Kota yang mengatur mengenai
organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim
(Pasal 114 ayat (4)), dan Qanun Aceh mengenai tata
cara pemilihan imeum mukim (Pasal 114 ayat (5)).
Amanah tersebut, antara lain melahirkan Qanun Aceh
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan
Pemberhentian Imuem Mukim. Dalam Qanun ini juga
diberikan klausul, bahwa Qanun Aceh Nomor 4 Tahun
2003 tentang Pemerintahan Mukim dinyatakan tidak
berlaku lagi apabila telah ada Qanun Kabupaten/Kota
tentang Mukim.
Di samping dua pemosisian tersebut, sebenarnya
masih ada ketentuan lainnya, yakni Pasal 112 ayat (3)
huruf (b) yang mengatur mengenai camat yang
menyelenggarakan
tugas
umum
pemerintahan
meliputi membina penyelenggaraan pemerintahan
mukim.
Semua ketentuan di atas, pada dasarnya
menggambarkan bahwa secara de jure, kedudukan
Mukim dan Imuem Mukim sudah diakui dalam
Undang-14 | Mukim di Aceh
Undang. Pengakuan de jure tersebut, diklasifikasi
kembali ke dalam beberapa kategori sebagai berikut:
Pertama, Mukim sebagai lembaga pemerintahan. Kita
bisa melihat kembali ketentuan Pasal 112 ayat (3)
huruf (b) Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Di
samping itu, dalam Pasal 3 Qanun Nomor 3 Tahun
2009 tegas pula disebut bahwa, Mukim mempunyai
tugas menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan
peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
Kedua, Mukim sebagai kesatuan masyarakat
hukum, yang memiliki wilayahnya sendiri. Hal ini
terlihat dari konsep dasar yang dibangun dalam Pasal 1
ayat (19) UU Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Ketiga, Imuem Mukim sebagai lembaga adat,
yang berfungsi dan berperan sebagai wahana
partisipasi
masyarakat
dalam
penyelenggaraan
Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota
di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan
ketertiban masyarakat, serta penyelesaian masalah
sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui
lembaga adat.
Tiga klasifikasi di atas, melahirkan tiga hal yang
harus dilakukan Mukim sebagai satu kesatuan yang
tidak bisa dipisah-pisahkan, yakni: Pemungsian
pertama, Mukim sebagai pemerintahan, melakukan
tugas-tugas pemerintahan, yang di dalamnya
membutuhkan pelaksanannya, antara lain Imuem
Mukim sebagai kepala pemerintahan dan Tuha Lapan
sebagai ”penyeimbang”. Hal ini merupakan bentuk dari
kekuasaan ”eksekutif” dan ”legislatif”. Pemungsian
kedua, Mukim sebagai kesatuan masyarakat adat
memiliki sebuah sistem berbeda yang umumnya tidak
tertulis. Konsekuensinya adalah butuh optik yang
berbeda dalam melihat wilayah Mukim sebagai
Pemerintahan dibandingkan dengan optik dalam
melihat konsep pemerintahan pada umumnya.
Pemungsian ketiga, Imuem Mukim sebagai lembaga
adat, yang memiliki peradilan adat, yang bisa
digolongkan dalam wilayah kerja ”yudikatif”. Namun
dalam hal ini, Tuha Lapan yang sebenarnya lebih
kepada kekuatan eksekutif, dalam hal ini diposisikan
kembali sebagai ”pembantu” Imum Mukim, yang juga
dibantu Imuem Masjid.
Kajian yang Menyatu
Semua penjelasan di atas, pada dasarnya menggambarkan betapa untuk melakukan kajian tentang mukim harus dilakukan dengan bekerjasama antar berbagai
16 | Mukim di Aceh
stakeholders karena kenyataan ada berbagai domain melingkupinya. Hal ini disebabkan oleh luasnya kaitan dalam penguatan mukim tersebut.
Di samping itu, gambaran di atas juga sekaligus memberi gambaran betapa kajian yang utuh dengan perspektif yang luas mengenai Mukim sangat penting untuk dilakukan. Dalam rangka melakukan kajian mengenai potensi pengembangan Pemerintahan Mukim tersebut, haruslah berangkat dari konsep sebagai kesatuan sebagai tersebut di atas. Namun demikian, dalam penguatan dengan kerangka pikir tersebut, bukan berarti tidak ada permasalahan. Di satu pihak, kedudukan mukim bisa diuraikan dengan tegas dalam konteks pemerintahan dan peradilan adat –sebagaimana telah dijelaskan dalam Qanun Nomor 3 Tahun 2009 dan Qanun Nomor 10 Tahun 2008. Di pihak lain, untuk memahami mukim sebagai kesatuan masyarakat adat, membutuhkan lebih dari sekedar ”pembacaan” ketentuan perundang-undangan yang tertulis. Untuk memahami mukim sebagai kesatuan masyarakat adat, membutuhkan ”pembacaan” hukum yang ada dalam masyarakatnya.
Hal lain yang ingin saya tekankan adalah mengenai posisi mukim yang terbaca lewat law in the book di satu pihak, yang dalam hal tertentu bisa saja sama dan hal lain berbeda dalam konteks law in the action. Dua hal ini sesungguhnya dari relasi dan dalam konteks kajian hukum
dan masyarakat, selalu menarik untuk dilihat. Kajian law and society sebagaimana diperkenalkan di beberapa fakultas hukum, dan di beberapa perguruan tinggi posisi ilmu demikian sudah diajarkan di fakultas-fakultas ilmu sosial.
Pentingnya relasi ini, terutama untuk tidak menjadi alasan bahwa hukum di satu pihak –yang dipahami sebagai hukum positif—yang telah mengatur, dengan berbagai kelemahannya, tetap tidak boleh lepas dari bagaimana hukum itu berjalan dalam aras implementasinya.
Begitulah, antara lain, alasan mengapa buku ini tidak hanya bertumpu dan berhenti pada aras hukum sebagai in the book semata, namun berusaha menyasar dalam konteks hukum sebagai in the action. Namun demikian, dengan komposisi per bab dalam buku ini, berkemungkinan munculnya dua hal, yakni: Pertama, karena ditulis oleh beberapa orang, maka ada kemungkinan ada pada titik tertentu yang mungkin terbatasi bahasannya. Kedua, ada kemungkinan pula ada hal-hal kecil tertentu yang pembahasan akan terulang, walau sudah diusahakan semaksimal mungkin.
Momentum Berpihak
Dengan berbagai gambaran, alasan penting lain yang tidak boleh dilupakan dari buku ini adalah orientasi
18 | Mukim di Aceh
keberpihakan terhadap mukim. Strata pemerintahan ini bukan saja sebagai sesuatu khas dan hanya ada di Aceh, melainkan juga ia sebagai peninggalan endatu yang sepanjang perjalanan sejarah bangsa tidak tergerus dan tergilas oleh berbagai model pemerintahan.
Teringat sekali ketika suatu kali memberi materi tentang Penguatan Mukim yang dilaksanakan Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh, dan hal ini telah pernah saya sampaikan dalam sebuah artikel Harian Serambi Indonesia, “Hambatan Penguatan Mukim”, (5 Oktober 2010). Seorang Imuem Mukim yang sudah 17 tahun menjabat sebagai mukim, merasakan berbagai perjalanan kekuasaan dan pergeseran kebijakan. Di satu pihak, ia merasa terhormat ketika dalam masyarakat. Di pihak lain, terasa tidak ada kewenangan yang berarti dalam kenyataan yang membuatnya seperti macan ompong.
Menariknya, ia sekarang ini sudah tidak lagi menjabat sebagai mukim, namun sepanjang waktu, panggilang Imuem Mukim terhadapnya tidak terbuang. Walau sudah lagi mukim, tetapi tetap dipanggil mukim.
Kondisi demikian, menjadi penting untuk memberikan masukan kepada pelaksana kekuasaan, untuk melihat keberadaan mukim bukan hanya untuk sekedar untuk memperlihatkan bahwa mukim masih ada. Berbagai masukan diberikan untuk menguatkan posisi kekuasaan secara makro. Bahwa keberhasilan kekuasaan secara utuh,
dimulai dari keberhasilan-keberhasilan kecil kekuasaan pada tingkat bawah.
Kenyataan lain yang dapat dipetik dari perjalanan sejarah adalah posisi mukim yang sangat khas sebagai bagian dari pelaksanaan agama. Sangat penting menegaskan bahwa keberadaan mukim sebagai bagian tak terpisahkan dari pelaksanaan hukum agama pada tingkat mukim, membuat saya sebagai orang di sini bangga akan kenyataan tersebut. Secara eksplisit, tidak ada pemisahan antara pelaksana kekuasaan dengan keberadaan nilai-nilai agama. Sehingga pelaksana kekuasaan, tidak saja mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada umat manusia, melainkan pada saat yang sama, mereka dijaga oleh ancaman akan dosa dan balasan akhirat sekiranya kekuasaan tidak dijalankan tidak dengan sebenarnya.
Hal inilah yang antara lain bisa saya tangkap dari ketatnya syarat menjadi Imuem Mukim masa lalu, sebagaimana ditentukan Qanun Syara’. Seorang Imuem Mukim bahkan harus melewati hingga 40 syarat, termasuk yang paling penting adalah memahami pengetahuan dasar agama yang menjadi syarat bagi seorang pemimpin.
Menurut saya, kenyataan ini dahsyat sekali. Dan untuk sesuatu yang dahsyat demikian, sudah pada tempatnya pemerintah juga berpihak pada Pemerintahan Mukim. Ketika kekuasaan sudah dipegang oleh “orang kita”, maka mukim sebagai sesuatu yang diwariskan dari endatu, dan sebagai
20 | Mukim di Aceh
sesuatu yang masih hidup dan berkembang, sudah pada tempatnya mukim dilihat secara layak.
Jangan sampai orang lain yang datang ke sini untuk memperlajari sesuatu yang khas dari sejarah pemerintahan yang khusus hanya di Aceh, sedangkan kita untuk melihat dengan sebelah mata saja terkesan tidak ada. Melihat mukim tidak pula sebatas dana. Ada yang lain yang lebih penting dari dana untuk mengembalikan marwah mukim.
Fenomena Senjakala
Hal lain yang ingin diingatkan adalah perkembangan baru legislasi dan regulasi nasional terkait dengan desa. Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah membuat fokus orang banyak berubah. Ironisnya, fokus paling besar terkait dengan keberadaan Undang-Undang Desa tersebut adalah tentang dana desa.
Dalam Harian Serambi Indonesia, melalui artikel “Senjakala Mukim” (24 Juni 2015), saya menggelisahkan dua hal. Pertama, ketika berbicara dana –anggaran pembangunan, tidak terlepas dari serangkaian proses yang namanya perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga pertanggungjawaban. Dengan komposisi sumber daya desa yang sekarang ini, seberapa kemampuan sumber daya mampu memahami dan melakukan serangkaian proses
tersebut. Kegelisahan ini terkait bahwa proses hukum yang muncul berdasarkan ketentuan hukum positif, hal yang menjadi masalah adalah bukan pada ada “memakan” dana pembangunan atau tidak, melainkan pada sejauhmana keseluruhan proses itu dilakukan secara sempurna. Tidak tertutup kemungkinan, orang bersih yang tidak mampu melakukan proses tersebut secara benar, akhirnya akan bermasalah dengan hukum.
Kedua, khusus konteks Aceh, masalah terbesar yang harus dipikirkan adalah bagaimana dengan mukim? Merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Mukim adalah salah satu tingkatan wilayah dan pemerintahan di Aceh. Lantas apakah mukim juga akan menerima sejumlah dana yang akan dipergunakan bagi pembangunan pada tingkat mukim? Seandainya demikian, akan mengambil dana dari mana?
Pertanyaan-pertanyaan demikian selalu muncul dalam beberapa pertemuan yang saya ikuti. Dalam beberapa kesempatan menjadi narasumber diskusi yang juga menghadirkan pejabat, posisi mukim terkait dengan anggaran, juga masih kabur dan hampir tiada solusi. Maka tidak salah, bila kemudian muncul dugaan bahwa jangan-jangan mukim memang sudah pada titik akhir. Pada saat yang sama, gampong mendapatkan dana secara berlapis: Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sementara Mukim tidak demikian.
22 | Mukim di Aceh
Kini, setelah UU Desa merealisasikan dana desa, mukim tidak terasa dalam hiruk-pikuk ini. Sejumlah pertanyaan juga tidak mungkin dihindar, antara lain bagaimana mengalokasikan anggaran untuk mukim sementara pembagian kewenangan antara gampong dan mukim belum dilakukan secara sempurna. Pertanyaan lain adalah pembangunan apa yang akan dikelola mukim? Bukankah semua hal sudah dan bisa dilaksanakan gampong? Pertanyaan semacam ini sulit dijawab. Apalagi dengan semangat yang muncul adalah “pengabaian” mukim. Pada titik ini, mungkin senjakala mukim telah tiba dan kebesaran sejarah mukim mungkin akan tiba pada titik terakhir dimana mukim ada secara fisik, namun orang-orang sudah tidak bangga lagi memilikinya.