• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Bunga Dan Prinsip Ekonomi Islam D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Bunga Dan Prinsip Ekonomi Islam D"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

Abdul Rahim Dosen STAIN Watampone rahim_ilmi72@yahoo.co.id

Abstrack

Interest is an additional charging on the transaction of money loan that can be calculated in primarily loan without considering the benefit of this loan. Now days, Muslims could not avoid their selves from muamalah with the conventional banks who use the system of interest in all aspects of life, including their religious life and primarily their economic life. Nevertheless, Islamic banking is expected to avoid the application of the interest system and consistency in applying the mudhrabah system. Therefore, where the mudarabah system is a business cooperation agreement between the two parties, in which the first party provides the overall of capital, while others become managers. Mudarabah business profits are divided according to the contract agreement, whereas if the loss, responsible by the owners of the capital as long as the loss is not due to negligence of manager. Had the losses caused by fraud or negligence of the manager, then the manager should be responsible for the losses. Therefore, Islamic banks also apply Wadi'ah system which can be interpreted as a pure deposit of one party to the other, both individuals and legal counsel entities that must be preserved and restored anytime depositors’ wills. Therefore, Islamic economic principles which have been applied in this case are Mudarabhah, Musharakah, and Murabahah.

Keywords: interest, riba, islamic economics principles and banking

Abstrak

(2)

2

titipan murni dari satu pihak kepada pihak yang lain, baik individu dan badan penasihat hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja kehendak depositor. Oleh karena itu, prinsip-prinsip ekonomi Islam yang telah diterapkan dalam kasus ini adalah Mudarabah, musyarakah, dan Murabahah.

Kata kunci: bunga, riba, prinsip ekonomi islam dan perbankan.

Pendahuluan

Perkembangan pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Muhammad saw

dipilih sebagai seorang Rasul (utusan Allah). Rasulullah saw mengeluarkan

sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan

penyelenggaraan hidup masyarakat, selain masalah hukum, politik, juga masalah

perniagaan atau ekonomi. Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian

Rasulullah saw, karena masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan

yang harus diperhatikan oleh seluruh masyarakat.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah saw bersabda, “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”. Maka upaya untuk mengentas kemiskinan merupakan bagian dari kebijakan-kebijakan sosial yang dikeluarkan

Rasulullah saw. Selanjutnya kebijakan-kebijakan Rasulullah saw menjadi

pedoman oleh para penggantinya Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin

Affan, dan Ali bin Abi Thalib dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi.

Namun demikian, al-Qur’an dan Hadis digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata

kehidupan ekonomi negara. Perkembangan pemikiran ekonomi Islam pada masa

Nabi Muhammad saw belum berkembang, hal ini disebabkan karena masyarakat

pada saat itu langsung mempraktekkannya dan apabila menemui persoalan dapat

menanyakan langsung kepada Nabi.

Sementara secara kontekstual persoalan ekonomi pada masa itu belum

begitu kompleks. Secara mikro praktek ekonomi yang dilakukan oleh Nabi dan

para sahabat pada masa itu sarat dengan unsur economic justice dalam kerangka

etika bisnis yang qur’ani. Fenomena perekonomian dunia telah berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman dan perubahan teknologi

informasi yang berkembang pesat.

Banyak nilai-nilai baru yang dibentuk namun sulit untuk menentukan

(3)

3

adakalanya menyesatkan. Globalisasi ekonomi yang diwarnai dengan bebasnya

arus barang modal dan jasa, serta perdagangan antar negara, telah mengubah

suasana kehidupan menjadi individualistis dan persaingan yang amat ketat.

Hampir semua agama yang ada di dunia ini memberikan berbagai petunjuk

kepada para penganutnya bagaimana cara yang baik dalam menjalankan

kehidupan mereka dimuka bumi ini (Huda dan Haykal, 2010: 3). Dalam tataran

perekonomian dunia, telah terjadi pula kesenjangan ekonomi yang dialami oleh

negara miskin dan negara kaya, serta munculnya jurang kesenjangan antara

masyarakat miskin dan masyarakat kaya yang semakin besar. Bangsa Indonesia

saat ini berada dalam krisis ekonomi yang ditandai dengan beban utang luar

negeri yang besar, sampai dengan akhir tahun 2013 utang luar negeri mencapai

138 milyar dollar AS yang terdiri dari utang pemerintah 74,56 milyar dollar

(53,9%) dan 63,44 milyar dollar (46,1%) adalah utang swasta.

Namun demikian, sistem ekonomi kapitalis membuat bangsa Indonesia

terseret dalam putaran keuangan kapitalis yang dahsyat, ibarat badai tornado yang

memporakporandakan semua benda dan bangunan yang dilaluinya. Sudah cukup

lama umat Islam Indonesia, demikian pula dunia Islam lainnya menginginkan

sistem perekonomian yang berbasis nilai dan prinsip syariah (Islamic economic

system) untuk dapat diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan

transaksi umat. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan

Islam secara utuh dan total seperti yang ditegaskan Allah SWT.

Oleh sebab itu, sangat disayangkan dewasa ini masih banyak kalangan

yang melihat bahwa Islam tidak berurusan dengan bank dan pasar uang, karena

yang pertama adalah dunia putih, sedangkan yang kedua adalah dunia hitam,

penuh tipu daya dan kelicikan. Oleh karena banyak kalangan melihat Islam

dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya, sebagai faktor penghambat

pembangunan. Penganut paham liberalisme dan pragmatisme sempit ini menilai

bahwa kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang

bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan rambu-rambu Ilahi (Antonio, 2001).

Namun demikian, ketidakseimbangan ekonomi global, dan krisis ekonomi

yang melanda Asia khususnya Indonesia adalah suatu bukti bahwa asumsi diatas

salah total bahkan ada sesuatu yang tidak beres dengan sistem yang di anut selama

ini. Adanya kenyataan sejumlah besar bank ditutup, di-take-over, dan sebagian

(4)

4

negara yaitu sekitar 635 triliun rupiah, maka rasanya amatlah besar dosa apabila

tetap berdiam diri dan berpangku tangan tidak melakukan sesuatu untuk

memperbaiki kondisi ekonomi seperti ini.

Sekarang saatnya akan menunjukkan bahwa muamalah syariah dengan

filosofi utama kemitraan dan kebersamaan dalam profit dan risk dapat

mewujudkan kegiatan ekonomi yang lebih adil dan transparan. Sekaligus pula

membuktikan bahwa dengan sistem perbankan syariah, akan dapat menghilangkan

masalah-masalah yang negative spread (keuntungan minus) dari dunia perbankan

saat ini. Oleh karena itu titik permasalan yang muncul saat ini yaitu mengenai

konsep bunga dan riba dalam perspektif Islam serta prinsip-prinsip ekonomi

dalam perbankan syariah.

Konsep Bunga Dan Riba Dalam Perspektif Islam

Dalam kehidupan seperti sekarang ini, umat Islam hampir tidak bisa

menghindari diri dari bermuamalah dengan bank konvensional yang memakai

sistem bunga dalam segala aspek kehidupannya termasuk kehidupan agamanya

terutama dalam kehidupan ekonomi.

Juga tidak bisa dipungkiri bahwa negara Indoneia belum bisa lepas dari

bank-bank konvensional yang berorientasi pada bank-bank internasional dan

tentunya menggunakan suku bunga dalam berbagai transaksi, dan hingga saat ini

pula masih banyak terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama muslim

tentang keharaman serta kehalalan riba itu sendiri.

Riba merupakan sebagian dari kegiatan ekonomi yang telah berkembang

sejak zaman jahiliyah hingga sekarang. Kehidupan masyarakat telah terbelenggu

oleh sistem perkonomian yang membiarkan praktek bunga berbunga. Sistem

pinjam meminjam yang berlandaskan bunga ini sangat menguntungkan kaum

pemilik modal dan disisi lain telah menjerumuskan kaum dhufa pada

kemelaratan, hal ini secara keras ditentang atau dilarang oleh ajaran Islam yang

dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Hadits.

Pada saat ini sebagian masyarakat masih menganggap bank (konvensional)

sebagai solusi untuk membantu memecahkan masalah perekonomiannya tetapi

pada kenyataannya bank tidak membatu kepada masyarakat yang

membutuhkannya tetapi malah mencekiknya atau merugikannya dengan sistem

(5)

5

berlabel Islam di sana tidak ada praktik bunga tetapi yang ada hanya sistem bagi

hasil.

Selanjutnya dalam kajian ini akan dibahas mengenai bunga dan riba. Apa

yang dimaksud dengan riba dan bunga? Macam-macam dari bunga dan riba,

perbedaan antara bunga dan riba, larangan riba, serta pendapat para ulama

mengenai masalah bunga dan riba.

1. Pengertian Bunga

Bunga adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang

yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan

pokok tersebut berdasarkan tempo waktu yang diperhitungkan secara pasti di

muka dan pada umumnya berdasarkan persentase (Antonio, 2011: 90).

Ada beberapa pengertian lain dari bunga, diantaranya yaitu:

1) Sebagai batas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip

konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya.

2) Sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki

simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah

yang memperoleh pinjaman) (Muhammad, 2001).

3) Bunga adalah tambahan yang diberikan oleh bank atas simpanan atau yang

di ambil oleh bank atas hutang (Sumitro, 2004: 32).

2. Macam-macam Bunga

Dalam kegiatan perbankan sehari-hari ada 2 macam bunga yang diberikan

kepada nasabahnya yaitu:

1) Bunga Simpanan

Bunga simpanan adalah bunga yang diberikan sebagai rangsangan atau

balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya di bank. Bunga

simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada nasabahnya.

Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan dan bunga deposito.

2) Bunga Pinjaman

Bunga pinjaman adalah bunga yang diberikan kepada para peminjam atau

harga yang harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai

cotoh bunga kredit.

Kedua macam bunga ini merupakan komponen utama faktor biaya dan

(6)

6

harus dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan

pendapatan yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga

pinjaman masing-masing saling mempengaruhi satu sama lainnya. Sebagai contoh

seandainya bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga

terpengaruh ikut naik dan demikian pula sebaliknya.

3. Pengertian Riba dan Macam-Macamnya

Riba secara bahasa bermakna al-ziyadah yaitu tambahan. Sedangkan

menurut istilah teknis riba adalah pengambilan tambahan dari harta pokok atau

modal secara batil. Riba juga dapat diartikan sebagai pengambilan tambahan, baik

dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang

bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam (Ali, 2008).

Menurut syari’ah riba yaitu merujuk pada “premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada yang memberikan pinjaman bersama dengan jumlah pokok

utang sebagai syarat pinjaman atau untuk perpanjangan waktu pinjaman (Iqbal

dkk, 2008).

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing

adalah riba utang-piutang dan riba jual beli.

Riba utang-piutang terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap

yang berutang (muqtaridh).

2) Riba Jahiliyah

Yaitu utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu

membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

Sedangkan riba jual-beli terbagi menjadi dua pula, yaitu:

3) Riba Fadhl

Pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda,

sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang

ribawi.

4) Riba Nasi’ah

(7)

7

muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang

diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian (Iqbal dkk, 2008).

4. Larangan Riba

Di dalam Islam telah jelas disebutkan mengenai larangan Riba yang

terdapat dalam al-Qur’an pada empat kali penurunan wahyu yang berbeda-beda, diantaranya:

a. QS. Ar-Ruum: 39

b. QS. An-Nisa: 161

c. QS. Ali-Imran: 130-132

d. QS. Al-Baqarah: 275-281

Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Qur’an, melainkan juga Hadis. Hal ini sebagaimana posisi umum hadis yang berfungsi

untuk menjelaskan lebih lanjut yang telah digariskan melalui al-Qur’an, pelarangan riba dalam hadis lebih terperinci.

“Ingatlah bahwa kamu akan menghadap tuhanmu dan dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarangmu mengambil riba. Oleh karena itu,

utang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita atau pun mengalami ketidakadilan.”

“Diriwayatkan oleh Abu Said al-khudri bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam,

bayaran harus dari tangan ke tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau

menerima tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan

pemberi sama-sama bersalah.” (HR. Muslim no.2971, dalam Kitab Al-Masaqat). Rasulullah Saw juga mengutuk dengan menggunakan kata-kata yang

sangat terang, bukan saja mereka yang mengambil riba, tetapi mereka yang

memberikan riba dan para penulis yang mencatat transaksi atau para saksinya.

Bahkan beliau menyamakan dosa orang yang mengambil riba dengan dosa orang

yang melakukan zina 36 kali lipat atau setara dengan orang yang menzinahi

(8)

8

5. Pendapat Ulama tentang Bunga dan Riba Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih Sidoarjo (1968) memutuskan:

1) Riba hukumnya haram dengan nash sharih al-Qur’an dan al-Sunnah

2) Bank dengan system riba hukumnya haram dan bank dengan tanpa riba

hukumnya halal

3) Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para

nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, terasuk perkara

musytabihat.

4) Menyarankan kepada pimpian pusat muhammadiyah untuk mengusahakan

terwujudnya konsepsi system perekonomian, khususnya lembaga

perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam (Chapra: 2000).

Lajnah Bahsul Masa’il Nahdhatul Ulama

Mengenai bank dan pembungaan uang, lajnah memutuskan masalah

tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum

bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan

dengan masalah ini:

1) Haram, sebab termasuk utang yang dipungut rentenir

2) Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang

berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat

3) Syubhat (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih

pendapat tentangnya

Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan)

yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank

adalah haram (Chapra: 2000).

Sidang Organisasi Konferensi Islam(OKI)

Semua peserta sidang OKI Kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan,

Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai berikut:

1) Praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah

Islam

2) Perlu segera didirikan bank-bank alternative yang menjalankan operasinya

(9)

9

Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank

Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB) (Chapra: 2000).

Mufti Negara Mesir

Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank

senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kuranganya sejak tahun 1900

hingga 1989, memutuskan Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan

bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.

Konsul Kajian Islam Dunia

Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam

Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam

konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al-Azhar, Kairo, pada

bulan Muharram 1385 H/Mei 1965 M, ditetapkan bahwa tidak ada sedikitpun

keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan

bank-bank konvensional (Chapra: 2000).

Fatwa lembaga-lembaga lain

Senada dengan ketetapan dan fatwa dari lembaga-lembaga Islam dunia

diatas, beberapa lembaga berikut ini juga menyatakan bahwa bunga bank adalah

salah satu bentuk riba yang diharamkan. Lembaga-lembaga tersebut adalah,

Akademi Fiqih Liga Muslim Dunia dan Pimpinan Pusat Dakwah, Penyuluhan,

Kajian, dan Fatwa, Kerajaan Saudi Arabia.

Satu hal yang perlu dicermati, keputusan dan fatwa dari lembaga-lembaga

dunia diatas diambil pada saat bank Islam dan lembaga keuangan Syariah belum

berkembang seperti saat ini. Dengan kata lain, para ulama dunia tersebut sudah

berani menetapkan hukum dengan tegas sekalipun pilihan-pilihan alternative

belum tersedia (Chapra: 2000).

6. Riba dalam Perspektif Ekonomi

Banyak pendapat mengenai bunga, pertama alasan menahan diri yang

menegaskan ketika kreditor menahan diri, ia menangguhkan keinginannya

memanfaatkan uangnya sendiri semata-mata untuk memenuhi keinginan orang

(10)

10

tidak ia gunakan sendiri atau uang yang berlebih dari yang ia perlukan dengan

demikian sebenarnya ia tidak menahan diri atas apapun.

Ada anggapan bunga sebagai imbalan sewa yang didasarkan dari rumusan

yang menempatkan posisi rent, wage, dan interest. Rumus ini menunjukkan

bahwa padanan rent (sewa) adalah aset tetap dan aset bergerak, sedangkan interest

(bunga) padanannya uang. Hal ini tentu tidak tepat karena uang bukan aset tetap,

karena itu menuntut sewa uang tidak beralasan (Hak, 2011: 112).

Modal sering juga dipandang mempunyai daya untuk menghasilkan nilai

tambah, dengan semikian kriditor layak untuk mendapatkan imbalan bunga.

Dalam kenyataanya modal menjadi produktif bila digunakan untuk bisnis yang

mendatangkan keuntungan, sedang bila digunakan untuk konsumsi modal sama

sekali tidak produktif.

Anggapan lain bunga sebagai agio atau selisih nilai yang diperoleh dari

barang-barang pada waktu sekarang terhadap perubahan atau penukaran barang di

waktu yang akan datang. Benarkah demikian? Mengapa banyak oarng tidak

membelanjakan seluruh pendapatannya sekarang tetapi menyimpannya untuk

keperluan pada masa yang akan datang? Secara prinsip Islam mengakui adanya

nilai dan berharganya waktu, tetapi penghargaannya tidak diwujudkan dalam

rupiah tertentu atau persentase bunga tetap, hal ini karena hasil nyata dari

optimalisasi waktu itu adalah variabel.

Inflasi dipahami sebagai meningkatnya harga barang secara keseluruhan,

dengan demikian terjadi penurunan daya beli uang atau decreasing purchasing

power of money. Karena itu menurut penganut paham ini pengambil bunga uang

sangatlah logis sebagai kompensasi penurunan daya beli uang selama

dipinjamkan. Argumentasi ini sangat tepat bila dalam perekonomian yang terjadi

hanya inflasi saja tanpa deflasi atau stabil.

Prinsip Dasar Perbankan Syariah

Bank syariah memiliki fungsi intermediary, satu sisi menghimpun dana

dari masyarakat yang kelebihan dana dan pada sisi lain menyalurkan dana kepada

masyarakat yang membutuhkan dana berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Prinsip

syariah yang menjadi dasar operasional perbankan syariah dapat dijelaskan

(11)

11

1. Prinsip Titipan atau Simpanan (al-Wadi’ah)

Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak

lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan

kapan saja si penitip menghendaki. Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad

al-amanah (tangan amanah) artinya tidak bertanggungjawab atas kehilangan atau

kerusakan yang terjadi pada aset titipan selama hal ini bukan karena kalalaian

penerima dalam memelihara barang titipan. Akan tetapi dalam aktivitas

perekonomian modern penerima simpanan tidak mungkin akan meng-idle-kan

aset tersebut tetapi mempergunakannya dalam aktivitas perekonomian tertentu.

Karenanya harus meminta izin dari penitip untuk kemudian mempergunakan

asetnya dengan menjamin akan mengembalikannya secara utuh. Pihak penerima

titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan (Wiroso,

2005:118).

Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan titipan atau

simpanan tersebut untuk produk giro dan tabungan. Konsekuensi dari model

titipan (wadiah yad dhamanah) ini, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana

titipan tersebut menjadi milik bank, demikian juga bank adalah penanggung

seluruh kumungkinan kerugian. Sebagai imbalan penyimpan memperoleh jaminan

keamanan terhadap asetnya juga fasilitas giro lainnya. Bank tidak dilarang untuk

memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan

sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau persentase secara

advance, tetapi merupakan kebijakan dari manajemen bank.

Dalam dunia perbankan yang semakin kompetitif, insentif atau bonus

dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank bersangkutan. Hal ini

dilakukan dalam upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan

sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang

dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan

dalam nominal atau persentasi secara advance, tetapi betul-betul merupakan

kebijakan bank.

2. Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing)

a. Al-Mudharabah

Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua

(12)

12

sedangkan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah

dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila

rugi, ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat

kelalaian di pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan

atau kelalian si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian

tersebut.

Pola transaksi mudharabah, biasanya diterapkan pada produk-produk

pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah

diterapkan pada: tabungan dan deposito. Sedangkan pada sisi pembiayaan,

al-mudharabah, diterapkan untuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan

investasi.

Dengan menempatkan dana dalam prinsip al-mudharabah, pemilik dana

tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan nisbah

bagian keuntungan. Dalam praktiknya, nisbah untuk tabungan berkisar 55:45

persen dari hasil investasi yang dilakukan oleh bank. Dalam hal bank

konvensional, angka tersebut kira-kira setara dengan 11-12 persen.

Sedangkan dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan

modal untuk berdagang maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan

bagi hasil seperti al-mudharabah. Caranya dengan menghitung terlebih dahulu

perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari proyek tersebut.

Misalkan, dari modal Rp.30 juta diperoleh pendapatan Rp.5 juta/bulan. Dari

pendapatan tersebut harus disisihkan terlebih dahulu untuk tabungan

pengembalian modal, sebut saja Rp.2 juta. Selebihnya dibagi antara bank dengan

nasabah dengan kesepakatan di muka, misalnya 60 persen untuk nasabah dan 40

persen untuk bank (Syafei, 2001: 223).

b. Al-Musyarakah

Dalam sistem ini terjadi kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu

usaha tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal.

Keuntungan ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan

kesepakatan.

Akad al-musyarakah diimplementasikan pada perbankan syariah untuk

pembiayaan investasi dan modal kerja. Secara konkret, bila nasabah memiliki

usaha dan ingin mendapatkan tambahan modal, nasabah bisa menggunakan

(13)

13

secara bersama-sama memberikan kontribusi modal yang kemudian digunakan

untuk menjalankan usaha. Porsi bank syariah akan diberlakukan sebagai

penyertaan dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama.

c. Prinsip Al-Murabahah

Akad al-murabahah adalah akad jual beli suatu barang pada harga asal

dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual

dalam hal ini harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu

tingkat keuntungan sebagai tambahan.

Aplikasi akad al-murabahah pada bank Syariah adalah pada pembiayaan

Dalam hal ini, bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.

Misalkan seorang nasabah ingin membeli mobil secara angsur dan memohon

pembiayaan kepada bank syariah. Bank syariah akan membeli mobil yang

diinginkan nasabah terlebih dahulu, kemudian menjualnya lagi kepada nasabah.

Tapi, karena bank syariah menalanginya dulu, maka pada saat menjual kepada

nasabah, harganya sedikit lebih mahal, sebagai bentuk keuntungan buat bank

syariah. Karena bentuk keuntungan bank syariah sudah disepakati di depan, maka

nilai cicilan yang harus dibayar nasabah relatif lebih tetap.

Tentunya masih banyak lagi prinsip-prinsip perbankan syariah, yang kami

uraikan di atas merupakan prinsip-prinsip dasar yang umum dikenal di perbankan

syariah.

d. Perbedaan Bank Syariah

Sepintas bila dilihat secara teknis, menabung di bank syariah dengan yang

berlaku di bank konvensional hampir tidak ada perbedaan. Hal ini karena, baik di

bank syariah maupun bank konvensional diharuskan mengikuti aturan teknis

perbankan secara umum. Akan tetapi bila diamati lebih dalam, terdapat beberapa

perbedaan mendasar di antara keduanya.

Perbedaan pertama terletak pada akadnya. Pada bank syariah, semua

transaksi harus berdasarkan akad yang dibenarkan oleh syariah. Dengan demikian,

semua transaksi itu harus mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku pada

akad-akad muamalah syariah. Pada bank konvensional, transaksi pembukaan rekening,

baik giro, tabungan maupun deposito, berdasarkan perjanjian titipan, namun

prinsip titipan ini tidak sesuai dengan aturan syariah, misalnya wadiah, karena

dalam produk giro, tabungan maupun deposito, menjanjikan imbalan dengan

(14)

14

Perbedaan kedua terdapat pada imbalan yang diberikan. Bank

konvensional menggunakan konsep biaya untuk menghitung keuntungan. Artinya,

bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos atau

biaya yang harus dibayar oleh bank. Oleh karena itu bank harus menjual kepada

nasabah lain (peminjam) dengan biaya bunga yang lebih tinggi. Perbedaan antara

keduanya disebut spread yang menandakan apakah perusahaan tersebut untung

atau rugi. Bila spread-nya positif, di mana beban bunga yang dibebankan kepada

peminjam lebih tinggi dari bunga yang diberikan kepada penabung, maka dapat

dikatakan bahwa bank mendapatkan keuntungan. Sedangkan bank syariah

menggunakan pendekatan profit sharing, artinya dana yang diterima bank

disalurkan kepada pembiayaan. Keuntungan yang didapat dari pembiayaan

tersebut dibagi dua, untuk bank dan untuk nasabah, berdasarkan perjanjian

pembagian keuntungan di muka.

Perbedaan ketiga adalah sasaran kredit/pembiayaan. Para penabung di

bank konvensional tidak sadar uang yang ditabung dipinjamkan untuk berbagai

bisnis, tanpa memandang halal-haram bisnis tersebut. Sedangkan di bank syariah,

penyaluran dan simpanan dari masyarakat dibatasi oleh prinsip dasar, yaitu prinsip

Syariah. Artinya bahwa pemberian pembiayaan tidak boleh ke bisnis yang haram

seperti, perjudian, minuman yang diharamkan, pornografi dan bisnis lain yang

tidak sesuai dengan syariah.

Kesimpulan

Konsep bunga dan riba dalam perspektif Islam terdapat persamaan, yaitu

bahwa bunga merupakan tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman

uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa

mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut berdasarkan tempo waktu

yang diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan

persentase. Sedangkan riba yaitu pengambilan tambahan, baik dalam transaksi

jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil yang bertentangan dengan prinsip

muamalat dalam Islam.

Daftar Pustaka

(15)

15

Al-Qardhawi, Yusuf. 2004. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam. Jakarta: Robbani Press.

Antonio, Muhammad Safi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Bank Indonesia, Jakarta.

___________. 1999. Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan Cendekiawan. Jakarta: Tazkia Institut dan Bank Indonesia.

___________. 1999. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institute dan BI.

Ash Shawi, Shalah dan al-Mushlih, Abdullah. 2008. Fiqhi Ekonomi Keuangan Islam (Ma la yasa’ at-tajira jahluhu), Cet. I. Jakarta: Darul Haq.

Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia, Tahun 1995 s/d Desember 2001.

Hak, Nurul. 2011. Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah. Yogyakarta: Sukses Offset.

Huda, Nurul dan Haykal, Mohammad. 2010. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan PraktiS, Cet. I. Jakarta: Kencana.

Keynes, J.M. 1963. The General Theory of Employment, Interest and Money. New York: Harcourt Brace.

Metwally. M.M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Bankit Daya Insana.

Muhammad. 2001. Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press.

___________. 2002. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Nasution, Mustafa Edwin. “Jangan Pinggirkan Studi Ekonomi Syariah”, Republika online. Senin, 07 Nopember 2005.

Siddiqi, M.N. 1981. “Rational of Islamic Bank”. International for Islamic Economic. Jeddah.

Sumitro, Warkum. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam Dan Lembaga -Lembaga Terkait. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Syafei, Rachmat. 2001. Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data diketahui bahwa nilai R Square sebesar 0.154 artinya adalah bahwa sumbangan pengaruh komisaris independen dan komite audit terhadap

Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman) lebih efektif daripada antibiotik dalam menghilangkan gejala. Nyeri faring bahkan dapat diterapi

Hasil kajian pustaka dan data sekunder menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai tingkat ketersediaan pangan yang cukup baik, kondisi akses pangan ekonomi yang sedang, tingkat

Dalam menunjang tercapainya pembangunan aplikasi maka akan diuraikan metode pengumpulan data yang akan digunakan untuk menyelesaaikan Aplikasi Pengarsipan Surat Masuk

menunjukkan bahwa untuk interaksi dalam waktu relatif singkat yaitu tiga ratusan jam maka baja AISI 316 memiliki ketahanan korosi yang cukup baik dari serangan Pb-Bi

Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah sama dengan siklus I dan siklus II yaitu penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Mengenal aktivitas ekonomi yang

disebabkan banyak faktor antaralain oleh (1) perkembangan kawasan perumahan atau industri yang kemudian mendorong perbaikan aksesibilitas di lokasi tersebut menjadikan

Pada saat melakukan tahapan ini, dengan menggunakan busur derajat diketahui bahwa posisi leher pekerja mengalami ekstensi dengan sudut 30⁰, pada lembar kerja REBA postur