• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hyper Immunoglobulin E Syndome (Hies) Koinsidens Dengan Pemvigus Vulgaris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hyper Immunoglobulin E Syndome (Hies) Koinsidens Dengan Pemvigus Vulgaris"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

HYPER IMMUNOGLOBULIN E SYNDOME (HIES) KOINSIDENS

DENGAN PEMVIGUS VULGARIS

Zuhrial Zubir, Jubilate Pittor Sigalingging

Divisi Alergi dan Imunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP. H. Adam Malik Medan

Latar Belakang

Sindroma Hyper-IgE (HIEs) adalah suatu immunodefisiensi primer kompleks yang jarang dengan karakteristik eksim , abses kulit , infeksi paru , kadar eosinofil dan kadar serum IgE yang meninggi. Manifestasi atopi pada HIEs ditemukan kadar serum IgE yang sangat tinggi, eksim dan eosinophilia. Klasifikasi HIEs dibagi menjadi dua subtipe yaitu autosomal dominan HIEs tipe-1 memiliki kelainan pada beberapa sistem, termasuk kekebalan tubuh, fraktur ,scoliosis dan hiperekstensibilitas dan retensi gigi primer. Sedangkan HIEs tipe-2 autosomal resesif memiliki kelainan hanya pada sistem kekebalan.

Kasus

Dilaporkan satu kasus seorang wanita 52 tahun, masuk RSUP H. Adam Malik Medan dengan keluhan ruam eritema dan skuama seluruh tubuh yang dialami penderita sejak ± 2 bulan. Satu tahun yang lalu Os sempat dirawat dengan keluhan yang sama, lalu membaik dan dapat berobat jalan. Namun 2 bulan yang lalu keluhan yang sama muncul kembali. Riwayat alergi amoxicillin dijumpai. Riwayat abses kulit, fraktur, scoliosis, dan retensi gigi primer tidak dijumpai.

Diskusi

Diagnosis HIES pada penderita ini adalah berdasarkan klinis (trias) berupa dermatitis, infeksi paru dan kulit serta peningkatan IgE: 2.517 pada pemeriksaan laboratorium.

Kesimpulan

Dilaporkan suatu kasus HIES pada seorang wanita yang menunjukkan respon terapi yang memuaskan. Pasien diterapi dengan Injeksi Metil Prednisolon 125 mg/12 jam (taperring off), Injeksi Ketorolak 30 mg/8 jam, Doksisilin 2x100mg, Ceterizin 1x100 mg, Kompres luka dengan cairan NaCl 0,9% selama 15 menit setiap 8 jam. Pada hari rawatan kelima kondisi pasien sudah semakin baik.

Kata Kunci : Sindroma Hyper-IgE, eosinofilia, metil prednisolon

PENDAHULUAN

Hyper Immunoglobulin E Syndrome (HIES) pertama sekali digambarkan pada tahun

1966 oleh Davis, Wedgwood dan Schaller. Buckley dkk pada tahun 1972, yang mencatat

masalah yang serupa pada dua orang anak laki – laki dengan dermatitis yang parah, penampilan

wajah yang khas, dan peningkatan kadar IgE, oleh karena itu manifestasi itu dinamakan dengan

(2)

dilaporkan pada dua gadis oleh Hill dan quie pada tahun 1974, menunjukkan bahwa sindrom Job

dan sindrom Buckley ditandai dengan kondisi yang sama. Untuk menghindari kebingungan

dalam hal istilah, sekarang ini digunakan istilah Hyper Imunoglobulin E Syndrome ( HIES ).

Pada kesempatan ini akan dibahas kasus seorang wanita dengan HIES.

KASUS

Seorang wanita, 52 tahun, suku Jawa, Ibu rumah tangga, tinggal di Medan, masuk di

Ruang Rawat Interna Wanita RSUP H. Adam Malik Medan tanggal 12 Juli 2016 dengan keluhan

utama kulit bersisik hampir diseluruh tubuh, tangan, dan kaki yang dialami os sejak 2 bulan yang

lalu. Awalnya Penderita menglami kemerahan di seluruh tubuh, kemudian timbul

gelembung-gelembung yang berisi air lalu pecah dan menimbulkan sisik-sisik tebal di seluruh tubuh. Gatal

dijupai, nyeri dijumpai khususnya pada daerah yang gelembungnya pecah. Riwayat menderita

infeksi saluran nafas berulang, riwayat terkena jamur kulit berulang, radang pada telinga, bisul

pada gusi dan patah tulang tidak dijumpai. Pasien sering minum obat-obat penghilang rasa sakit

yang dibeli sendiri di apotik, seperti ponstan, sanmol, dll. Satu tahun yang lalu os juga pernah

mengalami dengan keluhan yang sama dan pasien di rawat di RSUP HAM.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran compos mentis,

tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 70 kali/menit, isi cukup dan teratur, pernafasan 20

kali/menit, teratur, suhu tubuh aksiler 36,6 0C, dan status gizi : cukup. Pada pemeriksaan kepala

didapati kulit bersisik pada wajah, tidak didapatkan konjungtivitis dan oral ulcer, tidak

didapatkan anemia, ikterus, dan sianosis.

Pada pemeriksaan dada dijumpai kulit bersisik, didapatkan jantung dengan suara 1 dan 2

tunggal, tidak didapatkan suara tambahan. Pada paru didapatkan suara nafas vesikuler, tidak

didapatkan ronkhi maupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan kulit kemerahan

dan bersisik, supel, hepar dan lien tidak teraba, bising usus didapatkan normal. Pada ekstremitas

superior dan inferior didapatkan kulit bersisik dan akral hangat.

Pada pemeriksaan status dermatologis didapatkan skuama dan eritema, blister tidak

dijumpai.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan ; darah lengkap : Hb 11,60 g/dl, leukosit

15.320/mm3, trombosit 339.000/mm3, eritrosit 4.280 juta/mm3, hitung jenis:

eos/baso/neutro/limf/mono: 0,1/0,1/91/6,10/2,7, Albumin 2,4 g/dl, IgE 2.517. Sedangkan dari

(3)

batas normal. Kultur darah : Acinobacter baumanii, sensitif Amikacin dan Polimiksin B.

Pada pemeriksaan foto dada AP (kondisi berbaring) didapatkan kesan limfadenopati dd

susp. Massa mediastinum.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka dibuat

diagnosis kerja Hyper IgE Syndrome + Pemvigus Vulgaris + Hipoalbuminemia.

Penderita mendapat terapi : Infus Nacl 0.9% 20 tetes/menit, Injeksi Metil Prednisolon

125 mg/12 jam (taperring off), Injeksi Ketorolak 30 mg/8 jam, Injeksi Ranitidine 50mg/12 jam

(Kosong barang, diganti Ranitidin 2x150 mg, Doksisilin 2x100mg, Ceterizin 1x100 mg,

Kompres luka dengan cairan NaCl 0,9% selama 15 menit setiap 8 jam. Penderita diperhatikan

keluhan dan tanda vitalnya hingga keadaan umum membaik. Pada hari rawatan kelima

Metilprednisolon ditaperring off dan diganti ke oral, dan keadaan pasien semakin membaik.

PEMBAHASAN Definisi

Hyper Immunoglobulin E Syndrome (HIES) atau yang disebut juga dengan Job

Syndrome adalah suatu penyakit defisiensi imun primer yang jarang dengan karakteristik

peningkatan serum IgE, dermatitis dan infeksi paru dan kulit berulang. HIES mempunyi

gambaran yang bermacam-macam dengan abnormalitas yang bermacam-macam. Gambaran

yang paling sering dijumpai adalah abses kulit yang berulang, pneumonia dengan terbentuknya

pneumatocele, meningkatnya kadar Ig E serum. Gambaran klinis pada wajah, kuku dan rangka

sering juga terlibat pada sindrom ini.

Patogenesis

HIES dijumpai hampir sama pada pria dan wanita, dan diobservasi pada anggota keluarga

turunan yang menderita. Meskipun telah diketahui beberapa defek immun respon yang

menerangkan terjadinya infeksi berulang dan dermatitis kronis yang disertai dengan HIES.

Banyak juga abnormalitas kongenital lain yang belum diterangkan. Mayoritas pasien HIES

disebabkan karena mutasi negatif dominan pada gen STAT 3. Sejak pathogenesis HIES telah

ditelusuri lebih jauh ke hulu terhadap mutasi gen STAT3 , transducer signal dan activator

transkripsi ini telah menjadi fokus pathogenesis dari AD-HIES. STAT 3 bekerja mengaktifasi

transkripsi seluruh jajaran gen – gen penting pada respon imun dan modulasinya sebagai respon

(4)

spesifiknya dan proses ini dimediasi oleh Jak 1 , Tyk2 dan kemungkinan DOCK8 phosporylate

STAT3. Regulasi abnormal dari IgE memungkinkan peningkatan Ig E serum dengan HIES dan

berhubungan dengan abnormalitasnya daripada pathogenesis sentral gangguan ini. Sintesis IgE

merupakan proses kompleks dan defek dalam hal regulasi produksinya yang dapat

mengekspresikan sendiri dimana saja sepanjang pathway sintesisnya. Regulasi IgE mencakup

stimulasi sel T, produksi sitokin yang tepat , dan kemampuan sel B untuk menukar produksi IgE.

Gejala Klinis

HIES ditandai dengan dermatitis, infeksi berulang ( teruatma bakteri), dan

meningkatnya kadar IgE serum, meskipun terdapat simtom dan sign yang bervariasi diantara

individu. Klassifikasi HIES ada 2 sub tipe. HIES tipe 1 bila pasien dengan autosomal dominant

mempunyai abnormalitas yang multipel termasuk immun, skeletal, dan gigi (MIM 147060),.

HIES tipe 2 tipe autosomal ressesif abnormalitas terbatas pada sistem immun (MIM 243700 dan

611521). Manifestasi kulit merupakan gambaran klinis yang paling mudah terlihat pada HIES.

Dimulai pada beberapa minggu pertama dengan eczematosa, pruritus berat yang mirip dermatitis

atopi. Rash menyebar secara diffuse dan dapat mengalami likenifikasi. Pasien biasanya tidak

begitu mengalami simtom atopik lain seperti wheezing, gambaran alergi atau riwayat keluarga

atopi. Pruritus yang intens dipengaruhi oleh pelepasan histamin dari sel mast cutaneus sebagai

respon terhadap adanya candida dan staphylococcus pada kulit.Teori ini didukung oleh tingginya

konsentrasi Ig E spesifik untuk dua miroba patogen ini.Biopsi kulit sering menunjukkan

dominasi infiltrasi eosinofilia.

Infeksi kulit sering dimulai pada masa bayi, termasuk abses, furunkel dan sellulitis sering

menyebabkan limfeadenitis.Staphylococcal abses sering terjadi di sekitar wajah, leher dan kulit

kepala.Abses berupa sebagai abses dingin atau hilangnya gejala dan tanda-tanda klassik dari

inflamasi seperti eritema, hangat dan nyeri. Mikroorganisme yang paling sering menginfeksi

kulit pada pasien HIES adalah Staphylococcus aureus dan Candida albicans.

Pasien dengan HIES sering mengalami infeksi paru yang signifikan, meski tidak demam

dan merasa sehat. Hal ini disebabkan kegagalan infalamsi. Infeksi Paru umumnya disebabkan

oleh Staphylococcus aureus, sering recuren dan membahayakan jiwa. Pneumonia sering

komplikasi dengan bronkiektasis, fistula bronchopleural dan pneumatocele.Pneumatocele dapat

(5)

pada mukosa mulut atau vagina.Kuku sering distrofi karena infeksi kronis candida albicans. Pada

wajah juga sering ditemui gambaran khas berupa melebarnya alar (dasar tulang hidung dan

septum hidung) jidat menonjol mata lebih kedalam. Penebalan jaringan lunak wajah, telinga dan

hidung memberikan gambaran seperti "coarse facies". Terjadi pada 80-100% HIES autosomal

dominan dan lebih banyak dipengaruhi usia terutama post pubertas.

Abnormalitas skeletal dan gigi akibat retardasi pertumbuhan juga sering dilaporkan pada

pasien dengan HIES. Fraktur tulang yang disertai trauma minor juga dijumpai.Tulang panjang

juga sering terlibat.Osteopenia dan menurunnya mineralisasi tulang disebabkan resopsi tulang

yang dimediasi sitokin. Hal tersebut mendukung bahwa profil sitokin pada pasien HIES mirip

dengan wanita post menopause.

Diagnosis

Diagnosa Sindrom hiperimunoglobulin E ditegakkan berdasarkan gabungan dari gejala

klinis dan laboratorium. Peningkatan kadar immunoglobulin E saja tidak cukup untuk

menegakkan diagnosa Sindrom hiperimunoglobulin E, karena pasien-pasien dengan dengan

keadaan yang pasti seperti alergi kulit berat biasanya terjadi kenaikan kadar IgE tanpa Sindrom

hiperimunoglobulin E. Pada konsentrasi >2000 IU/ml ( nilai normal dewasa < 100 IU/ ml )

dipakai sebagai cut off point terhadap Sindrom hiperimunoglobulin E dimana gambaran klinis

lain seperti bisul dan pneumoni dijumpai. Pada bayi, yang memiliki kadar IgE yang sangat

rendah, kenaikan kadar IgE 10 kali kadar normal dewasa perlu dipertimbangkan suatu Sindrom

hiperimunoglobulin E. Perlu dicatat bahwa beberapa penderita Sindrom hiperimunoglobulin E

dewasa, kemungkinan konsentrasi IgE bisa turun atau bahkan sampai normal. Gejala klinis yang

lain, sepereti kelainan skleton dan gigi sangat mendukung tegaknya diagnosa. Selain pengukuran

kadar IgE, uji laboratorium lain tidak membantu penegakkan diagnosa Sindrom

hiperimunoglobulin E, dan walaupun kadarnya tinggi tidaklah spesifik dengan Sindrom

hiperimunoglobulin E, karena hal ini juga bisa dijumpai pada kasus-kasus penyakit lain. Banyak

penelitian-penelitian difokuskan pada aspek imun pada Sindrom hiperimunoglobulin E, seperti

gangguan migrasi neutrofil ke jaringan yang terinfeksi atau rusak. Walaupun demikian,

gangguan imun non spesifik dijumpai selalu pada semua Sindrom hiperimunoglobulin E.

Sistem scoring HIES telah dikembangkan oleh NIH untuk membantu perkiraan

(6)

laboratorium. Dikatakan penderita kemungkinan HIES jika skornya > 40 (cut off point ), dan

bukan penderita HIES jika skornya <20. Antara 20 dan 40 merupakan zona indeterminate,

pasien-pasien dengan scoring ini diduga menderita HIES dan harus di follw-up lebih lanjut

bersama-sama dengan pengumpulan data-data.

Pemeriksaan histopatologik dapat ditemukan gambaran nekrosis di epidermis sebagian

atau menyeluruh, edema intrasel di daerah epidermis, pembengkakan endotel, serta eritrosit yang

keluar dari pembuluh darah dermis superfisial. Pemeriksaan imunofluoresen dapat

memperlihatkan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin. Untuk mendapat hasil pemeriksaan

imunofluoresen yang baik maka bahan biopsi kulit harus diambil dari lesi baru yang berumur

kurang dari 24 jam.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan utama HIES adalah pengobatan infeksi yang agresif dan perawatan kulit

yang baik. Anamnesa riwayat yang baik, pemeriksaan fisik yang cermat dan pencitraan yang

mendukung diperlukan untuk mengatasi infeksi secepat mungkin.

Pengobatan simtomatik, meliputi :

1. Blister kulit bisa diterapi dengan perawatan kulit yang efektif seperti mandi dengan

pemutih ( Berendam selama 15 menit di dalam satu bak air yang dicampur 120 ml

pemutih, 3 kali seminggu )

2. Abses kulit seharusnya di insisi dan di drainase.

3. Pengobatan infeksi kulit dengan antibiotika. Antibiotika yang dianjurkan adalah

antibiotika untuk bakteri gram negatif (mis: trimethoprim-sulfamethoxazole 2,5mg/kg

dua kali sehari) atau antibiotika spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan

uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Diperkenalkannya penggunaan obat

antibiotik sistemik dan anti jamur jangka panjang secara reguler sangat penting, dimana

hal itu dapat mencegah infeksi yang serius dan juga mencegah kerusakan parenkim paru.

Obat-obat antibiotik yang dapat digunakan termasuk anti stafilokokkus seperti

trimethoprime/sulfamethoxazole, penisilin semi sintetik atau sefalosporin.

4. Anti jamur: Pada kandidiasis kulit superfisial dan mukosa – onychomycosis,

vaginomycosis dan sariawan efektif diterapi dengan agen triazol generasi kedua. Obat

(7)

5. Kotikosteroid : Penggunaan steroid sistemik pada AD-HIES untuk mengobati ekzema

biasanya tidak diperlukan tetapi penggunaan steroid topikal membantu pada kasus yang

berat. Sedangkan ekzema pada AR-HIES dengan Defisiensi DOCK8 lebih berat dan sulit

terkontrol dengan obat topikal dan beberapa individu memerlukan agen imunosupresif

sistemik seperti kortikosteroid.

6. Antihistamin diberikan pada AR-HIES karena penyakit alergi dan Asma biasanya

dijumpai pada AR-HIES dan memerlukan terapi konvensional dengan steroid dan

antihistamin.

7. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Penggunaan IVIG pada HIES masih kontroversial,

dimana pada beberapa penelitian pemberian IVIG dosis tinggi dapat menurunkan

konsentrasi IgE dan memberikan perlindungan yang efektif pada infeksi berat, tetapi pada

penelitian lain tidak begitu bermakna.

DISKUSI

Gambaran klinis dari HIES bermacam – macam dengan abnormalitas yang bermacam –

macam pula. Abses kulit yang berulang, pneumonia dengan terbentuknya pneumatocele

merupakan gambaran yang paling sering dijumpai, meningkatnya kadar IgE serum dan bisa

didapatkan eosinophilia. Gambaran klinis pada wajah, kuku dan rangka sering juga terlibat pada

HIES. Dimulai pada beberapa minggu pertama dengan eczematosa, pruritus berat yang mirio

dermatitis atopi. Rash menyebar secara difus dan dapat mengalami likenifikasi. Pasien dengan

HIES sering mengalami infeksi paru yang signifikan, meski tidak demam dan merasa sehat.

Klasifikasi HIES dibagi menjadi dua subtipe yaitu autosomal dominan HIES tipe-1 memiliki

kelainan pada beberapa sistem, termasuk kekebalan tubuh, fraktur, scoliosis dan

hiperekstensibilitas dan retensi gigi primer. Sedangkan HIES tipe-2 autosomal resesif memiliki

kelainan hanya pada sistem kekebalan.

Pada pasien ini didapatkan eksim seluruh tubuh, dan hal ini sudah pernah dialami

pasien satu tahun yang lalu.

Diagnosis HIEs biasanya dibuat melalu kecurigaan klinis yang dibarengi dengan keadaan

serum IgE yang tinggi dan biasanya eosinophilia, biasanya IgE mencapai 2000 kU/l. AR-HIEs

memiliki manifestasi yang variatif mulai dari ringan dengan destruktif hati yang lebih minimal

(8)

gigi dan abnormalitas skeletal yang lain biasanya tidak dijumpai pada AR-HIEs. Pada AR-HIEs

biasanya memiliki riwayat alergi yang lebih berat dan tampak lebih rentan terhadap infeksi

sehingga memiliki angka mortalitas yang tinggi.

Pada pasien ini dijumpai riwayat alergi amoxicillin. Pada pasien ini tidak dijumpai

riwayat abses kulit, fraktur, scoliosis, dan gangguan gigi primer tidak dijumpai yang biasanya

dijumpai pada HIEs tipe 1. Kadar IgE serum yang tinggi ( Seru IgE : 2.517 IU/ml) dan kadar

eosinophil yang normal ( eosinophil : 0.1).

Untuk penatalaksanaan HIEs menurut La pine et al 2011 dibagi menjadi

 Kontrol pruritus dan dermatitis / eksim dengan cream emollient, glucocorticoid untuk

inflamasi dan pemberian anti histamine.

 Antibiotik profilaksis : trimethoprim – sulfamehoxazole dan sefalosporin generasi 3 dapat

digunakan dengan hasil yang memuaskan.

 Agen Imunomodulator : IFN- gamma , levamisole,rituximab.

Infus Nacl 0.9% 20 tetes/menit, Injeksi Metil Prednisolon 125 mg/12 jam (taperring off),

Injeksi Amikacin 250mg/8jam (Sejak hari ke-8), Injeksi Ketorolak 30 mg/8 jam, Injeksi

Ranitidine 50mg/12 jam (Kosong barang, diganti Ranitidin 2x150 mg, Doksisilin 2x100mg (aff

hari ke-8), Ceterizin 1x100 mg. Kompres luka dengan cairan NaCl 0,9% selama 15 menit setiap

8 jam. Pada hari rawatan kelima kondisi pasien sudah semakin baik.

KESIMPULAN

Kami melaporkan sebuah kasus HIES pada seorang wanita yang menunjukkan respon

terapi yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Poplonyk AS, Kycler Z, Pietrucha B et al. 2011. The hyperimmunoglobulin E

Syndrome-clinical manifestation diversity in primary immune deficiency. Orphanet Journal of Rare

Disease, 6: 67

2. Freeman AF, Holland SM. 2009. NIH Public Acces. Availabe in PMC 2009 May 17.

(9)

Hyper Ig E Syndrome : Lessons From a Primary Imunodeficency, International Imunology,

2008.

4. Grimbacer B, Holland S, Pucj J, Hyper IgE Syndrome, Imonological Riview, 2005

5. La Pine T et al, Hyper Ig-E Syndrome,2011, available in: http://www.uptodate.com

6. Ballas Z et al, T helper subsets: Differentiation and role in disease, 2011, available in:

http://www.uptodate.com

7. Ma Cindy et al, Defi ciency of Th17 cells in hyper IgE syndrome due to mutations in

STAT3, J. Exp. Med, 2008

8. Yeganeh M et al. Hyper-IgE Syndrome (STAT-3 Deficiency, Tyk 2 Deficiency, HIES with

unknown origin). In: Primary Immunodeficiency Disease, Springer, Verlag Berlin, 2008,

P: 267-271

9. Yong PFK, Freeman AF, Engelhardt KR, Holland S, Puck JM, Grimbacher B. An Update

on the hyper-IgE syndromes, Review, 2012.

10. Freeman AF, Holland SM. Clinical manifestations of hyper IgE syndromes. Disease

Markers 29 (2010) 123-130.

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat pentingnya pembuktian kualifikasi ini diharapkan kepada Bapak/Ibu Pimpinan Perusahaan atau yang diwakilkan dengan menunjukkan Surat Kuasa untuk menghadiri kegiatan

This paper introduces a method to use such a voxel structure to cluster a large point cloud into ground and non-ground points.. The proposed method for ground detection first

Setelah batas akhir waktu upload dokumen penawaran secara elektronik melalui Lpse Polda Bali, penyedia yang mengupload dokumen penawaran tidak ada sehingga menyebabkan lelang

“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu allah melebihkan sebagian mereka( laki-laki) atas sebagian yang lain( perempuan), karena mereka

Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam yang mereka miliki atau duduki secara turun temurun dan juga tanah, wilayah dan sumber

Ketekunan dalam menjalin kerja sama dan kemitraan dengan berbagai perusahaan ternama di mancanegara telah mengantarkan banyak peluang bagi Astra untuk

Reaksi pembelahan inti terjadi pada teras dapat digambarkan dengan persamaan reaksi sebagai berikut (1). Begitu pula akan memancarkan radiasi dari nuklida sewaktu

Hasil pengamatan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa kedua bibit ulat sutera memiliki warna kokon yang sama yaitu putih, di mana bibit P 2 memiliki bentuk kokon yang