• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016 Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016 Chapter III VI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan rancangan Cross Sectional yaitu untuk melakukan pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali

pada satu saat (Sastroasmoro, 2008). dan pada penelitian ini dilakukan untuk

mempelajari hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi

saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita di Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai

tahun 2016.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai.

Adapun alasan pemilihan lokasi ini berdasarkan pertimbangan banyaknya balita yang

dirawat karena menderita ISPA dan belum pernah dilakukan penelitian tentang

hubungan status gizi dan status imunisasi dengan kejadian infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Pusksmas tersebut.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan melakukan penelusuran kepustakaan, surve

awal, Konsultasi judul, penyusunan proposal, seminar kolokium, pengumpulan data,

(2)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh balita (1-5 tahun) yang tercatat di Wilayah Kerja

Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai, yaitu sebanyak 2459 responden (data

Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai).

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah objek bagian yang diambil dari keseluruhan subjek yang

diteliti dianggap mewakili populasi penelitian ini (Sastroasmoro, 2008). Pengambilan

sampel dalam penelitian berdasarkan atas tujuan tertentu dengan kreteria inklusi :

1. Balita usia 1-5 tahun

2. Memiliki catatan KMS / KIA

Besar sampel yang diperlukan diperoleh dengan menggunakan rumus

(Lemeshow, 1997) sebagai berikut :

n= 2

(3)

Pa-Po : Perkiraan selisih proporsi yang diteliti dengan proporsi di populasi

Berdasarkan perhitungan besar sampel di atas, didapatkan besar sampel yang

diteliti sebesar 137 responden. Cara pengambilan sampel dilakukan secara acak

sederhana sesuai kreteria berdasarkan proporsi masing-masing sampel disetiap

posyandu. Penentuan jumlah sampel dengan menggunakan rumus dibawah ini :

ni = Ni x (n/N)

Keterangan :

N = Jumlah populasi target

n = Jumlah sampel yang dibutuhkan

Ni = Jumlah populasi setiap posyandu

(4)

Tabel 3.1. Jumlah Sampel yang Dibutuhkan dari Setiap Posyandu

Sehingga sampel yang diambil untuk mewakili dari setiap responden dari

masing-masing posyandu ditentukan secara acidental sampling yaitu balita yang kebetulan ada pada saat penelitian dilaksanakan sampai dengan mencukupi sampel

yang dibutuhkan.

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan 2 cara pengumpulan data yaitu :

3.4.1. Data Primer

Data primer dilakukan untuk mendapatkan hasil pengukuran berat badan /

umur (BB/U). Untuk mengetahui berat badan dilakukan penimbangan dengan

(5)

(Z-skor), sedangkan untuk mengetahui umur dilakukan dengan wawancara atau dengan

melihat catatan akte kelahiran anak.

3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi catatan balita yang terdaftar di

Wilaya Kerja Puskesmas Bukit Kapur dan data status imunisasi melalui KMS atau

buku KIA.

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.5.1 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan variabel

independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah infeksi saluran pernafasan

akut (ISPA) sedangkan variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi

dan status imunisasi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai.

3.5.2 Definisi Operasional

1. Infeksi Saluran pernapasan akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang menyerang

salah satu bagian dari saluran nafas yang didiagnosa oleh dr.spesialis atau

dr.umum / Ka.Puskesmas di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai.

2. Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang (buruk, baik, cukup, kurang) yang

dinilai berdasarkan BB/U dengan menggunakan penilaian tabel Z-Score.

3. Status imunisasi adalah keadaan seseorang / individu dalam mendapatkan vaksin

(6)

3.6 Metode Pengukuran

3.6.1 Pengukuran Variabel Dependen

Aspek pengukuran variabel dependen adalah infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) dan variabel independen status gizi dan status imunisasi sehingga jawaban

responden dikategorikan atas :

Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

Variabel Alat Ukur Kategori Skala Ukur

(7)

3.7 Metode Pengolahan dan Analisi Data 3.7.1 Metode Pengolahan Data

Setelah pengukuran berat badan dan lembar observasi umur dan status

imunisasi diisi maka dapat dilakukan pengolahan data dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

1. Editing, yaitu meneliti kembali apakah lembar observasi sudah dilakukan semua atau belum. Editing dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika ada kekurangan data dapat segera dikonfirmasi kepada responden.

2. Coding, yaitu mengklasifikasikan jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya. Klasifikasi dilakukan dengan jalan menandai masing-masing

jawaban dengan kode berupa angka kemudian dimasukkan dalam lembaran

tabel kerja guna mempermudah pembacaan.

3. Tabulating, yaitu langkah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

4. Entery data yaitu proses memasukkan data dalam kategori tertentu untuk dilakukan analisis data dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS.

(8)

3.7.2 Analisis Data 1. Analisis Univariat

Analisa data yang dilakukan secara univariat adalah melihat gambaran

mengenai variabel independen yaitu umur, dan berat badan (BB) dan kelengkapan

imunisasi balita, sedangkan variabel dependennya adalah kejadian ISPA pada balita

2. Analisis Bivariat

Analisis ini menggunakan uji statistik dengan uji Chi-Square pada taraf kepercayaan 95% (p<0.05). Jika hasil analisis statistik diperoleh p<0.05 berarti Ho ditolak atau dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi

dan status imunisasi terhadap kejadian infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) pada

balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur kota Dumai tahun 2016.

3. Analisis Multivariat

Analisis ini merupakan analisis lanjutan yang memungkinkan dilakukan untuk

mengetahui variabel independen yang paling dominan berhubungan dengan variabel

dependen dengan menggunakan uji regresi logistik berganda pada tingkat

(9)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Puskesmas Bukit Kapur terletak pada pinggiran jalan lintas timur

Dumai-Pekanbaru, yang berdiri sejak tahun lebih kurang 1984. Sekarang ini puskesmas

dibagi menjadi 2 yaitu puskesmas rawat jalan dan puskesmas rawat inap. Puskesmas

Kecamatan Bukit Kapur merupakan salah satu percontohan karena dari sekian

banyak Puskesmas yang ada dikota sejak itu hanya Puskesmas Bukit Kapur yang

memiliki instalasi gawat darurat (IGD) dan unit perawatan yang memiliki 44 staff

yang mana termasuk di dalamnya ada 10 Bidan Desa. Wilayahnya luas dengan jarak

tempuh yang paling sulit adalah menuju gurun panjang.

Iklim di Kecamatan Bukit Kapur pada umumnya sama dengan iklim di kota

Dumai yang trofis basah dengan curah hujan rata-rata antara 200-300 mm, sedangkan

untuk jenis tanah di Kecamatan Bukit Kapur pada umumnya adalah tanah pasir dan

tanah sedang ataupun tanah gambut. Kondisi air dan tanah di Kecamatan Bukit Kapur

berasal dari sumur gali dan sumur pompa pada umumnya dengan kedalaman 1-2 m

dan keadaan air pada umumnya jernih dan bersih.

Selain itu Puskesmas Bukit Kapur terletak dikawasan pintu masuk dan jalur

lintas timur antara lain Dumai-Pekanbaru dengan luas wilayah 200,00 Km². Secara

(10)

Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur terdiri dari 2 kelurahan, yaitu :

1. Kelurahan Bagan Besar

2. Kelurahan Bukit Nenas

Adapun batas wilayah kerja puskesmas Bukit Kapur adalah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Dumai Timur

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Mandau ( Kabupaten Bengkalis )

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Dumai Timur

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Mumugo, Kecamatan Dumai Barat

4.2 Analisa Univariat

4.2.1 Karakteristik Responden

Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 137 responden. Pada penelitian

ini, karakteristik responden yang dilihat meliputi umur dan jenis kelamin.

Karakteristik responden dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 4.1 yang

menunjukkan bahwa berdasarkan umur, proporsi umur mayoritas pada umur 12 bulan

sebesar 36,5%.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Umur Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Umur n %

0-12 bulan 50 36,5

13-24 bulan 36 26,3

25-36 bulan 26 19,0

37-60 bulan 25 18,2

(11)

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian ini dapat

dilihat dalam Tabel 4.2 yaitu mayoritas jenis perempuan sebesar 56,9% dan laki-laki

sebesar 43,1%.

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 59 43,1

Perempuan 78 56,9

Total 137 100,0

4.2.2 Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status gizi balita di wilayah kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai

diperoleh bahwa mayoritas status gizi baik (gizi baik dan lebih) sebanyak 124

responden (90,5%), gizi kurang (gizi kurang dan buruk) sebanyak 13 responden

(9,5%)

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status Gizi n Persentase (%)

Baik 124 90,5

Kurang 13 9,5

Jumlah 137 100,0

4.2.3 Kelengkapan Imunisasi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 137 responden tentang

(12)

menunjukkan bahwa mayoritas imunisasi lengkap sebanyak 125 responden (91,2%)

dan imunusasi yang tidak lengkap sebanyak 12 responden (8,8%).

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Kelengkapan Imunisasi Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Imunisasi n Persentase (%)

Lengkap 125 91.2

Tidak lengkap 12 8.8

Jumlah 137 100,0

4.2.4 Kejadian ISPA Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 137 balita dengan tentang

kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai,

menunjukkan bahwa mayoritas balita tidak ISPA sebanyak 105 responden (76,6%)

dan balita yang mengalami ISPA sebanyak 32 responden (23,4%).

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Kejadian ISPA n Persentase (%)

Tidak ISPA 105 76,6

ISPA 32 23,4

Jumlah 137 100,0

4.2.5 Kejadian ISPA Berdasarkan Umur pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 50 responden yang

umurnya 0-12 bulan sebanyak 8 responden (16,0%) yang mengalami ISPA. 36

(13)

mengalami ISPA. 26 responden yang umurnya 25-36 bulan sebanyak 8 responden

(30,8%) yang mengalami ISPA. 11 balita yang umurnya 37- 48 bulan sebanyak 4

responden (36,4%), sedangkan 14 responden yang umurnya 49-60 bulan sebanyak 5

responden (35,7%) yang mengalami ISPA.

Tabel 4.6 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Umur

ISPA

Jumlah Tidak ISPA ISPA

n % n % n %

0-12 bulan 42 84,0 8 16,0 50 100,0

13-24 bulan 29 80,6 7 19,4 36 100,0

25-36 bulan 18 69,2 8 30,8 26 100,0

37-48 bulan 7 63,6 4 36,4 11 100,0

49-60 buan 9 64,3 5 35,7 14 100,0

4.2.6 Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 responden yang

berjenis kelamin perempuan yaitu 59 responden (75,6%) yang tidak mengalami

kejadian ISPA sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 19 responden (24,4%). 59

responden yang berjenis kelamin laki-laki menunjukkan bahwa sebanyak 46

responden (78,0%) tidak mengalami ISPA, sedangkan yang mengalami ISPA

(14)

Tabel 4.7 Distribusi Kejadian ISPA Berdasarkan Jenis Kelamin pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Jenis Kelamin Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 126 responden yang

status gizinya baik (gizi baik dan lebih) yaitu 100 responden (80,6%) yang tidak

mengalami kejadian ISPA dan yang mengalami ISPA sebanyak 24 responden

(19,4%). Sedangkan 11 responden yang gizinya tidak baik (gizi kurang dan buruk )

menunjukkan bahwa sebanyak 5 responden (38,5%) tidak mengalami ISPA,

sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 8 responden (61,5%). Hasil uji Chi-squre

menunjukkan p=0,001<0,05 yang artinya terdapat hubungan antara status gizi dengan

kejadian ISPA pada balita dengan PR=2,097.

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

(15)

4.3.2 Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 125 responden yang

imunisasinya lengkap terdapat 100 responden (80,0%) yang tidak mengalami

kejadian ISPA sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 25 responden (20,0%).

Sedangkan 12 responden yang status imunisasinya tidak lengkap menunjukkan bahwa

sebanyak 5 responden (41,7%) tidak mengalami ISPA, dan 7 responden (58,3%)

mengalami ISPA. Hasil uji Chi-squre menunjukkan p=0,003<0,05 yang artinya terdapat hubungan antara kelengkapan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada

balita dengan PR=1,920.

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Imunisasi

ISPA

Jumlah

p.

Tidak ISPA ISPA PR

n % n % n %

Lengkap 100 80,0 25 20,0 125 100,0

0,003 1,920 Tidak lengkap 5 41,7 7 58,3 12 100,0

4.4 Analisis Multivariat

Untuk menganalisis hubungan status gizi dan imunisasi terhadap kejadian ISPA

pada balita menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regression), karena variabel terikatnya 2 kategori yaitu tidak ISPA dan ISPA. Regresi logistik

ganda untuk menganalisis hubungan beberapa variabel bebas terhadap variabel terikat

(16)

model prediksi regresi logistik ganda adalah variabel yang mempunyai nilai p<0,25

pada analisis bivariatnya.

Tabel 4.10 Hasil Analisis yang Memenuhi Asumsi Multivariat (Kandidat)

Variabel P

Status Gizi 0,001*

Imunisasi 0,003*

Keterangan : * variabel yang memenuhi syarat

Variabel yang memiliki nilai probabilitas (p) lebih kecil dari 0,25 adalah variabel status gizi dan status imunisasi. Selanjutnya seluruh variabel tersebut dengan

metode Backward LR dimasukkan secara bersama-sama kemudian variabel yang nilai p>0,05 akan dikeluarkan secara otomatis dari komputer sehingga dapat variabel yang

berpengaruh. Variabel yang terpilih dalam model akhir regresi logistik ganda dapat

dilihat pada Tabel 4.11 berikut :

Tabel 4.11 Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Berganda

Variabel B Sig. Exp (B)

Status Gizi 1,651 0,010 5,212

Imunisasi 1,413 0,034 4,108

Konstanta -1,552

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa status gizi dan status imunisasi

berhubungan dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit

Kapur Kota Dumai dengan nilai p< 0.05. Status gizi memiliki nilai Exp (B) = 5,212 artinya balita yang status gizinya tidak baik memiliki peluang mengalami ISPA

(17)

Ada hubungan imunisasi dengan kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai dengan nilai p=0,034 dan nilai Exp (B) = 4,108

artinya balita yang imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang mengalami ISPA

sebesar 4,108 kali lebih besar dibanding dengan balita yang imunisasinya lengkap.

Nilai Percentage Correct diperoleh sebesar 80,3 yang artinya variabel status gizi dan imunisasi menjelaskan berhubungan terhadap kejadian ISPA pada Balita di

Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016 sebesar 80,3%,

sedangkan sisanya sebesar 19,7% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk

dalam variabel penelitian ini.

Model persamaan regresi logistik berganda yang dapat memprediksi kejadian

ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

adalah sebagai berikut :

P : Probabilitas Kejadian ISPA pada Balita

e : Bilangan Alamiah 2,71828

X1 : Status Gizi, koefisien regresi 1,651

X2 : Imunisasi, koefisien regresi 1,413

(18)

7

Balita yang status gizinya kurang baik dan status imunisasinya tidak lengkap

(19)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Status gizi dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua kategori yaitu Gizi

baik dan Kurang baik. Hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur

Kota Dumai menunjukkan bahwa mayoritas balita berada pada status gizi baik

(90,5%). Hasil analisis bivariat didapatkan bahwa 124 balita yang status gizinya baik

(gizi baik dan lebih) yaitu 100 balita (80,6%) yang tidak mengalami kejadian ISPA

sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 24 balita (19,4%). 13 balita yang gizinya

tidak baik (gizi kurang dan buruk) menunjukkan bahwa sebanyak 5 balita (38,5%)

tidak mengalami ISPA, sedangkan yang mengalami ISPA sebanyak 8 (61,5%). Hasil

uji Chi-squre menunjukkan p= 0.001< 0.05 dan nilai Exp (B) = 5,212 artinya balita yang status gizinya tidak baik memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 5,212 kali

lebih besar dibanding dengan balita yang status gizinya baik.

Dengan masih ditemukan gizi lebih, kurang dan gizi buruk walaupun hanya

sebagian kecil, Balita tersebut harus mendapatkan perhatian khusus dari petugas

kesehatan oleh karena itu sangat diwajibkan untuk mengikuti Posyandu sehingga

berat badan balita dapat terkontrol dengan baik.

Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan

(20)

mengakibatkan kekurangan gizi, sehingga terjadi hubungan timbal balik antara status

gizi dan penyakit infeksi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang

ISPA berat bahkan serangannya lebih lama.

Hasil penelitian sesuai dengan yang dilakukan oleh Mariza (2015) menyatakan

bahwa ada hubungan status gizi dengan terjadinya ISPA pada bayi di Wilayah Kerja

Puskesmas Rajabasa Indah tahun 2013. Nilai OR 0,232 yang berarti responden

dengan kategori status gizi kurang berpeluang memiliki bayi terkena ISPA sebesar

0,232 kali dibandingkan responden dengan kategori status gizi baik. Hal ini

dimungkinkan karena bayi yang status gizinya baik dapat mempertahankan tubuhnya

dari berbagai penyakit dan dapat membunuh bakteri dan virus penyebab ISPA.

Kemungkinan yang kedua bayi yang status gizinya kurang kekebalan tubuhnya

menurun dan dapat terserang bakteri dan virus penyebab ISPA.

Penelitian ini juga sejalan dengan yang dilakukan oleh Nuryanto tahun 2012,

tentang hubungan status gizi terhadap terjadinya penyakit infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada balita. Hasil penelitian menyebutkan mempunyai hubungan

bermakna dengan penyakit ISPA pada balita. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh

Sukmawati, Sri Dara Ayu tahun 2010, tentang hubungan status gizi, berat badan lahir,

imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas

Tunikamaseang Kecamatan Bontoa Kabupaten Maros. tahun 2008 tentang hubungan

antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di URG anak RSU Dr. Sutomo

(21)

artinya semakin baik status gizi balita maka semakin besar peluang tidak menderita

ISPA.

Sedangkan hasil penelitian Kasmita, Yulastri dan Waryono (2009) di Sumatera

Barat mengemukakan bahwa semakin baik status gizi anak balita, maka semakin

rendah morbiditas anak terhadap penyakit infeksi, demikian juga sebaliknya jika

semakin rendah status gizi anak maka semakin tinggi morbiditas anak terhadap

penyakit infeksi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi

secara normal melalui proses absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan

pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan,

pertumbuhan, dan fungsi normal, dari organ - organ serta menghasilkan energy

(Supriasa, 2007). Salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi anak adalah

makanan dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Anak yang mendapat

makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berhubungan dengan

status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya

tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya (Soekirman,

2000 dalam Sihotang 2012).

Salah satu yang mempengaruhi ISPA tidak hanya status gizi. Faktor yang

mempengaruhi ISPA salah satunya status gizi, masukan zat-zat gizi yang diperoleh

pada tahan pertumbuhan dan perkembangan kesehatan fisik, dan serta kondisi

(22)

Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan

antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari

variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/panjang badan, lingkar kepala,

lingkar lengan, dan panjang tungkai, Jika keseimbangan tadi terganggu, misalnya

pengeluaran energi dan protein lebih banyak dibandingkan pemasukan maka akan

terjadi kekurangan energi protein, dan jika berlangsung lama akan timbul masalah

yang berat atau gizi buruk (Kemenkes RI, 2012). Jika suplai makanan yang

dikonsumsi oleh anak balita baik maka status gizi anak balita juga ikut membaik.

Namun mengkonsumsi makanan yang baik tidak cukup untuk membuat status gizi

anak balita menjadi baik, tetapi anak balita harus selalu sehat dan terhindar dari

penyakit infeksi (ISPA). Oleh sebab itu, penyakit infeksi dapat mempengaruhi status

gizi seorang anak balita dan status gizi juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit

infeksi.

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa balita yang berstatus gizi baik

juga mengalami ISPA hal ini dapat dimungkinkan oleh faktor lain yang dapat

menyebabkan terjadinya ISPA pada balita seperti umur, pemberian ASI, keteraturan

pemberian vitamin A, polusi udara, sosial ekonomi, imunisasi kepadatan dalam

rumah dan BBLR. Selain itu didapatkan juga responden yang berstatus gizi kurang

tetapi tidak terkena ISPA. Hal tersebut bisa terjadi kemungkinan karena faktor

lingkungan tempat tinggalnya yang tidak ada yang menderita ISPA meskipun status

(23)

lengkap sehingga mereka mempunyai kekebalan tubuh terhadap serangan infeksi

sehingga tidak mudah terkena ISPA.

Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti bahwasannya

umur juga berhubungan dengan terjadinya ISPA yang mana pada hasil penelitian

mayoritas penderita ISPA pada umur > 2 tahun. Peningkatan kasus yang terjadi

dikarenakan terpaparnya balita dengan perokok aktif dilingkungan tempat tinggalnya

dan keadaan lingkungan yang tercemar karena asap kebakaran hutan dan asap pabrik.

Selain itu penelitian ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan

Sukmawati (2010) di wilayah kerja puskesmas Tunikamaseang Kabupaten Maros

dimana terdapat 40,0% yang gizi kurang dan menderita ISPA sedangkan gizi baik

32,0% gizi baik dan tidak menderita ISPA. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai

p=0,03 berarti Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

status gizi dengan kejadian ISPA pada balita puskesmas Tunikamaseang kabupaten

Maros (Sukmawati, 2010).

Sejalan juga dengan hasil penelitian Bandari TR, Chetri M (2013)

bahwasannya status gizi balita di Kalpivatu Distrik Nepal di kategorikan berdasarkan

BB/U didapatkan Balita berada pada -1 SD (30,8%), -2 SD dan -3 SD mencapai

(25%). Pada balita mengalami malnutrisi harus segera mendapatkan penanganan

lebih lanjut. Tingginya kejadian status gizi yang kurang baik pada balita dikarenakan

(24)

Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan adanya hubungan

antara status gizi dengan kejadian ISPA. Keadaan gizi kurang maupun buruk muncul

sebagai faktor penyebab yang penting untuk terjadinya ISPA sehingga anak-anak

yang gizi kurang atau buruk sering terjadi ISPA. Balita yang gizi kurang akan lebih

mudah terserang ISPA dibandingkan balita gizi normal karena faktor daya tahan

tubuh yang kurang (Maryunani, 2010). Akibat lain adalah terjadinya penurunan

produktifitas, menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit yang akan

meningkatkan resiko kesakitan salah satunya adalah infeksi saluran pernapasan akut

(ISPA) (Marimbi, 2010). Ditambahkan oleh Koch (2002) menyatakan bahwa

prevalensi ISPA akan meningkat pada anak dengan status gizi buruk.

Sehingga peneliti berasumsi bahwasanya hasil penelitian ini sejalan dengan

teori yang ada. Keadaan status gizi yang kurang dan buruk selain dapat meningkatkan

kejadian infeksi juga dapat memicu penurunan produktivitas dari perkembangan

balita yang akan menghasilkan generasi penerus yang tidak produktif baik dalam

pertumbuhan maupun dalam proses berpikir. Sehingga akan menghambat pencapaian

derajat kesehatan dan pembentukan tenaga kerja yang dapat meningkatkan efisiensi

dan produktivitas.

5.2 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas balita di wilayah kerja

(25)

tidak lengkap yaitu waktu akan diimunisasi balita dalam keadaan demam dan tidak

mendapatkan dukungan dari suaminya. Hasil penelitian yang didapatkan

bahwasannya balita yang terserang ISPA biasanya imunisasi yang diberikan secara

tidak lengkap terutama pemberian imunisasi yang berhubungan dengan penyakit

ISPA diantaranya pemberian imunisasi DPT dan Campak.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa hubungan status imunisasi dengan

kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai

dengan nilai p=0,034 dan nilai Exp (B) = 4,108 artinya balita yang imunisasinya

tidak lengkap memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 4,108 kali lebih besar

dibanding dengan balita yang imunisasinya lengkap

Imunisasi adalah upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh

bayi dan anak sehingga dapat mencegah penyakit menular. Balita yang mendapatkan

imunisasi lengkap seharusnya mempunyai kekebalan terhadap penyakit menular,

termasuk ISPA. Dalam Depkes RI (2002) dalam Nurhidayah, Fatimah, &

Rakhmawati (2008) dikatakan upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh keluarga

agar balita tidak terkena penyakit infeksi saluran pernapasan akut diantaranya adalah

dengan menjaga kondisi lingkungan yang bersih dan sehat, imunisasi lengkap dan

pemberian ASI ekslusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia anak 2 tahun.

(26)

mendapatkan makanan tambahan < 6 bulan (29,3%) dibandingkan dengan anak > 6

bulan (16.3%). Perbedaan ini sangat signifikan (x 2 = 12.19, p < 0.001). dan

berdasarkan durasi menyusui, dari Total ibu, sekitar 71% yang memberikan asi < 6

bulan setelah melahirkan. Sehingga mempengaruhi pertumbuhan anak. Selain itu

hasil status korelasi antara status imunisasi anak untuk kejadian ISPA yaitu anak yang

mendapatkan imunisasi lengkap (9.1%) dibandingkan dengan anak yang tidak

mendapatkan imunisasi tidak lengkap (33.7%). Ini perbedaan adalah signifikan secara

statistik (x 2 = 33.87, p < 0.001). yang mengatakan adanya hubungan imunisasi

dengan ISPA.

Penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Agus Salim (2012) yang

mengatakan bahwa ada hubungan antara status imunisasi dengan penyakit ISPA.

Pemberian imunisasi yang lengkap menjadikan resiko penyakit infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) semakin kecil. Bayi dan anak dibawah 5 tahun adalah

kelompok yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang masih sangat rentan terhadap

berbagai penyakit termasuk penyakit ISPA (Mahrama, Arsin, & Wahiduddin, 2012).

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Marhamah yang

berjudul faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di desa

Bontongan Kabupaten Enrekang tahun 2012. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

dari 90 balita yang mendapat imunisasi tidak lengkap sebanyak 37 orang. Hasil dari

(27)

menunjukkan bahwa balita yang status imunisasinya tidak lengkap mempunyai

peluang 0, 253 kali untuk terjadi ISPA dan penyakit lain dibandingkan balita yang

status imunisasinya lengkap.

Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka

peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan

ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan

imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila

menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi

lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini adalah dengan pemberian

imunisasi campak dan pertussis (DPT).

Sedangkan pemberian imunisasi lengkap yang sebaiknya sebelum anak

mencapai usia 1 tahun, karena anak akan terlindung dari beberapa penyebab yang

paling utama dari infeksi pernafasan termasuk batuk rejan, difteri, tuberkulosa dan

campak. Penderita difteri, pertusis apabila tidak mendapat pertolongan yang memadai

akan berakibat fatal. Dengan pemberian imunisasi berarti mencegah kematian

pneumonia yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit campak dan Pertusis

(Kemenkes RI, 2007). ISPA yang terjadi pada balita tidak langsung dipengaruhi oleh

imunisasi dasar lengkap walaupun tujuan pemberian imunisasi adalah untuk

memberikan dan meningkatkan daya tahan tubuh. Kebanyakan kasus ISPA yang

(28)

lengkap (Layuk, 2012). Jadi, imunisasi dasar lengkap yang diberikan bukan untuk

memberikan kekebalan tubuh terhadap ISPA secara langsung, melainkan hanya untuk

mencegah faktor yang dapat memacu terjadinya ISPA.

Menurut Asumsi peneliti, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan teori yang

ada karena masih ditemukannya responden yang status imunisasinya lengkap tetapi

menderita ISPA. Hal ini dikarenakan responden terpapar dengan lingkungan yang

tidak kondusif misalnya : terpapar polusi udara dari perokok aktif dan asap kebakaran

hutan hutan yang belakangan sering melanda Kota Dumai.

Selain itu responden yang status imunisasinya lengkap tetapi menderita ISPA

juga bisa disebabkan oleh kurangnya efektifitas dari fungsi vaksin yang diberikan

kepada responden tersebut, seperti halnya kasus yang sedang marak belakangan ini

yaitu produksi vaksin palsu sehingga harus dilakukan pemberian vaksinasi ulang

(29)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Status gizi yang kurang dan buruk berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita

di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai karena dapat

meningkatkan proses terjadinya infeksi pada sistem kerja tubuh.

2. Status imunisasi yang tidak lengkap berhubungan dengan kejadian ISPA di

Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai karena dapat mempengaruhi

sistem imun / kekebalan tubuh pada balita.

3. Adanya hubungan status gizi dan status imunisasi pada Balita di Wilayah Kerja

Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai

4. Variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian ISPA adalah status

gizi balita.

6.2Saran

1. Diharapkan Dinas Kesehatan Kota Dumai dapat meningkatkan program

pencegahan penyakit menular sehingga dapat menurunkan angka kesakitan

khususnya pada kasus ISPA.

2. Diharapkan hasil penelitian yang didapat menjadi masukan setiap pelayanan

kesehatan sehingga mampu memberikan konseling, informasi dan edukasi (KIE)

(30)

sehingga dapat menurunkan angka kesakitan balita yang disebabkan oleh ISPA

maupun penyakit lain.

3. Diharapkan kepada petugas kesehatan Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai agar

dapat meningkatkan penyuluhan-penyuluhan tentang kesehatan terutama yang

menyangkut dengan penyakit ISPA

4. Diharapkan orang tua memberikan asupan gizi seimbang pada anaknya dan

selalu memperhatikan status gizi balita dengan melalukan penimbangan yang

Gambar

Tabel 3.1. Jumlah Sampel yang Dibutuhkan dari Setiap Posyandu
Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Umur Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bukit Kapur Kota Dumai Tahun 2016
+5

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Universitas Sumatera

For other rows, transform Pivot Column to leaving basic variable column... Divide Right Side value by

Semua dalam semua, sebuah sistem yang kompleks, yaitu untuk menulis program yang disimpan dalam track sehingga dapat digunakan secara benar, apalagi dengan pengoptimalannya

Oleh karena itu bahasa C merupakan bahasa prosedural yang menerapakan konsep runtutan (program dieksekusi per baris dari atas ke bawah secara berurutan), maka apabila kita

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Group Investigation berbantu permainan ular tangga dapat meningkatkan keterampilan guru dan hasil belajar siswa pada mata

mengakses sistem komputer. Saat diketikkan, komputer tidak menampilkan dilayar. Teknik ini mempunyai kelemahan yang sangat banyak dan mudah ditembus. Pemakai cenderung memilih

Moeslem Millionair, Life is changeable that we have to improve every time, Life is competition so we have to fight every moment not for our self but also for our family and