Editorial MQ 92,3 FM Jogjakarta Edisi: Rabu, 30 Juni 2010
“Sekolah Favorit, Kalah Pamor dengan Sekolah Kejuruan”
Sahabat MQ/ Penerimaan Peserta Didik Baru PPDB tahun ini/ agaknya menjadi ujian berat/ bagi sekolah-sekolah favorit di kota pendidikan// Pasalnya/ memasuki masa akhir pendaftaran/ sejumlah sekolah favorit justru tidak dibanjiri/ oleh calon peserta didik baru//
para orang tua maupun siswa/ kelihatannya lebih memilih untuk mendaftarkan diri/ di sekolah kejuruan// sekolah yang selama ini mungkin dianggap sebagai wahana belajar/ bagi siswa kelas menengah ke bawah//
Namun/ keengganan mereka mendaftarkan di sekolah favorit/ bukan tanpa sebab// sepinya peminat/ karena para orang tua takut/ jika mereka justru tidak akan mampu mengimbangi tuntutan sekolah/ yang serba elit// Belum lagi bagi keluarga yang terhitung kurang mampu//
Kuota Kartu Menuju Sejahtera KMS yang hanya 5 persen/ ternyata belum mampu memberikan akses cukup bagi keluarga yang terhitung kurang mampu/ untuk memasuki sekolah berlabel favorit// hal tersebut mengesankan/ sekolah favorit belum bisa memampukan anak yang tidak mampu//
kondisi ini/ berbanding terbaik dengan sekolah-sekolah kejuruan/ yang kini justru menjadi pilihan favorit/ bagi calon siswa baru// Bukan hanya karena kurikulumnya yang berbasis kompetensi/ namun juga prospeknya yang relatif cerah/ untuk kepentingan masa depan// Tak ayal/ kini sekolah kejuruan menjamur di mana-mana// sekolah yang awalnya terkesan untuk orang pinggiran/ kini malah menjadi pilihan//
kenyataan tersebut/ bisa jadi juga menandakan bahwa kini masyarakat semakin sadar/ akan pentingnya sekolah/ yang tidak hanya untuk mengasah intelektualitas/ namun juga sebagai bekal mengasah ketrampilan// Tujuannya jelas/ untuk merajut masa depan yang lebih cerah/ dengan bermodal inteletualitas dan skill yang memadahi// Tanpa melihat background kefavoritan/ sebuah institusi kependidikan//
endaftarkan sekolah favorit itu, orang tua tidak memberikan fasilitas pendukung. KMS semakin menurut kuotanya. Favorit atau tidak merupakan brand dari masyarakat yang menilai karena lulusannya, seharusnya sekolah mempunyai kewajiban untuk mencerdaskan. Pemegang KMS tidak terakomodir, favorit maupun tidak merupakan strategi pemasaran. Kuota 5% KMS masih kecil, menandakan sekolah tidak bisa menjamin untuk memampukan anak yang tidak mampu.