IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Karakteristik Substrat
1.
Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung
Limbah tanaman jagung merupakan bagian dari tanaman jagung selain biji yang pemanfaatannya masih terbatas. Limbah tanaman jagung meliputi batang, tongkol, kelobot, daun, dan bagian minor lainnya (akar, bunga, dan rambut jagung). Pada penelitian ini proporsi masing-masing bagian limbah tanaman jagung yang digunakan yaitu batang sebesar 83.28%, daun 7.02%, tongkol 4.49%, kelobot 4.72% dan lain-lain 0.49%.
Karakteristik limbah tanaman jagung yaitu meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, lemak, kadar serat kasar dan kadar karbohidrat (by diff). Karakterisasi limbah tanaman jagung terdapat pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Karakteristik limbah tanaman jagung Komponen (% bb) (% bk) Air 13.11 - Abu 1.73 2.00 Lemak 0.49 0.57 Protein 3.61 4.16 Serat Kasar 23.64 27.21 Karbohidrat by difference 57.42 66.06
Keterangan : % bb = persentase berdasarkan berat basah
% bk = presentase berdasarkan berat kering
Menurut Subekti (2006), limbah tanaman jagung dengan salah satu contohnya yaitu tongkol jagung varietas hawaii memiliki kandungan kadar air sebesar 7.04% (bb), kadar abu sebesar 1.80% (bk), kadar lemak sebesar 5.03% (bk), kadar protein sebesar 1.96% (bk), kadar serat kasar sebesar 43.73% (bk) dan kadar karbohidrat (by diff) sebesar 47.48% (bk). Perbedaan yang diperoleh karena komposisi limbah tanaman jagung pada penelitian ini tidak hanya berupa tongkol jagung saja, namun juga terdapat bagian tanaman jagung lainnya seperti batang, daun, kelobot dan lain-lain.
Menurut Fardiaz (1989), batas kadar air minimum dimana mikroba masih dapat tumbuh adalah 14-15% (bb). Kadar air sangat berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan bahan. Semakin tinggi kadar air suatu bahan maka daya simpannya semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis, limbah tanaman jagung memiliki kadar air yang tergolong aman dari pertumbuhan mikroba.
Limbah tanaman jagung memiliki kandungan zat anorganik atau unsur mineral dengan ditunjukkan oleh kadar abu. Kadar abu sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang dianalisis, umur bahan, dan lain-lain. Kadar abu juga dapat dipengaruhi oleh penambahan pupuk dan kondisi tempat tumbuh tanaman jagung tersebut.
Menurut Fengel dan Wegener (1995), lemak merupakan zat ekstraktif yaitu senyawa yang larut dalam pelarut organik seperti dietil eter, petroleum eter, aseton dan lain-lain. Kadar lemak yang tinggi dapat menghambat proses delignifikasi. Limbah tanaman jagung ini memiliki kadar lemak yang tidak
terlalu tinggi sehingga diharapkan proses delignifikasi sebelum proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dapat berlangsung dengan baik.
Limbah tanaman jagung memiliki kadar protein yang kecil dibandingkan dengan tongkol jagung tersebut. Apabila kadar protein pada limbah tanaman jagung tinggi maka pada proses penguapan suhu tinggi akan terjadi proses karamelisasi yang akan merubah warna limbah tanaman jagung menjadi kecoklatan.
Menurut Fardiaz dan Rambitan (1989), kadar serat kasar adalah sisa dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih. Kadar serat kasar terdiri atas selulosa, hemiselulosa, dan sebagian kecil lignin. Selulosa dan hemiselulosa merupakan kandungan bahan yang potensial untuk dijadikan bioetanol. Hal ini disebabakan oleh monomer yang terkandung pada selulosa dan hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber gula untuk difermentasikan menjadi etanol.
2.
Karakterisasi Limbah Tanaman Jagung dan Cairan Hasil Hidrothermal
II
Sebelum dilakukan proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dilakukan perlakuan awal, yaitu delignifikasi bahan, hidrothermal I, dan hidrothermal II. Kandungan limbah tanaman jagung sebelum dan sesudah perlakuan awal terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan limbah tanaman jagung sebelum dan sesudah perlakuan awal Sebelum Perlakuan Awal (g (bk)) Sesudah Perlakuan Awal (g (bk))
Lignin 0.1892 0.1728
Ekstraktif 0.1443 0.0974
Selulosa 0.3138 0.4409
Hemiselulosa 0.2361 0.2131
Proses delignifikasi bertujuan menghilangkan kandungan bahan ekstraktif bahan yang tidak digunakan selama proses fermentasi. Sejumlah lignin yang berkurang akan membuat struktur selulosa dan hemiselulosa lebih mudah untuk ditembus pada proses hidrolisis enzimatis dan sakarifikasi dan fermentasi simultan. Menurut Sierra (2008), delignifikasi terjadi karena kalium hidroksida mampu untuk mendegradasi lignin.
Proses delignifikasi dengan menggunakan kalium hidroksida tidak terlalu tinggi menurunkan kadar lignin. Kadar lignin yang mampu didegradasi sebesar 8.63% (bk). Pada penelitian Irawati (2006) diperoleh hasil degradasi kadar lignin tertinggi pada kombinasi perlakuan serbuk kayu meranti dengan waktu inkubasi 30 hari (34,34% (bk)), sedangkan kadar lignin terendah terdapat pada kombinasi perlakuan serbuk kayu sengon dengan waktu inkubasi 10 hari (21,58% (bk)).
Penurunan kadar lignin kayu pada serbuk kayu sengon dan jati terjadi karena lignin tersebut terdegradasi oleh enzim yang disekresikan jamur P.chrysosporium. Jamur P. chrysosporium dapat memproduksi enzim lignin peroksidase, manganase peroksidase dan lakase yang berperan dalam mendegradasi struktur lignin (Jefries, 1994; Bruce dan Palfreyman, 1998; Hattori dan Simada, 2001). Masing-masing proses antara kimia dan biologis memiliki kelebihan dan kekurangan. Degradasi
dalam penggurangan lignin namun disisi lain hasil penggurangan lignin tidak setinggi degradasi lignin menggunakan jamur tersebut. Proses penghilangan lignin dengan jamur memiliki kelebihan yaitu proses yang digunakan aman bagi lingkungan namun disisi lain memerlukan waktu lebih lama dalam proses delignifikasi.
Proses hidrothermal I berrtujuan agar menghilangkan komponen zat ekstraktif pada limbah tanaman jagung yang dapat mengganggu proses sakarifikasi dan fermentasi simultan. Menurut Munawar (2008), wax dapat dihilangkan dari permukaan serat setelah penguapan pada suhu di atas 60-70ºC. Dengan demikian, limbah tanaman jagung yang diuapkan dalam otoklaf pada suhu 121ºC selama 60 menit tidak menyebabkan terdegradasinya selulosa, hemiselulosa dan lignin.
Pada proses perlakuan awal ini, kadar bahan ekstraktif pada limbah tanaman jagung dapat berkurang sebesar 32.53% (bk). Pengurangan berat yang terjadi kemungkinan disebabkan berkurangnya wax. Kandungan bahan ekstraktif dari bahan terdegradasi pada cairan hasil proses hidrothermal I. Kandungan bahan ekstraktif dan lignin yang dihilangkan dari proses delignifikasi dan hidrothermal I diharapkan dapat memaksimalkan jumlah etanol yang dihasilkan dari limbah tanaman jagung.
Menurut Runkel dan Wiliter (1951), hemiselulosa terdegradasi pada suhu antara 130-194oC. Sehingga pada saat hidrothermal II dengan penguapan suhu 180oC terdapat sejumlah hemiselulosa yang terlarut dalam cairan hasil hidrothermal II. Berdasarkan hasil analisis pada limbah tanaman jagung setelah perlakuan awal terdapat sejumlah degradasi hemiselulosa ke dalam cairan hasil hidrothermal II sebanyak 9.74% (bk) dari limbah tanaman jagung awal. Hemiselulosa yang terhidrolisa ini akan membuat selulosa lebih mudah ditembus oleh perlakuan secara biologis (enzimatik). Menurut Perez (2008), proses ini juga memiliki potensi untuk melarutkan sebagian besar hemiselulosa sekaligus meminimalisir hidrolisa selulosa dan reaksi degradasi gula. Metode ini memiliki batasan temperatur operasi diatas 1000C dengan tetap mempertahankan air (H20) pada fase
liquid.
Hemiselulosa yang terlarut ini dapat dimanfaatkan sebagai substrat dalam proses pembuatan bioetanol. Pada proses pembuatan bioetanol dengan sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggunakan bahan lignoselulosik memiliki keterbatasan dalam penggunaan substrat dalam bentuk padat. Menurut Olofsson et al. (2008), konsentrasi padatan yang tidak terlarut dalam air tidak boleh lebih dari 10% agar diperoleh konsentrasi bioetanol yang tinggi. Cairan hasil hidrothermal II tersebut dapat dimanfaatkan sebagai substrat sakarifikasi dan fermentasi simultan karena mengandung sejumlah hemiselulosa dan juga dapat membuat kondisi enzim dapat bekerja lebih baik pada kondisi lingkungan yang basah yang dikenal dengan istilah kondisi indorush.
Rantai-rantai selulosa tersusun kompak dengan ikatan hidrogen dan disebut sebagai mikrofibril. Mikrofibril selulosa ini memiliki bentuk amorf dan kristal. Sebagian besar selulosa (sekitar 2/3 bagaiannya) memiliki struktur kristal. Bentuk struktur yang kristal yang menyebabkan selulosa sulit untuk didegradasi secara enzimatik (Rachmaniah et al., 2009). Perlakuan awal hidrothermal I dan II dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas selulosa terhadap perlakuan enzimatik.
Pemanasan antara 95-104oC hanya menguapkan air, pemanasan antara 155-259oC ikatan selulosa belum putus, pemanasan pada suhu 259-452oC rantai makromolekul selulosa terputus. Dan pada suhu 452-500oC material menjadi lebih stabil (Servega dan Vaivads, 1954). Penguapan pada proses hidrothermal I dan II selulosa belum terdegradasi. Peningkatan kandungan selulosa pada limbah tanaman jagung sesudah perlakuan awal merupakan proposi dari pengurangan sejumlah lignin, bahan ekstraktif, dan hemiselulosa pada limbah tanaman jagung hasil perlakuan awal.
Hidrolisis enzim bertujuan agar dapat membantu proses sakarifikasi dan fermentasi berjalan dengan baik. Pada awal sakarifikasi dan fermentasi apabila tidak dilakukan hidrolisis enzim maka kandungan gula yang terdapat di dalam substrat awal sangat kecil sehingga mikroba akan sulit untuk mendapatkan gula untuk pertumbuhan sel maupun produk.
Limbah tanaman jagung sebelum hidrolisis enzim memiliki gula total sebesar 0.89 g/g limbah dan gula pereduksi sebesar 0.68 g/g limbah sedangkan sesudah dihidrolisis enzim gula total menurun menjadi 0.77 g/g limbah dan gula pereduksi menjadi 0.62 g/g limbah. Pada cairan hidrothermal II sebelum dihidrolisis memiliki gula total sebesar 2,.8 g/l dan gula pereduksi sebesar 1.69 g/l sedangkan sesudah dihidrolisis enzim gula total meningkat menjadi 75.54 g/l dan gula pereduksi menjadi 12.91 g/l.
B. KINERJA PROSES SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SIMULTAN
Pembuatan bioetanol dari limbah tanaman jagung dilakukan dengan menggunakan metode sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggunakan biakan yang berbeda-beda. Pada metode ini tahapan fermentasi tersebut dilakukan secara bersamaan dengan proses sakarifikasi. Biakan yang digunakan ialah Zymomonas mobilis, biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis dan biakan Pichia stipitis. Kinerja proses dari sakarifikasi dan fermentasi simultan ini dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu pertumbuhan biomassa, perubahan pH, penggunaan gula pereduksi, penggunaan gula total dan pembentukkan etanol.
1. Pertumbuhan Biomassa
Mikroba akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungannya. Kinetika pertumbuhan dan pertumbuhan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al., 2006). Biomassa merupakan bobot biomassa kering yang terdapat dalam cairan hasil fermentasi. Setiap mikroba pada saat fermentasi akan mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan jumlah biomassa yang semakin bertambah dari waktu ke waktu. Mikroba Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis dapat tumbuh pada media yang mengandung gula yang dapat difermentasi sebagai sumber energi. Hasil pengamatan pertumbuhan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis dapat dilihat pada Gambar 6.
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa limbah tanaman jagung yang memiliki kandungan selulosa dan hemiselulosa setelah melalui proses sakarifikasi dan fermentasi simultan dapat menjadi sumber karbon bagi mikroba tersebut. Selulosa terlebih dahulu akan dipecah menjadi glukosa, hemiselulosa akan dipecah menjadi xilosa, serta β-glukosidase dapat menghidrolisis selubiosa dan selo-oligosakrida menjadi glukosa yang dapat dimetabolisme mikroba di dalam sel.
Pada saat fermentasi, pertumbuhan mikroba secara umum terdiri atas fase lag, eksponensial, stasioner, dan kematian. Fase lag adalah masa penyesuaian mikroba sejak inokulum diinokulasi ke dalam media fermentasi. Pada fase lag terjadi pertumbuhan yang lambat dimana sel mempersiapkan diri melakukan pembelahan sehingga peningkatan jumlah sel berjalan lambat. Cepat atau lambatnya fase lag tergantung kepada kualitas, kuantitas, dan umur biakan yang diinokulasikan (Moat, 1979).
Pada fase eksponensial terjadi pertumbuhan cepat dimana jumlah sel bertambah secara eksponensial terhadap waktu. Menurut Reed dan Rhem (1983) pada fase ini kondisi lingkungan berubah karena substrat dan nutrien dikonsumsi sementara metabolik dihasilkan.
Pada saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner konsentrasi biomassa mencapai maksimum, setelah fase tersebut terjadi fase kematian yang ditandai dengan penurunan jumlah sel (Bailey dan Olis, 1991).
Dari Gambar 6, dapat dilihat pertumbuhan dari masing-masing mikroba. Pada biakan Zymomonas mobilis saat 0-12 jam mengalami fase lag, pada 12-48 jam mengalami fase eksponensial, pada 48-72 jam mengalami fase stasioner dan pada 72-96 jam mengalami fase kematian. Pada biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis saat 0-12 jam mengalami fase lag, pada 12-48 jam mengalami fase eksponensial, pada 48-96 jam mengalami fase stasioner dan pada 72-96 jam mengalami fase kematian. Pada biakan Pichia stipitis saat 0-24 jam mengalami fase lag, pada 24-48 jam mengalami fase eksponensial, pada 48-72 jam mengalami fase stasioner dan pada 72-96 jam mengalami fase kematian.
Berdasarkan data pertumbuhan tersebut biomassa Zymomonas mobilis yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan Pichia stipitis. Hal ini dapat disebabkan karena gula yang akan diubah menjadi senyawa antara (intermediate) umum yaitu piruvat di dalam sel Zymomonas mobilis akan melalui jalur Entner Doudoroff (ED) sebelum difermentasi. Menurut Zhang et al. (1995) dan Dien et al. (2003) jalur ED sangat mirip dengan jalur Embden Meyerhoff Parnas (EMP), dan kedua jalur tersebut berpusat pada piruvat. Namun, jalur EMP menghasilkan 2 mol ATP per mol glukosa yang digunakan, sementara jalur ED hanya menghasilkan 1 mol ATP (Gambar 5). Sebagai konsekuensinya, biomassa yang dihasilkan Zymomonas mobilis lebih sedikit karena dihasilkan pada siklus ED.
2. Perubahan pH
Pembentukan sel maupun produk dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan salah satunya yaitu pH. Pada proses sakarifikasi dan fermentasi simultan parameter pH dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Kurva pH selama sakarifikasi dan fermentasi simultan
Berdasarkan Gambar 7, terjadi penurunan pH selama sakarifikasi dan fermentasi berlangsung. Penurunan pH terjadi hampir serentak selama waktu fermentasi, hal ini karena dalam proses sakarifikasi dan fermentasi terbentuk asam yang akan membuat pH lingkungan menjadi lebih rendah dari waktu ke waktu.
Zymomonas mobilis dapat hidup pada pH 6.8 (Obire, 2005) sedangkan Pichia stipitis dapat tumbuh pada pH 6.5 (Jeppson et al., 1995). Menurut Reed (1966) pH optimum selulase antara 4.5 sampai dengan 6.5. Nakamura et. al. (1993) menyebutkan bahwa xilanase menunjukkan aktivitas yang baik pada kisaran pH antara 4 sampai dengan 11. Kondisi pH selama sakarifikasi dan fermentasi simultan dalam kondisi pertumbuhan bagi Zymomonas mobilis maupun Pichia stipitis dan juga kondisi optimum untuk sakarifikasi.
3. Peggunaan Gula Pereduksi
Gula pereduksi diukur menggunakan metode DNS (Miller, 1959). Gula pereduksi akan menghasilkan warna kuning sampai kemerah-merahan sesuai dengan kandungan gula sederhana yang terdapat di dalam cairan fermentasi. Gula pereduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi. Hal ini dikarenakan adanya gugus keton dan aldehid (-CHO). Contoh gula pereduksi adalah glukosa, manosa, fruktosa, laktosa, maltosa, dan lain-lain.
Hasil pengukuran gula pereduksi pada berbagai mikroba yang digunakan selama sakarifikasi dan fermentasi simultan berlangsung dapat dilihat pada Gambar 8 berikut.
Dari gambar tersebut diketahui bahwa terjadi penurunan gula pereduksi pada saat sakarifikasi dan fermentasi simultan berlangsung. Hal ini disebabkan gula pereduksi digunakan mikroba untuk pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Pemanfaatan gula reduksi yang tertinggi sampai yang tertinggi yaitu pada saat menggunakan biakan Zymomonas mobilis, campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis, dan Pichia stipitis. Penggunaan gula pereduksi pada biakan Pichia stipitis lebih kecil karena pada saat pengukuran dengan absorbansi 550 nm dan pemanasaan DNS selama 5 menit komponen gula pentosa belum terhitung sedangkan mikroba ini mengunakan gula pentosa dan heksosa saat sakarifikasi dan fermentasi simultan.
4. Penggunaan Gula Total
Gula total ditetapkan berdasarkan metode fenol asam sulfat dengan prinsip gula-gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat menghasilkan warna oranye yang stabil (Apriyantono, 1989). Hasil pengukuran gula total selama sakarifikasi dan fermentasi simultan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Kurva gula total selama sakarifikasi dan fermentasi simultan
Dari Gambar 9 diketahui bahwa terjadi penurunan gula total pada saat proses sakarifikasi dan fermentasi simultan berlangsung. Penurunan gula total terjadi seiring dengan penggunaan pentosa dan heksosa selama sakarifikasi dan fermentasi simultan.
Penggunaan gula total yang paling banyak yaitu oleh biakan Pichia stipitis. Hal ini disebabkan mikroba ini menggunakan gula baik dalam bentuk pentosa maupun heksosa untuk pembentukan sel maupun produk. Sedangkan, biakan campuran antara Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis penggunaan gula totalnya lebih sedikit daripada biakan Pichia stipitis hal ini diduga karena terjadi persaingan dalam menggunakan heksosa untuk pembentukan produk dan sel. Pada biakan Zymomonas mobilis penggunaan gula total lebih rendah daripada menggunakan biakan Pichia stipitis dan biakan campuran antara Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis hal ini disebabkan karena Zymomonas mobilis tidak dapat menggunakan gula pentosa untuk pembentukan sel maupun produk .
Biomassa dan gula total merupakan dua parameter yang saling berhubungan dalam proses fermentasi. Hubungan korelasi antara dua parameter ini dapat dilihat pada Gambar 10 di bawah ini.
Gambar 10. Hubungan antara gula total dan biomassa
Berdasarkan Gambar 10, besarnya nilai korelasi dari biakan Zymomonas mobilis, biakan campuran antara Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis, dan biakan Pichia stipitis, yaitu 0.744, 0.748, dan 0.863. Nilai r dari masing-masing biakan lebih besar dari 0.7 dan mendekati satu. Hal ini menunjukkan bahwa antara parameter gula total dan biomassa memiliki hubungan yang sangat erat. Pada grafik dari Gambar 10 terlihat kemiringan negatif yang menunjukkan korelasi antara parameter gula total dan biomassa memiliki korelasi yang bertanda negatif. Maka dari itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin kecil total gula yang ada dalam substrat sakarifikasi dan fermentasi simultan karena terbentuknya biomassa mikroba.
5. Pembentukan Etanol
Saat sakarifikasi dan fermentasi simultan berlangsung terbentuklah produk yaitu etanol yang merupakan hasil metabolit sekunder dari pertumbuhan mikroba tersebut. Pada sakarifikasi dan fermentasi simultan konsentrasi etanol yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11.
Berdasarkan Gambar 11, maka konsentrasi etanol yang dihasilkan mencapai kondisi terbaik pada jam ke-48 pada biakan Zymomonas mobilis sedangkan pada biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis dan biakan Pichia stipitis pada saat jam ke-72. Pada saat itulah konsentrasi etanol mencapai puncak. Setelah jam tersebut konsentrasi etanol menurun disebabkan terbentuknya asam.
Terbentuknya asam selama fermentasi adalah karena pada saat fementasi, konversi gula dilakukan melalui jalur Entner Doudoroff dan Embeden Meyerhoff Parnas dimana gula dapat menjadi etanol melalui produk-produk seperti asam piruvat dan asetaldehid. Selain itu juga terbentuk asam-asam organik seperti asam-asam laktat, asam-asam asetat dan gliserol yang merupakan hasil samping dari etanol.
Konsentrasi etanol yang dihasilkan pada sakarifikasi dan fermentasi simultan menggunakan mikroba Zymomonas mobilis, biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis dan Pichia stipitis secara berturut-turut yaitu sebesar l0.34 g/l, 13.49 g/l, dan 36.93 g/l. Konsentrasi etanol yang tertinggi diperoleh pada saat menggunakan mikroba Pichia stipitis. Hal ini dikarenakan mikroba ini dapat memanfaatkan secara optimal substrat yang berupa pentosa dan heksosa dibandingkan biakan Zymomonas mobilis dan biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis.
6. Efisiensi Fermentasi
Terdapat beberapa parameter yang dapat menghubungkan waktu fermentasi dengan konsentrasi etanol, biomassa, dan gula total. Parameter ini menunjukkan efisiensi dari proses fermentasi yang meliputi rendemen produk per substrat (Y p/s), rendemen biomassa per substrat (Y x/s), rendemen produk per biomassa (Y p/x) dan efisiensi penggunan subsatart (ds/s).
Rendemen produk per substrat (Y p/s) adalah rendemen produk yang terbentuk per substrat yang dikonsumsi oleh mikroba. Rendemen produk per substrat tertinggi diperoleh pada sakarifikasi dan fermentasi simultan menggunakan biakan Pichia stipitis sebesar 0.501 dan rendemen terendah diperoleh pada saat menggunakan biakan Zymomonas mobilis sebesar 0.190 sedangkan saat menggunakan biakan Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis sebesar 0.192.
Rendemen biomassa (Y x/s) adalah rendemen biomassa yang terbetuk per substrat yang dikonsumsi. Rendemen biomassa per substrat tertinggi diperoleh pada sakarifikasi dan fermentasi menggunakan biakan Pichia stipitis sebesar 0.018. Rendemen biomassa per substart terendah diperoleh dengan menggunakan biakan Zymomonas mobilis sebesar 0.009 sedangkan untuk biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis diperoleh sebesar 0.012.
Rendemen produk per biomassa (Y p/x) merupakan rendemen produk yang dihasilkan per biomassa yang tumbuh. Penggunaan biakan campuran Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis menghasilkan rendemen yang lebih kecil daripada biakan yang lainnya yaitu sebesar 15.565. Rendemen produk per biomassa tertinggi yaitu pada penggunaan biakan Pichia stipitis sebesar 27.698 sedangkan pada biakan Zymomonas mobilis dihasilkan rendemen sebesar 22.157.
Efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) yang tertinggi yaitu pada sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggunakan biakan Pichia stipitis yaitu sebesar 97,56%, kemudian Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis yaitu sebesar 92.79 %, dan yang terendah saat menggunakan biakan Zymomonas mobilis sebesar 72.08%. Efisiensi pemakaian substrat (ds/s) dengan menggunakan biakan Zymomonas mobilis yang terendah karena substrat sakarikasi dan fermentasi berupa gula sederhana pentosa dan heksosa. Pentosa tidak dapat dikonsumsi oleh mikroba ini sehingga pemanfaatan substrat kecil.
Secara keseluruhan sakarifikasi dan fermentasi simultan dengan menggunakan biakan Pichia stipits lebih baik daripada menggunakan mikroba lainnya karena menghasilkan rendemen produk per substrat (Y p/s), rendemen biomassa per substrat (Y x/s), rendemen produk per biomassa (Y p/x) dan efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) yang tertinggi. Hal ini disebabkan Pichia stipitis mampu menggunakan gula pentosa dan heksosa dalam pertumbuhannya untuk menghasilkan etanol.
Berdasarkan rendemen produk per substrat (Y p/s), rendemen biomassa per substrat (Y x/s), dan efisiensi pemanfaatan substrat (ds/s) diperoleh hasil yang terendah dengan menggunakan biakan Zymomonas mobilis. Zymomonas mobilis tidak mampu merubah gula pentosa menjadi etanol dibandingkan dengan biakan Pichia stipitis. Penggunaan biakan campuran antara Zymomonas mobilis dan Pichia stipitis lebih baik daripada menggunakan biakan Zymomonas mobilis apabila dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabakan karena dalam biakan tersebut terdapat biakan Pichia stipitis yang dapat menggunakan gula dalam bentuk pentosa.
Proses sakarifikasi dan fermentasi simultan ini menghasilkan etanol lebih tinggi dibandingkan dengan proses terdahulu yaitu sakarifikasi dan fermentasi terpisah atau separated hydrolysis and
fermentation (SHF). Pada penelitian sebelumnya Subekti (2006) menggunakan proses SHF dengan menggunakan substrat limbah tanaman jagung yaitu tongkol jagung dengan biakan Saccharomyces cereviseae menghasilkan kadar etanol tertinggi sebesar 14.22 g/l dan rendemen produk per substrat (Y p/s) sebesar 0.154. Sedangkan, proses SSF yang dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan biakan Pichia stipitis dapat menghasilkan kadar etanol dan rendemen produk per substrat yang lebih tinggi.