1 BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Manusia dan kebudayaan merupakan dua komponen yang tak terpisahkan. Kesenian merupakan perwujudan gagasan dan perasaan seseorang yang tidak pernah bebas dari masyarakat dan kebudayaan seseorang dibesarkan1. Semenjak awal sejarahnya bahkan sebelum mengenal tulisan, seni telah menjadi salah satu bagian dari kehidupan manusia. Kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan ungkapan kreatifitas manusia yang mempunyai nilai keluhuran dan keindahan. Salah satu yang terdapat dalam masyarakat adalah seni tradisi kerakyatan.
Seni tradisi kerakyatan merupakan karya seni yang tumbuh dan berkembang di kalangan rakyat karya seni tersebut juga berkaitan erat dengan segala macam tradisi yang ada di masyarakat, seperti adat istiadat, kepercayaan, kesenian, dan lain sebagainya, yang telah diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang dari masa yang lalu hingga sekarang sehingga tetap terjaga keberadaannya2
Kesenian tradisional yang akan kita bahas dalam tulisan ini ialah seni gejog lesung yang berada di dusun Nitiprayan Desa Ngestiharjo Kasihan Bantul. Nitiprayan sebagai ikon kampung seni sudah tidak diragukan lagi, terbukti dengan kentalnya tradisi kesenian, juga rumah limasan yang mudah kita jumpai di daerah
1
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, ( Jakarta : Aksara Baru 1985), hlm 204
2
2
tersebut, selain itu kampung Nitiprayan biasa disebut sebagai kampung para seniman, bukanlah tanpa sebab di wilayah ini banyak sekali tinggal para seniman yang masih menetap hingga saat ini seperti perupa Ong Hari Wahyu, Putu Sutawijaya dll mereka para seniman dan calon seniman itu umumnya adalah anak sekolahan yang berkesempatan untuk menimba ilmu di sekolah seni dan perguruan tinggi seni, selain itu kelompok seni tradisional dusun Nitiprayan berkembang dengan baik, mulai dari grup karawitan, gejog lesung, terbangklung, ketoprak hingga jathilan.
Nuansa seni yang telah melekat pada dusun Nitiprayan ini kemudian dijadikan oleh warganya sebagai “panggung seni” yakni dusun yang diharapkan mewadahi bagi masyarakat Nitiprayan baik pendatang maupun warga lokal untuk terus melakukan apresiasi terhadap kegiatan seni. Kondisi kultural yang dimiliki oleh dusun Nitiprayan relatif cukup baik dengan kondisi fisik daerah yang beragam seperti permukiman, lahan terbuka dan persawahan, juga kondisi mental warga masyarakat dusun ini yang selalu mengingatkan diri untuk terus guyub3 dalam proses sosial sehingga mampu menjadi strategi yang terus mempersatukan solidaritas antar masyarakat.
Namun, apabila kita cermati keberadaan kesenian tradisioanal di tengah masyarakat kita banyak sekali yang telah mengalami kepunahan secara perlahan. Tentu sangat disayangkan ketika sebuah kesenian yang tumbuh dengan latar belakang
3
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Guyub berarti rukun. Atau dalam pengertian paguyuban adalah masyarakat atau kelompok yang ikatan sosialnya didasari oleh ikatan perseorangan yang kuat.
3
tradisi itu luntur atau bahkan hilang. Perubahan masyarakat yang terjadi kemudian mempengaruhi perkembangan seni dan budaya yang ada, termasuk juga kesenian gejog lesung di Nitiprayan. Pada saat ini banyak kesenian modern yang masuk dan jauh dari aspek tradisi sosial budaya masyarakat pemiliknya, sehingga menjadi penting untuk mengetahui bagaimana masyarakat disini yang dinilai sebagai “pemilik tradisi” berusaha untuk tetap melestarikan dengan cara mereka sendiri, misalnya dengan membentuk paguyuban ataupun komunitas seni. Dalam hal ini mereka berusaha untuk terus melanjutkan atau mengembangkan tradisi yang telah dilaksanakan di masa-masa sebelumnya.
Kesenian tradisional ini merupakan tradisi yang berkembang dan turun temurun di suatu daerah dalam waktu yang relatif lama serta bertumpu pada pola-pola tradisi. Kesenian tradisional pada umumnya terdiri atas gerak yang sederhana, mudah ditirukan, dan dilakukan berulang-ulang, oleh sebab itu telah menyatu dalam budaya suatu daerah tertentu. Selain itu, kesenian tradisional tumbuh dalam lingkup pedesaan dan biasanya disajikan untuk tujuan hiburan semata, sehingga bentuknya relatif sederhana, tidak begitu rumit dan kadang bersifat ritual. Kesenian tradisonal sebagai suatu pertunjukan selalu “dilestarikan” oleh masyarakat pendukungnya sehingga kesenian tradisional tersebut tumbuh dan berkembang (Kayam 1981:39).
Gejog lesung merupakan salah satu seni tradisional yang berkembang di Kabupaten Bantul, khususnya di dusun Nitiprayan yang dimainkan dalam nuansa rasa syukur atas melimpahnya panen padi. Bila hanya mendengar dari kejauhan, suaranya
4
”thok – thek – thok – thok – thek – thok – dug”saja dan terkesan sama akan tetapi setiap pukulan itu sangat berbeda. Suara alunan tersebut berasal darisebuah alat dari kayu yang disebut alu, yang dipukul-pukulkan secara berirama pada bidang kayu besar seperti bentuk perahu, yang disebut lesung. Di Nitiprayan sekarang memang lesung tidak digunakan lagi sebagai alat penumbuk padi tetapi digunakan sebagai sebuah kesenian tradisional yang biasanya dimainkan oleh ibu-ibu karena dulunya yang menumbuk padi dengan lesung adalah kaum Ibu.Seiring masuknya teknologi selep, lesung mulai ditinggalkan dari kehidupan pertanian, sebab lesung dianggap kurang efektif. Pada masa kini, masyarakat lebih memilih alat-alat yang lebih canggih dan memudahkan pekerjaan mereka, begitu pula yang terjadi di kampung Nitiprayan mereka lebih memilih menggunakan mesin penggiling padi, selain lebih efektif dalam menghasilkan beras, dengan adanya mesin tersebut tenaga dan waktu tidak banyak terbuang.
Berpijak dari fenomena tersebut, sebagai generasi muda yang peka terhadap kebudayaan leluhur, penting untuk berupaya mewadahi kesenian tradisional yang hampir punah seperti kesenian tradisi gejog lesung. Proses kreatifitas masyarakat pendukung dalam hal ini menjadi sangat penting. Peran-peran kemudian diharapkan untuk pengembangan ataupun pelestarian seni tradisi seperti gejog lesung. Dalam penelitian ini, penulis tertarik pada sebuah paguyuban seni yang berada di sebuah kawasan yang berlatar belakang seni yang cukup kental yakni dusun Nitiprayan.
5
Paguyuban seni Nitibudaya sebagai wadah pelestarian seni tradisi gejog lesung berdiri di Dusun Nitiprayan sejak tahun 2000. Paguyuban ini mewadahi beberapa kesenian tradisional, khususnya kesenian gejog lesung. Melalui penelitian ini diharapkan penulis dapat mengetahui serta memaparkan bagaiamana kesenian tradisi gejog lesung dihidupkan kembali di dusun Nitiprayan serta proses yang terkait di dalamnya. Sehingga menarik untuk diteliti sebab kesenian tradisi gejog lesung telah berubah bentuk dan fungsinya sebagai kesenian hiburan dan pertunjukan seperti yang telah dipaparkan di atas, kehadirannya sebagai suatu tradisi kesenian yang bermula sebagai alat untuk penumbuk padi telah berubah menjadi suatu bentuk kesenian hiburan.
Pelestarian tradisi kesenian tidak lepas dari peran masyarakat pendukung, dalam hemat penulis, penelitian ini ingin melihat bagaimana peran masyarakat pendukung yakni Paguyuban Seni Nitibudaya dalam proses pengembangan maupun pelestarian seni tradisi gejog lesung di dusun Nitiprayan, Desa Ngestiharjo Kecamatan Kasihan, Bantul agar nantinya dapat memberikan penjelasan mengenai bagaimana pula seharusnya hal-hal yang harus diperhatikan dalam usaha pelestarian terhadap kesenian gejog lesung di kemudian hari.
1.2. Rumusan Masalah
Gejog lesung dewasa ini mengalami tantangan atas keberadaannya sebagai suatu seni tradisi turun-temurun. Kesenian tradisional saat ini mengalami masalah terhadap
6
pelestarian kesenian tersebut, karena banyak kesenian tradisional mengalami kemunduran bahkan kepunahan perlahan. Keberadaan kesenian tradisional gejog lesung di lingkungan dusun Nitiprayan yang dihidupkan kembali oleh sebuah paguyuban seni Nitibudaya memberikan fenomena yang menarik untuk diteliti. Sudah menjadi tugas antropologi untuk melihat dan memahami berbagai detail dari setiap unsur kebudayaan. Di samping itu juga harus mampu memahami kaitan antara unsur yang lain. Apapun bentuk dan wujud kesenian gejog lesung yang ada sekarang, adalah hasil proses kreasi, revitalisasi dan kehendak memperbaiki, untuk maksud kelestarian tradisi yang lebih penting kelestarian kebudayaan. Semua telah dipilih, dinegosiasi, dan diadaptasi sebagai pilihan terbaik bagi kesenian gejog lesung dan juga kebudayaan masyarakat pembentuknya.
Sehubung dengan hal tersebut, permasalahan pokok yang ingin diulas dalam penelitian ini yakni :“Bagaimana pelestarian gejog lesung di Dusun Nitiprayan melalui paguyuban Nitibudaya, apa yang dipertahankan dan apa yang diubah”. Secara lebih rinci akan dirumuskan dalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah keberadaan paguyuban seni Nitibudaya di Nitiprayan, kapan dan untuk tujuan apa didirikan serta apa saja kegiatannya?
2. Mengapa paguyuban seni Nitibudaya mengembangkan seni tradisi gejog lesung?
7
3. Bagaimana bentuk dan fungsi serta uapaya pelestarian seni gejog lesung di Nitiprayan dan masa kini ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan apa yang telah di paparkan di atas, sehubung dengan topik mengenai pelestarian seni gejog lesung sebagai suatu kesenian tradisional yang masih dipertahankan oleh masyarakat pedesaan di dusun Nitiprayan pada masa kini. Tujuan yang hendak dicapai dari hasil penelitian ini sebagai berikut :
1. Mengetahui sejarah keberadaan paguyuban seni Nitibudaya terkait kelangsungan hidup kesenian tradisi gejog lesung di dusun Nitiprayan secara lebih luas.
2. Mengetahui penggunaan bentuk seni gejog lesung yang ada di Nitiprayan dan masa kini sebagai alat pertunjukan kesenian tradisional.
3. Memahami fungsi kesenian gejog lesung dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (Paguyuban Seni Nitibudaya) maupun masyarakat Nitiprayan secara luas.
4. Mengetahui bagaimana upaya pelestarian seni gejog lesung di dusun Nitiprayan dan masa kini.
5. Memahami keberadaan kesenian tradisi gejog lesung sebagai warisan Budaya di Dusun Nitiprayan
8 1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dijalankan ini dapat memberi manfaat bagi dunia akademisi pada khususnya, maupun bagi masyarakat luas pada umumnya. Secara lebih rinci akan dipaparkan beberapa manfaat yang akan diambil dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang sejarah, fungsi, bentuk serta upaya pelestarian kesenian tradisional gejog lesung di paguyuban Nitibudaya dusun Nitiprayan Desa Ngestiharjo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul.
2. Bagi dunia Antropologi penelitian ini diharapkan dapat memperkaya data terkait dengan keberadaan kesenian gejog lesung yang dihidupkan oleh peran paguyuban Nitibudaya, sehingga menarik peminat para peneliti untuk kritis melakukan penelitian khususnya terhadap keberadaan seni tradisi yang sudah menjadi bagian dari masyarakat Budaya seperti di Yogyakarta ini.
3. Memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang pentingnya menjaga dan melestarikan kesenian tradisional gejog lesung
9 1.5.Tinjauan Pustaka
Secara lebih rinci penelitian ini menggunakan referensi beberapa buku terkait. Dalam buku yang membahas mengenail gejog lesung, penulis menggunakan tulisan karya Suratmi, 1991 Bentuk- Bentuk Peralatan Hiburan dan Kesenian Tradisional DIY. Buku ini memberi gambaran bentuk alat tradisional gejog lesung yang mana merupakan alat hiburan yang digunakan kaum ibu ketika masa panen tiba untuk menumbuk padi pada masa lampau.
Adapun tulisan yang terkait dalam penelitian ini yakni tulisan-tulisan mengenai kelompok kesenian tradisional di desa-desa juga penulis jadikan sumber referensi seperti karya Setiadi Prabowo “ Sanggar Seni Tradisi Sebagai Wahana Pewarisan Budaya Lokal” tulisan ini mendiskripsikan “kekuatan-kekuatan” Padepokan Tjipto Boedaja sebagai sebuah lembaga kesenian tradisional dan berupaya meneropong nilai-nilai yang terkandung dalam aspek-aspek yang terkait dalam padepokan. Tulisan ini dapat dijadikan perbandingan mengenai bagaimana suatu kelompok kesenian dalam penelitian ini yakni paguyuban Nitibudaya dalam melakukan upaya pelestarian kesenian tradisi..
Selain itu penelitian karya Lindawati yang berjudul “Perubahan Bentuk dan Fungsi Kesenian Tradisional Bangilun” tahun 2000 memberikan gambaran mengenai kelompok kesenian Bangilun “Bakti” di Desa Gerbosari, Kulon Progo yang berupaya melestarikan kesenian bangilun yang dahulu bertujuan untuk kepentingan berdakwah
10
yang sifatnya suci sekarang melalui kelompok kesenian “bekti” mengalami perubahan fungsi dan bentuk agar tetap lestari menjadi sebuah kesenian yang bersifat propan bertujuan untuk menghibur dan memberikan rasa puas pada penontonnya. Tulisan ini relevan sebab memberikan gambaran mengenai perubahan bentuk dan fungsi yang dialami kesenian tradisional bangilun yang hampir sama dialami oleh kesenian gejog lesung.
Penulis juga membaca tulisan Ariani, Ch tahun 2009 Festival Budaya Nitiprayan,: Sebuah Pelestarian Seni Tradisi Pedesaaanserta kumpulan tulisan seniman Nitiprayan dan seorang kurator seni Kus Indarto yang berjudul Festival Kampung Seni Nitiprayan-Jomegad. Dua tulisan ini memberikan gambaran mengenai beberapa festival kebudayaan yang pernah digelar di dusun Nitiprayan di beberapa tahun ini, terkait dengan Nitiprayan yang dijuluki sebagai “kampung seni” sebab sentuhan para seniman-seniman di dusun Nitiprayan yang secara bersama didukung dengan bersatunya masyarakat secara bersama menggagas dusun Nitiprayan sebagai “Panggung Seni” hingga saat ini, sehingga terdapat beberapa kesenian tradisi pedesaan yang masih lestari di dusun Nitiprayan hingga saat ini seperti kethoprak, jathilan, seni tari, dan seni gejog lesung.
Tulisan lainnya seperti karya Umar Kayam tahun 1967 dalam Seni, Tradisi, Masyarakat ini menampilkan bagaimana kreativitas seni dalam masyarakatadalah hal yang tidak kalah penting sebab akan melahirkan satu inovasi. Inovasi itu ditemukan
11
oleh masyarakat yang hidup bermasyarakat, berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Berkaitan pula dengan kerangka analisis Redfield dijelaskan bahwa komunikasi antar budaya desa-kota akan mempengaruhi nilai dari suatu kesenian. Dahulu misalnya kesenian merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan aspek ritual dan ketika sampai pada kota atau menjadi seni pertunjukan keadaan seperti itu mulai berubah menjadi komoditas.
Dalam memahami tentang pengembangan seni pertunjukan kaitan dengan gejog lesung yang kini telah merebak menjadi seni pertunjukan buku yang relevan yakni karya Edy Sedyawati tahun 1984 yang berjudul Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Sedyawati mengungkapkan bahwa pengembangan kesenian dalam hal ini kesenian gejog lesung tidak melulu harus pada segi kuantitas namun juga pada segi kualitasnya, karena selain menambah nilai estetis juga sebagai modal untuk bersaingsecara sehat dengan kemajuan budaya lain mengingat tingat apresiasi masyarakat semakin luas dan meningkat.
Dengan beberapa tinjauan pustaka diatas, maka permasalahan yang akan penulis deskripsikan dalam penelitian ini adalah permasalahan yang belum termuat dalam kumpulan tulisan Umar Kayam bahwa kesenian yang hidup dan dihidupkan oleh masyarakat tidak akan mampu bertahan dalam kurun waktu yang lama atau masuknya nilai-nilai global ini tanpa adanya peran “masyarakat pendukung” dalam hal ini peran “kelompok kesenian” atau dalam penelitian ini kita sebut paguyuban seni Nitibudaya
12
untuk menjaga eksistensi sebuah kesenian tradisi yang hidup dalam masyarakat melalui pengembangan-pengembangan yang dilakukan dalam hal ini bagaimana seharusnya peran-peran yang dibutuhkan dalam pelestarian kesenian tradisi di pedesaan serta mengulas secara gamblang perasaan-perasan serta ikatan yang terbentuk dari „pelaku seni‟ terhadap kesenian tradisi gejog lesung yang terus diupayakan agar tetap terjaga keberadaan dan fungsinya dalam masyarakat.
1.6.Kerangka Pemikiran
Kesenian tradisional merupakan suatu seni yang bertumpu pada pola-pola tradisi yang banyak berkembang pada masyarakat pedesaan. Suatu seni yang mengalami perjalanan sejarah cukup lama. Kesenian ini memiliki ciri-ciri sederhana dan bersifat spontan kemudian dihayati oleh masyarakat dan berkembang sesuai dengan tradisi pendukungnya. Oleh karena itu, kesenian tradisi memiliki ikatan yang erat dengan masyarakat pendukungnya sebagai warna-warni kehidupan (Suharsoyo, 1987:24).
Kesenian tradisional ini merupakan tradisi yang berkembang dan turun temurun di suatu daerah dalam waktu yang relatif lama serta bertumpu pada pola-pola tradisi. Kesenian tradisional pada umumnya terdiri atas gerak yang sederhana, mudah ditirukan, dan dilakukan berulang-ulang. Oleh sebab itu telah menyatu dalam budaya suatu daerah tertentu. Selain itu, kesenian tradisional tumbuh dalam lingkup pedesaan dan biasanya disajikan untuk tujuan hiburan semata, sehingga bentuknya relatif sederhana, tidak begitu rumit dan kadang bersifat ritual. Kesenian tradisonal sebagai
13
suatu pertunjukan selalu “dilestarikan” oleh masyarakat pendukungnya sehingga kesenian tradisional tersebut tumbuh dan berkembang (Kayam, 1981:39).
Heddy Shri Ahimsa-Putra (2009 : 2), menyatakan yang dimaksud seni tradisioanal adalah berbagai jenis kesenian yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau komunitas dan telah diwariskan dari generasi kegenerasi, yang selain mempunyai fungsi menghibur jugamerupakan bagian dari simbol-simbol yang membentuk jatidiri masyarakat dan komunitas tersebut.
Dalam pengertian ini, apa yang terjadi dalam kesenian tradisi di Nitiprayan seperti gejog lesung merupakan suatu kesenian tradisonal yang hidup dari proses secara turun-temurun sebagai alat penumbuk padi. Masyarakat dusun Nitiprayan yang dahulu banyak berprofesi sebagai petani menggunakan lesung sebagai alat untuk menumbuk padi yang dipukul dengan alu. Masyarakat dusun Nitiprayan sebagai masyarakat pendukung menjadikan lesung sebagai alat kebudayaan yang kini lebih dikenal dengan kesenian gejog lesung yang merupakan ekspresi dari tindakan menumbuk padi pada masa lalu.
Hal yang berkaitan dengan pengalaman yang kita alami bukan hanya saja dalam bentuk verbal tetapi juga dalam bentuk imaji dan impresi (kesan), berbicara tentang ekspresi seperti apa yang dikatakan Bruner dalam Anthropoly of Experience bahwa :
Dalam perspektif ini, sebuah ekspresi tidak pernah hanya merupakan teks yang terisolasi dan statis. Sebaliknya, ekspresi selalu mencakup aktifitas
14
yang meniti waktu (processual), sebuah bentuk kata kerja, sebuah tindakan yang berakar pada situasi social yang melibatkan orang-orang nyata dalam kebudayaan dan era sejarah tertentu. Sebuah ritual harus dilakukan, sebuah mite harus diceritakan, sebuah narasi harus diucapkan, sebuah drama harus dipentaskan karena lakuan, resitasi, pencitraan, pembacaan, dan pertunjukanlah yang membuat sebuah teks transformatif dan memungkinkan kita mengalami kembali warisan budaya kita4.
Dalam hal ini seni gejog lesung telah tumbuh menjadi seni pertujukan, merupakan suatu bentuk pengalaman bagi para pelaku seni untuk kembali mengalami warisan budaya leluhur pada masa lampau. Apa yang terjadi saat ini merupakan proses kreatifitas dari aktifitas sosial masyarakat dusun Nitiprayan yang menghayati kesenian sebagai wujud ekspresi yang dituangkan dalam pertunjukan seni gejog lesung. Aspek yang penting yang harus dipehatikan adalah fungsi atau tujuan sebuah pertunjukan. Sebuah pertunjukan dapat dilakukan sebagai sebuah persembahan, doa atau puji kepada leluhur, ungkapan bakti kepada Dewa, Tuhan atau penguasa semesta alam. Dapat juga dilakukan untuk menghibur diri pelakunya dan atau orang lain, untuk meneguhkan identitas atau menguatkan nilai-nilai yang diyakini seseorang atau sekelompok orang, dan bagi kenikmatan ragawi pelaku dan penontonnya. Sal Murgiyanto (2004) mengatakan bahwa suatu karya harus indah, oleh karena itu penilaian terhadap karya seni harus dilakukan berdasarkan ukuran perasaan estetik dan nilai-nilai.
15
Gejog lesung sebagai seni pertunjukan didukung oleh musik, tari dan theater menjadi satu bagian dari konsep estetika. Musik sendiri adalah sebuah aktifitas yang material dasarnya adalah bunyi-bunyian yang mengandung nada dan ritme tertentu. Sementara seni tari meggunakan medium utamanya yaitu gerak-gerak tubuh manusia, dan theater melibatkan berbagai medium baik bunyi, gerak, alam sekitar maupun bahasa dan sastra. Dengan demikian dalam seni pertunjukan pendekatan struktural atau teks dan fungsional atau konteks menjadi bagian yang saling berintegrasi dan saling mendukung. Dalam seni pertunjukan biasanya satu genre tertentu telah mengandung musik atau tari dan theater sekaligus. Namun ada yang mengandung satu bidang saja (Murgiyanto 1995).
Merriam 1964, menyatakan bahwa perilaku manusia merupakan faktor utama dalam memproduksi suara. Salah satunya adalah perilaku fisik yang diwujudkan oleh sikap-sikap secara lahiriah seperti penggunaan otot, penempatan jari-jari pada instrument atau dalam seni gejog lesung ini adalah gerak memukul (tabuhan). Aspek-aspek ini adalah keseluruhan proses dari suatu sistem, termasuk kemutlakan-kemutlakan dan keharusan-keharusan dari suatu bentuk musik tertentu dalam memproduksi suara musik. Bagi Merriam beberapa aspek diatas hanya merupakan sebagian perhatian yang perlu dianalisis dalam rangka untuk mengetahui bagaimana aspek-aspek ini saling ketergantungan dan saling berinteraksi dengan perilaku sosial. Musiknya sendiri harus dikumpulkan, ditranskripsikan, dianalisis tetapi tekanan utamanya pada perilaku manusia hubungannya dengan produk suara yang dihasilkan.
16
Pandangan tersebut cenderung bersifat antropologis, artinya bahwa tugas utama antropologi sebagai ilmu sosial keterlibatannya dalam etnomusikologi adalah untuk mengkomunikasikan pengetahuan tentang musik sebagai tingkah laku manusia.
Seni gejog lesung yang dipaparkan dalam tulisan ini merupakan perwujudan dari perilaku manusia yakni “pelaku seni” dalam mewujudkan suatu bentuk seni pertunjukan yang melibatkan musik, tari dan bahkan theater, juga pengadaan kostum untuk menunjang sebuah seni pertunjukan,sehingga apa yang dikatakan Merriam tentang aspek perilaku musik adanya (ide-gagasan dan perilaku) sangat berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam seni pertunjukan yang dikatakan Murgiyanto tentang keterlibatan musik, kostum, penampilan para pemain, perlengkapan panggung, penonton,dll.
Ada kalanya kesenian tradisi seperti gejog lesung mempunyai fungsi yang penting bagi kehidupan masyarakatnya, sehingga kesenian tersebut tetap hidup. Ada kalanya pula fungsi dari kesenian tradisional itu mengalami suatu pergeseran karena terdesak oleh bentuk dan kesenian lain. Mengenai pengertian fungsi menurut Spiro dalam Koentjaraningrat (1984:215) menyebutkan bahwa konsep fungsi ada tiga arti dalam penggunaannya. Pertama, fungsi menerangkan adanya hubungan antara satu hal dengan tujuan tertentu. Kedua fungsi dalam pengertian korelasi, ketiga fungsi untuk menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal lain dalam satu sistem terintegrasi. Menurut Sedyawati (2007: 293), fungsi seni pertunjukan terkait
17
dengan fungsi-fungsi religius, peneguhan, edukatif dan hiburan. Menurut Soedarsono (2001: 123) dalam bukunya yang berjudul Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, seni pertunjukan memiliki tujuan sarana ritual, hiburan pribadi dan presentasi estetis.
Kesenian tradisional memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Kesenian gejog lesung ini perpaduan antara gerak memukul lesung dengan pukulan-pukulan yang diibaratkan sebagai perpaduan suara gamelan. Selain itu gejog lesung juga di perpadukan oleh tari-tari atau gerakan melenggang-lenggan pinggul. Seiring dengan berkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, maka peranan masyarakat pendukung kesenian sangat dominan dalam perubahan kesenian tradisonal yang ada. Diungkapkan oleh Sedyawati (1980:40) bahwa kesenian tradisional merupakan milik masyarakat pedesaan yang turun temurun dan pandangan hidup masnusia mengalami perubahan secara berkelanjutan.
Dalam prosesnya, selain berbicara tentang keberadaan suatu kesenian tradisional seperti seni gejog lesung penting untuk melihat juga budaya kesenian tradisi dalam hal ini bagaimana peranan kesenian gejog lesung di dalam masyarakat (Nitiprayan), mereka yang berperan serta, status para pemainnya, dan sebagainya. Menurut Anya Peterson Royce (2007:101), yang lebih penting adalah bagaimana peristiwa kesenian dipertunjukan dan dapat diklarifikasi sebagai peristiwa ritus ataupaun sebagai peristiwa sosial juga diaminkan oleh ungkapan Sedyawati (1980: 60-61) pada
18
dasarnya seni pertunjukannilainya sebagai penikmat yang terwujud dari pengalamanyang berisi pengembangan imaji dan proses pengalaman seni yang berpangkal dari seniman, namun baru sempurna apabila dapat diterima oleh orang yang menikmati. Gejog lesung yang telah bertransformasi sebagai seni pertunjukan dalam hal ini penting untuk menerapkan konsep yang demikian dikatakan Sedyawati. Aspek penikmat sebuah pertunjukan menjadi penting dalam proses pelestarian kesenian gejog lesung.
Masyarakat perlahan mengalami perubahan yang mendasar dalam berbagai aspek sejak kultur agraris mulai dipertanyakan oleh kekuatan lain di luar dirinya.Proses industrialisasi telah menjadi kekuatan penting yang saling memperkenalkan suatu pola organisasi produksi yang baru, juga memaksa penyesuaian-penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat (Abdullah 2006: 17). Pada konteks saat ini alat tersebut berubah menjadi suatu permainan atau kesenian tradisi yang dinamakan seni gejog lesung. Ciri-ciri lokal mulai bergeser sejalan dengan melebarnya batas-batas interkasi dan batasan pengetahuan penduduk.
Proses pelestarian inilah yang akan menjadikan suatu kesenian tradisional tetap bertahan yakni proses kreativitas seni dalam masyarakat itu sendiri. Sepanjang sejarah, kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Kesenian dalam berbagai corak dan ungkapannya, merupakan kreatifitas warga masyarakat yang mendukung suatu kebudayaan tertentu. Kesenian hadir dari dan diperlukan
19
kehadirannya oleh masyarakat. Sebagai salah satu bagian yang penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri (Kayam, 1981 : 38).
Robert Redfield, 1956 berbicara tentang “tradisi agung” dan “tradisi kecil”. yakni pola kebudayaan dari peradaban kota (agung) dan pola kebudayaan dari komunitas kecil atau masyarakat pertanian (kecil). Masyarakat pertanian yang merupakan suatu sistem ekologi yang lengkap itupun secara kultural dikatakan oleh Redfield sebagai tidak pernah selalu bisa otonom secara penuh. Ini karena masyarakat pertanian selalu membutuhkan komunikasi dengan masyarakat kota dalam rangka penjualan hasil-hasil pertanian. Dalam hal ini gejog lesung yang merupakan tradisi kecil (pertanian) mengalami perubahan bentuk dan fungsi sebagai alat pertunjukan kesenian tradisionalsebagai respon keterpengaruhannya terhadap kebutuhan masyarakat pendukung atau konsumennya dalam memenuhi kebutuhan hidup dan estetika.
Pada akhirnya agar dapat bertahan hidup maka kesenian tradisonal harus menjalani proses adaptasi harus dilakukan manusia sebagai faktor masyarakat pendukung kebudayaan untuk mengatasi masalah yang ada di lingkungan sosial, budaya, ekonomi dalam rangka memenuhi syarat-syarat dasar guna memenuhi kelangsungan hidupnya (Suparlan, 1982:77-75). Supaya kesenian tradisional dapat beradaptasi maka masyarakat harus mampu melakukan akulturasi. Menurut Beals (1953 dalam Kodiran, 2000:4), akulturasi adalah pertemuan antara unsur-unsur
20
kebudayaan “asing” dan “asli” atau setempat. Sementara itu menurut Haviland (1993:263) akulturasi adalah perubahan-perubahan besar dalam kebudayaan yang terjadi sebagai akibat dari kontak antara kebudayaan yang berlangsung lama. Perubahan yang bersifat akulturasi ini bisa terjadi secara menyeluruh, bisa pula mengadopsi sebagian perubahan, sebab masih ada bentuk-bentuk kebudayaan setempat atau “asli” yang dipertahankan.
Kesenian tradisional akan tetap lestari apabila ada keterbukaan langsung terhadap unsur-unsur yang datang dari luar ataupun unsur baru. Dalam tulisan ini masyarakat pendukungmasih melestarikan keberadaan gejog lesung tersebut melalui peran seni komunitas yang didirikan di Nitiprayan seperti paguyuban seni Nitibudaya dengan mengikuti perkembangan seperti perubahan dalam konteks pertunjukan. Paguyuban mengupayakan adanya perkembangan seperti melakukan kolaborasi dengan kesenian lain, namun demikian perubahan dalam kesenian ini masih mempertahankan sebagian bentuk-bentuknya semula seperti lesung yang tidak mengalami perubahan sebab akan mengurangi keindahan tabuhannya.
Komunitas sebagai suatu kesatuan manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat serta terikat oleh suatu rasa identitas komunitas.5 Sedangkan Paguyuban dan patembahan sebagai bentuk
5
Ahli sosiologi R.M dan C.H Page memberi definisi lain kepada konsep community, namun dalam uraian mereka mengenai dasar-dasar komuniti mereka juga menyebut ikatan tempat (locality ) dan rasa identitas komunitas (community sentiment) tadi. Lihat buku mereka : Society : An Anthropology Analysis. New York, Rineheart and Company, 1937 hlm 8-9.
21
organisasi sosial. (Ferdinand Tonnies: 1987) menyatakan bahwa Paguyuban merupakan bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggota diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Bentuk paguyuban terutama akan dapat dijumpai di dalam keluarga, kelompok, kerabatan, rukun tetangga dan lain sebagainya mempunyai beberapa ciri pokok seperti pertama ikatan darah atau keturunan. Kedua, tempat tinggal yang saling berdekatan. Ketiga ideologi atau pikiran yang sama. Sedangkan Patembayan merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka serta strukturnya bersifat mekanis sebagaimana dapat diumpamakan dengan sebuah mesin. Mereka mengikuti perkembangan dan perubahan zaman, akan tetapi perubahan dalam kesenian tradisonal ini masih mempertahankan sebagian bentuk-bentuknya semula, hanya saja fungsinya melebar menjadi sebuah kesenian tradisonal yang masih dijalankan hingga saat ini di dusun Nitiprayan.
1.7. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kulitatif berusaha memahami makna budaya dari suatu gejala kebudayaan. Selain itu penelitian kulitatif memiliki sumber yang luas dan berlandasan kokoh, memperoleh penjelasan yang memuat tentang proses-proses lingkup setempat. Data kualitatif mampu memahami melalui peristiwa secara kronologis. Oleh sebab itu, penelitian deskriptif kulitatif adalah data yang dikumpulkan dan diwujudkan dalam keterangan atau gambaran
22
tentang kejadian dan kegiatan secara menyeluruh, konseptual dan bermakna. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang didasarkan pada pemahaman makna budaya dari tingkah laku manusia. Dengan demikian apa yang ingin dipahami adalah sistem simbol yang hidup dalam pemikiran manusia (Hudayana, 1993:20-21)
1.7.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkup dusun Nitiprayan, Desa Ngestiharjo Kecamatan Kasihan, Bantul. Kesenian tradisional gejog lesung di Desa Ngestiharjo hanya berada di dusun Nitiprayan. Nitiprayan dalam sejarahnya merupakan kampung seni yang memliki latar belakang kesenian sangat kental.Di daerah ini terdapat suatu paguyuban yang mewadahi kesenian gejog lesung yakni paguyuban Nitibudaya.
1.7.2.Pemilihan Informan (Kategorisasi Informan)
Kunci keberhasilan penelitian kualitatif adalah tepatnya dalam memilih informan, wawancara dan menumbuhkan partisipasi informan dalam kerja lapangan (Hudayana, 1992: 19). Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang segala sesuatu yang diketahui dalam penelitian.
Informan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa unsur masyarakat yakni
a. Kepala Dusun/ Aparat Desa Nitiprayan yakni Ibu Sumidah, untuk mengetahui kondisi fisik, letak dan kondisi geografis Desa, jumlah penduduk, pendidikan
23
penduduk, mata pencaharian serta berbagai bentuk kelompok kesenian yang ada.
b. Pendiri paguyuban Nitibudaya, yakni Ibu Sutini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sejarah paguyuban dalam mengembangkan kesenian tradisi gejog lesung secara lengkap di lingkup dusun Nitiprayan. Apa masalah-masalah yang menjadi penghambat serta bagaimana upaya atau strategi untuk memajukan dalam pelestarian kesenian gejog lesung di masa kini.
c. Pemain kesenian (gejog lesung) baik yang senior maupun junior, informan ini dapat memberikan pemahaman mengenai fungsi dan bentuk kesenian tradisional gejog lesung yang digunakan di Nitiprayan dan masa kini serta mengulas perasaan-perasaan apa yang melatarbelakangi para pemain untuk terus memainkan kesenian gejog lesung hingga saat ini, perasaan dan ikatan-ikatanapa yang terbentuk dalam prosesnya.
d. Tokoh masyarakat/ pemerhati seni dusun Nitiprayan yang terlibat dalam proses berkesenian dan mengetahui informasi sesuai dengan masalah dalam penelitian. Dalam hal ini informan diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sejarah dusun Nitiprayan sebagai “Panggung seni”
1.7.3. Tahap Pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teknik, yakni sebagai berikut :
24 1.7.3.1 Teknik Observasi
Observasi adalah pengamatan terhadap suatu fenomena dalam masyarakat untuk memperoleh gambaran mengenai objek penelitian, yaitu untuk mengetahui bagaimana paguyuban Nitibudaya yang terletak di dusun Nitiprayan melakukan usaha pelestarian seni gejog lesung.
Kegiatan pengamatan dilakukan penulis dalam dua tahap yakni mengunjungi secara langsung paguyuban Nitibudaya untuk melakukan observasi awal (survey) yang berisi kegitan pengecekan lokasi penelitian dan sasaran penelitian. Tahap kedua sebagai penelitian inti dengan kegiatan pengumpulan data sesuai dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini Obyek yang diamati meliputi :
a. Kondisi fisik lokasi penelitian yakni meliputi letak dan kondisi geografis desa beserta pembagian wilayah dan jumlah penduduknya. Pengamatan ini dilakukan dengan teknik pengamatan tertutup yakni tidak diketahui oleh para subyek. Pengamatan selanjutnya dilakukan pada bulan Februari dengan menggunakan teknik terbuka yaitu diketahui oleh subyek-subyek. Subyek-subyek disini adalah kepala dusun Nitiprayan yakni Ibu Sumidah dan Pendiri paguyuban seni Nitibudaya yakni Ibu Sutini.
b. Kondisi sosial budaya masyarakat dusun Nitiprayan yang meliputi aktifitas keseharian masyarakat, mata pencaharian, kelompok kesenian yang ada.
25
c. Pelaku kesenian/ seniman di dusun Nitiprayan (Paguyuban Seni Nitibudaya), tokoh masyarakat dan masyarakat dusun Nitiprayan yang bergelut dengan kesenian.
1.7.3.2 Teknik Wawancara
Data diperoleh melaluiwawancara mendalam yang dihimpun melalui intstrumen wawancara berupa susunan pertanyaan yang diajukan penulis saat wawancara berlangsung. Disamping wawancara mendalam, penulis juga melakukan wawancara bebas terhadap anggota masyarakat DusunNitiprayan. Selain itu, teknik wawancara harus dilakukan dengan efektif, artinya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat memperoleh data sebanyak-banyaknya. Bahasa harus jelas, terarah, dan susunan harus tetap rileks agar data yang diperoleh data yang obyektif dan dapat dipercaya (Arikunto, 1998:129)
Wawancara mendalam yang digunakan dalam penelitian ini interview bebas terpimpin yaitu pewawancara membawa pedoman yang merupakan garis besar tentang hal yang akan diteliti. Wawancara ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana kesenian tradisional gejog lesung serta peran yang dibentuk kelompok kesnian “paguyuban seni Nitibudaya”
1.7.4. Metode Analisis dan Sistematika Penyajian
Analisis data dilakukan dengan mengekstrak hasil wawancara dan pengamatan dengan literatur-literatur pendukung agar menghasilkan data kualitatif etnografis.
26
Menurut Seiddel dalam Moleong (2005: 248), proses menganalisis data kualitatif adalah pertama mengumpulkan data lapangan, kedua mengumpulkan serta mengklasifikasikan data yang telah didapat, ketiga data yang telah diklasifikasikan tersebut dianalisis dengan tema, topik, serta teori yang telah ditentukan pada kerangka teori. Tujuan dari analisis kulitatif adalah berusaha mendeskripsikan dan menyampaikan antara gejala atau peristiwa yang diteliti, yaitu untuk mengetahui seberapa jauh peran Paguyuban Nitibudaya dalam menghidupkan kesenian tradisional gejog lesung di dusun Nitiprayan.
Hasil dari penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut. Bab pertama berisi penjelasan mengenai latar belakang dilakukannya penelitian ini, yakni persoalan pelestarian kesenian gejog lesung sebagai seni tradisi oleh paguyuban seni Nitibudaya; pertanyaan penelitian; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan pustaka; kerangka pemikiran; serta metode yang ditempuh dalam melakukan penelitian, di dalamnya menjelaskan tentang penentuan lokasi penelitian, cara pemilihan informan, metode pengambilan dan analisis data. Bab dua akan mendeskripsikan gambaran umum dusun Nitiprayan sebagai panggung seni, bagaimana keadaan geografis dan demografis, sistem kepercayaan, kondisi ekonomi, sosial- budaya, seta mendiskripsikan kelompok seni tradisional yang ada di Nitiprayan. Bab tiga mengenai kesenian gejog lesung dan paguyuban seni Nitibudaya secara menyeluruh serta usaha pelestariannya. Bab empat akan menekankan untuk
27
melihat fungsi, bentuk serta usaha pelestarian kesenian gejog lesung bagi masyarakat Nitiprayan. Bab lima berisi kesimpulan atas penelitian yang telah dilakukan.