• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KOMPARASI ANTARA PANDANGAN IMAM SYAFI’I DAN HUKUM POSITIF TENTANG STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI KOMPARASI ANTARA PANDANGAN IMAM SYAFI’I DAN HUKUM POSITIF TENTANG STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KOMPARASI ANTARA PANDANGAN IMAM SYAFI’I

DAN

HUKUM POSITIF TENTANG STATUS ANAK YANG LAHIR

SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN

SKRIPSI

OLEH

MOCHAMMAD AMALUDHIN ALWI

C31211125

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal Al-Syakhsiyah

(2)
(3)
(4)
(5)

vii

ABSTRAK

3HQHOLWLDQ\DQJEHUMXGXOoStudi KomparasL$QWDUD3DQGDQJDQ,PDP6\D!ILnL> dan Hukum Positif Tentang Status Anak yang Lahir setelah istri di Talak Akibat Pengingkaranp LQL PHUXSDNDQ SHQHOLWLDQ SXVWDND \DQJ EHUWXMXDQ XQWXN PHQMDZDE

tentang permasalahan yang telah dirumuskan yaitu : Bagaimana status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaranPHQXUXWSDQGDQJDQ,PDP6\D!ILnL> dan hukum Positif ? Persamaan dan perbedaaQ DQWDUD SDQGDQJDQ ,PDP 6\D!ILnL> dan hukum Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran ?

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (liberary research). Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode penelitian deskriptif analisis kompratif, yakni penulis mengambarkan suatu permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran. Setelah itu penulis membandingkan antara pandangan Imam 6\D!ILnL> dan hukum Positif mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran PHQXUXW SDQGDQJDQ ,PDP 6\D!ILni> anak tersebut berstatus sebagai anak zina, baik anak yang diingkari tersebut dilahirkan dalam kondisi istri talak URMnLatau EDnLQ hal ini dikarenakan ketika seorang suami sudah membuktikan bahwa anak tersebut bukanlah anaknya dan diantara suami istri telah melakukan sumpahOLnDQsecara sempurnah, maka hakim akan memisahkan diantar keduanya dan mengikutkan nasab anak pada ibunya. Sedangkan dalam hukum Positif anak yang diingkari oleh seorang suami maka anak tersebut berstatus sebagai anak luar kawin, yang mana anak tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja.

Meskipun demikian antara pandangan Imam Sya>ILnL> dan hukum Positif terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan diantara keduanya terletak pada proses penyelesaian ketika seorang suami mengingkari anak yang dilahirkan istrinya yakni dengan cara sumpah OLnDQ. Sedangkan perbedaan terdapat pada akibat hukum serta hak yang akan diperoleh oleh seorang anak. MeQXUXW ,PDP 6\D!ILni> seorang anak yang diingkari oleh suami maka anak tersebut berstaus sebagai anak zina dan anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, selain itu anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak apapun dari seorang laki-laki yang mengingkari ataupun dari bapak biologisnya. Berbeda dalam pandangan hukum Positif, seorang anak yang diingkari oleh seorang suami maka anak tersebut berstatus sebagai anak luar kawin yang mana anak tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya, meskipun demikian seorang anak juga dapat mempunyai hubungan dengan seorang laki-laki selagi bisa dibuktikan secara teknologi dan medis bahwa laki-laki tersebut terbukti mempunyai hubungan darah dengan seorang anak. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai

(6)

x

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka... 10

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. KeJXQDDQ+DVLO3HQHOLWLDQeee... 12

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 17

(7)

xi

A. Sejarah Madhab6\DILnL> ... 20 1. %HRJUDIL,PDP6\D!ILnL> ... 20 2. Metode Istinba>t+XNXP,PDP6\D!ILnL> ... 28 B. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat

Pengingkaran... 31 1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengingkaran Status Anak .. 31 2. Syarat pengingkaran Status Anak ... 33 3. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat

Pengingkaran Menurut Pandangan Imam S\D!ILnL> ... 34

BAB III STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN MENURUT HUKUM POSITIF.

A. Definisi Anak dalam Hukum Positif ... 45 B. Dasar Hukum Keabsahan Anak dalam Hukum Positif ... 47 C. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat

Pengingkaran... 50 1. Pengingkaran Keabsahan Anak Menurut Hukum Positif .. 50 2. Prosedur Penyangkalan Anak Menurut Hukum Positif ... 55 3. Status Anak Yang Lahir Stetelah Istri Ditalak Akibat

Pengingkaran Menurut Hukum Positif... 56

(8)

xii

B. 3HUEHGDDQ 3DQGDQJDQ ,PDP 6\D!ILnL> dan Hukum Positif Tentang Status Anak yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran... 66 C. Analisis 3DQGDQJDQ,PDP6\D!ILnL> dan Hukum Positif Tentang

Status Anak yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran... 72

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 84

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia, manusia tidak pernah

terlepas dari fitrahnya, yang salah satunya adalah hasrat untuk mendapatkan

seorang pendamping hidup yang akan menemaninya mengarungi kehidupan

di dunia dan akhirat. Sebagai agama Rahmatan lil ‘a>lamin>, Islam memberikan

jalan atau cara bagi umatnya untuk mendapatkan calon pendamping hidup

dengan jalan pernikahan atau perkawinan yang sah menurut syariat maupun

hukum Positif di Indonesia. Perkawinan yang dimaksud ialah ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.1

Memahami pasal diatas sebenarya perkawinan yang dikehendaki oleh

agama Islam adalah untuk selamanya sampai matinya salah seorang suami

atau istri. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki

putusnya perkawinan itu, artinya apabila hubungan perkawinan tetap di

lanjutkan, maka kemadharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam memberikan

jalan alternatif berupa perceraian sebagai langka terakhir dari usaha

melanjutkan rumah tangga.

(10)

2

Perceraian atau dalam istilah fiqih disebut dengan talak, itu diambil dari

kata ‚Ithla>q” yang menurut bahasa artinya ‚melepaskan atau

meninggalkan”.2Menurut istilah syara’, talak yaitu :

ِةيِج ْو للَا ِةَق َاَعلْا ُءَاْ ِاَو ِااَو للا ِةَ ِاباَر لَح

.

Artinya : Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.3

Talak sebagai sebab putusnya perkawinan merupakan perbuatan yang

dibenci oleh Allah SWT, karena sejatinya Islam mensyariatkan perkawinan

selama-lamanya, tetapi meski demikian perceraian itu di perbolehkan ketika

berada dalam keadaan darurat baik atas inisiatif suami (talak) atau inisiatif

istri (khulu’) sebagaimana hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Umar :

ْملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َا ُللُسَر َلاق َرَمُع ِنْبا ِنَع

:

َاطلا لَجَو لَع َا ََِا ِل َاَ ْا ُضَغْ بَا

ُق

ُ

ْدُواَدلُبَا ُهاَوَر

َ

Artinya: Dari Ibnu Umar. Ia berkata: bersabda Rasulullah SAW : ‚perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT adalah talak.4

Dengan memahami hadits tersebut diatas, sebenarnya Islam mendorong

terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal tampak dan menghindarkan

terjadinya perceraian (talak). Dapat dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak

memberikan peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal

darurat.

2 Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Cet.I (Bogor: Kencana, 2003), 191.

3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet. 4, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr 1983), 206.

4Amiur Nurddun dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Islam di Indonesia Studi Kritis

(11)

3

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban,

perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak. Dengan

adanya perceraian maka timbul suatu hak serta kewajiban yang harus

dipenuhi oleh keduanya. Tidak hanya itu, ketika dalam suatu perkawinan

sudah di karuniai seorang anak, maka kedua orang tua tersebut juga

mempunyai hak serta kewajiban yang harus diberikan kepada anak-anaknya.

Hal tersebut seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf (a) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah baik bapak maupun ibu tetap

mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,

semata-mata berdasarkan kepentingan anak.

Meskipun demikian tidak semua anak dapat memperoleh hak yang sama.

Hal ini dikarenakan Undang-undang sendiri memberikan akibat hukum yang

berbeda pada anak tersebut sesuai dengan asal usul anak itu sendiri. Para ahli

fiqih sepakat bahwa wanita yang bersuami dengan akad nikah yang sah

apabila melahirkan anak maka anak tersebut dinisbatkan kepada suaminya

atau dapat dikatakan anak tersebut mempunyai hubungan nasab dengan

ayahnya (anak sah). Di Indonesia permasalahan mengenai anak seringkali

menjadi persoalan yang obyektif, hal ini karena peraturan yang ada

memberikan akibat hukum yang berbeda pada anak sesuai dengan asal-usul

anak tersebut. Permasalahan tentang asal usul anak merupakan hal yang

paling penting untuk menunjukkan hubungan nasab seorang anak dengan

(12)

4

Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan

hukum yang berbeda-beda. Hal ini karena pluralitas bangsa, utamanya dari

agama dan adat kebiasaan, maka ketentuan hukum yang berlakupun

bervariasi. Ada tiga hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum Islam,

hukum Positif meliputi hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum

Islam, dan Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis.5

Tentang asal usul anak dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

dijelaskan pada pasal 42 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan

dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian dalam pasal 43 ayat

(1) dijelaskan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya dalam

Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan pada Pasal 99 bahwa anak sah

adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,

selanjutnya pada pasal 100 dijelaskan bahwa anak diluar perkawinan hanya

mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Nampaknya antara Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dengan Kompilasi

Hukum Islam mengenai penjelasan anak sah dan anak luar kawin adalah

sama.

Sejalan dengan pengertian yang ada dalam Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 pasal 42, mengenai asal-usul anak juga dijelaskan dalam KUH

Perdata yakni pada pasal 250 bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan

(13)

5

atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya.

Dalam pasal ini memberikan penekanan bahwa anak bisa dianggap anak sah

jika anak tersebut terlahir selama masa perkawinan, sedangkan anak yang

lahir setelah perkawinan terputus maka anak tersebut tidak bisa disebut anak

sah (anak luar kawin).

Apabila terjadi perselisihan mengenai status anak yang dilahirkan oleh

seorang istri, maka untuk memecahkan permasalahan ini Islam memberikan

jalan alternatif, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li’an.6

Menurut istilah hukum Islam, li’an merupakan sumpah yang diucapkan

oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali

kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhanya, kemudian

pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia

menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhanya itu.7 Atau

dapat dikatakan, seorang suami tidak mengakui anak yang dilahirkan

istrinya, karena suami telah menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain.

Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami istri, ialah firman Allah SWT

dalam surat An-Nur ayat 6-9 :



































































































6 Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Jakarta :PT.Bina Ilmu,

1980), hlm 305

(14)

6







































Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan (sumpah) yang kelima, bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah SWT sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah SWT atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.8

Pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan berasal dari sperma seorang

laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam

memberikan ketentuan lain. Menurut Imam Sya>fi’i> seorang laki-laki

diharamkan untuk menolak atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh

istrinya, apabila tidak terdapat cukup alasan-alasan yang dibenarkan agama,

alasan-alasan tersebut antara lain :

a. Anak itu lahir kurang dari enam bulan sesudah nikah dilangsungkan

sebab sekurang-kurangnya hamil adalah selama enam bulan.

b. Anak itu berada dalam kandungan ibunya setelah habis massa beriddah

dengan cerai talak dan wafat.

(15)

7

c. Anak itu lahir setelah melewati massa iddah bila suaminya pergi

merantau (sesudah melewati empat bulan sepuluh hari ).

Dari beberapa alasan tersebut di atas ketika seorang suami yakin bahwa

anak yang dilahirkan oleh istrinya bukan hasil dari persetubuhanya,

melainkan dengan laki-laki lain maka seorang suami harus bersumpah bahwa

apa yang dia tuduhkan itu benar (baik tuduhan tersebut berupa penyangkalan

status anak ataupun dikarenakan menuduh istrinya berzina). Ketika kedua

suami maupun istri telah bersumpah di muka persidangan maka hakim akan

memisahkan di antara keduanya, dan anak tersebut di ikutkan nasabnya

kepada seorang ibu saja. Hal ini dikarenakan anak yang diingkari oleh

seorang laki-laki statusnya sama dengan anak zina (anak di luar perkawinan

yang sah) yang mana anak tersebut hanya mempunyai hubungan dengan

ibunya saja.

Sedangkan dalam hukum Positif seorang suami diperbolehkan

mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya ketika seorang laki-laki

tersebut bisa membuktikan bahwa anak tersebut akibat dari perzinahan, hal

ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44 ayat 1 Undang-undang Nomor 1

tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi ‚ Seorang suami dapat

menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat

membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada

perzinaan tersebut. Jika seorang laki-laki bisa membuktikan di muka

persidangan dan diantara keduanya telah melakukan sumpah li’an secara

(16)

8

keduanya, dan anak tersebut diikutkan nasabnya kepada seorang ibunya saja

hal ini dikarena anak yang diingkari oleh seorang laki-laki berstatus sebagai

anak luar kawin. Ketentuan tersebut sesuai dengan penjelasan 43

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga

ibunya saja.

Dari beberapa ulasan di atas, bagaimana ketika seorang anak tersebut

dilahirkan ketika orang tuanya sudah bercerai dan kelahiran anak tersebut

diingkari oleh seorang suami. Apakah anak tersebut tergolong sebagai anak

sah atau anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan dengan ibunya

dan keluarga ibunya saja.

Hal ini sangat penting mengingat permasalahan ini menyangkut masalah

status anak yang nantinya berakibat hukum pada hak-hak yang akan diterima

oleh seorang anak. dan juga penting karena seorang anak juga mempunyai

hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, mendapatkan asuhan, perawatan

dan pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran dari kedua orang tuanya,

seperti halnya anak yang sah.9

Bertumpu dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih

lanjut mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran, yang penulis tuangkan dalam penelitian yang berjudul : ‚Studi

Komparasi Antara Pandangan Imam Sya>fi’i> dan Hukum Positif Tentang

Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran”.

9 Pasal 4 sampai 7, Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

(17)

9

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

a. Status keperdataan anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran.

b. Hubungan nasab anak yang lahir setalah istri ditalak akibat

pengingkaran.

c. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran

menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.

d. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran

menurut hukum Positif

e. Akibat hukum terhadap anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum Positif.

2. Pembatasan Masalah

Penelitian tidaklah mudah untuk meneliti semua permasalahan pada

bidang yang diteliti. Oleh karena itu peneliti akan membatasi masalah

yang terkait dengan penelitian ini, guna memperjelas arah pembahasan

penelitian ini :

a. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran

menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.

b. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran

(18)

10

c. Perbedaan dan persamaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum

Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran.

C. Rumusan Masalah

Untuk menghindari semakin meluasnya permasalahan dan dengan

berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka

pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana status anak yang lahir setalah istri ditalak akibat

pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i> ?

2. Bagaimana status anak yang lahir setalah istri ditalak akibat

pengingkaran dalam hukum Positif ?

3. Apa persamaan, perbedaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum

Positif tentang status anak yang lahir setalah istri ditalak akibat

pengingkaran ?

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian kali ini, pada dasarnya untuk

mendapatkan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian yang

pernah dilakukan oleh penelitian lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak

adanya pengulangan materi secara mutlak.

Setelah menelusuri melalui kajian pustaka, Pertama; penulis membaca

(19)

11

Pengingkaran Status Anak Oleh Suami Sebagai Alasan Perceraian”,10 Skripsi

ini memfokuskan pada pandangan Ibnu Rusyd tentang kriteria-kriteria dalam

menentukan nasab seorang anak yaitu perkawinan yang sah, istri melahirkan

anak sebelum cukup batas minimal kehamilan adalah enam bulan terhitung

dari akad nikah/ terakhir kali hubungan badan dan istri melahirkan anak

setelah batas maksimal kehamilan kehamilan terhitung dari masa perceraian

atau terakhir kali hubungan badan. Dalam skripsi ini juga menjelaskan

tentang pengingkaran status anak oleh suami sebagai alasan perceraian, jika

sempurna ucapan li’an antara suami dan istri.

Kedua; penulis juga pernah membaca Skripsi saudari Mafazatun Ni’mah

khofifah (2009) yang berjudul ‚Pembatalan Putusan Pengadilan Agama

Lamongan Oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Tentang Pengingkaran

Anak (Studi Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya

No.155/Pdt/G/2008/ PTA.Sby)”,11 Skripsi ini lebih memfokuskan pada

pembatalan putusan Pengadilan Agama lamongan oleh Pengadilan Tinggi

Agama surabaya, karena Pengadilan Agama lamongan dalam memutuskan

perkara pengingkaran anak tidak sesuai dengan ketentuan hukum formil

dalam beracara dan juga pengadilan Agama lamongan dalam hal pembuktian

pengingkaran anak tidak di dasarkan pada ketentuan pasal 174 dan 176 HIR

sebagai dasar putusanya.

10 Azizah, Analisis Ibnu Rusyd Tentang Pengingkaran Status Anak Oleh Suami Sebagai Alasan

Perceraian, Skripsi, Fakultas Syari’ah, Jurusan Akhwal Syakhsiyah, (Surabaya: IAIN Sunan

Ampel, 2004).

11 Mafazatun Ni’mah khofifah ‚Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Lamongan Oleh

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Tentang Pengingkaran Anak (Studi Analisis Putusan

Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No.155/Pdt/G/2008/ PTA.Sby, Skripsi, Fakultas Syari’ah,

(20)

12

Berdasarkan telah pustaka yang sebagaian telah dipaparkan diatas,

maka penelitian yang ingin peneliti tulis dengan judul ‚Studi Komparasi

Antara Pandangan Imam Sya>fi’i> dan Hukum Positif Tentang Status Anak

Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran” belum pernah

diadakan penelitian.

E. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Untuk mengetahui status anak yang lahirkan sesudah istri ditalak

akibat pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.

2) Untuk mengetahui status anak yang lahirkan sesudah istri ditalak

akibat pengingkaran menurut hukum Positif.

3) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara pandangan Imam

Sya>fi’i> dan hukum Positif tentang setatus anak yang lahirkan setelah

istri ditalak akibat pengingkaran.

2. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah:

a. Manfaat ilmiah : Penelitian ini diharapkan dapat bergunan untuk

memberikan kontribusi dan memperkaya khazanah keilmuan tentang

hukum dalam memandang persoalan-persoalan kontemporer,

khususnya dalam masalah status anak.

b. Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

pedoman dan acuan bagi orang tua yang melahirkan anak setelah

terjadinya perceraian, agar kelak anak yang dilahirkan mempunyai

(21)

13

F. Definisi Operasional

Skripsi ini berjudul ‚Studi Komparasi Antara Pandangan Imam Sya>fi’i>

dan Hukum Positif Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak

Akibat Pengingkaran”. Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam memahami

judul skripsi tersebut, maka perlu penulis jelaskan istilah-istilah yang

terkandung di dalamnya.

1. Komparasi : Di dalam penelitian ini nantinya akan

membandingkan antara pandangan Imam

Sya>fi’i> dan Hukum Positif tentang status

anak yang lahir setelah istri ditalak

akibat pengingkaran.

2. Pandangan Imam

Sya>fi’i

: Pendapat Imam Sya>fi’i> mengenai status

anak yang lahir setelah istri ditalak

akibat pengingkaran.

3. Hukum Positif : Suatu peraturan yang mengatur

mengenai setatus anak yang di dasarkan

pada peraturan perundang- undangan.

Meliputi Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum

Perdata (Burgerlijk Wetboek).

(22)

14

Anak menyangkal, memungkiri suatu

keadaan.12 Dalam hal ini suami

mengingkari status anak yang dilahirkan

oleh istri setelah keduanya telah bercerai.

G. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian

kepustakaan (Library Research). Adapun yang dimaksud dengan penelitian

kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian.13 Bahan-bahan penelitian kepustakaan bisa berupa: buku, majalah,

surat kabar dan dokumen lainnya yang dianggap perlu.

1. Data yang dikumpulkan

Sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka

(Library Research), maka data-data yang dikumpulkan adalah data-data

yang berasal dari kepustakaan, dan dalam pembahasan skripsi ini nantinya

bisa dipertanggungjawabkan dan relevan dengan permasalahan yang

diangkat, maka penulis membutuhkan data sebagai berikut:

a. Data yang menjelaskan mengenai pendapat Imam Sya>fi’i> tentang

status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran.

b. Data yang membahas mengenai status anak yang lahir setelah istri

ditalak akibat pengingkaran yang diatur dalam Undang-undang Nomor

12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-Tiga, 433.

(23)

15

1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan

Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).

c. Data lain yang mendukung untuk melakukan analisis mengenai

pandangan Imam sya>fi’i> tentang status anak yang lahir setelah istri

ditalak akibat pengingkaran, serta peraturan-peraturan perundangan

lain yang menyangkut obyek yang diteliti.

2. Sumber data

Penelitian ini merupakan penelitian pustakan (Library Reserch) maka

sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder,

seperti buku-buku dan literatur lainya yang membahas mengenai objek

yang peneliti bahas. Perincian data tersebut meliputi dibawah ini:

a. Sumber data primer14, yaitu buku-buku yang bermadhhab Sya>fi’i> :

1) Al-Muhazab Fi Fiqh al-Imam as-Syafi’i, karya Abi Ishaq Ibrahim

bin Ali bin Yusuf

2) Terjemah Al-Umm, Karya Imam Sha>fi’i>.

b. Sumber Data Sekunder adalah bahan-bahan yang meberikan penjelas

dan pelengkap yang diambil dari beberapa buku atau literatur yang

berkaitan dengan permasalahan penelitian ini, yang menjadi sumber

data sekunder meliputi :

1) Terjemah Al-Fiqih Islam wa Adillatuh, karya Wahbah

al-Zuhaili.

2) Terjemah Fiqh al-Sunnah, karya Sayyid al-Sabiq.

14 Soerjono Suekanto Dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(24)

16

3) Terjemah Al-Fiqh Ala al-Madhahib al-Arba’ah, karya Abd

al-rahman al-Jaziri.

4) Terjemah Bidayatul Mujtahid, karya Ibn Tusyd.

5) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelik Wetboek).

6) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah sebuah penelitian yang berupa penelitian pustaka

(Library Research),15 oleh karenanya penelitian ini menggunakan metode

pengumpulan data secara dokumentasi dengan menelusuri

literatur-literatur atau karya ilmiah lainya yang berkaitan dengan penelitian, yang

diambil dari bahan primer maupun skunder.16

4. Teknik Analisi Data

Mengingat obyek penelitian ini terkait dengan masalah status anak

yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran menurut pandangan

Imam Sya>fi’i> dan hukum Positif, maka metode yang digunakan dalam

penelitian ini ia metode komparatif, yaitu melakukan perbandingan antara

pendapat ulama’ fiqih dengan pernyataan dalam Undang-undang hukum

Positif untuk menetukan status hukum anak yang lahir setelah istri ditalak

15

Yaitu penelitia n yang memerlukandokumen atau bahan pustaka sebagai data untuk menjawab

masalah penelitian. Lihat: Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta:

Granit, 2005), 61. 16

(25)

17

akibat pengingkaran serta argumentasi dan alasan yang dikemukan oleh

masing-masing ulama’ tersebut.

Adapun dalam menganalisi data-data tersebut, penulis mengunakan

metode penelitian deskriptif analitik,17 yakni mengambarkan suatu

permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai setatus anak

yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran. Setelah itu penulis

menganalisis permasalahan yang ada dengan mengunakan metode (content

analiysis) agar permasalahan tersebut bisa diselesaikan sesuai dengan

ketentuan dan peraturan yang ada sehinga mendapatkan pemahaman dan

pemaknaan yang lebih akurat.18

Sedangkan untuk menarik kesimpulan dari hail analisis penulis

mengunakan pola pikir deduktif.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah di dalam pembahasan dan pemahaman dalam

penulisan skripsi ini, penulis mencoba membagi masing-masing pembahasan

menjadi lima bab, dan tiap bab sebagian akan diuraikan menjadi sub-sub bab,

untuk lebih jelasnya secara garis besarnya adalah sebagai berikut :

Bab Kesatu : Menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam

meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang

terdapat di dalam latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan

17 Deskriftif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, pikiran,

pendapat tertentu, keadaan atau gejala-gejala lainya, maksudnya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam rangka menyusun teori baru. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta:UII Press, 1986), 9-10

(26)

18

masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan

Bab Kedua : Bab kedua penulis menguraikan mengenai pandangan

Imam Sya>fi’i tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran, yang pembahasannya meliputi: a) Biografi Imam Sya>fi’i>, b)

Metode istinbat} hukum Imam Sya>fi’i>, c) Status anak yang lahir setelah istri

ditalak akibat pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.

Bab Ketiga : Dalam bab ketiga penulis menguraikan mengenai status

anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran menurut hukum

Positif, yang pembahasanya meliputi : a) Definisi anak sah dalam hukum

Positif, b) Dasar hukum keabsahan anak dalam Hukum Positif, c) Status

anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran menurut hukum

Positif.

Bab Keempat : Dalam bab ini menjelaskan mengenai analisis pembahsan

yang meliputi: a) Analisis persamaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan

hukum Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran b) Analisis perbedaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan

hukum Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat

pengingkaran c) Analisis pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum Positif tentang

status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran.

Bab Kelima : Bab ini merupakan bagian akhir yaitu penutup dari isi

(27)

19

masalah dan dalam bab ini juga mencakup saran-saran dari penulis atas

permasalahan yang diteliti sehingga tercapai upaya untuk mencapai tujuan

(28)

20

BAB II

STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT

PENGINGKARAN MENURUT PANDANGAN IMAM SYAFI’I

A. Sejarah Madhab Sya>fi’i>

1. Biografi Ima>m Sya>fi’i>

Imam Sya>fi’i> adalah mujtahid dibidang fiqih, dan merupakan salah

satu dari empat mazhab yang terkenal dalam Islam. Beliau hidup pada

masa pemerintah khali>fah Ha>ru>n ar-Rasyi>d, al-Ami>n, dan al-Ma’mu>n

dari dinasti Abbasiyah.1 Beliau adalah seorang yang tinggi dan gagah

perawakannya, putih rupanya, fasih lidahnya, bagus suaranya dan

mempunyai wibawa yang menakutkan bagi siapa yang melihatnya,

tetapi sangat disukai oleh orang yang pernah melihatnya. Tanda-tanda

yang menunjukkan bahwa dirinya orang besar, pandai dan berbudi luhur

telah ada dan kelihatan pada diri beliau sejak masih kecil.2

Imam Sya>fi’i> dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150H atau 767M di

Ghazza>h ‘As-Qa>lan yang letaknya di pesisir laut putih di tengah-tengah

bumi Palestina yang bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu

Hanifah di Baghdad dan Imam Ibn>u Jurai>j al-Makky>, yaitu seorang alim

di kota Makkah yang terkenal sebagai Imam ahli Hijaz, dan banyak

1 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993),

326.

2 Munawar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.

Ke-8, 1992), 156.

(29)

21

orang berkata bahwa Imam yang telah pergi telah diganti oleh Imam

yang baru. Beliau meninggal pada malam jum’at dan dimakamkan pada

hari Jum’at sesudah Ashar, bulan Rajab tahun 204H atau 20 Januari

820M dalam usia 54 Tahun di Mesir.3

Adapun nama kecil dari Imam Asy-Sya>fi’i> adalah Muh}ammad, dan

nama lengkapnya adalah sebagaimana tercantum dalam Tari>kh Tasyri>k

AlIsla>mi, yaitu: Dia adalah ‘Abdulla>h bin Muh}ammad bin Idri>s bin

‘Abba>s bin Us}ma>n bin Asy-Sya>fi’i> Mut}ha>lib, dari Abdul Mut}ha>lib yaitu

ayah yang keempat bagi Rasulullah SAW dan ayah yang kesembilan bagi

Asy-Sya>fi’i>. Ibunya berasal dari al-Azdi dan ibunya termasuk wanita

yang bernaluri paling cerdas.4

Beliau sering dipanggil dengan nama Abu> ‘Abdulla>h karena salah

seorang putera-nya bernama Abdullah, dan setelah menjadi ulama’ besar

dan mempunyai pengikut beliau lebih dikenal dengan nama Imam

Sya>fi’i>. Ayah Imam Asy-Sya>fi’i> bernama Idri>s bin ‘Usma>n bin

Asy-Sya>fi’i> bin As-Sa’i>d bin Abid bin ‘Abdul Yazi>d bin Ha>syim bin

al-Mut}ha>lib bin ‘Abdul Mana>f, yang bekerja sebagai pengawal pasukan

yang ditempatkan di daerah Ghazzah. Sedangkan ibunya bernama

Fa>t}imah bin ‘Abdulla>h bin al-Hasan bin Husei>n bin ‘Ali> Abi> T}ha>lib. Dari

garis keturunan ayah, Ima>m Asy-Sya>fi’i> bersatu dengan keturunan Nabi

Muhammad SAW pada Abdul Manaf kakek Nabi yang ketiga, sedangkan

3

Umroh Machmudah Tolchah Mansoer, Al- Ima>m Asy-Sya>fi’i>. dan Nilai Musnadnya,

(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976), 19-20.

4 Asy-Syek>h Muh}ammad a l-Khud}ari>, Tarik>h Tasyri>k Al-Isla> mi, (Beiru>t : Daru>l Fikri, 1981),

(30)

22

dari pihak ibu, ia adalah cicit dari ‘Ali> \bin Abi Thalib.5 Jadi silsilah yang

menurunkan Imam Asy-Sya>fi’i> baik dari ayah maupun ibu adalah

pertalian erat dengan silsilah yang menurunkan Nabi Muhammad SAW.

Imam Asy-Sya>fi’i> dilahirkan dalam keadaan yatim, karena ayahnya

meninggal saat beliau masih dalam kandungan sang ibu. Beliau diasuh

dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat

sederhana, bahkan banyak menerima kesulitan. Asy-Sya>fi’i> dibawa

ibunya ke Makkah saat beliau berumur dua tahun, yaitu ke tempat

keluarga suami Fa>t}imah (ayah Imam Sya>fi’i>) bermukim, karena ibunya

beranggapan bahwa apabila beliau tinggal di Ghazzah maka nasab dari

bangsa Quraisy akan hilang.6 Sehingga ia menginginkan supaya anaknya

dibesarkan di antara keluarga ayahnya, yang mempunyai kedudukan

sosial yang terpandang dan mendapat fasilitas dari Bay>t al-Ma>l

(semacam kas negara), karena administrasi negara pada saat itu

menyediakan tunjangan khusus bagi setiap anggota keluarga quraisy

dari keturunan Ha>syim dan Mut}ha>lib, yaitu keluarga dekat Nabi

Muhammad SAW.

Imam Asy-Sya>fi’i> yang dibesarkan dalam keadaan yatim dan sangat

sukar hidupnya, tetapi sejak kecil beliau belajar kepada ulama’-ulama’

dan menulis pelajaran-pelajaran yang diterimanya dalam

sobekan-sobekan kertas-kertas bekas dan kulit-kulit, yang disebabkan oleh

kemiskinannya. Meskipun beliau dalam keadaan yatim dan miskin,

5 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, 327.

(31)

23

namun beliau adalah seorang anak yang cerdas sekali yaitu dapat

menghafal al-Qur’an dengan mudah ketika masih kecil dan juga

menulis hadits, karena pendidikan Asy-Sya>fi’i> dimulai sejak dini,

sehingga gurunya tertarik pada ketekunan, kecerdasan, dan daya

hafal Asy-Sya>fi’i> yang luar biasa dan juga memberi kesempatan pada

Asy-Sya>fi’i> untuk melanjutkan pelajaran.7

Setelah mempelajari al-Qur’an pada usia 7\ tahun 8 dan menghafal

seluruh isi al-Qur’an dan menguasai artinya dengan lancar pada usia 9

(sembilan) tahun beliau sangat alim tentang makna dan kedudukan

ayat-ayat al-Qur’an.8 Ima>m Ah}mad Ibnu H}ambal berkata: Saya tidak

melihat orang yang lebih paham tentang Kitabullah dibanding pemuda

quraisy ini, dan tidak pernah saya melihat orang yang lebih patuh kepada

atsar dibanding dengan Sya>fi’i>”.9

Setelah dapat menghafal al-Qur’an, Asy-Sya>fi’i> berangkat kedusun

Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu bahasa

arab yang asli dan fasih. Di sana selama bertahun-tahun Asy-Sya>fi’i>

mendalami bahasa, kesusasteraan dan adat istiadat yang asli, berkat

ketekunan dan kesungguhannya Asy-Sya>fi’i> kemudian dikenal sangat

ahli dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat arab yang asli,

7 Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, 77

8 T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), 144.

(32)

24

dan juga pada umur sepuluh tahun beliau sudah hafal dan mengerti

tentang isi Kitab ‚al-Muwa>tt}a” yang disusun oleh Ima>m Ma>lik.10

Asy-Sya>fi’i> kembali ke Makkah dan belajar Ilmu fiqih kepada

Ima>m Muslim bin Kha>lid\ Az-Z}anni>, seorang ulama’ besar dan mufti di

kota Makkah pada saat itu. Selain itu Asy-Sya>fi’i> juga mempelajari

berbagai cabang ilmu agama lainnya, seperti ilmu hadits dan ilmu

al-Qur’an. Untuk ilmu hadits beliau berguru pada ulama’ hadits terkenal

dan di zaman itu yaitu Imam Sufya>n bin Uyai>nah, sedangkan Ilmu

al-Qur’an pada ulama’besar Ima>m Isma>’i>l bin Qassanti>n.11

Di samping cerdas, Asy-Sya>fi’i> juga sangat tekun dan tidak kenal

lelah dalam belajar, untuk itu pada usia 10 (sepuluh) tahun beliau sudah

membaca seluruh isi al-Muwa>tt}a’ karangan Ima>m Ma>lik, dan sebelum

beliau menghadap Ima>m Ma>lik, beliau sudah menghafal al-Muwa>tt}a’,

pada usia 12 (dua belas) tahun, beliau berkata : ‚Saya telah hafal

Muwa>tt}a’ sebelum saya menghadap Ima>m Ma>lik, ketika saya datang

untuk membaca Muwa>tt}a’ di hadapannya saya sedang berumur 12 (dua

belas) tahun, dia memandang saya masih kecil dan berkata kepada

saya : saya akan carikan orang yang membacakannya untukmu”.12

Setelah menghafal isi kitab al-Muwa>tt}a’, Imam Asy-Sya>fi’i>

berangkat ke Madinah untuk menemui pengarang kitab al-Muwa>tt}a’

yaitu Ima>m Ma>lik, dan sekaligus memperdalam ilmu fiqihnya. Selama di

10

Munawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab , 156.

11 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, 327.

(33)

25

Madinah Asy-Sya>fi’I tinggal di rumah Ima>m Ma>lik dan sering membantu

membacakan isi kitab al Muwatt}a’ kepada murid-murid Ima>m Ma>lik.

Imam Asy-Sya>fi’i> adalah profil ulama’ yang tidak pernah puas dalam

menuntut ilmu, karena semakin banyak ia menuntut ilmu semakin

dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. Beliau kemudian

meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru pada ulama’ besar

di sana, antara lain Ima>m Abu> Yu>suf dan Ima>m Muh}ammad bin H}asa>n,

yang keduanya adalah sahabat Ima>m Abu> H}ani>fah. Dari kedua Ima>m

itu Asy-Sya>fi’i> memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai

cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara-cara memberi fatwa,

cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang ditetapkan oleh

para mufti di Irak, yang tidak pernah Asy-Sya>fi’i> lihat di Hidjaz.

Asy-Sya>fi’i> termasuk orang yang mujur di dalam bidang ilmiah.

Beliau muncul setelah tersusun kodifikasi syari’ah menurut sistem yang

teratur dalam bentuk yang rapi. Dengan demikian beliau mudah

mempelajari buah pikiran dari orang-orang terdahulu dan belajar

langsung dari maha guru terkemuka.13

Aktifitasnya dalam dunia pendidikan dimulai dengan mengajar di

Madinah dan menjadi asisten Ima>m Ma>lik. Waktu itu usia beliau baru 29

(dua puluh sembilan) tahun, sebagai ulama’ fiqih namanya mulai dikenal,

muridnyapun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain

sebagai ulama’ ahli fiqih beliau juga dikenal sebagai ulama’ ahli

13

(34)

26

hadits, tafsir, bahasa dan kesusastraan arab, ilmu falak, ilmu ushul fiqih

dan tarikh.

Asy-Sya>fi’i> kemudian pindah ke Yaman atas undangan ‘Abdulla>h

bin Hasa>n wali negeri Yaman. Di sana beliau diangkat sebagai mufti

atau penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping tetap

melanjutkan karirnya sebagai guru oleh wali negeri Yaman, Asy-Sya>fi’i>

juga dinikahkan dengan seorang putri bangsawan yang bernama Siti>

H}ami>dah bi>nti> Na>fi’ dan dianugerahi tiga orang anak yaitu ‘Abdullah,

Fa>timah, Zai>nab.14

Pada tahun 181 H atau 797 M Asy-Sya>fi’i> kembali mengajar di

Makkah. Selama 17 tahun di Makkah Asy-Sya>fi’i> mengajarkan berbagai

ilmu agama pada jama’ah haji yang datang dari penjuru dunia Islam,

beliau juga menulis masalah fiqih.15\

Selanjutnya pada tahun 198 H atau 813 M, Asy-Sya>fi’i pergi ke

Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (198-218 H atau

813-833 M). Sesampai di Baghdad Asy-Sya>fi’i> diberi tempat mengajar di

dalam Masjid Baghdad. Asy-Sya>fi’i> juga menyusun kitab Ushul fiqih dan

beliau membentuk tiga h}alaqah (kelompok belajar), sehingga beliau

digelari ‚Nashi>rus Sunnah” (pembela as-sunnah), karena beliau

menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad SAW.16

14 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam , Jilid 4, 328.

15 Ibid, 428.

(35)

27

Belum cukup mengajar di Baghdad, Imam Asy-Sya>fi’i> diminta

pindah oleh wali Mesir yaitu Abbas bin Musa untuk pindah ke Mesir. Di

Mesir beliau memberi pelajaran di masjid Amr bin As}h, dengan jumlah

yang tidak sedikit.

Di Mesir beliau juga menyelesaikan beberapa buah pikiran dalam

bentuk buku-buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di

Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai pendapat-pendapat Imam

Asy-Sya>fi’i> yang baru (al-Qa>ul al-Jadi>d), sedangkan pikiran dan hasil

ijtihadnya yang terdahulu dikenal dengan (al-Qa>ul al-Qadi>m) yaitu

pendapat Ima>m Asy-Sya>fi’i> yang lama.17

Sebagai ulama’ yang tempat mengajarnya berpindah-pindah,

Asy-Sya>fi’i> mempunyai ribuan murid yang berasal dari beberapa penjuru. Di

antaranya yang terkenal adalah Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad Ibn>u H}an>bal,

H}asan Ibn>u Muh}ammad Az-Z}a’fara>ni>, H}asan al-Kara>bi>si, Abu> Ts#ur

Ibra>hi>m bin Kha>lid aKalbi>, Abu> Ibra>hi>m Isai>l Ibn>u Yah}ya a

l-Muzani>, Abu> Muh}ammad Ar-Ra>bi>’ bin Sulai>a>n al-Mara>di>, Ar-Ra>bi>’ bin

Sulai>ma>n al-Jizi>, dan lain-lain.18

Sedangkan karya-karya Imam Asy-Sya>fi’i> sangat banyak, menurut

Ima>m Abu> Muh}ammad al-H}asan Ibn>u Muh}ammad al-Marwasi>y, bahwa

Asy-Sya>fi’i> menyusun kitab sebanyak 113kitab tentang tafsir, hadits,

fiqih, kesusastraan arab dan mulai menyusun ushul fiqih, kitab-kitab itu

antara lain:

17 Ibid, 428.

(36)

28

a. Ar-Ri>salah, Suatu kitab yang khusus membahas tentang ushul

fiqih dan merupakan buku pertama yang ditulis ulama’ dalam

bidang ushul fiqih, yang berisikan tentang pokok-pokok pikiran

beliau di dalam menetapkan hukum.

b. Al-Umm, sebuah kitab fiqih yang komprehensif dan terdiri atas

tujuh jilid, yang mencakup isi beberapa kitab Asy-Sya>fi’i> yang lain,

seperti Ji>ma’ a>l-‘ilm>, Ibta>l al-Istihsa>n, A>r -Ra>dd ’ala> Muh}ammad

Ibn>u H}asan, dan Siyar AlAusa’i>.

c. Ikht} ila>ful al-H}adi>ts, suatu kitab hadits yang menguraikan

pendapat pendapat Asy-Sya>fi’i> mengenai perbedaan yang terdapat

dalam h}adits\.

d. Al-Musnad, berisi tentang penjelasan keadaan sanad pada

hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dari kitab al-Umm.19

Dengan demikian kita ketahui bahwa Imam Asy-Sya>fi’i> adalah

seorang anak yang giat belajar, dan dengan ketekunannya itu beliau di

usia muda sudah dapat menghafal al-Qur’an dan menguasai madhab,

karena berbagai ilmu telah beliau pelajari, sehingga dalam menetapkan

suatu hukum Asy-Sya>fi’i> sangatlah berhati-hati.

2. Metode Istinba>t} Hukum Imam Sya>fi’i>

Imam Sya>fi’i> terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki

dan mempertahankan mazhab ulama Madinah hingga beliau tekenal

(37)

29

dengan sebutan Nasyi>rus Sunnah (penyebar Sunnah). Hal ini adalah

mempertemukan antara fiqih Madinah dengan fiqih Irak.

Asy-Sya>fi’i> telah dapat mengumpulkan antara t}hari>qat ahlur ra’yi

dengan t}hari>qat ahlul h}adits. Oleh karena itu mazhabnya tidak terlalu

condong kepada ahlul hadits. Mengenai istinba>t} hukum yang dipakai

Imam Sya>fi’i> sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya

ar-Ri>salah sebagai berikut:

1. Al-Qur’an

Imam Sya>fi’i> tidak berbeda dengan para imam sebelum beliau,

yakni Imam Sya>fi’i> memposisikan al-Quran sebagai sumber utama

di antara sumber hukum Islam lainya. Imam Sha>fi’i> menempatkan

al-Qur’an seketat para imam pendahulunya, tetapi nampaknya imam

Sha>fi’i> hanya menambah sedikit mengenai penafsiran dari ayat-ayat

hukum, hal itu dilakukan setelah melauli beberapa pengujian.20

2. As-Sunnah

Beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang

Mutawa>ttir saja tetapi yang Ah}ad pun diambil dan dipergunakan

pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya,

yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan

bersambung langsung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.21

20

Ahmad nakhrawi Abd al-Salam, Al-Imam al- Shafi’i> Madhhahib al-Qadim wa al-jadid (Kairo:

Dar al-Kutub, 1994), 496-497 21

(38)

30

3. Ijma>’

Merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh Imam

Sya>fi’i> Menempati urutan setelah al-Qur’an dan Sunnah. Beliau

mendefinisikan sebagai kesepakatan ulama’ suatu zaman tertentu

terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil.

Adapun ijma>’ pertama yang digunakan oleh Imam Sya>fi’i>

adalah ijma>’nya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijma>’

diakhirkan dalam berdalil setelah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila

masalah yang sudah disepakati bertentangan dengan al-Qur’an dan

Sunnah maka tidak ada hujjah padanya.22

4. Qiya>s

Imam Sya>fi’i> menetapkan qiya>s sebagai salah satu sumber

hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum

al-Quran dan Sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai

qiya>s yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang

mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam

masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.23

5. Istish}a>b

Menurut istilah Istisha>b menetapkan hukum dengan tetap

memberlakukan hukum yang ada saat ini dan yang akan datang

sesuai dengan hukum yang berlaku pada waktu sebelumnya sebelum

22

Rasya>d H}asan Khali> l, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari

dengan judul Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009),

23

(39)

31

ada dalil yang mengubahnya. Kendati teori ini lebih banyak

dikembangkan oleh murid-murid dan para pengikutnya, namun

menurut Muh}ammad Bultaji>, Imam Sya>fi’i> sering menetapkan

hukum dengan prinsip istish}a>b, yakni memberlakukan hukum

as}hal sebelum ada hukum baru yang mengubahnya.24

Itulah beberapa metode istinba>t hukum Imam Sya>fi’i> dimana metode

inilah yang digunakan oleh Imam Sya>fi’i> untuk memutuskan suatu hukum

yang terjadi.

3. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran

Kaitannya dengan permasalahan mengenai status anak yang lahir setelah

istri ditalak akibat suami mengingkari anak yang dilahirkan oleh seorang

istri, maka dalam hukum Islam memberikan jalan alternatif dalam

menyelesaikan permasalahan tersebut yakni dengan cara li’an. Mengenai

penjelasan li’an akan dijelaskan di bawah ini :

a. Pengertian dan Dasar Hukum Pengingkaran Status Anak.

1. Pengertian Pengingkaran (Li’an).

Secara bahasa li’an berasal dari kata masdar laa’ana seperti

seperti qaatala dari alla’ni, yaitu pengusiran dan penjauhan dari

rahmat Allah SWT. Dinamakan dengan li’an karena masing-masing

suami-istri saling melaknat dirinya sendiri pada kali yang kelima jika

ia berdusta. Sedangkan menurut istilah hukum Islam, li’an adalah

sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya

24 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Hukum Pranata Social, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

(40)

32

berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang

yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah yang lima

disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT

jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.25 Tuduhan yang telah

diucapakan oleh suami kepada istrinya dapat di tangkis oleh istri

dengan jalan bersumpah pula bahwa apa-apa yang di tuduhkan oleh

suaminya adalah dusta belaka.

Menurut Mazhab Sya>fi’i> mendefinisikan li’an sebagai kalimat

yang tertentu, yang dijadikan alasan bagi orang yang merasa terpaksa

untuk menuduh orang yang telah mencemari tempat tidurnya dan

mendatangkan rasa malu kepadanya, atau menolak anak yang

dikandungatau yang telah dilahirkan istrinya.26 Dari pengertian

tersebut diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa li’an terjadi

dikarenakan dua sebab, yakni :

a. Seorang suami yang menuduh istri berzina

b. Seorang suami yang mengingkari anak yang dilahirkan oleh

istrinya.

2. Dasar Hukum Mengenai Pengingkaran (Li’an).

Mengenai dasar hukum li’an terdapat dalam firman Allah SWT

surat An-Nur ayat 6-7 yang berbunyi:

25 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Kencana: Bogor, 2003), 239.

(41)

33

















































































Artinya : ‚Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (Q.S

An-Nur :6-7).27

b. Syarat Pengingkaran Status Anak.

Mengenai syarat penolakan nasab anak dalam hukum Islam terjadi

perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ madhab. Dalam penulisan ini

penulis mengambil ketentuan syarat penolakan nasab anak menurut

Madhab Sya>fi’i> 28:

a. Seorang suami boleh melakukan penolakan nasab anak pada masa

kehamilan atau langsung sesudah melahirkan. Jika suami

menangguhkan penolakan dengan tanpa alasan, maka hilang haknya

untuk menolak, karena penangguhan penolakan mengandung

pengakuan terhadap anak.

27 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah,. 544.

28

(42)

34

b. Suami mengklaim bahwa dia sama sekali tidak menyetubuhi si istri

dari semenjak akad, atau dalam waktu yang membuat timbulnya

kehamilan.

c. Suami yang menolak nasab anak yang dilahirkan istrinya dilazimkan

untuk mengetahui bahwa anak tersebut bukanlah anaknya, dalam

artian anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan sejak

terjadinya persetubuhan, atau lebih dari empat tahun.

d. Suami yang mengingkari nasab seorang anak yang dilahirkan

istrinya dia harus menyebutkan penolakan nasab anak dalam li’an si

suami, sedangkan si istri tidak perlu menyebutkan karena si istri

tidak menolaknya

c. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran

Menurut Pandangan Imam Syafi’i.

Menurut pandangan Madzab Sya>fi’i> penyangkalan keabsahan status

anak dalam agama Islam sangat dilarang keras, kecuali kalau ada

alasan-alasan yang kuat yang dibenarkan oleh agama.29 Alasan-alasan tersebut

antara lain :

a) Anak itu lahir kurang dari enam bulan sesudah nikah dilangsungkan

sebab sekurang-kurangnya hamil adalah selama enam bulan.

b) Anak itu berada dalam kandungan ibunya setelah habis massa

beriddah dengan cerai talak dan wafat.

29

(43)

35

c) Anak itu lahir setelah melewati massa iddah bila suaminya pergi

merantau (sesudah melewati empat bulan sepuluh hari ).

Dalam kitabnya Al-Umm Imam Asy-Sya>fi’i> berkata : ‚bahwa seorang

suami yang menuduh istrinya berzina atau mengingkari anak yang

dilahirkan oleh istrinya, maka seorang suami harus membuktikanya”.30 Hal

ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nuur ayat : 4





























































Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.

Dari ayat di atas Imam Asy-Sya>fi’i> berpendapat: apabilah seorang

laki-laki menuduh istrinya bezina atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh

istrinya maka suami harus mendatangkan empat orang saksi, dan apabila

suami tidak bisa mendatangkan empat orang saksi maka deralah dia dengan

delapan puluh kali dera. Seorang suami terbebas dari hukuman had karena

menuduh istrinya berzina atau mengingkari seorang anak yang dilahirkan

oleh istrinya, jika seorang suami melakukan sumpah li’an. Sumpah li’an

adalah suatu kalimat tertentu yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh

30

Al-Imam Asy-Sya>fi’i>, Al-Umm, diterjemahkan oleh Ismail Yakub dengan judul al-Umm

(44)

36

istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang

yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang lima

disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika ia

berdusta dalam tuduhannya itu.31 Tuduhan yang telah diucapakan oleh

suami kepada istrinya dapat di tangkis oleh istri dengan jalan bersumpah

bahwa apa yang di tuduhkan oleh suaminya adalah dusta belaka. Mengenai

dasar hukum li’an adalah firman Allah SWT surat An-Nur, Ayat 6-7 yang

berbunyi :

















































































Artinya : ‚Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan sumpah yang kelima: bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk

orang-orang yang berdusta.” (Q.S An-Nur :6-7).32

Asy-Sya>fi’i> berkata : ‚adalah jelas dalam kitab Allah Azza wa jalla

bahwa Allah SWT mengeluarkan (membebaskan) suami (dari hukuman)

dikarenakan menuduh istri atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh istri

31 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Kencana: Bogor, 2003), hlm. 239.

(45)

37

dengan mendatangkan empat orang saksi bahwa dia itu benar, dan yang

kelima bahwa laknat Allah SWT atasnya jika dia dari orang yang berdusta

sebagaimana Allah SWT mengeluarkan (membebaskan dari had penuduh

wanita baik-baik selain istri-nya dengan mendatangkan empat orang saksi

yang mereka persaksikan atas wanita dari pada (berbuat) zina, yang di

tuduhkan kepadanya. Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa

tidak ada (kewajiban) suami untuk berli’an hingga dituntut oleh wanita yang

tertuduh untuk melaksanakan hadnya dan sebagaimana tidak ada (had) atas

orang yang menuduh wanita ajnabi (bukan istri) hingga dituntut oleh wanita

itu untuk melaksanakan hadnya. Perlu diketahui bahwa dalam li’an terdapat

beberapa akibat hukum berdasarkan sunnah Rasullullah SAW, di antaranya

memisahkan antara kedua suami istri dan menafikkan anak dari seorang

suami.

Mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat suami

mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya menurut pandagan Imam

Sya>fi’i> ketika seorang suami dapat membuktikan bahwa anak tersebut bukan

hasil dari hubungan persetubuhanya, melainkan dengan laki-laki lain, maka

anak yang dilahirkan tersebut berstatus sebagai anak zina (anak luar

pekawinan yang sah). Hal ini di dasarkan pada hadits yang di riwayatkan

oleh Abi Hurairah:

ِشاَرِفْلِل ُدَلَلْلا َلاَق ملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا َللُسَر ْنَأ َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع

ُرَ َْ َا ِرِ اَعْلِل َو

(46)

38

Artinya : Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasullullah SAW.

Bersabda :‚Anak itu bagi siapa yang mengauli ibunya dan bagi pezinan

adalah batu sandungan (celaan/rajam).33

Dari hadits diatas Imam Asy-Sya>fi’i> berpendapat, apabila suami telah

menyempurnakan saksi dan berli’an maka hilanglah tikar istrinya (tidak

boleh hidup sebagai suami istri) dan wanita itu tidak halal baginya

selama-lamanya dengan sekita, dan jika laki-laki mendustakan dirinya tidaklah

wanita itu kembali kepada laki-laki tersebut.

Sedangkan pada status anak yang diingkari oleh seorang suami, maka

anak tersebut berstatus sebagai anak zina. Hal ini didasarkan pada hadits di

atas ‚ ِشاَرِفْلِل ُدَلَلْلا ” yaitu anak itu bagi pemilik fira>sy. Imam Sya>fi’i>

berpendapat bahwa ‚ ِشاَرِفْلِل ُدَلَلْلا ” memiliki dua makna. Makna pertama,

bahwa anat tersebut adalah untuk pemilik fira>sy apabila pemilik fira>sy tidak

mengingkari anak tersebut dengan li’an, apabila pemilik fira>sy mengingkari

anak dengan li’an maka anak tersebut terhalang darinya. Tidak di benarkan

mengakui anak

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh Bhattarai and Acharya (2010), menunjukkan bahwa produksi curd dangke dalam pembuatan keju mozzarella menggunakan susu sapi lebih tinggi (11,45%)

“PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MATERI BAGIAN- BAGIAN TUMBUHAN DAN FUNGSINYA MELALUI MODEL PENEMUAN TERBIMBING (GUIDED DISCOVERY) PADA SISWA KELAS IV MI KLERO

103 NUR AZIZAH PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD) S1 C Lulus. 104 NUR INDAH AGUSTINA KESEHATAN MASYARAKAT S1

[r]

Berdasarkan pengamatan terhadap terhadap intensitas penyakit terlihat bahwa cara aplikasi bahan penginduksi melalui perendaman benih menunjukkan intensitas penyakit yang

Sebaliknya pada pengujian konverter mode pengereman buck , beban yang digunakan pada sisi V 1 adalah resistor sebesar 3 Ohm sehingga dengan tegangan sebesar 24V

Mata Pelajaran : 21C Seni Budaya Seni Rupa Lokasi Ujian : SMK NEGERI 1 LINGSAR Tanggal Ujian : 2015-12-16,

Rataan bobot potong atau bobot akhir ternak kambing jantan yang diberi pakan hijauan dan asam lemak terproteksi 0 g/ekor, 200 g/ekor, 250 g/ekor dan 300 g/ekor dapat dilihat