• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENELITIAN FOSIL KAYU: STATUS DAN PROSPEKNYA DI INDONESIA 1. Oleh: Listya Mustika Dewi 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENELITIAN FOSIL KAYU: STATUS DAN PROSPEKNYA DI INDONESIA 1. Oleh: Listya Mustika Dewi 2"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENELITIAN FOSIL KAYU:

STATUS DAN PROSPEKNYA DI INDONESIA1

Oleh:

Listya Mustika Dewi2

I. Pendahuluan

Fosil ialah sisa tulang belulang binatang atau sisa-sisa tumbuhan dari zaman purba yang membatu atau yang tertanam di bawah lapisan tanah (Badudu dan Zein, 2001). Suatu benda bisa disebut fosil apabila memiliki syarat antara lain: merupakan sisa organisme, terawetkan secara alamiah, pada umumnya padat/kompak/keras, mengandung kadar oksigen dalam jumlah sedikit, dan berumur lebih dari 10.000 tahun(Palmer, 2002).

Fosil kayu merupakan kayu yang sudah membatu dimana semua bahan organiknya telah digantikan oleh mineral (silika dan sejenis kuarsa), dengan struktur kayu tetap terjaga. Proses pembentukan fosil kayu dimulai dari masukknya air yang mengandung mineral ke dalam sel-sel pohon melapisi lignin dan selulosa yang membusuk sehingga menjadi batu. Proses terbentuknya fosil kayu mirip dengan terbentuknya fosil materi lain, yaitu karena permineralisasi secara kimiawi dan fisika melalui proses yang sangat panjang (Andianto et al, 2012). Fosil kayu memiliki nilai sejarah yang tak ternilai karena dapat menjadi bukti hidupnya suatu jenis pohon tertentu pada zaman pra sejarah. Salah satu ciri ditemukannya fosil kayu adalah ditemukannya produk gunung api tersier. Dari berbagai sumber, fosil kayu yang ditemukan di Indonesia berasal dari masa miocene sampai pliocene yaitu 25 juta tahun BP (Before Present) sampai 2 juta tahun BP.

Penelitian mengenai fosil kayu termasuk ke dalam lingkup bidang ilmu paleobotani. Paleobotani merupakan ilmu yang mempelajari fosil tumbuhan. Kajian dalam bidang ilmu paleobotani meliputi aspek fosil tumbuhan, rekonstruksi taksa, dan sejarah evolusi dunia tumbuhan. Untuk dapat memahami Paleobotani dengan baik diperlukan penguasaan pada bidang-bidang ilrnu pendukung, seperti geologi, anatorni tumbuhan, dan taksonomi tumbuhan (Susandarini, 2004). Manfaat mempelajari paleobotani antara lain adalah untuk mengetahui identitas botani dari suatu fosil (anatomi), mengetahui umur fosil (geologi), dan dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah persebaran dan kepunahan dari taksa tumbuhan tertentu (fitogeografi).

Penelitian fosil kayu di Indonesia sudah dimulai sejak masa pemerintahan Belanda. Berbagai penelitian mengenai fosil kayu yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penelitian fosil kayu mempunyai peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai status fosil kayu di Indonesia yang meliputi potensi dan penyebaran, pemanfaatan, dan peraturan perundangan yang terkait; status penelitian fosil kayu di Indonesia sejak jaman pemerintahan Belanda sampai dengan saat ini; dan prospeknya di masa yang akan datang.

1

Disajikan pada Diskusi Litbang Anatomi Kayu Indonesia di IPB International Convention Center, 3 Juni 2013. 2

(2)

2 II. Fosil Kayu di Indonesia

a. Potensi dan Penyebaran

Fosil kayu telah ditemukan di banyak tempat di Indonesia yaitu di Jawa Barat (Ciampea, Jasinga, Leuwiliang, Banten, Sukabumi, dan Tasikmalaya), Jawa Tengah (Banjarnegara dan daerah perbatasan antara Sragen dan Karanganyar), Jawa Timur (Pacitan), Kalimantan, Jambi, dan Flores. Informasi terakhir, banyak fosil ditemukan di kawasan KHDTK Labanan, Berau, Kalimantan Timur oleh tim peneliti dari Balai Besar Penelitian Dipterokarpa Samarinda (Lestari, 2013). Selain itu, diperoleh juga informasi ditemukannya fosil kayu yang dianggap sebagai cultural keystone species di rumah adat Kampung Laitarung, Sumba Tengah (Njurumana, 2013). Untuk daerah-daerah lain kemungkinan ada, namun belum diketahui informasi detailnya.

b. Pemanfaatan

Sejak lebih dari 3 dekade yang lalu, fosil kayu telah digali dan sampai saat hanya dimanfaatkan sebagai komoditi yang diperjualbelikan baik dalam negeri maupun ke luar negeri (Mandang dan Kagemori, 2004). Sampai saat ini fosil kayu di Indonesia masih dimanfaatkan sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi. Berdasarkan informasi dari penjual fosil kayu di Leuwiliang, Bogor ketersediaan bahan baku fosil kayu sudah semakin berkurang. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan punahnya fosil kayu.

Gambar 1. Contoh fosil kayu yang diperjualbelikan (Foto: YI Mandang)

c. Peraturan Terkait Dengan Fosil Kayu

Untuk mengurangi resiko kepunahan, pemerintah telah melarang ekspor bahan mentah batu mulia dan fosil kayu yang tertuang dalam KEPMEN 385/MPP/KEP/6/2004. Untuk meningkatkan nilai tambah tambang ekspor melalui pengolahan, pemerintah telah mengaturnya dalam UU No.9/2009 tentang Pertambangan Minerba dan Kepmendag nomor 29/M-DAG/PER/5/2012 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.

Selain itu, pemerintah daerah diharapkan dapat mengantisipasi hal tersebut dengan mengeluarkan peraturan yang terkait peredaran benda-benda bersejarah khususnya fosil kayu. Peraturan tersebut dapat mengacu pada UU No 26/2007 tentang Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah No 26/2008 Pasal 50-55 yang mengatur tentang masalah geologi termasuk pembangunan cagar alam geologi.

(3)

3 III. Status Penelitian Fosil Kayu di Indonesia

a. Periode I: sebelum kemerdekaan (< 1945)

1) Crie (1888), meneliti terutama fosil daun di Gunung Kendeng, Jawa, diantaranya terdapat satu fosil kayu Naucleoxylon spectabile (Rubiaceae).

2) Krausel (1922), meneliti fosil kayu di Bolang Rangkasbitung dan teridentifikasi sebagai Dipterocarpoxylon javanense (Dipterocarpaceae).

3) Berger (1923) Shoreoxylon djambiense, asal Jambi.

4) Krausel (1926), merevisi temuan Crie yaitu dengan mengubah Naucleoxylon spectabile menjadi Dipterocarpoxylon spectabile. Pada tahun berikutnya (1927), Berger merevisi temuan Krausel yaitu Dipterocarpoxylon spectabile menjadi Dryobalanoxylon spectabile dan Dipterocarpoxylon javanense menjadi Dryobalanoxylon javanense.

b. Periode II (1945-1980)

1) Schweitzer (1958) meneliti fosil kayu Vaticoxylon nov. gen, Dipterocarpoxylon, Dryobalanoxylon Holden emend. Berger dan Shoreoxylon Berger.

- Vaticoxylon pliocaenicum nov. spec., asal Jambi, umur Kuarter dan asal Jawa Barat, umur Pliocene.

- Dipterocarpoxylon goepperti Krausel, asal Jasinga, umur Tersier. - Dipterocarpoxylon javanicum Hofmann, asal Indramayu, umur Tersier. - Dipterocarpoxylon perforatum, asal Jambi, umur Kuarter.

- Dryobalanoxylon tobleri Krausel, asal Banten, umur Pliocene.

- Dyobalanoxylon spectabile (Crie) Berger, asal Bogor, umur Pliocene. - Dryobalanoxylon musperi Schweitzer, asal Bogor, umur Pliocene.

- Dryobalanoxylon neglectum Schweitzer, asal Bogor dan Jambi, umur Kuarter.

- Dryobalanoxylon bangkoense Schweitzer, asal Banten, umur Pliocene dan Miocene dan asal Jambi, umur Kuarter.

- Drobalanoxylon mirabile nov. spec. , Drobalanoxylon rotundatum no. spec., asal Jambi, umur Kuarter.

- Drobalanoxylon javanense (Krausel) Berger, asal Tenjo, umur Pliocene. - Dryobalanoxylon borneense Schweitzer, asal Kaltim, umur Miocene. - Dryobalanoxylon sumatrense Schweitzer, asal Jambi, umur Pliocene.

- Shoreoxylon pulchrum, asal Jambi, umur Kuarter dan Shoreoxylon maximum asal Palembang, umur Tersier.

- Shoreoxylon maximum Schweitzer asal Palembang, umur Tersier.

2) Sukiman (1977) menemukan Shoreoxylon pachitanensis di Pacitan, Jawa Tengah dan berumur Miocene.

c. Periode III (1980-2013)

Pada periode ketiga, penelitian fosil kayu baru dimulai kembali pada tahun 1990an, yaitu:

1) Mandang & Martono (1996) melakukan survei pendahuluan di 3 tempat pengumpulan fosil kayu di Jawa Barat (Ciampea, Leuwiliang, Jasinga) mengidentifikasi secara makroskopis terhadap kurang lebih 200 spesies. Sebanyak 80 % diantaranya adalah fosil kayu Dipterocarpaceae dan 20 % diantaranya Dryobalanoxylon. Sampel yang diperiksa tersebut tidak jelas asal usulnya sehingga belum dapat diketahui umurnya.

(4)

4 2) Srivastava & Kagemori (2001), Dryobalanoxylon bogorensis, asal Jawa Barat (Leuwiliang),

umur Pliocene.

Koleksi yang diamati oleh Crie, Krausel, Schweitzer, dan Srivastava dan Kagemori, disimpan di luar negeri dan tidak ada arsipnya di Indonesia sehingga sulit untuk melakukan pengecekan dan perbandingan.

3) Noriko Kagemori, Mandang, Terada, Yutaka Kegemori, Sapri Hadiwisastra (2002) melakukan penelitian pendahuluan terhadap 63 sampel fosil kayu yang berasal dari Rangkasbitung, Leuwiliang, dan Tenjo. Ketiga lokasi tersebut termasuk ke dalam formasi genteng pada masa pliocene. Secara makroskopis teridentifikasi sebagai jenis Shorea (Dipterocarpaceae), Terminalia (Combretaceae), dan Dillenia (Dilleniaceae).

4) Y. Mandang & Kagemori (2004): Dryobalanoxylon lunaris asal Leuwidulang, Banten, Umur lower pliocene. Repositori di Museum Kehutanan, Manggala Wanabakti, Jakarta.

Gambar 2. Prasasti dan Fosil kayu Dryobalanoxylon lunaris di Manggala Wanabakti, Jakarta (Foto: YI Mandang)

5) Andianto et al pada tahun 2010 mengidentifikasi fosil kayu yang berasal dari Kali Cemoro yang terletak di perbatasan Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah. Fosil kayu yang ditemukan sebagian masih belum membatu. Fosil tersebut merupakan fosil kayu rengas burung (Gluta wallichii (Hook.f.) Ding Hou) dari famili Anacardiaceae (Andianto et al, 2012).

Gambar 3. Fosil kayu rengas burung dan struktur anatominya (Foto: Andianto)

6) Dewi et al pada tahun 2012 meneliti fosil kayu yang berasal dari Cagar Alam Wae Wuul, Pulau Flores. Fosil tersebut teridentifikasi ke dalam marga Shorea (Dipterocarpaceae). Perbedaan ciri dengan fosil Shorea yang lain digunakan dasar dalam penamaan nama baru yaitu Shoreoxylon floresiensis (Gambar 4). Fosil tersebut ditemukan pada formasi batuan gunung api pada periode tersier dan hidup pada masa miocene tengah yaitu sekitar 19 juta tahun BP. Ditemukannya fosil Shoreoxylon ini cukup mengejutkan karena tidak ada catatan

(5)

5 yang menyebutkan bahwa Shorea mempunyai daerah persebaran di Nusa Tenggara dan Flores. Jenis dari famili Dipterocarpaceae yang ada di Nusa Tenggara berdasarkan Whitmore et al (1989) adalah Dipterocarpus hasseltii dan Dipterocarpus retusus. Fosil Shoreoxylon sebelumnya ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa pada zaman dahulu, kemungkinan wilayah tersebut bersatu sampai dengan pulau Flores. Punahnya jenis Shorea pada masa kini kemungkinan disebabkan oleh aktivitas vulkanik dari periode tersier sampai kuarter. Aktivitas vulkanik ini dibuktikan dari formasi batuannya yang merupakan formasi batuan gunung api. Macdonald (1972) menyatakan bahwa gunung api adalah tempat atau bukaan dimana batuan kental pijar atau gas, umumnya keduanya, keluar dari dalam bumi ke permukaan, dan tumpukan bahan batuan di sekeliling lubang kemudian membentuk bukit atau gunung).Hasil kegiatan berupa bahan padat yang teronggokkan di sekeliling lubang biasanya membentuk bukit atau gunung dan disebut sebagai batuan gunung api (Bronto, 2006).

Gambar 4. Fosil kayu dari Flores: a. BF 97: Shoreoxylon floresiensis Dewi et al, BF 98 dan 97 belum diteliti, b. penampang lintang makroskopis (saluran interseluler aksial dalam baris tangensial panjang), c. penampang lintang mikroskopis, d. penampang tangensial

(sel idioblast), e. Penampang radial

a b

(6)

6 IV. Prospek Penelitian Fosil Kayu di Indonesia

Di Indonesia, sampai saat ini fosil kayu masih dianggap sebagai aset bernilai ekonomi semata. Fosil kayu digali dan diperjualbelikan dengan kuota yang tidak terbatas. Sebagian besar fosil kayu yang diperjualbelikan tidak diketahui identitas botanisnya. Kekhawatiran akan semakin langkanya fosil kayu sudah mulai dirasakan oleh para pengusaha. Tidak banyak kalangan yang mempunyai sudut pandang dari sisi historikal. Di negara lain, fosil kayu diposisikan sebagai aset bersejarah yang harus dijaga dan dilindungi. Fosil kayu tersebut dilindungi dalam sebuah kawasan konservasi yang dapat menjamin keberadaan bukti zaman pra sejarah ini. Sebagai contoh, di Yunani telah dibangun hutan fosil kayu terbesar di dunia yang terletak di pulau Lesvos. Hutan fosil kayu terbesar kedua adalah Taman Nasional Hutan Fosil Kayu di Arizona (1963). Selain di Arizona, Amerika juga membangun taman nasional fosil kayu di Mississipi (1966). Di Jepang, fosil kayu juga dikelola dalam suatu wilayah konservasi in-situ. Demikian juga dengan Thailand yang mendirikan museum dan pusat penelitian fosil kayu dan mineral di Provinsi Nakhon Rhatcashima pada tahun1999.

Gambar 4. Konservasi fosil kayu di luar negeri: a. Lesvos Petrified Forest, b. Arizona Petrified Forest, c. Konservasi in-situ di Uchiura (Foto:YI Mandang), d. Thailand Petrified Forest

(Boonchai, 2009).

Berkaca dari negara-negara tersebut, membangkitkan sebuah cita-cita bahwa Indonesia dapat melakukan hal serupa. Dari sisi ekonomis dan historis, pembangunan kawasan konservasi fosil kayu akan dapat meningkatkan nilai tambah pariwisata di Indonesia. Selain itu, kawasan ini dapat menjadi sarana edukasi bagi generasi muda untuk mempelajari kehidupan pada zaman pra sejarah. Dengan dibangunnya kawasan konservasi fosil kayu, bukan berarti pemanfaatan fosil kayu untuk kerajinan sepenuhnya dilarang. Pemanfaatan fosil kayu sebaiknya dibatasi untuk benda-benda kecil yang bernilai tinggi seperti perhiasan, souvenir, dan lain-lain. Selain itu, kuota

a b

c d

http://www.lesvos.com/petrifiedforest. html

(7)

7 produksi per tahunnya harus dibatasi. Hal tersebut direkomendasikan untuk tetap menjaga kelestarian warisan zaman pra sejarah untuk generasi yang akan datang. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, penelitian fosil kayu pada periode ke depan diharapkan dapat lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah. Penelitian mengenai fosil kayu perlu terus dilakukan karena masih banyak fosil kayu yang belum diketahui identitasnya.

Lokasi yang direkomendasikan sebagai kawasan konservasi fosil kayu adalah Cagar Alam Wae Wuul, Flores. Sampai saat ini fosil kayu di kawasan tersebut masih belum terkelola dengan baik. Fosil kayu yang berada di dekat kawasan tersebut berdasarkan informasi terkini sudah mulai diberi nomor oleh pihak tertentu untuk diperjualbelikan. Pengelolaan fosil kayu yang baik akan menambah daya tarik wisata terlebih lagi di kawasan ini merupakan habitat komodo yang sampai saat ini masih hidup secara alami disana. Lokasi lain yang direkomendasikan adalah KHDTK Labanan, Berau. Keberadaan fosil kayu di kedua lokasi ini mempunyai posisi yang sangat menguntungkan karena berada dalam kawasan yang terlindungi. Langkah selanjutnya adalah dukungan penuh dari pemerintah dan kerjasama semua pihak terkait untuk mewujudkan semua harapan tersebut.

V. Penutup

Dalam kurun waktu 1 abad ini, penelitian fosil kayu yang dilakukan antar periode menunjukkan selang waktu yang cukup lama namun memiliki kecenderungan yang semakin meningkat. Penelitian fosil kayu pada periode berikutnya diharapkan dapat berjalan secara kontinyu agar diperoleh hasil penelitian yang komprehensif mengenai vegetasi yang tumbuh di Indonesia pada masa lampau dan kemungkinan pemanfaatannya di masa yang akan datang. Kekhawatiran akan semakin habisnya fosil kayu dapat diantisipasi dengan penetapan peraturan dan rencana untuk pembangunan kawasan konservasi in-situ maupun ex-situ untuk fosil kayu.

VI. Daftar Pustaka

Andianto, NE Lelana, A Ismanto. 2012. Identifikasi Fosil Kayu dari Kali Cemoro Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Prosiding Seminar Nasional Biologi, Prospektif Biologi dalam Pengelolaan Sumber Hayati. Fakultas Biologi, UGM. Yogyakarta.

Badudu, J.S. dan S.M. Zein. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Berger, L.G. den. 1923. Fossiele Houtsoorten uit het Tertiair van Zuid-Sumatra. Verh. Geol. Mijnb. Genoot. Ned. (Geol.ser.) 7: 143-148.

---. 1927. Unterscheidung-smerkmale von Rezenten und Fossilen Dipterocapaceen Gattungen. Bulletin du Jardin Botanique de Buitenzorg Series 3: 495-498.

Boonchai, N, PJ Grote, P. Jintakasul. 2009. Paleontological Parks and Museums and Prominent Fossil Sites in Thailand and Their Importance in the Conservation of Fossils. Notebooks on Geology – Book 2009/03 (CG2009_B03), Chapter 7.

Bronto, S. 2006. Fasies Gunung Api dan Aplikasinya. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71

Crie, M.L. 1888. Recherches sur la Flore Pliocenee de Java. Samlung des Geologishen Reichsmuseums in Leiden. Beitrage zur Geologie von Ost-Asians Australlians 5: 1-21 + 8 Tab.

(8)

8 Dewi, LM. YI Mandang, S Rulliaty, Suprihatna. 2012. A New Record of Shoreoxylon (Dipterocarpaceae) Fossil Wood From Flores Island, Indonesia. Makalah akan dipresentasikan dalam 8th Pacific Regional Wood Anatomy Conference, Nanjing. Kagemori, N. YI Mandang, Terada, Yutaka Kegemori, Sapri Hadiwisastra. 2002. A Case Study

on Silicified Fossil Wood in Java Island, Indonesia: A Preliminary Report.

Krausel, R. 1922a. Fossile Hőlzer aus dem Tertiar von Sűd-Sumatra. Verh. Geol. Minb. Genootsch. V. Nederland en Kol., Geol. Serie V: 231-294

Krausel, R. 1922b. Ǖeber einen Fossilen Baumstammm von Bolang (Java). Ein Beitrag zur Kenntnis der Fossilken Flora Niederlandisch-Indiens. Versl. Afd. Natuurkunde Kon. Akad. Amsterdam 31.

Krausel, R. 1926. Űber Einige Fossile Hőlzer aus Java. Leidsche Geol. Mededeel., Bd. 2: 1-8. Lestari, NS. 2013. Personal Communication.

Macdonald, G.A., 1972. Volcanoes. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, 510h.

Mandang, Y.I. and D. Martono. 1996. Wood Fossil Diversity in The West Region of Java Island. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14(5): 192-203. Bogor.

Mandang,YI dan N. Kagemori. 2004. A Fossil Wood of Dipterocarpaceae from Pliocene Deposit in The West Region of Java Island, Indonesia. Biodiversitas, Vol. 5 No. 1 Halaman 28-35.

Njurumana, G. 2013. Personal Communication.

Palmer, D. Buku saku Fosil. Penerjemah: Yulin Lestari. Jakarta: Erlangga. (http://id.wikipedia.org/wiki/Fosil). Diakses tanggal 31 Mei 2013.

Schweitzer, J.H. 1958. Die Fossilen Dipterocarpaceen-Hölzer. Paleontographica B 104 (4): 1-66.

Sukiman, S. 1977. Sur Deux Bois Fossiles du Gisement de la Region Pachitan a Java. C.r. 102e Congr. Nat. Soc. Sav., Limoges, 1: 197-209.

Susandarini, R. 2004. Pengantar Paleobotani.

http://elisa1.ugm.ac.id/chapterview.php?BIO3107.Paleobotani&294. Diakses tanggal 31 Mei 2013.

Srivastava, R. and N. Kagemori. 2001. Fossil Wood of Dryobalanops from Pliocene Deposit of Indonesia. Paleobotanist 50(2001): 395-401.

Whitmore TC, IGM Tantra, U Sutisna. 1989. Tree Flora of Indonesia Check List for Bali, Nusa Tenggara and Timor. Forestry Research and Development Centre. Bogor.

Gambar

Gambar 1. Contoh fosil kayu yang diperjualbelikan (Foto: YI Mandang)  c. Peraturan Terkait Dengan Fosil Kayu
Gambar 2. Prasasti dan Fosil kayu Dryobalanoxylon lunaris di Manggala Wanabakti, Jakarta  (Foto: YI Mandang)
Gambar 4. Fosil kayu dari Flores: a. BF 97: Shoreoxylon floresiensis Dewi et al,   BF 98 dan 97 belum diteliti, b
Gambar 4. Konservasi fosil kayu di luar negeri: a. Lesvos Petrified Forest, b. Arizona Petrified  Forest, c

Referensi

Dokumen terkait