• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

11 A. Kajian Teori

1. Religiusitas

a. Pengertian Religiusitas

Secara etimologi, religiusitas berasal dari kata religi, religion (Inggris), religie (Belanda), religio (Latin) dan ad-Dien (Arab). Menurut Drikarya (dalam Widiyanta 2005: 80) kata Religi berasal dari bahasa latin religio yang akar katanya religare yang berarti mengikat. Maksudnya adalah suatu kewajiban kewajiban atau aturan-aturan yang harus dilaksanakan, yang kesemuanya itu berfungsi untuk mengikat dan mengukuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan atau sesama manusia, serta alam sekitarnya.

Secara esensial agama merupakan peraturan-peraturan dari Tuhan Yang Maha Esa berdimensi vertikal dan horizontal yang mampu memberi dorongan terhadap jiwa manusia yang berakal agar berpedoman menurut peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri, tanpa dipengaruhi untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan di akhirat kelak (Sudarsono 2008: 119).

Nasution (1986: 57) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang

(2)

dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik.

Menurut Glock & Strak (dalam Ancok & Suroso 1995: 76) mendefinisikan agama merupakan sistem simbol, sistem keyakinan, sistem nilai dan system perilaku yang terlambangkan yang semuanya itu berpusat pada persoalan persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi (ultimate meaning. Hawari (dalam Ancok, 1995: 76) menyatakan bahwa religiusitas merupakan penghayatan keagamaan atau kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah sehari-hari, berdoa dan membaca kitab suci. Religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan berupa aktivitas yang tampak dan dapat dilihat oleh mata, serta aktivitas yang tidak tampak yang terjadi dalam hati seseorang.

Religiusitas perlu dibedakan dengan agama, karena konotasi agama biasanya mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih pada aspek ’lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut ( Shadily,1986: 16 ).

(3)

Senada dengan Shadily, Ansori (dalam Ghufron, 2010: 167) membedakan istilah religi atau agama dengan religiusitas. Jika agama menunjuk pada aspek-aspek formal yang berkaitan dengan urutan dan kewajiban, maka religiusitas menunjuk pada aspek religi yang telah dihayati oleh seseorang dalam hati.

Religiusitas dan agama memang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Mangunwidjaya (dalam Andisti & Ritandiyono 2008: 172) bila dilihat dari kenampakannya, agama lebih menunjukkan kepada suatu kelembagaan yang mengatur tata penyembahan manusia kepada Tuhan, sedangkan religiusitas lebih menunjuk pada aspek yang ada di lubuk hati manusia. Religiusitas lebih menunjuk kepada aspek kualitas dari manusia yang beragama. Agama dan religiusitas saling mendukung dan saling melengkapi karena keduanya merupakan konsekuensi logis dari kehidupan manusia yang mempunyai dua kutub, yaitu kutub kehidupan pribadi dan kutub kebersamaannya di tengah masyarakat.

Religiusitas pada umumnya terdapat sesuatu yang dirasakan sangat dalam dan bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat (Nashori , 2002: 69).

Menurut Jalaluddin (2001: 89) mendefinisikan religiusitas merupakan suatu keadaan yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya

(4)

terhadap agama. Religiusitas merupakan perilaku yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada Nash.

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun tak tampak), bersikap, dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya

b. Dimensi Religiusitas

Glock dan Stark (dalam Ancok 1995: 77) membagi dimensi atau aspek religiusitas menjadi lima, kelima aspek atau dimensi tersebut yaitu :

1) Religious Belief (The Ideological Dimension)

Religious belief (the idiological dimension) atau disebut juga dimensi keyakinan adalah tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal yang dogmatik dalam agamanya, misalnya kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Meskipun harus diakui setiap agama tentu memiliki seperangkat kepercayaan yang secara doktriner berbeda dengan agama lainnya, bahkan untuk agamanya saja terkadang muncul paham yang berbeda dan tidak jarang berlawanan. Pada dasarnya setiap agama juga menginginkan adanya unsur ketaatan bagi setiap pengikutnya. Adapun dalam agama yang dianut oleh seseorang, makna yang terpenting adalah kemauan untuk mematuhi aturan yang berlaku

(5)

dalam ajaran agama yang dianutnya. Jadi dimensi keyakinan lebih bersifat doktriner yang harus ditaati oleh penganut agama. Dimensi keyakinan dalam agama Islam diwujudkan dalam pengakuan (syahadat) yang diwujudkan dengan membaca dua kalimat syahadat, Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan nabi Muhammad itu utusan allah. Dengan sendirinya dimensi keyakinan ini menuntut dilakukannya praktek-praktek peribadatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

2) Religious Practice (The Ritual Dimension)

Religious practice (the ritual dimension) yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya. Unsur yang ada dalam dimensi ini mencakup pemujaan, kultur serta hal-hal yang lebih menunjukkan komitmen seseorang dalam agama yang dianutnya. Wujud dari dimensi ini adalah prilaku masyarakat pengikut agama tertentu dalam menjalankan ritus-ritus yang berkaitan dengan agama. Dimensi praktek dalam agama Islam dapat dilakukan dengan menjalankan ibadah shalat, puasa, zakat, haji ataupun praktek muamalah lainnya.

3) Religious Feeling (The Experiental Dimension)

Religious Feeling (The Experiental Dimension) atau bisa disebut dimensi pengalaman, adalah perasaan-perasaan atau pengalaman yang pernah dialami dan dirasakan. Misalnya merasa dekat dengan Tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa doanya dikabulkan,

(6)

diselamatkan oleh Tuhan, dan sebagainya. Ancok dan Suroso (1995) mengatakan kalau dalam Islam dimensi ini dapat terwujud dalam perasaan dekat atau akrab dengan Allah, perasaan bertawakal (pasrah diri dalam hal yang positif) kepada Allah. Perasaan khusyuk ketika melaksanakan shalat atau berdoa, perasaan tergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al Qur’an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah.

4) Religious Knowledge (The Intellectual Dimension)

Religious Knowledge (The Intellectual Dimension) atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab sucinya atau dimensi pengetahuan agama adalah dimensi yang menerangkan seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di dalam kitab suci manapun yang lainnya. paling tidak seseorang yang beragama harus mengetahui hal-hal pokok mengenai dasar-dasar keyakinan, ritusritus, kitab suci dan tradisi. Dimensi ini dalam Islam menunjuk kepada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya terutama mengenai ajaran pokok agamanya, sebagaimana yang termuat di dalam kitab sucinya.

(7)

5) Religious Effect (The Consequential Dimension)

Religious effect (the consequential dimension) yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana prilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupan sosial, misalnya apakah ia mengunjungi tetangganya sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan hartanya, dan sebagainya.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Thouless (1971: 34) membedakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan menjadi empat macam, yaitu:

1) Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap yang disepakati oleh lingkungan itu.

2) Faktor pengalaman

Berkaitan dengan berbagai jenis pengalaman yang membentuk sikap keagamaan. Terutama pengalaman mengenai keindahan, konflik moral dan pengalaman emosional keagamaan. Faktor ini umumnya berupa pengalaman spiritual yang secara cepat dapat mempengaruhi perilaku individu.

(8)

3) Faktor kehidupan

Kebutuhan-kebutuhan ini secara garis besar dapat menjadi empat, yaitu:

a) Kebutuhan akan keamanan atau keselamatan, b) Kebutuhan akan cinta kasih,

c) Kebutuhan untuk memperoleh harga diri, dan

d) Kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian. 4) Faktor intelektual

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau rasionalisasi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulan bahwa setiap individu berbeda-beda tingkat religiusitasnya dan dipengaruhi oleh dua macam faktor secara garis besarnya yaitu internal dan eksternal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi religiusitasseperti adanya pengalaman-pengalaman emosional keagamaan, kebutuhan individu yang mendesak untuk dipenuhi seperti kebutuhan akan rasa aman, harga diri, cinta kasih dan sebagainya. Sedangkan pengaruh eksternalnya seperti pendidikan formal, pendidikan agama dalam keluarga, tradisi-tradisi sosial yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, tekanan-tekanan lingkungan sosial dalam kehidupan individu.

(9)

2. Kecemasan a. Pengertian

Salah satu dari bentuk simtom neurotis yang paling umum adalah keadaan takut terus-menerus, meliputi ketakutan biasa yaitu respon terhadap rangsang menakutkan yang terjadi sekarang dan ketakutan neurotis yaitu respon terhadap kesukaran-kesukaran yang belum terjadi. Ketakutan neurotis inilah yang seringkali disebut dengan kecemasan atau anxietas (Mahmud, 1990: 235).

Hal ini sesuai dengan pendapat Nevid (2003: 163) yang menyatakan bahwa kecemasan merupakan suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.

Sobur (2003: 345) mengatakan bahwa kecemasan adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam sebagai

tanggapan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak mengancam. Daradjat (1996: 17) mengemukakan bahwa kecemasan merupakan

manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Daradjat menyebutkan bahwa kecemasan mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa atau bersalah, terancam, dan sebagainya, juga segi-segi yang terjadi di luar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak menyenangkan itu.

(10)

Ghufron (2010: 142) menyatakan bahwa kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan mengenai kekhawatiran atas ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan emosi yang dialami oleh seseorang. Kecemasan ada ketika seseorang tidak dapat meramalkan atau menguasai (mengendalikan) suatu situasi/objek sehingga terdapat ketakutan terhadap objek itu. Kecemasan berkaitan dengan kesiapan pengantisipasian terhadap suatu objek tertentu.

Berdasarkan uraian pendapat para tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan ketika seseorang tidak dapat meramalkan atau menguasai (mengendalikan) suatu situasi/objek sehingga terdapat ketakutan atau kekhawatiran terhadap situasi/objek tersebut.

b. Gejala-gejala Kecemasan

Daradjat (1996: 28) mengklasifikasikan gejala kecemasan sebagai berikut:

1) Gejala fisik (fisiologis)

Kecemasan yang sudah mempengaruhi atau terwujud pada gejala-gejala fisik, terutama pada fungsi sistem syaraf, ciri-cirinya: ujung jari terasa dingin, pencernaan tidak teratur, detak jantung cepat, keringat bercucuran, tekanan darah meningkat, tidur tidak nyenyak, nafsu makan menghilang, kepala pusing dan sesak nafas.

(11)

2) Gejala mental (psikologis)

Kecemasan sebagai gejala-gejala kejiwaan, ciri-cirinya; takut, tegang, bingung, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, tidak berdaya, rendah diri, tidak tenteram, ingin lari dari kenyataan hidup, perubahan emosi, turunnya kepercayaan diri dan tidak mempunyai motivasi.

c. Jenis-jenis Kecemasan

Freud (dalam Alwisol 2006: 26) membedakan tiga macam kecemasan berdasarkan sumbernya, yaitu:

1) Kecemasan realistik (realistic anxiety)

Kecemasan realistik adalah rasa takut akan bahaya-bahaya nyata di dunia luar, kecemasan realistik menjadi asal mula timbulnya kecemasan neurotik dan kecemasan moral.

2) Kecemasan neurotik (neurotic anxiety)

Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap hukuman yang akan diterima dari orang tua atau figur penguasa lainnya jika individu memuaskan insting dengan caranya sendiri, yang diyakini akan mendapat hukuman. Hukuman dan figur pemberi hukuman dalam kecemasan neurotik bersifat khayalan.

3) Kecemasan moral (moral anxiety)

Kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul ketika individu melanggar standar nilai orang tua. Kecemasan moral dan kecemasan neurotik tampak mirip, tetapi memiliki perbedaan prinsip, yakni

(12)

pada tingkat kontrol ego. Pada kecemasan moral, individu tetap rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi superego, sedangkan pada kecemasan neurotik individu dalam keadaan distres-terkadang panik sehingga individu tidak dapat berpikir jelas dan energi id menghambat penderita kecemasan neurotik untuk membedakan antara khayalan dengan kenyataan.

Freud (dalam Notowidagdo, 2002: 203) membagi kecemasan dalam tiga macam, yaitu:

1) Kecemasan obyektif (objective anxiety) adalah reaksi terhadap pengenalan akan adanya bahaya dari luar atau adanya kemungkinan bahaya dari luar atau adanya kemungkinan bahaya yang disangkanya akan terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa kecemasan ini timbul akibat melihat dan mengetahui adanya bahaya yang mengancam dirinya. Kecemasan jenis ini dapat disebut sebagai

reality anxiety (kecemasan nyata), true anxiety (kecemasan sebenarnya), atau normal anxiety (kecemasan yang wajar).

2) Kecemasan penyakit (neurotic anxiety) adalah suatu ketakutan yang mungkin terjadi. Kecemasan neurotik ini sudah merupakan penyakit. Terdapat tiga bentuk dalam kecemasan neurotik, antara lain:

a) Kecemasan secara umum, kecemasan ini merupakan yang paling sederhana, karena tidak berhubungan dengan sesuatu hal

(13)

tertentu. Individu merasa takut yang samar dan umum serta tidak menentu.

b) Kecemasan neurotik yang obyeknya benda-benda atau hal-hal tertentu, misalnya takut melihat darah, atau serangga.

c) Kecemasan dalam bentuk ancaman, kecemasan ini adalah dalam bentuk cemas yang menyertai gejala gangguan kejiwaan seperti histeria. Individu yang menderita gejala tersebut kadang-kadang merasa cemas, yang akhirnya menjadikan adanya perasaan takut.

3) Kecemasan moral (moral anxiety) adalah kecemasan yang timbul akibat dari dorongan perasaan, rasa dosa, dan kecemasan yang berhubungan dengan gejala gangguan kekecewaan itu sendiri Kecemasan dalam pengertian yang lebih mendalam seringkali digolongkan ke dalam beberapa pengertian.

Sinambela (dalam Marsal, 2008: 13) membagi kecemasan menjadi: 1) Manifest Anxiety, yaitu suatu tingkat kecemasan yang merupakan

suatu pengungkapan seseorang pada saat-saat tertentu.

2) Test anxiety, yaitu kecemasan yang dihubungkan dengan

pengambilan keputusan dengan melalui proses evaluasi. 3) State anxiety, yaitu suatu predisposisi untuk kecemasan.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bentuk kecemasan ada tiga, yaitu kecemasan obyektif (objective anxiety),

(14)

kecemasan penyakit (neurotic anxiety), kecemasan moral (moral

anxiety), manifest anxiety, test anxiety, dan state anxiety.

Berdasarkan jenis-jenis kecemasan tersebut, kecemasan menghadapi dunia kerja termasuk ke dalam kelompok kecemasan realitas karena kecemasan menghadapi dunia kerja bersumber dari peristiwa yang terjadi dalam menghadapi dunia kerja. Selain dari sumbernya, kecemasan menghadapi dunia kerja dapat digolongkan sebagai state anxiety berdasarkan respon yang muncul. Kecemasan menghadapi dunia kerja adalah kecemasan yang sifatnya sementara, karena kecemasan hanya muncul pada situasi tertentu.

d. Tingkat Kecemasan

Kecemasan diidentifikasi menjadi 4 tingkat (level) yaitu; ringan, sedang, berat, dan panik (Frisch, Stuart & Laraia, 1998, disadur dari Peplau, 1963).

1) Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya. Individu melihat, mendengar, dan memegang secara lebih dibanding sebelumnya. Kecemasan jenis ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan perkembangan dan kreativitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang presepsi meningkat, kesadaran tinggi,

(15)

mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.

2) Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang memungkinkan seseorang hanya berfokus pada persoalan yang sedang, melibatkan penyempitan dari lapangan persepsi sehingga individu kurang melihat, mendengar dan menggenggam. Individu menahan beberapa area terpilih tetapi dapat menyelesaikan jika diarahkan. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan presepsi menyempit, mampu belajar tapi tidak maksimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.

3) Kecemasan Berat

Kecemasan berat ditandai oleh penurunan lapang persepsi. Individu cenderung berfokus pada sesuatu yang khusus dan detail dan tidak berfikir tentang hal-hal lain. Semua tingkahlaku pada pengurangan kecemasan, dan memerlukan banyak bimbingan untuk berfokus pada area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, tidak dapat tidur, sering kencing, diare, palpilasi, lahan presepsi menyempit, tidak mau

(16)

belajar secara efektif, berfokus pada diri sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan sangat tinggi, perasaan tidak berdaya, binggung dan disorientasi.

4) Panik

Panik berhubungan dengan perasaan takut, ketakutan, dan teror. Karena kehilangan kontrol/kendali secara lengkap, individu tidak dapat melakukan sesuatu, walaupun dengan bimbingan. Panik melibatkan disorganisasi kepribadian. Terjadi peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsinya menyimpang, dan kehilangan pikiran yang rasional. Panik adalah pengalaman yang menakutkan dan melemahkan. Seseorang yang panik tidak dapat berfungsi atau berkomunikasi secara efektif. Manifestasi pada orang yang panik adalah susah bernafas, dilantasi pupil, palpilasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit mengalami halusinasi dan delusi. Tingkat kecemasan ini tidak dapat berlangsung dalam jangka waktu yang tidak terbatas sebab pertentangan dengan kehidupan. Panik dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kelelahan dan kematian.

(17)

3. Kecemasan menghadapi dunia kerja

Kerja adalah dunia yang akan segera dimasuki oleh mahasiswa semester akhir yang sudah menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi. Dunia kerja memiliki banyak bidang dan cakupan dunia kerja sangatlah luas. Disetiap bidang dunia kerja dituntut adanya kemampuan, keahlian, ketrampilan khusus profesionalisme dan usaha untuk terus maju berkembang. Mengatasi permasalahan dan tuntutan tersebut, maka diperlukan kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki.

Mahasiswa semester akhir dituntut memiliki kesiapan mental dalam masa persiapan untuk memasuki dunia kerja. Apabila ia merasa tidak mampu mempersiapkan diri dengan baik, ia cenderung akan memiliki kecemasan untuk memasuki dunia kerja. Kecemasan menghadapi dunia kerja adalah perasaan khawatir yang dialami seseorang ketika memasuki dunia kerja. Kecemasan itu dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu lemahnya keimanan atau kepercayaan mereka terhadap Allah SWT , Selalu bergantung pada diri sendiri dan sesama manusia dalam urusan rezeki sehingga lupa menggantungkan hidupnya kepada Allah, Tuhan yang telah menciptakan dan memberinya rezeki dan konsepsi mereka bahwa, rezeki itu juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan ijazah seseorang, artinya bila seseorang berijazah tinggi setinggi itu pula rezekinya (Aziz : 22).

(18)

Muchlas (dalam Megawati, 1999: 12) menyebutkan faktor yang mempengaruhi kecemasan, yaitu : diantaranya Pendidikan dan Agama, kurangnya ilmu yang didapat dari perguruan tinggi dirasa sangat berpengaruh karena membuat mahasiswa kurang percaya diri dalam bersaing di dunia kerja yang semakin kompetitif dan sempit. Selain itu kurangnya keyakinan bahwa Allah telah mengatur tentang semua rezeki kepada hambanya juga membuat mahasiswa semakin cemas dalam menghadapi fenomena dunia kerja saat ini.

Mahasiswa tingkat akhir adalah mahasiswa yang sedang dalam proses mengerjakan tugas akhir (skripsi) di perguruan tinggi atau universitas. Mahasiswa tingkat akhir merupakan calon lulusan yang selanjutnya akan melanjutkan masa depannya ke dunia kerja.

Bagi mahasiswa semester akhir dunia kerja adalah dunia yang belum pernah mereka masuki, namun itu adalah dunia yang sudah sangat dekat dengan mereka. Karena setelah lulus nanti mereka pasti akan masuk ke dalam dunia kerja. Bagi mereka hal ini belum bisa dipahami sepenuhnya karena mereka belum bisa merasakan bagaimana kehidupan di dunia kerja sesungguhnya. Namun inilah kenyataan yang harus mereka alami setelah mereka lulus nanti. Jadi, dalam hal ini dapat dilihat bahwa kecemasan mahasiswa semester akhir bisa diakibatkan oleh permasalahan akademis dan permasalahan ketika mereka dihadapkan pada permasalahan tentang dunia kerja yang segera akan mereka masuki. Ketika gejala kecemasan itu muncul, perasaan tidak mengenakkan menyertai rutinitas

(19)

mereka dan disertai perubahan fisik, perilaku serta gejala-gejala lainnya yang dapat dikatakan sebagai gejala kecemasan.

4. Hubungan antara Religiusitas dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja

Kecemasan menghadapi dunia kerja adalah perasaan khawatir yang dialami seseorang ketika menghadapi atau memasuki dunia kerja. Kecemasan dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya peluang kerja yang semakin sempit, persaingan yang semakin ketat, pengalaman yang sedikit dan dibutuhkannya kompetensi seperti pengetahuan, keterampilan serta sikap atau perilaku. Biasanya kecemasan ini dialami oleh mereka yang baru saja menyelesaikan studinya (pendidikan) atau fresh graduate dan adanya keinginan untuk mencari pekerjaan sesuai dengan latar belakang pendidikan yang dimiliki.

Kecemasan terjadi karena tidak terpenuhinya rasa aman dalam diri individu. Rasa aman tersebut dapat diperoleh melalui beberapa kegiatan yang berhubugan dengan agama, karena didalam individu, baik krisis fisik maupun krisis psikologi membuat mencari jalan atau terapis masalah yang dihadapi dan disinilah agama berperan (Yusuf, 2002 : 107). Hambaly (dalam Marsal. 2008: 210) mengatakan salah satu faktor yang dapat menurunkan atau mengurangi kecemasan adalah religiusitas. Kedekatan individu dengan sang pencipta dapat membuat seseoang aman

(20)

sehingga rasa cemas dapat dihindari. Makin religius seseorang, kemungkinan mengalami kecemasan makin rendah.

Ghufron (2010: 167) mengemukakan bahwa religiusitas menunjuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukan bahwa individu telah menghayati dan menjalankan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan hidupnya.

Latar belakang kehidupan keagamaan mahasiswa dan ajaran agama memainkan peran penting dalam menentukan ketenangan dan kemantapan hati mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Jalaludin (2005: 234) mengatakan bahwa pengaruh agama dalam kehidupan individu adalah memberikan kemantapan batin, rasa bahagia, rasa terlindung, rasa sukses dan rasa puas. Perasaan positif ini selanjutnya akan memotivasi dalam mendorong individu untuk melakukan suatu aktivitas, karena perbuatan yang dilakukan dengan latar belakang keyakinan agama dinilai mempunyai unsur kesucian serta ketaatan.

Religiusitas yang tinggi pada mahasiswa menjadikan mahasiswa memiliki kesiapan dalam menghadapi dunia kerja. Keinginan dalam mendapatkan pekerjaan bagi mahasiswa yang religius, selalu di ikuti dengan kesiapan untuk gagal. Keberhasilan atau kegagalan adalah bagian dari cinta Allah kepada umatNya dan tergantung dari bagaimana mahasiswa mampu menyiapkan atau tidak. Selain berusaha mempersiapkan dengan baik, hendaknya mahasiswa juga bersungguh sungguh dan berikhtiar.

(21)

Peranan kehidupan religius berpengaruh dalam mengurangi kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja. Kecemasan dengan religiusitas menjadi dua faktor penting yang berpengaruh pada efek psikologi mahasiswa yang akan menghadapi dunia kerja. Agama dapat memantapkan kembali jiwa mahasiswa yang mengalami kebimbangan kebimbangan. Jesild (dalam Subandi. 1998: 2) mengatakan bahwa agama akan memberikan kepastian dan kepercayaan diri pada mahasiswa, agama juga dapat meningkatkan rasa aman dan mencegah rasa cemas atau panik pada mahasiswa.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan jika mahasiswa memiliki tingkat religiusitas tinggi maka kecemasan dalam menghadapi dunia kerja akan berkurang, sehingga diduga religiusitas mempengaruhi kecemasan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan yaitu penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ernia Yunita Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Tahun 2014, Hubungan Kepercayaan Diri dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hasil penelitian diketahui bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja. Hal ini ditunjukkan dari analisis korelasi product moment sebesar - 0.434 dengan p = 0,000 (p < 0,01) dan didapatkan sumbangan efektif

(22)

kepercayaan diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja sebesar 18,8%. Hipotesis dalam penelitian ini diterima.

Selanjutnya penelitian dari Rizki Larinta Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Tahun 2006 dengan judul Hubungan Religiusitas dengan Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN) 2006 pada Siswa SMU. Dari hasil analisis korelasi yang dilakukan diperoleh nilai korelasi antara religiusitas dan kecemasan menghadapi UAN adalah sebesar -0,391 dengan tingkat signifikansi (p) = 0,000 (p < 0,05). Berdasarkan hasil analisis korelasi yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang negatif antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi UAN pada siswa SMA, dimana semakin tinggi religiusitas pada siswa maka semakin rendah kecemasan menghadapi UAN dan sebaliknya semakin rendah religiusitas pada siswa semakin tinggi kecemasan menghadapi UAN.

Selanjutnya penelitian dari Hasna Amania Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Tahun 2013 dengan judul Hubungan Antara Dukungan Sosial dan Efikasi Diri dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja pada Penyandang Tuna Daksa Dari hasil analisis regresi linier berganda diperoleh nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,648; p=0,000 (p<0,05) dan Fhitung 22,028 > Ftabel 3,148. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa. Secara parsial menunjukkan terdapat hubungan

(23)

negatif yang signifikan antara dukungan sosial dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,183; serta terdapat hubungan negatif yang signifikan antara efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada penyandang tuna daksa yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) sebesar -0,518.

Selanjutnya penelitian Widhi Nugrahaningtyas Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebalas Maret Tahun 2014 dengan judul Hubungan antara Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja pada Siswa Kelas XII SMK Muhammadiyah 1 Wedi Klaten Hasil analisis regresi ganda menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial keluarga dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII SMK Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan Fhitung 42,911 > Ftabel 3,126 (p<0,05), serta nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,740. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara efikasi diri dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII SMK Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan koefisien korelasi (rx1y) sebesar -0,392 (p=0,001); serta terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial keluarga dengan kecemasan menghadapi dunia kerja pada siswa kelas XII SMK Muhammadiyah 1 Wedi Klaten dengan koefisien korelasi (rx2y) sebesar -0,433 (p=0,000). Nilai R2 yang diperoleh adalah 0,547. Artinya, efikasi diri dan dukungan sosial keluarga secara bersama-sama memberi sumbangan

(24)

pengaruh sebesar 54,7% terhadap kecemasan menghadapi dunia kerja, dengan sumbangan efektif (SE) masing-masing 25,38% untuk efikasi diri, dan 29,32% untuk dukungan sosial keluarga.

Selanjutnya penelitian Rahmat Sukoco mahasiswa Jurusan Tasawuf dan Psikoterapi (TP) Hubungan antara Tingkat Religiusitas dengan Kecemasan Moral Mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang Tahun 2010. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara tingkat religiusitas dengan kecemasan moral dengan nilai r hitung sebesar 0,505 dan Nilai signifikansi sebesar 0,01.

C. Kerangka Berfikir

Berikut gambaran dari kerangka berfikir penelitian mengenai hubungan antara Religiusitas dengan kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta:

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Religiusitas Kecemasan

Menghadapi Dunia Kerja

1. Religious Belief/keyakinan 2. Religious Practice/praktek

ibadah 3. Religious

Feeling/pengalaman 4. Religious

Knowledge/pengetahuan 5. Religious Effect/ konsekuensi

1. Reaksi Fisik 2. Reaksi Mental/

(25)

Dari gambar kerangka berfikir tersebut dapat dijelaskan bahwa: Religiusitas adalah suatu gambaran keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya bertingkah laku (baik tingkah laku yang tampak maupun tak tampak), bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya. Dimensi dimensinya adalah religious belief / keyakinan, religious practice / praktik ibadah, religious feeling / pengalaman, religious knowledge

/ pengetahuan, religious effect / konsekuensi.

Kecemasan merupakan pengalaman subjektif yang tidak menyenangkan mengenai kekhawatiran atas ketegangan berupa perasaan cemas, tegang dan emosi yang dialami oleh seseorang. Gejalanya terdiri dari reaksi fisik dan mental /kognitif.

Tingkat religiusitas mahasiswa berpengaruh terhadap kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa akhir. Apabila Tingkat religiusitas mahasiswa tinggi maka kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa rendah. Begitu pula sebaliknya, apabila Tingkat religiusitas mahasiswa rendah maka kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa akan tinggi.

D. Hipotesis

Arikunto (2006: 71) menyatakan bahwa hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul

Bungin (2005: 85) yang dimaksud dengan hipotesis adalah kesimpulan penelitian yang belum sempurna, sehingga perlu disempurnakan dengan

(26)

membuktikan kebenaran hipotesis itu melalui penelitian. Pembuktian itu hanya dapat dilakukan dengan menguji hipotesis dimaksud dengan data di lapangan.

Berdasarkan kerangka berpikir diatas maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Ho = tidak ada hubungan antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta.

Ha= ada hubungan negatif antara religiusitas dengan kecemasan menghadapi dunia kerja mahasiswa tingkat akhir Jurusan Bimbingan Konseling Islam Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Surakarta. Semakin tinggi religiusitas mahasiswa maka semakin rendah kecemasan menghadapi dunia kerja. Begitu sebaliknya, semakin rendah religiusitas mahasiswa maka semakin tinggi kecemasan menghadapi dunia kerja.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya Queensland Department of Industries (1989) menyatakan kepiting bakau juvenil banyak dijumpai di sekitar perairan estuari dan kawasan ekosistem mangrove, sedangkan

Banyaknya pemilih pemula yang golput atau memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya sudah menjadi sebuah indikasi bahwa pemilih pemula yang juga anggota dalam

bukan untuk menghabiskan atau merusak barang tersebut karena ijarah tidak sah kecuali pada manfaat suatu barang, sedangkan barangnya tetap ada. 3) Manfaat pada ijarah

kesemuanya dilakukan dengan teknik opaque dan brushstroke , selain itu highlight juga mendukung terciptanya volume pada objek akar. Setiap akar dibagian tepi diberikan

Dari grafik 1.1 dapat dilihat bahwa rata-rata Nilai Pasar dengan indikator Price Earning Ratio pada indeks kompas 100 dari tahun 2012 sampai tahun 2016 mengalami fluktuasi yang

Bawaslu Provinsi dengan menerbitkan keputusan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak

Perlu dibuat standar prosedur operasional (SPO) kelengkapan pengisian resume medis 24 jam setelah selesai pelayanan, perlu melakukan koordinasi antara bagian keuangan

Dilihat dari semua hasil rata-rata pada setiap kelompok, perolehan nilai bobot badan tidak berbeda jauh antara kelompok yang diberi tanaman obat maupun kelompok kontrol, hal