• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN. Studi tentang ideologi dan mentalitas orang Sasak dalam. tradisi historiografis ini menemukan bahwa pemahaman orang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN. Studi tentang ideologi dan mentalitas orang Sasak dalam. tradisi historiografis ini menemukan bahwa pemahaman orang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

395 BAB VI

KESIMPULAN

Studi tentang ideologi dan mentalitas orang Sasak dalam tradisi historiografis ini menemukan bahwa pemahaman orang luar Sasak dan orang Sasak sendiri tentang Sasak berdasarkan studi-studi sebelumnya tidak selalu tepat. Studi-studi itu merepresentasikan orang Sasak dengan kategori-kategori konstruksi kolonial. Pandangan tentang ideologi dan mentalitas orang Sasak dibentuk oleh bacaan terhadap teks atau pesan-pesan (messages) yang dikemas dalam bentuk lisan atau tertulis ada. Teks-teks itu telah dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkuasa di era penjajahan Belanda dan setelah kemerdekaan dalam studi-studi dan pembicaraan-pembicaraan. Orang Sasak-Lombok, menurut studi-studi berdasarkan pada konstruksi kolonial, adalah hanya kalangan bangsawan-kawule, beragama bude, wetu telu (W3) Sasak dan Majapahit, dan waktu lima (W5), Sasak-Lombok dijajah oleh Bali, dan orang yang di-Islam-kan oleh pihak luar Sasak. Karena itu, orang-orang Sasak dilihat “bermentalitas terjajah dan picik, dan berideologi sesat.”

(2)

396 Dalam konstruksi kolonial, orang Sasak hanya direpresentasikan oleh kalangan bangsawan-kawule. Studi-studi sebelumnya menjelaskankan bahwa Belanda sebenarnya telah melihat diantara orang Sasak, ada kalangan yang mudah diajak bekerja sama dan ada yang selalu menolak dan melakukan perlawanan. Mereka yang menerima Belanda adalah kalangan bangsawan-kawule. Yang menolak adalah kalangan perwangse-dengan jamaq Sasak. Itu menjadi jelas ketika Belanda merekayasa surat undangan tentang permohonan kalangan bangsawn-kawule Sasak kepada Belanda untuk mengambil-alih Lombok dari Bali-Karangasem. Belanda seterusnya secara sadar mengabaikan keberadaan kalangan yang menolak itu dalam realitas sosial dan tidak memunculkannya dalam studi-studi mereka. Para peneliti kemudian menindak lanjuti tindakan mengabaikan kalangan perwangse-dengan jamaq Sasak, walaupun mereka ada realitas sosial-kultural saat ini.

Studi ini menemukan bahwa, dalam realitas sosial-kultural Sasak, ada perwangse-dengan jamaq dan kalangan bangsawan-kawule. Dua kalangan ini bersatu dalam klaim etnik mereka sebagai orang Sasak. Kalangan perwangse-dengan jamaq Sasak hidup dengan kesadaran begame: tawuq takaq, tawuq adat,

(3)

397 tawuq base (beragama: [ruh agama] menempati tempat, menempati adat, menempati bahasa). Mereka adalah orang-orang yang ditemukan berada di Gumi Sasak (rahasia Sasak) sejak pada abad XIII. Nama Gumi Sasak berubah menjadi belomboq atau Lombok pada abad XIV. Kalangan ini ditemukan memiliki syahadat dalam dialek Sasak awal yang diajarkan oleh Mas Pengulu Alim dengan lafadz, “syaduu elaq ulle haillule edaq iye Muhammad rasululle” (bersakasi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, Muhammad adalah Rasul Allah). Kemudian Doyan Nede mengajarkannya dalam bentuk lafadz sempurn, “Asyhadu’an la ilaha illallah wa asyhadu’anna Muhammad ar-rasullullah”. Ajaran syahadat Sasak itu terkristal dalam kehidupan mereka. Dalam bentuk ideologi, ia adalah akidah keislaman mereka yang tidak bisa dipertukarkan dengan ideologi/akidah lain. Dalam bentuk mentalitas, ia adalah orientasi pemikiran orang Sasak yang masih bertahan hari ini.

Kalangan bangsawan-kawule Sasak ditemukan hadir pada abad XVII, ketika gumi Sasak telah menjadi belomboq, Lombok. Mereka merupakan gabungan dari orang-orang pelarian Jawa-Majapahit dan Sulawesi. Mereka berpegang teguh pada nilai-nilai budaya yang mereka bawa dari daerah mereka masing-masing.

(4)

398 Mereka di-Islam-kan oleh Sunan Prapen pada abad XVII di Lombok. Mereka menjadi Islam, sekaligus menjadi Sasak. Mereka menggabungkan unsur-unsur yang serupa dalam kebudayaan dan peradaban mereka, sebagian sebagai bangsawan dan sebagian sebagai kawule Sasak. Kesadaran kultural mereka lebih kuat dari kesadaran keagamaan mereka. Kesadaran kultural mereka tertuang dalam taoq base, taoq adat, begame (tahu bahasa, tahu adat, beragama). Kesadaran penaoq (pengetahuan) tentang bahasa dan adat yang mengantar mereka beragama. Kalangan bangsawan-kawule ditampilkan lebih dominan menjadi representasi orang Sasak dalam realitas sosial sejak masa sebelum Belanda resmi menguasai Lombok, masa Belanda menguasai Lombok dan masa setelah terbentuknya negara republik Indonesia. Itu terjadi karena pihak luar Sasak dapat memanfaatkan kecenderungan kalangan Sasak ini yang selalu ingin memerintah dan menjadi bagian pemerintahan. Belanda, selalu kesulitan menghadapi perlawanan kalangan perwangse-dengan jamaq Sasak. Belanda mencitrakan kalangan itu hanya sebagai para petani tarekat Sasak, karena itu akan mengacaukan peta pengetahuan, wacana dan kategori-kategori penjelasnya. Walaupun mereka tidak dominan, kalangan perwangse-dengan

(5)

399 jamaq Sasak tetap terus hidup. Mereka tindih. Mereka tidak pernah keluar dari rel ideologis pete redden Neneq-Mesaq, Subahnale-Allah Ta’ale (petə redən nɛnɛ′-mɛsa′, subanahnalə-allah ta′ alə artinya mencari ridha Tuhan-Esa, Mahasuci-Mahameliputi). Keluar rel itu adalah nyembaliq (berbuat dosa). Ideologi dan mentalitas mereka berasal dari ajaran Islam yang dijelaskan dalam kitab-kitab asli (authentic) Sasak yang isinya terpelihara oleh keberadaan para lokaq Sasak.

Bude, W3, W3 Majapahit dan W5 adalah kategori-kategori agama konstruksi kolonial yang dilekatkan kepada orang Sasak. Empat kategori itu diciptakan dengan maksud-maksud tertentu. Intinya, itu merupakan kebencian Belanda kepada Islam, agama asli orang Sasak. Kategori Bude dipergunakan oleh Belanda untuk menunjuk orang dan agama asli Sasak yang dianut oleh orang-orang yang berada di daerah pegunungan saat itu. W3 diciptakan oleh Belanda untuk mengidentifikansi agama orang Sasak diperkotaan. W3 Majapahit adalah identitas yang diberikan kepada para pelarian Majaphit yang bermukim jauh di luar kota. Belanda merekayasa agama W3 Sasak dan W3 Majapahit untuk diadu-domba. W5 mengacu kepada agama Islam murni orang Sasak dalam konstruksi kolonial.

(6)

400 Studi ini menemukan penjelasan tentang bude, W3, W3 Majapahit dan W5. Bude, secara historis, mengacu kepada orang bude (semula dilafadzkan buduh yang berarti pelawat, orang yang berkunjung) ke Lombok pada abad XIV. W3 Sasak adalah penjelasan tentang rahasia unsur-unsur penciptaan manusia dalam ajaran dan kitab-kitab Sasak. W3 Sasak dan W3 Majapahit sebagai kategori agama tidak difahami oleh orang Sasak pada saat itu dan saat ini. W5 adalah kumpulan orang yang didatang oleh Belanda dari desa waktu lima Trenggalek, Jawa Timur. Mereka diberikan pekerjaan dan dijadikan mata-mata yang bermukim di kampong-kampong yang dirancang oleh Belanda.

Pemahaman bahwa Sasak-Lombok pernah dijajah oleh Bali merupkan konstruksi kolonial yang diamini tanpa kritis oleh para peneliti kemudian. Studi ini menemukan bahwa penjajahan oleh Bali itu tidak terjadi. Pemahaman seperti itu diciptakan oleh Belanda untuk menyembunyikan siasat buruk mereka tentang penyebab terjadinya dan pihak-pihak yang terlibat dalam perang Lombok pada abad XIX. Itu dibuktikan oleh fakta bahwa perang puputan Bali tidak ada di Lombok. Belanda berkepentingan dengan keberadaan Bali-Karangasem sebagai boneka dan

(7)

401 bemper-nya. Selanjutnya, itu terlihat ketika Belanda menjadikan Bali mitra dalam penjajahan terhadap Sasak-Lombok 1894-1942.

Orang Sasak dislamkan oleh pihak luar Sasak menurut studi-studi terdahulu. Pemahaman tentang pengislaman berdasarkan konstruksi kolonial pada abad XIX menyebutkan bahwa Bali, Sulawesi, Jawa dan atau Bima mengislamkan orang Sasak Lombok. Studi ini menemukan bahwa pengislaman terjadi kepada para pelarian Majapahit dan orang Sulawesi oleh Sunan Prapen di Lombok pada abad XVII. Mereka yang diislamkan itu kemudian dikenal sebagai kalangan bangsawan-kawule Sasak. Orang-orang Sasak asli (indigenous), kalangan perwangse-dengan jamaq telah Islam sejak awal keberadaan mereka. Itu dibuktikan oleh keberadaan syahadat Sasak, dialek Sasak awal, kitab Sulut Sasak dan 9 masjid kuno Sasak pada abad XIII-XIV.

Orang Sasak telah mandiri secara religius, sosial dan kultural. Dua kalangan Sasak, kalangan perwangse-dengan jamaq dan bangsawan-kawule Sasak memperlihatkan bahwa mereka bersatu sebagai etnik Sasak dan Islam, namun mereka memiliki cara masing-masing dalam menempuh perjalanan hidup mereka. Pada abad XIX, ketika kalangan perwangse-dengan jamaq Sasak yang bersemangat kesetaraan, persaudaraan dan

(8)

402 kebersamaan bereaksi keras melawan kelicikan koalisi Bali-Karangasen dan Belanda, kalangan bangsawan-kawule Sasak berkompromi dengan mereka. Ketika kalangan Sasak pertama mengangkat senjata melawan koalisi itu dalam perang Lombok pada tahun 1891-1894, kalangan kedua berdiam diri. Ketika kalangan pertama terus melawan perlawanan terhadap penjajah Belanda, kalangan kedua menjadi bagian dari penjajahan. Setelah perang kemerdekaan Indonesia, kalangan pertama menghentikan segala kekerasan. Kalangan kedua terus berusaha untuk menjadi bagian penguasa, baik pada masa kepresidenan Soekarno maupun Suharto. Pada masa reformasi, kalangan pertama kalangan menyikapi keadaan terbuka dengan hati-hati membangun identitas diri. Kalangan kedua nampak kalap dengan ambisi politik mereka untuk berkuasa. Mereka ikut dalam pemilihan kepala daerah untuk menjadi gubernur Nusa Tenggara Barat pada tahun 1998. Mereka gagal karena suara para anggota dewan perwakilan rakyat daerah terbagi untuk dua calon dari kalangan bangsawan-kawule Sasak. Suara terbanyak dimenangkan oleh lawan mereka.

Referensi

Dokumen terkait