• Tidak ada hasil yang ditemukan

23. Transparansi dan Akuntabilitas LSM Problem dan Ikhtiar Hamid Abidin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "23. Transparansi dan Akuntabilitas LSM Problem dan Ikhtiar Hamid Abidin"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI LSM:

Problem dan Ikhtar

Oleh Hamid Abidin

Sumber buku: Kritik dan Otokritik LSM

Membongkar Kejujuran dan Keterbukaan Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia (Hamid Abidin dan Mimin Rukmini)

Hal: 60-70

Pendahuluan

Dalam sebuah survei yang dilakukan akhir 2000 lalu, salah satu pertanyaan yang diajukan PIRAC kepada 2.500 responden di 11 kota besar adalah: mengapa mereka menolak mendukung atau menyumbang kegiatan organisasi nirlaba atau LSM? Jawaban yang diperoleh cukup menarik. Responden yang berasal dari kelas A (berpenghasilan Rp 1,5 juta ke atas) dan kelas B (berpenghasilan Rp 750 ribu-Rp 1,5 juta) menyatakan bahwa mereka menolak menyumbang karena tidak percaya dengan orang-orangnya (43% dan 34%), tidak punya uang (22% dan 28%),tidak percaya organisasinya (14% dan 11%), tidak percaya programnya (11% dan 7%), dan sisanya (10%) karena factor-faktor lain, seperti terlalu sering diminta dan tidak ada follow up. Sementara kelas C yang merupakan kalangan kelas bawah (berpenghasilan di bawah Rp 750 ribu) menyatakan menolak mendukung lembaga nirlaba, karena: tidak punya uang (49%), tidak percaya orangnya (28%), tidak percaya programnya (7%), tidak percaya organisasinya (6%), dan sisanya (10%) karena faktor-faktor lain.

Data diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas sosial masyarakat, yang merupakan calon pendukung atau donatur potensial LSM, semakin tinggi pula tingkat kepercayaan yang harus dibangun oleh LSM untuk menarik dukungan dari mereka. Bagi masyarakat kelas menegah ke atas (kelas A & B), penolakan mereka untuk memberikan dukungan, khususnya pendanaan, bukan semata-mata karena mereka tidak punya uang. Penolakan mereka lebih disebabkan karena ketidakpercayaan pada orang-orang LSM, program-programnya dan organisasinya. Ini berarti keberhasilan menggalang dukungan dari kalangan ini sangat bergantung pada sejauh mana organisasi nirlaba atau LSM mampu menumbuhkan kepercayaan mereka. Sebaliknya,semakin ke bawah kelas sosial masayarakat, penolakan mereka lebih disebabkan karena kemampuan finansialnya, selain faktor kepercayaan, seperti yang disebutkan di atas.

(2)

misalnya, tidak pernah melaporkan program dan keuangan yang dikelolanya secara terbuka…?”

Akuntabilitas

Akuntabilitas LSM, menurut Rustam Ibrahim, adalah suatu proses di mana LSM menggangap dirinya bertanggung jawab secara terbuka mengenai apa yang diyakininya, apa yang dilakukan dan tidak dilakukannya. Secara operasional, akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk pelaporan (reporting), pelibatan (involving) dan cepat tanggap (responding). LSM bertanggung jawab atas semua nilai-nilai yang dianutnya, apa yang dilakukan atau tidak dilakukannya, kepada semua stakeholder (kelompok sasaran, lembaga donor, sesama Ornop, pemerintah dan masyarakat luas). Yang dipertanggungjawabkan adalah semua program dan kegiatan yang dilakukan dan diwujudkan dalam bentuk dana yang diperoleh dan dikeluarkan, hasil-hasil yang dicapai, keterampilan dan keahlian yang dikembangkan, dll. Cara mempertanggungjawabkan adalah melalui mekanisme pelaporan yang jujur dan transparan, mudah diperoleh dan dijankau oleh masyarakat.

Implementasi akuntabilitas di kalangan organisasi nirlaba di Indonesia sendiri, relative kurang diperhatikan. Greg Rooney, Civil Society Program Advisor ACCES, menyatakan bahwa sedikit sekali perhatian dan usaha yang dilakukan untuk membentuk organisasi yang memiliki ankuntabilitas di hadapan konstituennya dan masyarakat yang lebih luas. Lebih jauh lagi, belum banyak organisasi nirlaba saat ini berupaya untuk meningkatkan prosedur operasional (baik SOP maupun AD/ART) yang mengatur organisasi mereka. Terdapat resistensi atau keengganan di antara mereka, terutama yang menerima bantuan dana asing, melakukan proses pengambilan keputusan internal dan membuat situasi keuangan mereka transparan serta mempertanggungjawabkannya kepada publiknya.

Pemilihan yayasan sebagai badan hukum bagi sebagian besar LSM di Indonesia berdampak pula pada pola hubungan dan tanggung jawab organisasi dengan konstituen. Organisasi yang berbentuk yayasan umumnya hanya melakukan pertanggungjawaban pada dewan pengurus, dewan penyantun, atau dewan pembinanya, serta lembaga donor yang memberikan dukungan pendanaan. Masih jarang ditemui LSM yang berbentuk yayasan melakukan pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Mekanisme pertanggungjawaban sendiri masih dipahami secara literal dan konvensional, misalnya lewat majalah internal lembaga, atau publikasi di media massa.

(3)

Sayangnya, pemberlakuan UU Yayasan tertunda karena mendapatkan banyak penolakan dari kalangan LSM sendiri.

Transparansi

Transparansi atau keterbukaan berarti keputusan yang diambil dan pelaksanaannya dilakukan dengan cara atau mekanisme yang mengikuti aturan atau regulasi yang ditetapkan oleh lembaga. Transparansi juga bisa berarti bahwa informasi yang berkaitan dengan organisasi tersedia secara mudah dan bebas serta bisa diakses oleh mereka yang terkena dampak kebijakan yang dilakukan oleh organisasi tersebut. Kalaupun ada informasi yang tidak boleh diketahui oleh publik, yang sering disebut dengan “rahasia perusahaan”, maka harus ada kriteria yang jelas untuk itu. Keterbukaan juga bisa berarti informasi yang cukup berkaitan dengan kinerja lembaga tersedia dan disajikan dalam bentuk atau media yang mudah dipahami masyarakat.

Banyak pihak yang menyatakan bahwa transparansi terkait erat dengan akuntabilitas. Ada yang menyatakan bahwa keduanya merupakan hubungan kausalitas, sementara kalangan yang lainnya menempatkannya secara independen. Menyangkut materi dan ruang lingkupnya, beberapa kelompok juga memiliki pandangan yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa transparansi dan akuntabilitas cukup pada aspek keuangan, ada yang berpendapat sebaliknya, semua aspek kecuali masalah keuangan, dan ada juga yang berpendapat semua aspek, termasuk program dan keuangan. Sementara kata kunci yang bisa menjelaskan sekaligus menghubungkan akuntabilitas dan transparansi adalah pengungkapan (disclosure). Pengungkapan data dan informasi merupakan praktik transparansi di satu sisi dan pada saat yang sama menjadi prasyarat akuntabilitas. Ada tiga model disclosure yang diterapkan oleh LSM:

Pertama, model legalism yang mengacu pada model pengungkapan berbagai data dan informasi organisasi karena adanya tekanan regulasi. Misalnya, mendorong pengungkapan pelaporan keuangan lembaga nirlaba lewat aturan-aturan yang berlaku. Pemberlakuan UU Yayasan merupakan salah satu contoh upaya mendorong lembaga nirlaba untuk terbuka dan mengungkapkan informasi yang dimililkinya berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Model ini diterapkan dengan mekanisme audit oleh akuntan publik dan mempublikasikan hasilnya di surat kabar.

Kedua, model associatism di mana pengungkapan data dan informasi dilakukan berdasarkan kesepakatan asosiasi atau konsorsium yang membawahi organisasi tersebut. Misalnya, upaya pengaturan standar pelaporan keuangan yang dilakukan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia. Begitu juga upaya beberapa koalisi atau asosiasi LSM, seperti LP3ES, Sawarung dan KPMM, yang membentuk dan menyepakati mekanisme pengungkapan secara khusus bagi para anggotanya. Beberapa upaya yang dilakukan berkaitan dengan model ini adalah laporan pertanggungjawaban anggota secara terbuka dalam sarasehan, atau pembuatan mekanisme/ sistem keuangan yang mudah dipahami oleh konstituen.

(4)

komunitas atau masyarakat konstituen. Masyarakatlah yang menentukan bagaimana proses transparansi dilakukan dan informasi apa saja yang harus diungkapkan. Lewat mekanisme semacam ini, pelibatan dan kontrol masyarakat terhadap kinerja organisasi bisa dilakukan secara optimal. Model ini diajukan sebagai bentuk alternatif terhadap model pertama dan kedua yang dianggap belum mencerminkan transparansi secara utuh dan mudah dimanipulasi, meski sistem yang digunakan sudah cukup rapi dan menggunakan tenaga audit yang professional.

Dari ketiga model tersebut, model pertama yang banyak dipraktikkan oleh NGO masih belum punya sistem administrasi keuangan yang bagus atau menggunakan tenaga audit. Model kedua mulai digunakan dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan terbentuknya berbagai asosiasi, jaringan atau koalisi LSM yang menerapkan self regulation yang disepakati bersama bagi anggotanya. Model ketiga, meski lebih mudah dan dilakukan sesuai dengan kapasitas lembaga, belum banyak diaplikasikan. LSM jarang menggunakannya karena mereka tidak terbiasa melakukan pengungkapan secara terbuka dan memberikan akses yang luas kepada konstituennya.

Ikhtiar dan Tantangan

Persoalan transparansi dan akuntabilitas LSM inin mengemuka dalam lima tahun terakhir. Tumbangnya Orde Baru dan dipu-lihkannya kebebasan berkumpul dan bersuara di era Reformasi membawa “berkah”bagi kebangkitan masyarakat sipil di Indonesia. Sejak tahun 1998, LSM tumbuh bak jamur di musim hujan. Karena belum ada aturan yang jelas, orang dengan mudah men-dirikan LSM. Sepanjang dua-tiga orang yang seide bersepakat membentuk dan menjalankan sebuah LSM, maka berdirilah LSM. Karena itu, tak heran jika pertumbuhan LSM dimasa ini menga-lami peningkatan yang cukup pesat.

Sayangnya, pesatnya pertumbuhan dan kegiatan LSM tersebut tidak diimbangi dengan upaya meningkatkan akuntabilitas terhadap konstituennya, yang pada akhirnya membuat citra LSM semakin terpuruk. Hasil observasi tim peneliti LP3ES di delapan provinsi beberapa waktu lalu menunjukkan berbagai penyimpangan yang dilakukan LSM. Tim LP3ES mengidentifikasi sekurangnya empat bentuk aktivisme LSM “menyimpang” ini. Pertama , LSM-LSM yang terkait dengan permainan kekuasaan, yakni dalam bentuk dukung-mendukung calon pejabat tertentu di berbagai tingkatan. Kedua, LSM memperebutkan proyek pemerintah (daerah). Pendirian LSM ini umumnya dilatarbelakangi oleh kebijakan baru dari negara-negara donor yang mensyaratkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan proyek-proyek (pembangunan. LSM semacam ini didirikan, atau melibatkan para pegawai Pemda setempat beserta para kroninya. Ketiga, LSM yang bermain money politics atau premanisme, dengan modus ivestigasi, mengkritik melalui pendekatan watch dog, tetapi ujung-ujungnya melakukan deal-deal di balik layer. Keempat, ada juga fenomena kelompok yang mengidentikkan dirinya sebagai LSM, namun justru melakukan hal-hal yang antidemokrasi, seperti tindak kekerasan dan anarkhi.

(5)

mengatur dan mengatasi persoalan tersebut. Karena itu, LSM perlu mengatur dirinya sendiri lewat mekanisme pengaturan diri atau regulation mechanism. Ada dua bentuk self-regulation mechanism: pertama, upaya yang dilakukan oleh masing-masing LSM untuk mengatur organisasinya atau individu-individu yang menjadi anggotanya. Pengaturan semacam ini dilakukan lewat AD/ART lembaga, SOP, dll. Kedua, upaya sekelompok LSM yang tergabung dalam jaringan, asosiasi, koalisi atau perhimpunan LSM untuk menyusun dan menyepakati aturan main bersama yang dipraktikkan dalam interaksi intern komunitas maupun dengan pihak luar. Aturan main itu, antara lain dapat berisikan dasar-dasar filosofi dan prinsip-prinsip yang dianut untuk melaksanakan kegiatan, dalam berhubungan dengan pihak luar seperti pemerintah dan para donor dan kelompok sasaranya, serta prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Inisiatif semacam ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1990-an. Saat itu, Sektretariat Bina Desa bersama 12 LSM merancang “Pedoman Perilaku (Kode Etik LSM) Kemitraan Lembaga Swadaya Masyarakat “. Kode etik yang ditandatangani tanggal 28 Juli 1994 di Caringin Bogor ini, mengatur tentang hubungan insan LSM dengan rakyat, hubungan antarsesama LSM, dan hubungan LSM dengan mitra internasional. Selain itu, kode etik tersebut dimaksudkan untuk menghindari pengaturan internal LSM oleh pihak luar, khususnya pemerintah. Sayangnya, konsep kode etik yang sudah berhasil disusun tersebut sulit untuk diimplementasikan. Selain karena masih banyaknya pro kontra seputar kode etik, jaringan yang digunakan sebagai wadah untuk mengimplementasikan kode etik tersebut dinilai tidak tepat karena terlalu longgar dan tidak ada ikatan serupa. LP3ES mencoba meneruskan dan menyempurnakan ikhtiar ini dengan menyusun kode etik sekaligus membentuk asosiasi LSM yang menjadi wadah bagi orang-orang yang sepakat dengan kode etik tersebut. Dengan wadah asosiasi yang lebih tegas dan formal, enforcement bagi pelaksanaan kode etik itu diharapkan lebih kuat dan lebih mengikat.

Kelompok LSM lainnya, antara lain, Sawarung (Sarasehan Warga Bandung), KPMM (Konsorsium Pengembangan Masyarakat Madani) Padang, JARI Indonesia dan INFID, juga mencoba merumuskan self-regulation bagi LSM-LSM atau organisasi lain yang menjadi anggotanya lewat statuta atau aturan main yang disusun dan disepakati bersama upaya ini diharapkan bisa memperkuat dan mengontrol internal governance yang dijalankan oleh masing-masing LSM dengan berjaringan upaya peningkatan kapasitas yang berkaitan dengan good governance juga bisa lebih mudah dan lebih sistematis dilakukan. Selain itu, kelompok-kelompok LSM tersebut juga mulai melibatkan konstituen dalam pelaksanaan ketatalaksanaan lembaganya. Sawarung misalnya, melibatkan kelompok masyarakat yang lain dalam mengontrol dan menilai internal governance yang dilakukan oleh anggotanya. Mereka menyediakan ruang dan sarana bagi masyarakat untuk berdialog dengan LSM guna mempertanyakan kinerja program dan keuangan lembaga.

(6)

mengukur seberapa jauh nilai-nilai good governance itu ditegakkan. USC Satunama di Yogya bersama beberapa jaringan LSM saat ini juga tengah mengkaji penerapan sistem ini di Indonesia.

Sistem akreditasi adalah penilaian oleh pihak ketiga yang sangat lazim dilakukan baik oleh kalangan profesi maupun dunia usaha. Sistem akreditasi merupakan sistem penilaian yang tidak mengandalkan peraturan negara tetapi berdasarkan aturan main yang disepakati pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah, kalaupun terlibat, hanya sebatas sebagai fasilitator dalam hal dan yang terpenting penjaminan, bahwa sistem yang dibentuk merupakan kesepakatan semua pihak. Di Indonesia, sistem semacam ini sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa sektor di luar LSM. Dalam hal standardisasi kualitas produk misalnya, tiap-tiap departemen teknis membentuk Komite Akreditasi Instansi Teknis (KAIT) dan Komite Akreditasi Nasional (KAN) pada tingkat nasional hingga menempatkan pemerintah sebagai regulator semata, sedangkan pemainnya sepenuhnya adalah swasta.

Berbagai ikhtiar yang tengah dilakukan oleh LSM maupun beberapa komunitas LSM itu, bukannya tanpa kendala dan tantangan. Banyak pihak yang memandang upaya semacam itu justru mengarahkan LSM menjadi lembaga konsultan. Sebagian lainnya mempertanyakan, apakah LSM yang merupakan wadah aktivisme dan idealisme memerlukan profesionalisasi semacam itu? Mereka khawatir jangan-jangan upaya tersebut justru membuat LSM menjadi terkotak-kotak. Belum lagi masalah penetuan lembaga yang dianggap layak untuk melakukan akreditasi dan sertifikasi, yang akan memicu kontroversi dan perdebatan sengit di kalangan LSM sendiri, seperti sudah sering terjadi. Kekhawatiran lainnya, upaya ini justru membuat LSM disibukkan oleh urusan internalnya untuk menjadi lembaga profesional dan melupakan tugas utamanya membela kepentingan rakyat. Persoalan yang terakhir memang menjadi perdebatan yang menarik dalam beberapa forum yang membahas persoalan akuntabilitas dan transparansi LSM.

Beberapa kalangan juga menyayangkan, mengapa berbagai upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi di kalangan LSM ini hanya dibahas dan dibicarakan di kalangan intern LSM sendiri. Masyarakat luas yang selama ini menjadi binaan dan garapan LSM, belum banyak dilibatkan dalam merumuskan konsep dan mekanisme akuntabilitas dan transparansi LSM. Dalam perumusan konsep dan mekanisme transparansi, misalnya, LSM lebih banyak menggali masukan dari kalangan mereka sendiri, tanpa banyak melibatkan unsur-unsur masyarakat. Minimnya keterlibatan masyarakat ini menimbulkan kekhawatiran bahwa peningkatan program itu hanya berdampak bagi LSM dan tak banyak berpengaruh terhadap perbaikan taraf hidup masyarakat. LSM asyik merumuskan aturan main untuk dirinya sendiri, sementara masyarakat harus terus berjuang mengatasi persoalannya yang semakin hari semakin besar.

(7)

ini gencar mengawasi eksekutif dan legislatif, juga bisa terkontrol dan terawasi kinerjanya oleh masyarakat yang menjadi binaanya.

Referensi

Dokumen terkait

Skala tidak pasti merupakan skala yang berada pada tahap sederhana dengan mempunyai 17 orang responden yang terdiri darpada 9 orang lelaki dan 8 orang responden

Form Bukti Kehadiran Pelaksanaan Perjalanan Dinas Dalam Kota Sampai Dengan 8 (Delapan) Jam. KEGIATAN : Penjajakan Lokasi Pengabdian Masyarakat Jurusan Kebidanan Poltekkes

Hasil dari penelitian ini faktor eksternal yang terdiri dari saran dari orang lain, content kuliah, dan lapangan pekerjaan lebih berpengaruh terhadap pemilihan jalur konsentrasi

Berdasar hasil ini, diketahui bahwa komite audit independen berpengaruh negatif signifikan terhadap REM_CFO. Yang berarti bahwa komite audit independen berperan dalam menekan

2.3 Harus dibuat  sesuai dengan  batasan  produksi Memvisualisasik an naskah ke  dalam  storyboard yang  dibuat Operasional  Prosedur 3 Kesepakatan 

Keseimbangan Air (Water Balance) Irigasi Pada Bendung Leuwi Kuya Di Kabupaten Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Berdasarkan latar belakang yang terjadi, maka peneliti tertarik untuk meneliti dengan judul “Pengaruh Account Representative (AR), Sistem Monitoring Pelaporan

(stengiasi pasiūlyti naujų idėjų užduotims atlik­ ti; siekia rasti originalių būdų įgyvendinti šias idėjas; išradingai, nesutrikdamas veikia kiekvie­ noje situacijoje;