• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN NILAI KOORDINAT DAN ELEVASI ANTAR MODEL

STEREO PADA FOTO UDARA HASIL TRIANGULASI UDARA

(Comparison of Coordinate And Elevation Value Between Stereo Models on Aerial Photo of

Aerial Triangulation Result)

Danang Budi Susetyo & Herjuno Gularso

Badan Informasi Geospasial

Jl. Raya Jakarta-Bogor Km 46 Cibinong, Jawa Barat 16911 E-mail: danang.budi@big.go.id

ABSTRAK

Triangulasi udara (Aerial Triangulation/AT) merupakan tahap penting dalam akuisisi foto udara. Hasil pemrosesan AT akan berpengaruh terhadap ketelitian foto udara yang dihasilkan, sehingga menentukan kualitas geometrik peta yang menggunakan foto udara tersebut sebagai data dasar. Kualitas hasil AT ditentukan dengan hasil statistik perataan dan membandingkan nilai Independent Check Point (ICP) yang diukur menggunakan GPS Geodetik dengan nilai titik yang sama pada model stereo di foto yang sudah dilakukan AT. Namun meski sudah memenuhi standar ketelitian, terdapat beberapa kasus dimana pada lokasi yang sama di model yang berbeda memiliki nilai ketinggian (Z) yang berbeda. Hal ini tentunya akan menjadi masalah, terutama ketika selisihnya di atas toleransi ketelitian yang ditentukan. Penelitian ini menguji nilai koordinat dan elevasi pada beberapa lokasi yang tercakup dalam dua model. Objek yang dipilih adalah objek-objek yang tegas dan mudah diinterpretasi di foto seperti siku lapangan atau bangunan, dengan jumlah objek sejumlah 15 titik. Penelitian dilakukan dengan data foto udara Palu yang diakuisisi pada tahun 2013. Hasil AT menunjukkan sigma naught = 1,9 mikron dengan uji akurasi menghasilkan ketelitian horizontal (CE90) = 0,786 m dan ketelitian vertikal (LE90) = 1,782 m, dimana CE90 dan LE90 didapatkan dari membandingkan koordinat ICP hasil pengukuran GPS dan di model stereo. Dengan hasil AT tersebut, objek-objek yang diuji memiliki rata-rata ΔX = 0,174 m, ΔY = 0,288 m, dan ΔZ = 0,278 m, dimana angka tersebut didapatkan dengan membandingkan pengecekan titik pada objek yang sama di dua model stereo yang berbeda.

Kata kunci: foto udara, triangulasi udara, koordinat, elevasi, model

ABSTRACT

Aerial triangulation (AT) is an important step in aerial photo acquisition. AT result will affect the accuracy of resulting aerial photo, so it decides geometric accuracy of the map that uses that aerial photo as base data. The quality of AT result decided by bundle adjustment result and comparing Independent Check Point (ICP) value that measured using Geodetic GPS with same point value on the stereo model in aerial photo from AT process. But although it meets the accuracy standard, there are some cases where there is the difference in elevation value (Z) in the same location but located in a different model. It can be a problem, especially when the deviation above the specified tolerance of accuracy. This research examines coordinate and elevation value in some locations that covered in two models. The selected objects are clear and easy to interpret objects, such as field or building corner, and we choose 15 points as sample. Data used is aerial photo located in Palu that acquired in 2013. AT result shows sigma naught = 1,9 micron and test accuracy produce horizontal accuracy (CE90) = 0,786 m and vertical accuracy (LE90) = 1,782 m, where CE90 and LE90 obtained from comparing the coordinate ICP from GPS measurement and in the stereo model. From that result, objects being test has average ΔX = 0,174 m, ΔY = 0,288 m, and ΔZ = 0,278 m, where the number is obtained by comparing the check points on the same object in two different stereo models.

Keywords: aerial photo, aerial triangulation, coordinate, elevation, model

PENDAHULUAN

Triangulasi udara (Aerial Triangulation/ AT) merupakan tahap penting dalam akuisisi foto udara. AT merupakan istilah fotogrametri untuk menentukan koordinat tanah X, Y, dan Z dari setiap titik berdasarkan pengukuran yang diambil dari foto yang saling bertampalan (Zomrawi et

(2)

al., 2013). Hasil pemrosesan AT akan berpengaruh terhadap ketelitian foto udara yang dihasilkan, sehingga menentukan kualitas geometrik peta yang menggunakan foto udara tersebut sebagai data dasar.

Berdasarkan grafik yang dibuat oleh Schenk (1997) (Gambar 1), AT analitik dimulai pada tahun 1970-an, dan seiring dengan perkembangan GPS dan teknologi komputer, AT digital mulai berkembang pada akhir tahun 1990-an. Otomasi dalam proses AT dapat meningkatkan efisiensi secara ekonomi (Krzystek et al., 1995), dan pada aspek teknis, otomasi AT membuat ekstraksi DTM dan pembentukan orthofoto dapat dilakukan dalam sebuah proses tunggal (Ackermann, 1995 dalam Krzystek et al., 1995). Oleh karena itu, triangulasi udara digital semakin banyak dilakukan disebabkan efisiensi yang lebih besar karena proses otomasi (Kersten, 1999).

Gambar 1. Perkembangan triangulasi udara (Schenk, 1997)

Kualitas hasil AT ditentukan dari dua parameter, yaitu orientasi relatif dan orientasi absolut. Orientasi relatif didapatkan dari hasil statistik perataan AT berupa sigma naught dan residu antar tie point, sedangkan orientasi absolut didapatkan dengan dengan membandingkan nilai Independent Check Point (ICP) yang diukur menggunakan GPS Geodetik dengan nilai titik yang sama pada model stereo di foto yang sudah dilakukan AT. Pada orientasi absolut, jika selisih keduanya memenuhi toleransi, maka foto udara tersebut dianggap sudah memenuhi spesifikasi secara geometrik. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah harus dipastikan bahwa posisi horizontal dan vertikal dari setiap model stereo yang terbentuk sudah konsisten.

Meski spesifikasi ketelitian sudah ditetapkan dan hasil ketelitian AT masuk pada toleransi ketelitian tersebut, terdapat beberapa kasus dimana pada lokasi yang sama di model yang berbeda memiliki nilai ketinggian (Z) yang berbeda. Beberapa masih dalam rentang toleransi ketelitian, namun ada beberapa yang nilainya berada di atas rentang ketelitian yang diberikan. Ketika selisih tersebut berada di atas toleransi ketelitian yang ditentukan, hal tersebut tentunya akan menjadi masalah dalam proses pemetaan yang menggunakan foto udara tersebut sebagai data dasar.

Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menguji nilai koordinat dan elevasi pada beberapa lokasi yang tercakup dalam dua model stereo. Penelitian ini dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan AT pada foto udara yang digunakan sebagai data dalam penelitian ini. Setelah AT memenuhi ketelitian secara statistik perataan maupun uji akurasi dalam model stereo, selanjutnya dipilih objek-objek yang tercakup dalam dua model stereo. Objek yang

(3)

nya dalam kedua model stereo dan untuk kemudian dibandingkan. Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber analisis ketika nantinya terdapat permasalahan sama.

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Foto udara wilayah Palu

Data foto udara yang digunakan adalah foto udara Palu yang diakuisisi pada tahun 2013 (Gambar 2). GSD (Ground Sampling Distance) yang ditentukan saat akuisisi foto udara tersebut adalah 20 cm. Overlap antar foto sebesar 60% dan sidelap sebesar 30%, dengan toleransi masing-masing adalah 5%. Jumlah foto yang digunakan sebanyak 77 foto.

Kamera yang digunakan untuk pemotretan adalah Leica RCD30. Kamera format medium Leica RCD30 adalah kamera 60MP pertama yang dapat menghasilkan foto RGB multispektral dan NIR dari satu camera head (Wagner, 2011). Spesifikasi kamera RCD30 dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2. Lokasi penelitian (sumber: Badan Informasi Geospasial, 2013) Tabel 1. Spesifikasi kamera RCD30 (Lumbantobing, Wikantika, & Harto, 2017)

Sensor Tipe

Sensor Panjang Fokus Band Ukuran CCD Ukuran Piksel Across Sudut Sudut Long GSD Kamera

RCD30 Exposure Frame 53 mm RGB, NIR 8956 x 6708 piksel

6 μm 56 44 16

cm

2. Parameter Exterior Orientation (EO)

Paramater EO menggambarkan lokasi dan orientasi berkas sinar pada sistem koordinat objek dengan 6 parameter: koordinat pusat proyeksi (X0, Y0, Z0) dan rotasi di sekitar 3 sumbu (omega, phi dan kappa) (Jacobsen, 2001). Parameter EO didapatkan dari sensor GPS/INS di pesawat secara real-time (Tanathong & Lee, 2014).

3. Koordinat GCP dan ICP

Pengukuran GPS dilakukan secara diferensial menggunakan receiver GPS Geodetik dual frequency. Akurasi horizontal yang disyaratkan adalah ≤ 20 cm, sedangkan akurasi vertikal adalah ≤ 15 cm. Jumlah GCP yang digunakan adalah 3 titik, sedangkan ICP yang digunakan sejumlah 4 titik. Distribusi GCP dapat dilihat pada Gambar 3. Titik GCP berupa premark, sedangkan ICP dapat berupa premark (Gambar 4) maupun TTG (Titik Tinggi Geodesi) (Gambar 5).

(4)

Gambar 3. Posisi GCP (lingkaran merah)

Gambar 4. ICP dalam bentuk premark Gambar 5. ICP dalam bentuk TTG

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh hasil triangulasi udara terhadap konsistensi nilai koordinat dan elevasi antar model stereo foto udara. Konsistensi antar model menjadi hal yang sangat penting dalam pemetaan agar tidak ada permasalahan yang diakibatkan terkait geometri peta yang dihasilkan karena model foto udara yang tidak konsisten.

METODE

Proses AT dilakukan pada 77 foto dengan menggunakan 3 GCP dan 4 ICP. Setelah statistik perataan masuk dalam toleransi, selanjutnya dilakukan pengukuran koordinat X, Y, Z pada 15 objek yang tercakup dalam dua model stereo. Objek yang dipilih adalah objek-objek yang tegas dan mudah diinterpretasi di foto, seperti disajikan pada Tabel 2. Beberapa contoh objek tersebut

(5)

Tabel 2. Objek pengukuran di model stereo

DESKRIPSI TITIK MODEL

Pojok lapangan tenis, sisi luar garis 190032_190033 190033_190034

Siku marka jalan, sisi dalam 200029_200030

200030_200031 Pojok objek, sisi dalam (tinggi objek + 2 m) 200038_200039 200039_200040

Pojok atap (tinggi bangunan + 2 m) 180054_180055 180055_180056

Pojok pagar, sisi luar 190039_190040 190040_190041

Pojok pagar, sisi dalam 200026_200027

200027_200028 Siku atap tertinggi masjid (tinggi bangunan + 8 m) 200026_200027 200027_200028

Pojok bangunan, sisi dalam (tinggi bangunan 1-2 m) 200032_200033 200033_200034 Pojok atap (tinggi bangunan + 5 m) 200039_200040 200040_200041

Siku lapangan basket (dibatasi oleh garis sisi dalam) 200032_200033 200033_200034

Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar (posisi di ground) 200039_200040 200040_200041

Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar (posisi di atas, tinggi bangunan + 4 m) 200039_200040 200040_200041

Siku pagar, sisi luar 200028_200029 200029_200030

Pojok bangunan (tinggi bangunan + 8 m) 200028_200029

200029_200030

Siku ujung selokan 200029_200030 200030_200031

(6)

c d

Gambar 6. Contoh objek pengukuran di model stereo: (a) pojok lapangan tenis, (b) siku marka jalan, (c)

pojok pagar, (d) siku ujung selokan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil statistik perataan AT menunjukkan sigma naught = 1,9 mikron. Hasil tersebut berada dalam toleransi 1 piksel, dimana kamera RCD30 ukuran pikselnya adalah 6 mikron. Hasil statistik lainnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil statistik perataan AT

rms image points x y 1.155 [micron] 1.172 [micron]

rms control in image x y 2.361 [micron] 2.905 [micron]

max res. control

x -0.035 [m] y 0.041 [m] z 0.024 [m] rms check points x 0.060 [m] y 0.276 [m] z 0.037 [m]

max res. check

x -0.060 [m] y 0.276 [m] z 0.037 [m]

Berdasarkan Kerangka Acuan Kerja Pemotretan Udara Tahun 2013, parameter kontrol kualitas yang digunakan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Parameter kontrol kualitas statistik hasil AT (Badan Informasi Geospasial, 2013)

Sigma naught < ukuran piksel (mikron)

RMSE titik minor < 0,5 x ukuran piksel (mikron) Nilai residual maksimal titik minor < 1,5 x ukuran piksel (mikron)

RMSE titik kontrol < 0,5 meter

Nilai residual maksimal titik kontrol < 1 meter

Jika dibandingkan dengan parameter di Tabel 4, maka hasil statistik AT sudah memenuhi toleransi yang disyaratkan. Selanjutnya dilakukan uji akurasi menggunakan 4 ICP di beberapa model stereo, dengan hasil seperti disajikan pada Tabel 5. Dapat dilihat pada tabel tersebut, nilai akurasi (yang direpresentasikan dalam CE90 untuk ketelitian horizontal dan LE90 untuk ketelitian vertikal) adalah 0,786 m (untuk ketelitian horizontal) dan 1,782 m (untuk ketelitian vertikal). Berdasarkan SNI Ketelitian Peta Dasar, keduanya masuk pada skala 1:5.000, namun untuk

(7)

Tabel 5. Hasil uji akurasi hasil AT

Model Titik ΔX ΔY ΔZ ΔX2 ΔY2 ΔX2 + ΔY2 ΔZ2

180050_180051 CP18 0,3002 0,5755 1,5057 0,09012 0,33120025 0,42132029 2,267132 180051_180052 CP18 0,2657 0,3296 1,2314 0,070596 0,10863616 0,17923265 1,516346 200030_200031 CP19 -0,0734 0,3172 -0,0588 0,005388 0,10061584 0,1060034 0,003457 190032_190033 TTG700 -0,4735 0,3846 0,609 0,224202 0,14791716 0,37211941 0,370881 190033_190034 TTG700 -0,6243 0,1706 1,5674 0,38975 0,02910436 0,41885485 2,456743 200038_200039 TTG701 0,2071 0,2622 1,2886 0,04289 0,06874884 0,11163925 1,66049 SUM 1,60916985 8,27505 MEAN 0,268194975 1,379175 RMSE 0,517875444 1,174383 CE90/LE90 0,785875986 1,782126

Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai X, Y, Z di model stereo pada 15 titik uji yang sudah dipilih. Hasilnya disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil perbandingan antar model di seluruh titik uji

DESKRIPSI TITIK MODEL KOORDINAT

X Y Z ∆X ∆Y ∆Z

Pojok lapangan tenis, sisi luar garis 190032_190033 811634,254 9912574,752 15,598 0,216 -0,267 -0,159 190033_190034 811634,038 9912575,019 15,757

Siku marka jalan, sisi dalam 200029_200030 812445,983 9910874,701 11,464 0,012 -0,131 0,104 200030_200031 812445,971 9910874,832 11,36

Pojok objek, sisi dalam (tinggi objek + 2 m)

200038_200039 813676,021 9906693,838 1,405

0,096 -0,146 0 200039_200040 813675,925 9906693,984 1,405

Pojok atap (tinggi bangunan + 2 m) 180054_180055 811312,481 9907991,846 375,755 0,113 -0,153 -0,538 180055_180056 811312,368 9907991,999 376,293

Pojok pagar, sisi luar 190039_190040 812018,712 9909702,689 97,363 0,181 -0,173 0 190040_190041 812018,531 9909702,862 97,363

Pojok pagar, sisi dalam 200026_200027 811642,226 9912114,671 34,38 -0,271 -0,332 -0,467 200027_200028 811642,497 9912115,003 34,847

Siku atap tertinggi masjid (tinggi bangunan ± 8 m)

200026_200027 811628,463 9912114,118 42,141

-0,473 -0,133 -1,005 200027_200028 811628,936 9912114,251 43,146

Pojok bangunan, sisi dalam (tinggi bangunan 1-2 m)

200032_200033 812807,55 9909366,879 12,523

0,065 -0,113 -0,128 200033_200034 812807,485 9909366,992 12,651

Pojok atap (tinggi bangunan ± 5 m) 200039_200040 813657,138 9906159,973 31,16 0,426 -0,248 -0,131 200040_200041 813656,712 9906160,221 31,291

Siku lapangan basket (dibatasi oleh garis sisi dalam)

200032_200033 812846,347 9909357,638 9,802

-0,001 -0,157 -0,033 200033_200034 812846,348 9909357,795 9,835

Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar (posisi di ground)

200039_200040 814062,838 9906100,478 13,379

0,125 -1,168 0 200040_200041 814062,713 9906101,646 13,379

Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar (posisi di atas, tinggi bangunan + 4 m)

200039_200040 814061,963 9906100,503 17,445

-0,082 -0,24 0,609 200040_200041 814062,045 9906100,743 16,836

Siku pagar, sisi luar 200028_200029 812094,267 9911321,619 8,463 0,319 -0,656 0,393 200029_200030 812093,948 9911322,275 8,07

Pojok bangunan (tinggi bangunan + 8 m)

200028_200029 812047,819 9911245,633 17,243

0,151 -0,297 0,492 200029_200030 812047,668 9911245,93 16,751

(8)

DESKRIPSI TITIK MODEL KOORDINAT

X Y Z ∆X ∆Y ∆Z

Pojok lapangan tenis, sisi luar garis 190032_190033 811634,254 9912574,752 15,598 0,216 -0,267 -0,159 190033_190034 811634,038 9912575,019 15,757

Siku marka jalan, sisi dalam 200029_200030 812445,983 9910874,701 11,464 0,012 -0,131 0,104 200030_200031 812445,971 9910874,832 11,36

Pojok objek, sisi dalam (tinggi objek + 2 m)

200038_200039 813676,021 9906693,838 1,405

0,096 -0,146 0 200039_200040 813675,925 9906693,984 1,405

Pojok atap (tinggi bangunan + 2 m) 180054_180055 811312,481 9907991,846 375,755 0,113 -0,153 -0,538 180055_180056 811312,368 9907991,999 376,293

Pojok pagar, sisi luar 190039_190040 812018,712 9909702,689 97,363 0,181 -0,173 0 190040_190041 812018,531 9909702,862 97,363

Pojok pagar, sisi dalam 200026_200027 811642,226 9912114,671 34,38 -0,271 -0,332 -0,467 200027_200028 811642,497 9912115,003 34,847

Siku atap tertinggi masjid (tinggi bangunan ± 8 m)

200026_200027 811628,463 9912114,118 42,141

-0,473 -0,133 -1,005 200027_200028 811628,936 9912114,251 43,146

Pojok bangunan, sisi dalam (tinggi bangunan 1-2 m)

200032_200033 812807,55 9909366,879 12,523

0,065 -0,113 -0,128 200033_200034 812807,485 9909366,992 12,651

Pojok atap (tinggi bangunan ± 5 m) 200039_200040 813657,138 9906159,973 31,16 0,426 -0,248 -0,131 200040_200041 813656,712 9906160,221 31,291

Siku lapangan basket (dibatasi oleh garis sisi dalam)

200032_200033 812846,347 9909357,638 9,802

-0,001 -0,157 -0,033 200033_200034 812846,348 9909357,795 9,835

Pojok Kerangka Bangunan, sisi luar (posisi di ground) 200039_200040 814062,838 9906100,478 13,379 0,125 -1,168 0 200040_200041 814062,713 9906101,646 13,379 200030_200031 812493.674 9910807.286 10.58 RATA-RATA 0,174 0,288 0,278

Tabel di atas menunjukkan tidak ada perbedaan nilai X, Y, Z yang signifikan antara satu model stereo dengan model stereo lainnya, dan rata-rata masih berada di bawah 0,3 m. Artinya, ketika foto udara tersebut digunakan untuk proses stereokompilasi, tidak akan ada masalah yang signifikan terkait perbedaan nilai koordinat dan elevasi antar model stereonya.

Jika kembali melihat data-data di atas, uji akurasi tidak berpengaruh terhadap perbandingan nilai X, Y, Z antar model stereo. Seperti diketahui, akurasi vertikal hasil AT adalah 1,782 m, namun hanya satu objek yang memiliki nilai ΔZ di atas 1 m. Artinya, nilai koordinat dan elevasi antar model tidak ditentukan dari akurasi hasil AT, namun dapat ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti ikatan, jumlah, atau distribusi tie point. Namun meski tidak terdapat selisih signifikan antar model stereo, akurasi di setiap model stereo yang dihasilkan tidak akan berbeda jauh dari hasil uji akurasi yang dilakukan.

Nilai selisih terbesar terdapat pada objek siku atap tertinggi bangunan, dimana tinggi bangunan tersebut adalah ±8 m (Gambar 7). Nilai ΔX mencapai 0,473 m, dan nilai ΔZ lebih dari 1 m, tepatnya 1,005 m. Begitu pula objek pojok atap bangunan dengan tinggi bangunan ± 5 m (Gambar 8), nilai ΔX mencapai 0,426 m. Sebaliknya, objek siku lapangan basket (Gambar 9) memiliki selisih paling kecil. Artinya, jika stereokompilasi dilakukan pada objek-objek yang tidak berada di atas tanah, maka akan semakin besar pergeseran posisi dan elevasi yang mungkin terjadi pada objek tersebut.

(9)

Gambar 7. Objek siku atap tertinggi masjid (tinggi bangunan ± 8 m)

Gambar 8. Objek pojok atap (tinggi bangunan ± 5 m)

Gambar 9. Objek siku lapangan basket

KESIMPULAN

Kualitas hasil AT ditentukan dari dua parameter, yaitu orientasi relatif dan orientasi absolut. Orientasi relatif didapatkan dari hasil statistik perataan AT berupa sigma naught dan residu antar tie point, sedangkan orientasi absolut didapatkan dengan dengan membandingkan nilai Independent Check Point (ICP) yang diukur menggunakan GPS Geodetik dengan nilai titik yang sama pada model stereo di foto yang sudah dilakukan AT. Pada orientasi absolut, jika selisih keduanya memenuhi toleransi, maka foto udara tersebut dianggap sudah memenuhi spesifikasi secara geometrik. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah harus dipastikan bahwa posisi horizontal dan vertikal dari setiap model stereo yang terbentuk sudah konsisten.

(10)

Meski spesifikasi ketelitian sudah ditetapkan dan hasil ketelitian AT masuk pada toleransi ketelitian tersebut, terdapat beberapa kasus dimana pada lokasi yang sama di model yang berbeda memiliki nilai ketinggian (Z) yang berbeda. Ketika selisih tersebut berada di atas toleransi ketelitian yang ditentukan, hal tersebut tentunya akan menjadi masalah dalam proses pemetaan yang menggunakan foto udara tersebut sebagai data dasar. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menguji nilai koordinat dan elevasi pada beberapa lokasi yang tercakup dalam dua model.

Hasil statistik perataan AT menunjukkan sigma naught = 1,9 mikron, sedangkan hasil uji akurasi menunjukkan akurasi horizontal (CE90) adalah 0,786 m dan akurasi vertikal (LE90) adalah 1,782 m. Dengan hasil AT tersebut, tidak ada perbedaan nilai X, Y, Z yang signifikan antara satu model stereo dengan model stereo lainnya, dan rata-rata masih berada di bawah 0,3 m. Jika melihat hasil uji akurasi, uji akurasi tidak berpengaruh terhadap perbandingan nilai X, Y, Z antar model stereo. Artinya, nilai koordinat dan elevasi antar model tidak ditentukan dari akurasi hasil AT, namun dapat ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti ikatan, jumlah, atau distribusi tie point.

Nilai selisih terbesar terdapat pada objek siku atap tertinggi bangunan, dimana tinggi bangunan tersebut adalah ± 8 m. Nilai ΔX mencapai 0,473 m, dan nilai ΔZ lebih dari 1 m, tepatnya 1,005 m. Begitu pula objek pojok atap bangunan dengan tinggi bangunan ±5 m, nilai ΔX mencapai 0,426 m. Sebaliknya, objek siku lapangan basket memiliki selisih paling kecil. Artinya, jika stereokompilasi dilakukan pada objek-objek yang tidak berada di atas tanah, maka akan semakin besar pergeseran posisi dan elevasi yang mungkin terjadi pada objek tersebut.

UCAPAN

TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim (PPRT) Badan Informasi Geospasial yang telah memfasilitasi terkait semua instrumen yang digunakan dalam penelitian ini, mulai data foto udara beserta kelengkapannya dan software pengolah Triangulasi Udara yang dipersilakan untuk digunakan dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Informasi Geospasial. (2013). Kerangka Acuan Kerja Pekerjaan Pemotretan Udara dan Pemetaan Rupabumi Indonesia Skala 1:10.000 Palu dan Kendari. Cibinong.

Badan Standardisasi Nasional. (2015). SNI Ketelitian Peta Dasar. Jakarta.

Jacobsen, K. (2001). Exterior Orientation Parameters. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 1321–1332. Retrieved from http://www.ipi.uni-hannover.de/uploads/tx_tkpublikationen/jac_ExterOr.pdf Kersten, T. (1999). Results of digital aerial triangulation using different software packages. In OEEPE

Workshop on Automation in Digital Photogrammetric Production (pp. 1–9). Paris.

Krzystek, P., T. Heuchel, U. Hirt, & F. Petran (1995). A New Concept for Automatic Digital Aerial Triangulation. Photogrammetric Week, 215–223. Retrieved from http://scholar.google.com/scholar?hl=en&btnG=Search&q=intitle:A+New+Concept+for+Automatic+Di gital+Aerial+Triangulation#0

Lumbantobing, M., K. Wikantika, & A.B. Harto. (2017). Peningkatan Akurasi Interpretasi Foto Udara Menggunakan Metode Pembobotan Berbasis Objek untuk Pembuatan Peta Skala 1 : 5000. Reka Geomatika, 1, 1–11.

Schenk, T. (1997). Towards Automatic Aerial Triangulation. ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 52(3), 110–121. https://doi.org/10.1016/S0924-2716(97)00007-5

Tanathong, S., & I. Lee. (2014). Using GPS/INS Data to Enhance Image Matching for Real-time Aerial Triangulation. Computers and Geosciences, 72, 244–254. https://doi.org/10.1016/j.cageo.2014.08.003 Wagner, R. (2011). The Leica RCD30 Medium Format Camera: Imaging Revolution. Photogrammetric Week

2011, 89–95. Retrieved from http://www.ifp.uni-stuttgart.de/publications/phowo11/095Wagner.pdf Zomrawi, N., M.A. Hussien, & H. Mohamed (2013). Accuracy Evaluation of Digital Aerial Triangulation.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan triangulasi udara (Schenk, 1997)
Gambar 2. Lokasi penelitian (sumber: Badan Informasi Geospasial, 2013)   Tabel 1. Spesifikasi kamera RCD30 (Lumbantobing, Wikantika, &amp; Harto, 2017)
Gambar 4. ICP dalam bentuk  premark Gambar 5. ICP dalam bentuk TTG
Tabel 2. Objek pengukuran di model stereo
+5

Referensi

Dokumen terkait