STUDI KOMPARASI ANTARA PANDANGAN IMAM SYAFI’I
DAN
HUKUM POSITIF TENTANG STATUS ANAK YANG LAHIR
SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN
SKRIPSI
OLEH
MOCHAMMAD AMALUDHIN ALWI
C31211125
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Islam Ahwal Al-Syakhsiyah
vii
ABSTRAK
3HQHOLWLDQ\DQJEHUMXGXOoStudi KomparasL$QWDUD3DQGDQJDQ,PDP6\D!ILnL> dan Hukum Positif Tentang Status Anak yang Lahir setelah istri di Talak Akibat Pengingkaranp LQL PHUXSDNDQ SHQHOLWLDQ SXVWDND \DQJ EHUWXMXDQ XQWXN PHQMDZDE
tentang permasalahan yang telah dirumuskan yaitu : Bagaimana status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaranPHQXUXWSDQGDQJDQ,PDP6\D!ILnL> dan hukum Positif ? Persamaan dan perbedaaQ DQWDUD SDQGDQJDQ ,PDP 6\D!ILnL> dan hukum Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran ?
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (liberary research). Dalam penelitian ini penulis mengunakan metode penelitian deskriptif analisis kompratif, yakni penulis mengambarkan suatu permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran. Setelah itu penulis membandingkan antara pandangan Imam 6\D!ILnL> dan hukum Positif mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran PHQXUXW SDQGDQJDQ ,PDP 6\D!ILni> anak tersebut berstatus sebagai anak zina, baik anak yang diingkari tersebut dilahirkan dalam kondisi istri talak URMnLatau EDnLQ hal ini dikarenakan ketika seorang suami sudah membuktikan bahwa anak tersebut bukanlah anaknya dan diantara suami istri telah melakukan sumpahOLnDQsecara sempurnah, maka hakim akan memisahkan diantar keduanya dan mengikutkan nasab anak pada ibunya. Sedangkan dalam hukum Positif anak yang diingkari oleh seorang suami maka anak tersebut berstatus sebagai anak luar kawin, yang mana anak tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya saja.
Meskipun demikian antara pandangan Imam Sya>ILnL> dan hukum Positif terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan diantara keduanya terletak pada proses penyelesaian ketika seorang suami mengingkari anak yang dilahirkan istrinya yakni dengan cara sumpah OLnDQ. Sedangkan perbedaan terdapat pada akibat hukum serta hak yang akan diperoleh oleh seorang anak. MeQXUXW ,PDP 6\D!ILni> seorang anak yang diingkari oleh suami maka anak tersebut berstaus sebagai anak zina dan anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, selain itu anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak apapun dari seorang laki-laki yang mengingkari ataupun dari bapak biologisnya. Berbeda dalam pandangan hukum Positif, seorang anak yang diingkari oleh seorang suami maka anak tersebut berstatus sebagai anak luar kawin yang mana anak tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya, meskipun demikian seorang anak juga dapat mempunyai hubungan dengan seorang laki-laki selagi bisa dibuktikan secara teknologi dan medis bahwa laki-laki tersebut terbukti mempunyai hubungan darah dengan seorang anak. Hal ini sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN... iv
ABSTRAK ... v
MOTTO... vi
PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 9
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka... 10
E. Tujuan Penelitian ... 12
F. KeJXQDDQ+DVLO3HQHOLWLDQeee... 12
G. Definisi Operasional ... 13
H. Metode Penelitian ... 14
I. Sistematika Pembahasan ... 17
xi
A. Sejarah Madhab6\DILnL> ... 20 1. %HRJUDIL,PDP6\D!ILnL> ... 20 2. Metode Istinba>t+XNXP,PDP6\D!ILnL> ... 28 B. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat
Pengingkaran... 31 1. Pengertian dan Dasar Hukum Pengingkaran Status Anak .. 31 2. Syarat pengingkaran Status Anak ... 33 3. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat
Pengingkaran Menurut Pandangan Imam S\D!ILnL> ... 34
BAB III STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT PENGINGKARAN MENURUT HUKUM POSITIF.
A. Definisi Anak dalam Hukum Positif ... 45 B. Dasar Hukum Keabsahan Anak dalam Hukum Positif ... 47 C. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat
Pengingkaran... 50 1. Pengingkaran Keabsahan Anak Menurut Hukum Positif .. 50 2. Prosedur Penyangkalan Anak Menurut Hukum Positif ... 55 3. Status Anak Yang Lahir Stetelah Istri Ditalak Akibat
Pengingkaran Menurut Hukum Positif... 56
xii
B. 3HUEHGDDQ 3DQGDQJDQ ,PDP 6\D!ILnL> dan Hukum Positif Tentang Status Anak yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran... 66 C. Analisis 3DQGDQJDQ,PDP6\D!ILnL> dan Hukum Positif Tentang
Status Anak yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran... 72
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia, manusia tidak pernah
terlepas dari fitrahnya, yang salah satunya adalah hasrat untuk mendapatkan
seorang pendamping hidup yang akan menemaninya mengarungi kehidupan
di dunia dan akhirat. Sebagai agama Rahmatan lil ‘a>lamin>, Islam memberikan
jalan atau cara bagi umatnya untuk mendapatkan calon pendamping hidup
dengan jalan pernikahan atau perkawinan yang sah menurut syariat maupun
hukum Positif di Indonesia. Perkawinan yang dimaksud ialah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.1
Memahami pasal diatas sebenarya perkawinan yang dikehendaki oleh
agama Islam adalah untuk selamanya sampai matinya salah seorang suami
atau istri. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki
putusnya perkawinan itu, artinya apabila hubungan perkawinan tetap di
lanjutkan, maka kemadharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam memberikan
jalan alternatif berupa perceraian sebagai langka terakhir dari usaha
melanjutkan rumah tangga.
2
Perceraian atau dalam istilah fiqih disebut dengan talak, itu diambil dari
kata ‚Ithla>q” yang menurut bahasa artinya ‚melepaskan atau
meninggalkan”.2Menurut istilah syara’, talak yaitu :
ِةيِج ْو للَا ِةَق َاَعلْا ُءَاْ ِاَو ِااَو للا ِةَ ِاباَر لَح
.
Artinya : Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri.3
Talak sebagai sebab putusnya perkawinan merupakan perbuatan yang
dibenci oleh Allah SWT, karena sejatinya Islam mensyariatkan perkawinan
selama-lamanya, tetapi meski demikian perceraian itu di perbolehkan ketika
berada dalam keadaan darurat baik atas inisiatif suami (talak) atau inisiatif
istri (khulu’) sebagaimana hadits Rasulullah SAW dari Ibnu Umar :
ْملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َا ُللُسَر َلاق َرَمُع ِنْبا ِنَع
:
َاطلا لَجَو لَع َا ََِا ِل َاَ ْا ُضَغْ بَا
ُق
ُ
ْدُواَدلُبَا ُهاَوَر
َ
Artinya: Dari Ibnu Umar. Ia berkata: bersabda Rasulullah SAW : ‚perkara halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT adalah talak.4
Dengan memahami hadits tersebut diatas, sebenarnya Islam mendorong
terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal tampak dan menghindarkan
terjadinya perceraian (talak). Dapat dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak
memberikan peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal
darurat.
2 Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Cet.I (Bogor: Kencana, 2003), 191.
3 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, cet. 4, Jilid 2 (Beirut: Dar al-Fikr 1983), 206.
4Amiur Nurddun dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Islam di Indonesia Studi Kritis
3
Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban,
perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak. Dengan
adanya perceraian maka timbul suatu hak serta kewajiban yang harus
dipenuhi oleh keduanya. Tidak hanya itu, ketika dalam suatu perkawinan
sudah di karuniai seorang anak, maka kedua orang tua tersebut juga
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diberikan kepada anak-anaknya.
Hal tersebut seperti yang dijelaskan pada Pasal 41 huruf (a) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ialah baik bapak maupun ibu tetap
mempunyai kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak.
Meskipun demikian tidak semua anak dapat memperoleh hak yang sama.
Hal ini dikarenakan Undang-undang sendiri memberikan akibat hukum yang
berbeda pada anak tersebut sesuai dengan asal usul anak itu sendiri. Para ahli
fiqih sepakat bahwa wanita yang bersuami dengan akad nikah yang sah
apabila melahirkan anak maka anak tersebut dinisbatkan kepada suaminya
atau dapat dikatakan anak tersebut mempunyai hubungan nasab dengan
ayahnya (anak sah). Di Indonesia permasalahan mengenai anak seringkali
menjadi persoalan yang obyektif, hal ini karena peraturan yang ada
memberikan akibat hukum yang berbeda pada anak sesuai dengan asal-usul
anak tersebut. Permasalahan tentang asal usul anak merupakan hal yang
paling penting untuk menunjukkan hubungan nasab seorang anak dengan
4
Di Indonesia, masalah asal-usul anak ini terdapat beberapa ketentuan
hukum yang berbeda-beda. Hal ini karena pluralitas bangsa, utamanya dari
agama dan adat kebiasaan, maka ketentuan hukum yang berlakupun
bervariasi. Ada tiga hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum Islam,
hukum Positif meliputi hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam, dan Hukum Adat sebagai hukum tidak tertulis.5
Tentang asal usul anak dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,
dijelaskan pada pasal 42 bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Kemudian dalam pasal 43 ayat
(1) dijelaskan anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Selanjutnya dalam
Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan pada Pasal 99 bahwa anak sah
adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah,
selanjutnya pada pasal 100 dijelaskan bahwa anak diluar perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Nampaknya antara Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 dengan Kompilasi
Hukum Islam mengenai penjelasan anak sah dan anak luar kawin adalah
sama.
Sejalan dengan pengertian yang ada dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 pasal 42, mengenai asal-usul anak juga dijelaskan dalam KUH
Perdata yakni pada pasal 250 bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan
5
atau dibesarkan selama perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya.
Dalam pasal ini memberikan penekanan bahwa anak bisa dianggap anak sah
jika anak tersebut terlahir selama masa perkawinan, sedangkan anak yang
lahir setelah perkawinan terputus maka anak tersebut tidak bisa disebut anak
sah (anak luar kawin).
Apabila terjadi perselisihan mengenai status anak yang dilahirkan oleh
seorang istri, maka untuk memecahkan permasalahan ini Islam memberikan
jalan alternatif, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li’an.6
Menurut istilah hukum Islam, li’an merupakan sumpah yang diucapkan
oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali
kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhanya, kemudian
pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia
menerima laknat Allah SWT jika ia berdusta dalam tuduhanya itu.7 Atau
dapat dikatakan, seorang suami tidak mengakui anak yang dilahirkan
istrinya, karena suami telah menuduh istrinya berzina dengan laki-laki lain.
Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami istri, ialah firman Allah SWT
dalam surat An-Nur ayat 6-9 :
6 Syekh Muhammad Yusuf Qardawi, Halal Dan Haram Dalam Islam, (Jakarta :PT.Bina Ilmu,
1980), hlm 305
6
Artinya : Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan (sumpah) yang kelima, bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah SWT sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah SWT atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.8Pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan berasal dari sperma seorang
laki-laki dan sejatinya harus menjadi ayahnya, namun hukum Islam
memberikan ketentuan lain. Menurut Imam Sya>fi’i> seorang laki-laki
diharamkan untuk menolak atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh
istrinya, apabila tidak terdapat cukup alasan-alasan yang dibenarkan agama,
alasan-alasan tersebut antara lain :
a. Anak itu lahir kurang dari enam bulan sesudah nikah dilangsungkan
sebab sekurang-kurangnya hamil adalah selama enam bulan.
b. Anak itu berada dalam kandungan ibunya setelah habis massa beriddah
dengan cerai talak dan wafat.
7
c. Anak itu lahir setelah melewati massa iddah bila suaminya pergi
merantau (sesudah melewati empat bulan sepuluh hari ).
Dari beberapa alasan tersebut di atas ketika seorang suami yakin bahwa
anak yang dilahirkan oleh istrinya bukan hasil dari persetubuhanya,
melainkan dengan laki-laki lain maka seorang suami harus bersumpah bahwa
apa yang dia tuduhkan itu benar (baik tuduhan tersebut berupa penyangkalan
status anak ataupun dikarenakan menuduh istrinya berzina). Ketika kedua
suami maupun istri telah bersumpah di muka persidangan maka hakim akan
memisahkan di antara keduanya, dan anak tersebut di ikutkan nasabnya
kepada seorang ibu saja. Hal ini dikarenakan anak yang diingkari oleh
seorang laki-laki statusnya sama dengan anak zina (anak di luar perkawinan
yang sah) yang mana anak tersebut hanya mempunyai hubungan dengan
ibunya saja.
Sedangkan dalam hukum Positif seorang suami diperbolehkan
mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya ketika seorang laki-laki
tersebut bisa membuktikan bahwa anak tersebut akibat dari perzinahan, hal
ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 44 ayat 1 Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi ‚ Seorang suami dapat
menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya bilamana ia dapat
membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada
perzinaan tersebut. Jika seorang laki-laki bisa membuktikan di muka
persidangan dan diantara keduanya telah melakukan sumpah li’an secara
8
keduanya, dan anak tersebut diikutkan nasabnya kepada seorang ibunya saja
hal ini dikarena anak yang diingkari oleh seorang laki-laki berstatus sebagai
anak luar kawin. Ketentuan tersebut sesuai dengan penjelasan 43
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya saja.
Dari beberapa ulasan di atas, bagaimana ketika seorang anak tersebut
dilahirkan ketika orang tuanya sudah bercerai dan kelahiran anak tersebut
diingkari oleh seorang suami. Apakah anak tersebut tergolong sebagai anak
sah atau anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan dengan ibunya
dan keluarga ibunya saja.
Hal ini sangat penting mengingat permasalahan ini menyangkut masalah
status anak yang nantinya berakibat hukum pada hak-hak yang akan diterima
oleh seorang anak. dan juga penting karena seorang anak juga mempunyai
hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, mendapatkan asuhan, perawatan
dan pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran dari kedua orang tuanya,
seperti halnya anak yang sah.9
Bertumpu dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran, yang penulis tuangkan dalam penelitian yang berjudul : ‚Studi
Komparasi Antara Pandangan Imam Sya>fi’i> dan Hukum Positif Tentang
Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran”.
9 Pasal 4 sampai 7, Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
9
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Status keperdataan anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran.
b. Hubungan nasab anak yang lahir setalah istri ditalak akibat
pengingkaran.
c. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran
menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.
d. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran
menurut hukum Positif
e. Akibat hukum terhadap anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum Positif.
2. Pembatasan Masalah
Penelitian tidaklah mudah untuk meneliti semua permasalahan pada
bidang yang diteliti. Oleh karena itu peneliti akan membatasi masalah
yang terkait dengan penelitian ini, guna memperjelas arah pembahasan
penelitian ini :
a. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran
menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.
b. Status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran
10
c. Perbedaan dan persamaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum
Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran.
C. Rumusan Masalah
Untuk menghindari semakin meluasnya permasalahan dan dengan
berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana status anak yang lahir setalah istri ditalak akibat
pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i> ?
2. Bagaimana status anak yang lahir setalah istri ditalak akibat
pengingkaran dalam hukum Positif ?
3. Apa persamaan, perbedaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum
Positif tentang status anak yang lahir setalah istri ditalak akibat
pengingkaran ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian kali ini, pada dasarnya untuk
mendapatkan gambaran topik yang akan diteliti dengan penelitian yang
pernah dilakukan oleh penelitian lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak
adanya pengulangan materi secara mutlak.
Setelah menelusuri melalui kajian pustaka, Pertama; penulis membaca
11
Pengingkaran Status Anak Oleh Suami Sebagai Alasan Perceraian”,10 Skripsi
ini memfokuskan pada pandangan Ibnu Rusyd tentang kriteria-kriteria dalam
menentukan nasab seorang anak yaitu perkawinan yang sah, istri melahirkan
anak sebelum cukup batas minimal kehamilan adalah enam bulan terhitung
dari akad nikah/ terakhir kali hubungan badan dan istri melahirkan anak
setelah batas maksimal kehamilan kehamilan terhitung dari masa perceraian
atau terakhir kali hubungan badan. Dalam skripsi ini juga menjelaskan
tentang pengingkaran status anak oleh suami sebagai alasan perceraian, jika
sempurna ucapan li’an antara suami dan istri.
Kedua; penulis juga pernah membaca Skripsi saudari Mafazatun Ni’mah
khofifah (2009) yang berjudul ‚Pembatalan Putusan Pengadilan Agama
Lamongan Oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Tentang Pengingkaran
Anak (Studi Analisis Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
No.155/Pdt/G/2008/ PTA.Sby)”,11 Skripsi ini lebih memfokuskan pada
pembatalan putusan Pengadilan Agama lamongan oleh Pengadilan Tinggi
Agama surabaya, karena Pengadilan Agama lamongan dalam memutuskan
perkara pengingkaran anak tidak sesuai dengan ketentuan hukum formil
dalam beracara dan juga pengadilan Agama lamongan dalam hal pembuktian
pengingkaran anak tidak di dasarkan pada ketentuan pasal 174 dan 176 HIR
sebagai dasar putusanya.
10 Azizah, Analisis Ibnu Rusyd Tentang Pengingkaran Status Anak Oleh Suami Sebagai Alasan
Perceraian, Skripsi, Fakultas Syari’ah, Jurusan Akhwal Syakhsiyah, (Surabaya: IAIN Sunan
Ampel, 2004).
11 Mafazatun Ni’mah khofifah ‚Pembatalan Putusan Pengadilan Agama Lamongan Oleh
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Tentang Pengingkaran Anak (Studi Analisis Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No.155/Pdt/G/2008/ PTA.Sby, Skripsi, Fakultas Syari’ah,
12
Berdasarkan telah pustaka yang sebagaian telah dipaparkan diatas,
maka penelitian yang ingin peneliti tulis dengan judul ‚Studi Komparasi
Antara Pandangan Imam Sya>fi’i> dan Hukum Positif Tentang Status Anak
Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran” belum pernah
diadakan penelitian.
E. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui status anak yang lahirkan sesudah istri ditalak
akibat pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.
2) Untuk mengetahui status anak yang lahirkan sesudah istri ditalak
akibat pengingkaran menurut hukum Positif.
3) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara pandangan Imam
Sya>fi’i> dan hukum Positif tentang setatus anak yang lahirkan setelah
istri ditalak akibat pengingkaran.
2. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah:
a. Manfaat ilmiah : Penelitian ini diharapkan dapat bergunan untuk
memberikan kontribusi dan memperkaya khazanah keilmuan tentang
hukum dalam memandang persoalan-persoalan kontemporer,
khususnya dalam masalah status anak.
b. Manfaat Praktis : Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pedoman dan acuan bagi orang tua yang melahirkan anak setelah
terjadinya perceraian, agar kelak anak yang dilahirkan mempunyai
13
F. Definisi Operasional
Skripsi ini berjudul ‚Studi Komparasi Antara Pandangan Imam Sya>fi’i>
dan Hukum Positif Tentang Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak
Akibat Pengingkaran”. Agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam memahami
judul skripsi tersebut, maka perlu penulis jelaskan istilah-istilah yang
terkandung di dalamnya.
1. Komparasi : Di dalam penelitian ini nantinya akan
membandingkan antara pandangan Imam
Sya>fi’i> dan Hukum Positif tentang status
anak yang lahir setelah istri ditalak
akibat pengingkaran.
2. Pandangan Imam
Sya>fi’i
: Pendapat Imam Sya>fi’i> mengenai status
anak yang lahir setelah istri ditalak
akibat pengingkaran.
3. Hukum Positif : Suatu peraturan yang mengatur
mengenai setatus anak yang di dasarkan
pada peraturan perundang- undangan.
Meliputi Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam, dan Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek).
14
Anak menyangkal, memungkiri suatu
keadaan.12 Dalam hal ini suami
mengingkari status anak yang dilahirkan
oleh istri setelah keduanya telah bercerai.
G. Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian
kepustakaan (Library Research). Adapun yang dimaksud dengan penelitian
kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.13 Bahan-bahan penelitian kepustakaan bisa berupa: buku, majalah,
surat kabar dan dokumen lainnya yang dianggap perlu.
1. Data yang dikumpulkan
Sehubungan dengan jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka
(Library Research), maka data-data yang dikumpulkan adalah data-data
yang berasal dari kepustakaan, dan dalam pembahasan skripsi ini nantinya
bisa dipertanggungjawabkan dan relevan dengan permasalahan yang
diangkat, maka penulis membutuhkan data sebagai berikut:
a. Data yang menjelaskan mengenai pendapat Imam Sya>fi’i> tentang
status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran.
b. Data yang membahas mengenai status anak yang lahir setelah istri
ditalak akibat pengingkaran yang diatur dalam Undang-undang Nomor
12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ke-Tiga, 433.
15
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
c. Data lain yang mendukung untuk melakukan analisis mengenai
pandangan Imam sya>fi’i> tentang status anak yang lahir setelah istri
ditalak akibat pengingkaran, serta peraturan-peraturan perundangan
lain yang menyangkut obyek yang diteliti.
2. Sumber data
Penelitian ini merupakan penelitian pustakan (Library Reserch) maka
sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sekunder,
seperti buku-buku dan literatur lainya yang membahas mengenai objek
yang peneliti bahas. Perincian data tersebut meliputi dibawah ini:
a. Sumber data primer14, yaitu buku-buku yang bermadhhab Sya>fi’i> :
1) Al-Muhazab Fi Fiqh al-Imam as-Syafi’i, karya Abi Ishaq Ibrahim
bin Ali bin Yusuf
2) Terjemah Al-Umm, Karya Imam Sha>fi’i>.
b. Sumber Data Sekunder adalah bahan-bahan yang meberikan penjelas
dan pelengkap yang diambil dari beberapa buku atau literatur yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian ini, yang menjadi sumber
data sekunder meliputi :
1) Terjemah Al-Fiqih Islam wa Adillatuh, karya Wahbah
al-Zuhaili.
2) Terjemah Fiqh al-Sunnah, karya Sayyid al-Sabiq.
14 Soerjono Suekanto Dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
16
3) Terjemah Al-Fiqh Ala al-Madhahib al-Arba’ah, karya Abd
al-rahman al-Jaziri.
4) Terjemah Bidayatul Mujtahid, karya Ibn Tusyd.
5) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelik Wetboek).
6) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini adalah sebuah penelitian yang berupa penelitian pustaka
(Library Research),15 oleh karenanya penelitian ini menggunakan metode
pengumpulan data secara dokumentasi dengan menelusuri
literatur-literatur atau karya ilmiah lainya yang berkaitan dengan penelitian, yang
diambil dari bahan primer maupun skunder.16
4. Teknik Analisi Data
Mengingat obyek penelitian ini terkait dengan masalah status anak
yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran menurut pandangan
Imam Sya>fi’i> dan hukum Positif, maka metode yang digunakan dalam
penelitian ini ia metode komparatif, yaitu melakukan perbandingan antara
pendapat ulama’ fiqih dengan pernyataan dalam Undang-undang hukum
Positif untuk menetukan status hukum anak yang lahir setelah istri ditalak
15
Yaitu penelitia n yang memerlukandokumen atau bahan pustaka sebagai data untuk menjawab
masalah penelitian. Lihat: Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta:
Granit, 2005), 61. 16
17
akibat pengingkaran serta argumentasi dan alasan yang dikemukan oleh
masing-masing ulama’ tersebut.
Adapun dalam menganalisi data-data tersebut, penulis mengunakan
metode penelitian deskriptif analitik,17 yakni mengambarkan suatu
permasalahan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai setatus anak
yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran. Setelah itu penulis
menganalisis permasalahan yang ada dengan mengunakan metode (content
analiysis) agar permasalahan tersebut bisa diselesaikan sesuai dengan
ketentuan dan peraturan yang ada sehinga mendapatkan pemahaman dan
pemaknaan yang lebih akurat.18
Sedangkan untuk menarik kesimpulan dari hail analisis penulis
mengunakan pola pikir deduktif.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah di dalam pembahasan dan pemahaman dalam
penulisan skripsi ini, penulis mencoba membagi masing-masing pembahasan
menjadi lima bab, dan tiap bab sebagian akan diuraikan menjadi sub-sub bab,
untuk lebih jelasnya secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Bab Kesatu : Menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam
meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang
terdapat di dalam latar belakang masalah, identifikasi masalah dan batasan
17 Deskriftif dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, pikiran,
pendapat tertentu, keadaan atau gejala-gejala lainya, maksudnya untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar membantu dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam rangka menyusun teori baru. Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta:UII Press, 1986), 9-10
18
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi oprasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan
Bab Kedua : Bab kedua penulis menguraikan mengenai pandangan
Imam Sya>fi’i tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran, yang pembahasannya meliputi: a) Biografi Imam Sya>fi’i>, b)
Metode istinbat} hukum Imam Sya>fi’i>, c) Status anak yang lahir setelah istri
ditalak akibat pengingkaran menurut pandangan Imam Sya>fi’i>.
Bab Ketiga : Dalam bab ketiga penulis menguraikan mengenai status
anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran menurut hukum
Positif, yang pembahasanya meliputi : a) Definisi anak sah dalam hukum
Positif, b) Dasar hukum keabsahan anak dalam Hukum Positif, c) Status
anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran menurut hukum
Positif.
Bab Keempat : Dalam bab ini menjelaskan mengenai analisis pembahsan
yang meliputi: a) Analisis persamaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan
hukum Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran b) Analisis perbedaan antara pandangan Imam Sya>fi’i> dan
hukum Positif tentang status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat
pengingkaran c) Analisis pandangan Imam Sya>fi’i> dan hukum Positif tentang
status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat pengingkaran.
Bab Kelima : Bab ini merupakan bagian akhir yaitu penutup dari isi
19
masalah dan dalam bab ini juga mencakup saran-saran dari penulis atas
permasalahan yang diteliti sehingga tercapai upaya untuk mencapai tujuan
20
BAB II
STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH ISTRI DITALAK AKIBAT
PENGINGKARAN MENURUT PANDANGAN IMAM SYAFI’I
A. Sejarah Madhab Sya>fi’i>
1. Biografi Ima>m Sya>fi’i>
Imam Sya>fi’i> adalah mujtahid dibidang fiqih, dan merupakan salah
satu dari empat mazhab yang terkenal dalam Islam. Beliau hidup pada
masa pemerintah khali>fah Ha>ru>n ar-Rasyi>d, al-Ami>n, dan al-Ma’mu>n
dari dinasti Abbasiyah.1 Beliau adalah seorang yang tinggi dan gagah
perawakannya, putih rupanya, fasih lidahnya, bagus suaranya dan
mempunyai wibawa yang menakutkan bagi siapa yang melihatnya,
tetapi sangat disukai oleh orang yang pernah melihatnya. Tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa dirinya orang besar, pandai dan berbudi luhur
telah ada dan kelihatan pada diri beliau sejak masih kecil.2
Imam Sya>fi’i> dilahirkan pada bulan Rajab tahun 150H atau 767M di
Ghazza>h ‘As-Qa>lan yang letaknya di pesisir laut putih di tengah-tengah
bumi Palestina yang bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu
Hanifah di Baghdad dan Imam Ibn>u Jurai>j al-Makky>, yaitu seorang alim
di kota Makkah yang terkenal sebagai Imam ahli Hijaz, dan banyak
1 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam, Jilid 4 (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1993),
326.
2 Munawar Cholil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
Ke-8, 1992), 156.
21
orang berkata bahwa Imam yang telah pergi telah diganti oleh Imam
yang baru. Beliau meninggal pada malam jum’at dan dimakamkan pada
hari Jum’at sesudah Ashar, bulan Rajab tahun 204H atau 20 Januari
820M dalam usia 54 Tahun di Mesir.3
Adapun nama kecil dari Imam Asy-Sya>fi’i> adalah Muh}ammad, dan
nama lengkapnya adalah sebagaimana tercantum dalam Tari>kh Tasyri>k
AlIsla>mi, yaitu: Dia adalah ‘Abdulla>h bin Muh}ammad bin Idri>s bin
‘Abba>s bin Us}ma>n bin Asy-Sya>fi’i> Mut}ha>lib, dari Abdul Mut}ha>lib yaitu
ayah yang keempat bagi Rasulullah SAW dan ayah yang kesembilan bagi
Asy-Sya>fi’i>. Ibunya berasal dari al-Azdi dan ibunya termasuk wanita
yang bernaluri paling cerdas.4
Beliau sering dipanggil dengan nama Abu> ‘Abdulla>h karena salah
seorang putera-nya bernama Abdullah, dan setelah menjadi ulama’ besar
dan mempunyai pengikut beliau lebih dikenal dengan nama Imam
Sya>fi’i>. Ayah Imam Asy-Sya>fi’i> bernama Idri>s bin ‘Usma>n bin
Asy-Sya>fi’i> bin As-Sa’i>d bin Abid bin ‘Abdul Yazi>d bin Ha>syim bin
al-Mut}ha>lib bin ‘Abdul Mana>f, yang bekerja sebagai pengawal pasukan
yang ditempatkan di daerah Ghazzah. Sedangkan ibunya bernama
Fa>t}imah bin ‘Abdulla>h bin al-Hasan bin Husei>n bin ‘Ali> Abi> T}ha>lib. Dari
garis keturunan ayah, Ima>m Asy-Sya>fi’i> bersatu dengan keturunan Nabi
Muhammad SAW pada Abdul Manaf kakek Nabi yang ketiga, sedangkan
3
Umroh Machmudah Tolchah Mansoer, Al- Ima>m Asy-Sya>fi’i>. dan Nilai Musnadnya,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976), 19-20.
4 Asy-Syek>h Muh}ammad a l-Khud}ari>, Tarik>h Tasyri>k Al-Isla> mi, (Beiru>t : Daru>l Fikri, 1981),
22
dari pihak ibu, ia adalah cicit dari ‘Ali> \bin Abi Thalib.5 Jadi silsilah yang
menurunkan Imam Asy-Sya>fi’i> baik dari ayah maupun ibu adalah
pertalian erat dengan silsilah yang menurunkan Nabi Muhammad SAW.
Imam Asy-Sya>fi’i> dilahirkan dalam keadaan yatim, karena ayahnya
meninggal saat beliau masih dalam kandungan sang ibu. Beliau diasuh
dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat
sederhana, bahkan banyak menerima kesulitan. Asy-Sya>fi’i> dibawa
ibunya ke Makkah saat beliau berumur dua tahun, yaitu ke tempat
keluarga suami Fa>t}imah (ayah Imam Sya>fi’i>) bermukim, karena ibunya
beranggapan bahwa apabila beliau tinggal di Ghazzah maka nasab dari
bangsa Quraisy akan hilang.6 Sehingga ia menginginkan supaya anaknya
dibesarkan di antara keluarga ayahnya, yang mempunyai kedudukan
sosial yang terpandang dan mendapat fasilitas dari Bay>t al-Ma>l
(semacam kas negara), karena administrasi negara pada saat itu
menyediakan tunjangan khusus bagi setiap anggota keluarga quraisy
dari keturunan Ha>syim dan Mut}ha>lib, yaitu keluarga dekat Nabi
Muhammad SAW.
Imam Asy-Sya>fi’i> yang dibesarkan dalam keadaan yatim dan sangat
sukar hidupnya, tetapi sejak kecil beliau belajar kepada ulama’-ulama’
dan menulis pelajaran-pelajaran yang diterimanya dalam
sobekan-sobekan kertas-kertas bekas dan kulit-kulit, yang disebabkan oleh
kemiskinannya. Meskipun beliau dalam keadaan yatim dan miskin,
5 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, 327.
23
namun beliau adalah seorang anak yang cerdas sekali yaitu dapat
menghafal al-Qur’an dengan mudah ketika masih kecil dan juga
menulis hadits, karena pendidikan Asy-Sya>fi’i> dimulai sejak dini,
sehingga gurunya tertarik pada ketekunan, kecerdasan, dan daya
hafal Asy-Sya>fi’i> yang luar biasa dan juga memberi kesempatan pada
Asy-Sya>fi’i> untuk melanjutkan pelajaran.7
Setelah mempelajari al-Qur’an pada usia 7\ tahun 8 dan menghafal
seluruh isi al-Qur’an dan menguasai artinya dengan lancar pada usia 9
(sembilan) tahun beliau sangat alim tentang makna dan kedudukan
ayat-ayat al-Qur’an.8 Ima>m Ah}mad Ibnu H}ambal berkata: ‚Saya tidak
melihat orang yang lebih paham tentang Kitabullah dibanding pemuda
quraisy ini, dan tidak pernah saya melihat orang yang lebih patuh kepada
atsar dibanding dengan Sya>fi’i>”.9
Setelah dapat menghafal al-Qur’an, Asy-Sya>fi’i> berangkat kedusun
Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari kaidah-kaidah dan nahwu bahasa
arab yang asli dan fasih. Di sana selama bertahun-tahun Asy-Sya>fi’i>
mendalami bahasa, kesusasteraan dan adat istiadat yang asli, berkat
ketekunan dan kesungguhannya Asy-Sya>fi’i> kemudian dikenal sangat
ahli dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat arab yang asli,
7 Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, 77
8 T.M. Hasbi As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1998), 144.
24
dan juga pada umur sepuluh tahun beliau sudah hafal dan mengerti
tentang isi Kitab ‚al-Muwa>tt}a” yang disusun oleh Ima>m Ma>lik.10
Asy-Sya>fi’i> kembali ke Makkah dan belajar Ilmu fiqih kepada
Ima>m Muslim bin Kha>lid\ Az-Z}anni>, seorang ulama’ besar dan mufti di
kota Makkah pada saat itu. Selain itu Asy-Sya>fi’i> juga mempelajari
berbagai cabang ilmu agama lainnya, seperti ilmu hadits dan ilmu
al-Qur’an. Untuk ilmu hadits beliau berguru pada ulama’ hadits terkenal
dan di zaman itu yaitu Imam Sufya>n bin Uyai>nah, sedangkan Ilmu
al-Qur’an pada ulama’besar Ima>m Isma>’i>l bin Qassanti>n.11
Di samping cerdas, Asy-Sya>fi’i> juga sangat tekun dan tidak kenal
lelah dalam belajar, untuk itu pada usia 10 (sepuluh) tahun beliau sudah
membaca seluruh isi al-Muwa>tt}a’ karangan Ima>m Ma>lik, dan sebelum
beliau menghadap Ima>m Ma>lik, beliau sudah menghafal al-Muwa>tt}a’,
pada usia 12 (dua belas) tahun, beliau berkata : ‚Saya telah hafal
Muwa>tt}a’ sebelum saya menghadap Ima>m Ma>lik, ketika saya datang
untuk membaca Muwa>tt}a’ di hadapannya saya sedang berumur 12 (dua
belas) tahun, dia memandang saya masih kecil dan berkata kepada
saya : saya akan carikan orang yang membacakannya untukmu”.12
Setelah menghafal isi kitab al-Muwa>tt}a’, Imam Asy-Sya>fi’i>
berangkat ke Madinah untuk menemui pengarang kitab al-Muwa>tt}a’
yaitu Ima>m Ma>lik, dan sekaligus memperdalam ilmu fiqihnya. Selama di
10
Munawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab , 156.
11 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam, Jilid 4, 327.
25
Madinah Asy-Sya>fi’I tinggal di rumah Ima>m Ma>lik dan sering membantu
membacakan isi kitab al Muwatt}a’ kepada murid-murid Ima>m Ma>lik.
Imam Asy-Sya>fi’i> adalah profil ulama’ yang tidak pernah puas dalam
menuntut ilmu, karena semakin banyak ia menuntut ilmu semakin
dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. Beliau kemudian
meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru pada ulama’ besar
di sana, antara lain Ima>m Abu> Yu>suf dan Ima>m Muh}ammad bin H}asa>n,
yang keduanya adalah sahabat Ima>m Abu> H}ani>fah. Dari kedua Ima>m
itu Asy-Sya>fi’i> memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai
cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara-cara memberi fatwa,
cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang ditetapkan oleh
para mufti di Irak, yang tidak pernah Asy-Sya>fi’i> lihat di Hidjaz.
Asy-Sya>fi’i> termasuk orang yang mujur di dalam bidang ilmiah.
Beliau muncul setelah tersusun kodifikasi syari’ah menurut sistem yang
teratur dalam bentuk yang rapi. Dengan demikian beliau mudah
mempelajari buah pikiran dari orang-orang terdahulu dan belajar
langsung dari maha guru terkemuka.13
Aktifitasnya dalam dunia pendidikan dimulai dengan mengajar di
Madinah dan menjadi asisten Ima>m Ma>lik. Waktu itu usia beliau baru 29
(dua puluh sembilan) tahun, sebagai ulama’ fiqih namanya mulai dikenal,
muridnyapun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain
sebagai ulama’ ahli fiqih beliau juga dikenal sebagai ulama’ ahli
13
26
hadits, tafsir, bahasa dan kesusastraan arab, ilmu falak, ilmu ushul fiqih
dan tarikh.
Asy-Sya>fi’i> kemudian pindah ke Yaman atas undangan ‘Abdulla>h
bin Hasa>n wali negeri Yaman. Di sana beliau diangkat sebagai mufti
atau penasehat khusus dalam urusan hukum, di samping tetap
melanjutkan karirnya sebagai guru oleh wali negeri Yaman, Asy-Sya>fi’i>
juga dinikahkan dengan seorang putri bangsawan yang bernama Siti>
H}ami>dah bi>nti> Na>fi’ dan dianugerahi tiga orang anak yaitu ‘Abdullah,
Fa>timah, Zai>nab.14
Pada tahun 181 H atau 797 M Asy-Sya>fi’i> kembali mengajar di
Makkah. Selama 17 tahun di Makkah Asy-Sya>fi’i> mengajarkan berbagai
ilmu agama pada jama’ah haji yang datang dari penjuru dunia Islam,
beliau juga menulis masalah fiqih.15\
Selanjutnya pada tahun 198 H atau 813 M, Asy-Sya>fi’i pergi ke
Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (198-218 H atau
813-833 M). Sesampai di Baghdad Asy-Sya>fi’i> diberi tempat mengajar di
dalam Masjid Baghdad. Asy-Sya>fi’i> juga menyusun kitab Ushul fiqih dan
beliau membentuk tiga h}alaqah (kelompok belajar), sehingga beliau
digelari ‚Nashi>rus Sunnah” (pembela as-sunnah), karena beliau
menjunjung tinggi Sunnah Nabi Muhammad SAW.16
14 A. Rahman Ritonga, Ensiklopedi Islam , Jilid 4, 328.
15 Ibid, 428.
27
Belum cukup mengajar di Baghdad, Imam Asy-Sya>fi’i> diminta
pindah oleh wali Mesir yaitu Abbas bin Musa untuk pindah ke Mesir. Di
Mesir beliau memberi pelajaran di masjid Amr bin As}h, dengan jumlah
yang tidak sedikit.
Di Mesir beliau juga menyelesaikan beberapa buah pikiran dalam
bentuk buku-buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di
Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai pendapat-pendapat Imam
Asy-Sya>fi’i> yang baru (al-Qa>ul al-Jadi>d), sedangkan pikiran dan hasil
ijtihadnya yang terdahulu dikenal dengan (al-Qa>ul al-Qadi>m) yaitu
pendapat Ima>m Asy-Sya>fi’i> yang lama.17
Sebagai ulama’ yang tempat mengajarnya berpindah-pindah,
Asy-Sya>fi’i> mempunyai ribuan murid yang berasal dari beberapa penjuru. Di
antaranya yang terkenal adalah Abu> ‘Abdilla>h Ah}mad Ibn>u H}an>bal,
H}asan Ibn>u Muh}ammad Az-Z}a’fara>ni>, H}asan al-Kara>bi>si, Abu> Ts#ur
Ibra>hi>m bin Kha>lid aKalbi>, Abu> Ibra>hi>m Isai>l Ibn>u Yah}ya a
l-Muzani>, Abu> Muh}ammad Ar-Ra>bi>’ bin Sulai>a>n al-Mara>di>, Ar-Ra>bi>’ bin
Sulai>ma>n al-Jizi>, dan lain-lain.18
Sedangkan karya-karya Imam Asy-Sya>fi’i> sangat banyak, menurut
Ima>m Abu> Muh}ammad al-H}asan Ibn>u Muh}ammad al-Marwasi>y, bahwa
Asy-Sya>fi’i> menyusun kitab sebanyak 113kitab tentang tafsir, hadits,
fiqih, kesusastraan arab dan mulai menyusun ushul fiqih, kitab-kitab itu
antara lain:
17 Ibid, 428.
28
a. Ar-Ri>salah, Suatu kitab yang khusus membahas tentang ushul
fiqih dan merupakan buku pertama yang ditulis ulama’ dalam
bidang ushul fiqih, yang berisikan tentang pokok-pokok pikiran
beliau di dalam menetapkan hukum.
b. Al-Umm, sebuah kitab fiqih yang komprehensif dan terdiri atas
tujuh jilid, yang mencakup isi beberapa kitab Asy-Sya>fi’i> yang lain,
seperti Ji>ma’ a>l-‘ilm>, Ibta>l al-Istihsa>n, A>r -Ra>dd ’ala> Muh}ammad
Ibn>u H}asan, dan Siyar AlAusa’i>.
c. Ikht} ila>ful al-H}adi>ts, suatu kitab hadits yang menguraikan
pendapat pendapat Asy-Sya>fi’i> mengenai perbedaan yang terdapat
dalam h}adits\.
d. Al-Musnad, berisi tentang penjelasan keadaan sanad pada
hadits-hadits Nabi SAW yang dihimpun dari kitab al-Umm.19
Dengan demikian kita ketahui bahwa Imam Asy-Sya>fi’i> adalah
seorang anak yang giat belajar, dan dengan ketekunannya itu beliau di
usia muda sudah dapat menghafal al-Qur’an dan menguasai madhab,
karena berbagai ilmu telah beliau pelajari, sehingga dalam menetapkan
suatu hukum Asy-Sya>fi’i> sangatlah berhati-hati.
2. Metode Istinba>t} Hukum Imam Sya>fi’i>
Imam Sya>fi’i> terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki
dan mempertahankan mazhab ulama Madinah hingga beliau tekenal
29
dengan sebutan Nasyi>rus Sunnah (penyebar Sunnah). Hal ini adalah
mempertemukan antara fiqih Madinah dengan fiqih Irak.
Asy-Sya>fi’i> telah dapat mengumpulkan antara t}hari>qat ahlur ra’yi
dengan t}hari>qat ahlul h}adits. Oleh karena itu mazhabnya tidak terlalu
condong kepada ahlul hadits. Mengenai istinba>t} hukum yang dipakai
Imam Sya>fi’i> sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya
ar-Ri>salah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Imam Sya>fi’i> tidak berbeda dengan para imam sebelum beliau,
yakni Imam Sya>fi’i> memposisikan al-Quran sebagai sumber utama
di antara sumber hukum Islam lainya. Imam Sha>fi’i> menempatkan
al-Qur’an seketat para imam pendahulunya, tetapi nampaknya imam
Sha>fi’i> hanya menambah sedikit mengenai penafsiran dari ayat-ayat
hukum, hal itu dilakukan setelah melauli beberapa pengujian.20
2. As-Sunnah
Beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang
Mutawa>ttir saja tetapi yang Ah}ad pun diambil dan dipergunakan
pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya,
yakni selama perawi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan
bersambung langsung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.21
20
Ahmad nakhrawi Abd al-Salam, Al-Imam al- Shafi’i> Madhhahib al-Qadim wa al-jadid (Kairo:
Dar al-Kutub, 1994), 496-497 21
30
3. Ijma>’
Merupakan salah satu dasar yang dijadikan hujjah oleh Imam
Sya>fi’i> Menempati urutan setelah al-Qur’an dan Sunnah. Beliau
mendefinisikan sebagai kesepakatan ulama’ suatu zaman tertentu
terhadap satu masalah hukum syar’i dengan bersandar kepada dalil.
Adapun ijma>’ pertama yang digunakan oleh Imam Sya>fi’i>
adalah ijma>’nya para sahabat, beliau menetapkan bahwa ijma>’
diakhirkan dalam berdalil setelah al-Qur’an dan Sunnah. Apabila
masalah yang sudah disepakati bertentangan dengan al-Qur’an dan
Sunnah maka tidak ada hujjah padanya.22
4. Qiya>s
Imam Sya>fi’i> menetapkan qiya>s sebagai salah satu sumber
hukum bagi syariat Islam untuk mengetahui tafsiran hukum
al-Quran dan Sunnah yang tidak ada nash pasti. Beliau tidak menilai
qiya>s yang dilakukan untuk menetapkan sebuah hukum dari seorang
mujtahid lebih dari sekedar menjelaskan hukum syariat dalam
masalah yang sedang digali oleh seorang mujtahid.23
5. Istish}a>b
Menurut istilah Istisha>b menetapkan hukum dengan tetap
memberlakukan hukum yang ada saat ini dan yang akan datang
sesuai dengan hukum yang berlaku pada waktu sebelumnya sebelum
22
Rasya>d H}asan Khali> l, Tārikh al-Tasyrī’ al-Islāmi, diterjemahkan oleh Nadirsyah Hawari
dengan judul Tarikh Tasyri’ Sejarah Legislasi Hukum Islam, ( Jakarta: Amzah, 2009),
23
31
ada dalil yang mengubahnya. Kendati teori ini lebih banyak
dikembangkan oleh murid-murid dan para pengikutnya, namun
menurut Muh}ammad Bultaji>, Imam Sya>fi’i> sering menetapkan
hukum dengan prinsip istish}a>b, yakni memberlakukan hukum
as}hal sebelum ada hukum baru yang mengubahnya.24
Itulah beberapa metode istinba>t hukum Imam Sya>fi’i> dimana metode
inilah yang digunakan oleh Imam Sya>fi’i> untuk memutuskan suatu hukum
yang terjadi.
3. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran
Kaitannya dengan permasalahan mengenai status anak yang lahir setelah
istri ditalak akibat suami mengingkari anak yang dilahirkan oleh seorang
istri, maka dalam hukum Islam memberikan jalan alternatif dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut yakni dengan cara li’an. Mengenai
penjelasan li’an akan dijelaskan di bawah ini :
a. Pengertian dan Dasar Hukum Pengingkaran Status Anak.
1. Pengertian Pengingkaran (Li’an).
Secara bahasa li’an berasal dari kata masdar laa’ana seperti
seperti qaatala dari alla’ni, yaitu pengusiran dan penjauhan dari
rahmat Allah SWT. Dinamakan dengan li’an karena masing-masing
suami-istri saling melaknat dirinya sendiri pada kali yang kelima jika
ia berdusta. Sedangkan menurut istilah hukum Islam, li’an adalah
sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya
24 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Hukum Pranata Social, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
32
berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang
yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah yang lima
disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT
jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.25 Tuduhan yang telah
diucapakan oleh suami kepada istrinya dapat di tangkis oleh istri
dengan jalan bersumpah pula bahwa apa-apa yang di tuduhkan oleh
suaminya adalah dusta belaka.
Menurut Mazhab Sya>fi’i> mendefinisikan li’an sebagai kalimat
yang tertentu, yang dijadikan alasan bagi orang yang merasa terpaksa
untuk menuduh orang yang telah mencemari tempat tidurnya dan
mendatangkan rasa malu kepadanya, atau menolak anak yang
dikandungatau yang telah dilahirkan istrinya.26 Dari pengertian
tersebut diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa li’an terjadi
dikarenakan dua sebab, yakni :
a. Seorang suami yang menuduh istri berzina
b. Seorang suami yang mengingkari anak yang dilahirkan oleh
istrinya.
2. Dasar Hukum Mengenai Pengingkaran (Li’an).
Mengenai dasar hukum li’an terdapat dalam firman Allah SWT
surat An-Nur ayat 6-7 yang berbunyi:
25 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Kencana: Bogor, 2003), 239.
33
Artinya : ‚Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.” (Q.S
An-Nur :6-7).27
b. Syarat Pengingkaran Status Anak.
Mengenai syarat penolakan nasab anak dalam hukum Islam terjadi
perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ madhab. Dalam penulisan ini
penulis mengambil ketentuan syarat penolakan nasab anak menurut
Madhab Sya>fi’i> 28:
a. Seorang suami boleh melakukan penolakan nasab anak pada masa
kehamilan atau langsung sesudah melahirkan. Jika suami
menangguhkan penolakan dengan tanpa alasan, maka hilang haknya
untuk menolak, karena penangguhan penolakan mengandung
pengakuan terhadap anak.
27 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah,. 544.
28
34
b. Suami mengklaim bahwa dia sama sekali tidak menyetubuhi si istri
dari semenjak akad, atau dalam waktu yang membuat timbulnya
kehamilan.
c. Suami yang menolak nasab anak yang dilahirkan istrinya dilazimkan
untuk mengetahui bahwa anak tersebut bukanlah anaknya, dalam
artian anak tersebut dilahirkan kurang dari enam bulan sejak
terjadinya persetubuhan, atau lebih dari empat tahun.
d. Suami yang mengingkari nasab seorang anak yang dilahirkan
istrinya dia harus menyebutkan penolakan nasab anak dalam li’an si
suami, sedangkan si istri tidak perlu menyebutkan karena si istri
tidak menolaknya
c. Status Anak Yang Lahir Setelah Istri Ditalak Akibat Pengingkaran
Menurut Pandangan Imam Syafi’i.
Menurut pandangan Madzab Sya>fi’i> penyangkalan keabsahan status
anak dalam agama Islam sangat dilarang keras, kecuali kalau ada
alasan-alasan yang kuat yang dibenarkan oleh agama.29 Alasan-alasan tersebut
antara lain :
a) Anak itu lahir kurang dari enam bulan sesudah nikah dilangsungkan
sebab sekurang-kurangnya hamil adalah selama enam bulan.
b) Anak itu berada dalam kandungan ibunya setelah habis massa
beriddah dengan cerai talak dan wafat.
29
35
c) Anak itu lahir setelah melewati massa iddah bila suaminya pergi
merantau (sesudah melewati empat bulan sepuluh hari ).
Dalam kitabnya Al-Umm Imam Asy-Sya>fi’i> berkata : ‚bahwa seorang
suami yang menuduh istrinya berzina atau mengingkari anak yang
dilahirkan oleh istrinya, maka seorang suami harus membuktikanya”.30 Hal
ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surat An-Nuur ayat : 4
Artinya: Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dari ayat di atas Imam Asy-Sya>fi’i> berpendapat: apabilah seorang
laki-laki menuduh istrinya bezina atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh
istrinya maka suami harus mendatangkan empat orang saksi, dan apabila
suami tidak bisa mendatangkan empat orang saksi maka deralah dia dengan
delapan puluh kali dera. Seorang suami terbebas dari hukuman had karena
menuduh istrinya berzina atau mengingkari seorang anak yang dilahirkan
oleh istrinya, jika seorang suami melakukan sumpah li’an. Sumpah li’an
adalah suatu kalimat tertentu yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh
30
Al-Imam Asy-Sya>fi’i>, Al-Umm, diterjemahkan oleh Ismail Yakub dengan judul al-Umm
36
istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang
yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian yang lima
disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah SWT jika ia
berdusta dalam tuduhannya itu.31 Tuduhan yang telah diucapakan oleh
suami kepada istrinya dapat di tangkis oleh istri dengan jalan bersumpah
bahwa apa yang di tuduhkan oleh suaminya adalah dusta belaka. Mengenai
dasar hukum li’an adalah firman Allah SWT surat An-Nur, Ayat 6-7 yang
berbunyi :
Artinya : ‚Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah SWT, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar, dan sumpah yang kelima: bahwa la'nat Allah SWT atasnya, jika dia termasuk
orang-orang yang berdusta.” (Q.S An-Nur :6-7).32
Asy-Sya>fi’i> berkata : ‚adalah jelas dalam kitab Allah Azza wa jalla
bahwa Allah SWT mengeluarkan (membebaskan) suami (dari hukuman)
dikarenakan menuduh istri atau mengingkari anak yang dilahirkan oleh istri
31 Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Kencana: Bogor, 2003), hlm. 239.
37
dengan mendatangkan empat orang saksi bahwa dia itu benar, dan yang
kelima bahwa laknat Allah SWT atasnya jika dia dari orang yang berdusta
sebagaimana Allah SWT mengeluarkan (membebaskan dari had penuduh
wanita baik-baik selain istri-nya dengan mendatangkan empat orang saksi
yang mereka persaksikan atas wanita dari pada (berbuat) zina, yang di
tuduhkan kepadanya. Dengan demikian dapat diambil pengertian bahwa
tidak ada (kewajiban) suami untuk berli’an hingga dituntut oleh wanita yang
tertuduh untuk melaksanakan hadnya dan sebagaimana tidak ada (had) atas
orang yang menuduh wanita ajnabi (bukan istri) hingga dituntut oleh wanita
itu untuk melaksanakan hadnya. Perlu diketahui bahwa dalam li’an terdapat
beberapa akibat hukum berdasarkan sunnah Rasullullah SAW, di antaranya
memisahkan antara kedua suami istri dan menafikkan anak dari seorang
suami.
Mengenai status anak yang lahir setelah istri ditalak akibat suami
mengingkari anak yang dilahirkan oleh istrinya menurut pandagan Imam
Sya>fi’i> ketika seorang suami dapat membuktikan bahwa anak tersebut bukan
hasil dari hubungan persetubuhanya, melainkan dengan laki-laki lain, maka
anak yang dilahirkan tersebut berstatus sebagai anak zina (anak luar
pekawinan yang sah). Hal ini di dasarkan pada hadits yang di riwayatkan
oleh Abi Hurairah:
ِشاَرِفْلِل ُدَلَلْلا َلاَق ملَسَو ِهْيَلَع َُا ىلَص َِا َللُسَر ْنَأ َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع
ُرَ َْ َا ِرِ اَعْلِل َو
38
Artinya : Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasullullah SAW.
Bersabda :‚Anak itu bagi siapa yang mengauli ibunya dan bagi pezinan
adalah batu sandungan (celaan/rajam).33
Dari hadits diatas Imam Asy-Sya>fi’i> berpendapat, apabila suami telah
menyempurnakan saksi dan berli’an maka hilanglah tikar istrinya (tidak
boleh hidup sebagai suami istri) dan wanita itu tidak halal baginya
selama-lamanya dengan sekita, dan jika laki-laki mendustakan dirinya tidaklah
wanita itu kembali kepada laki-laki tersebut.
Sedangkan pada status anak yang diingkari oleh seorang suami, maka
anak tersebut berstatus sebagai anak zina. Hal ini didasarkan pada hadits di
atas ‚ ِشاَرِفْلِل ُدَلَلْلا ” yaitu anak itu bagi pemilik fira>sy. Imam Sya>fi’i>
berpendapat bahwa ‚ ِشاَرِفْلِل ُدَلَلْلا ” memiliki dua makna. Makna pertama,
bahwa anat tersebut adalah untuk pemilik fira>sy apabila pemilik fira>sy tidak
mengingkari anak tersebut dengan li’an, apabila pemilik fira>sy mengingkari
anak dengan li’an maka anak tersebut terhalang darinya. Tidak di benarkan
mengakui anak