• Tidak ada hasil yang ditemukan

Warisan Budaya Tak Benda TARI LEGONG. Kab. Gianyar, Provinsi Bali. Nilai Seni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Warisan Budaya Tak Benda TARI LEGONG. Kab. Gianyar, Provinsi Bali. Nilai Seni"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

TARI LEGONG

Nilai Seni

Warisan Budaya

Tak Benda

Kab. Gianyar, Provinsi Bali

(2)

by dveronikha

http://dveronikha.deviantart.com/art/Tari-Legong-305297563

Tari Lenggong

Tidak pernah ada yang menjumpai kata (legong) dalam catatan-catatan kuno. Diduga kata legong berasal dari kata leg yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun

gong yang berarti instrument pengiringnya artinya gamelan. Legong

dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah tari Sang Hyang yang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan dipertunjukan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa gerak-gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang kemudian dipakai dalam tari Legong. Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut diperindah dan disempurnakan wujudnya.

Legong yang kita ketahui sekarang merupakan percampuran dari elemen-elemen tari yang berbeda sekali jenisnya. Elemen tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang dituangkan dalam bentuk tari klasik yang disebut Gambuh. Gambuh merupakan tipe drama tari yang berasal dari pra-Islam Jawa dan mungkin sudah dikenal di Bali sejak permulaan abad ke-15. Untuk Legong, cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Lasem yang bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu hal yang paling menarik dalam tari Legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak. Kenyataannya orang tidak dapat mengerti tari Legong tanpa mendengarkan dialog dari juru tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan.

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/893/tari-legong

(3)

Tari Legong

Tujuan Pertunjukan Tari Legong

Di samping itu, nilai sakral pertunjukan Legong tersimpan di dalam gerak tarinya sendiri. Sebelum tarian dimulai, kedua penari Legong duduk pada kursi di muka gamelan, berayun ke kiri dan ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan. Tari Legong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun pertunjukannya. Dalam hal ini, sama dengan tari Sang Hyang. Nilai keagamaan dan kepercayaan yang diasosiasikan dengan tari Legong ialah kebudayaan keraton Hindu Jawa. Kebudayaan tersebut amat berbeda sifatnya kalau dibandingkan dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali yang ekspresinya terungkap dalam tari Sang Hyang. Pada saat ini hubungan tari Legong dengan agama Hindu sangat beda sifatnya. Tari Legong tidak lagi merupakan manifestasi dari leluhur, seperti halnya Sang Hyang, namun dipertunjukan untuk hiburan para leluhur. Dengan kata lain, tari Legong dipentaskan untuk menghibur para leluhuryang turun dari kahyangan, termasuk para raja yang hadir pada upacara odalan yang datangnya setiap 210 hari.

Seperti kesenian istana lainnya, tari Legong dijadikan suatu tradisi sebagai pameran yang mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja pada zaman lampau. Para petugas istana berusaha memperoleh wanita-wanita yang paling cantik dan berbakat kemudian dilatih untuk dijadikan penari Legong, dan banyak di antaranya menjadi abdi keraton.

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/893/tari-legong

Ir. Anak Agung Gde Oka Dalem

(4)

Motif Gerak Pada Tari Legong

Pada motif gerak tari (karana) Legong memang bermuara kepada dasar gerak tari Gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari perannya, ada banyak jenis agem. Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir. Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada yang namanya dedeling, manis carengu, kemudian gerakan leher ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak bahu bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering, girah, nredeh dan termasuk pula aturan menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput. Ciri yang sangat kuat dalam tari Legong adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian tersebut menjadi hidup dengan ekspresi yang sangat memukau oleh penarinya.

Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras, pepeson muanin oleg, dan ngipuk. Sedangkan secara umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad. Keterampilan dalam membawakan tari Legong, kesesuaiannya dengan penguasaan jalinan wiraga, wirama dan wirasa yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.

http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/893/tari-legong Sanggar Balerung, Gianyar

(5)

Busana Tari Legong

Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih.

Perkembangan Tari Legong

Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah dari istana ke desa. Wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya. Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk, khususnya di daerah Gianyar dang Badung. Guru-guru tari Legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan Sukawati. Murid-murid didatangkan dari seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali ke desa-desa. Legong menjadi bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.

Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum. Pengaruh istana makin lama makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908 M. Di desa, kini Legong dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan. Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong juga berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler. Tari Legong masih ditarikan oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang sudah diupacarai sehubungan dengan upacara keagamaan. Kalangan sering-sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih diorientasikan dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam kepercayaan orang-orang Bali. Yang paling pokok adalah Legong dipersembahkan sebagai hiburan bagi

masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan. http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/893/tari-legong

(6)
(7)
(8)

WAYANG KULIT BALI

Nilai Seni

Warisan Budaya

Tak Benda

Kab. Gianyar, Provinsi Bali

(9)

Wayang Kulit Parwa

Seni pertunjukkan wayang Parwa terkait erat dengan upacara agama Hindu di Bali. Hal ini menunjukkan bahwa seni bagi masyarakat tidak berjalan linear bahwa seni adalah seni. Konsepsi ini seringkali mengabaikan persoalan nilai dalam seni. Dalam wayang Parwa memperlihatkan agama dan seni menyatu, disamping filsafat dan pengetahuan bersama-sama membentuk totalitas kehidupan masyarakat Bali. Senada dengan pendapat I Wayan Diya, seorang Mangku Dalang, ia mengatakan bahwa budaya dan agama menyatu dalam masyarakat Bali.

Wayang Kulit Sasak

Pementasan wayang Sasak biasanya dimulai dengan tokoh Panakawan. Seperti Ocong, Amak Amet, atau Amak Kesek. Pada cerita tokoh Panakawan inilah biasanya penonton penuh, karena cerita yang ditampilkan adalah kisah sehari-hari masyarakat setempat. Bahasa yang digunakanpun bahasa sehari-hari masyarakat Lombok, yakni bahasa Sasak. Dalang yang pentas kali ini adalah Lalu Nasib Ar. Dalang wayang Sasak yang sangat terkenal di Lombok Barat. Lalu Nasib yang kini berusia hampir 60 tahun memang sangat terkenal di Gerung, ibukota Kabupaten Lombok Barat. Di rumahnya di kawasan Perigi, Gerung Selatan, tidak pernah sepi dari tamu. Jadwal pentasnyapun hampir setiap hari penuh, kecuali pada malamJum’at.

Sumber: https://agussurya15.wordpress.com/

Wayang Kulit Ceng Blonk

Setiap pertunjukannya di Bali, wayang kulit Ceng Blonk / Cenk Blonk ini selalu dipadati penonton dan disamping banyak petuah, hiburan ini penuh dengan lelucon yang membuat seluruh penonton menjadi tertawa terpingkal – pingkal dibuatnya. Menurut penjelasan dalam Sena Wangi, Situs Portal Dokumentasi Wayang Indonesia, Wayang Kulit Ceng Blonk dalangnya adalah I Wayan Nardayana. Beliau seorang dalang kelahiran Banjar Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali ikut menggairahkan pewayangan Bali dengan memasukkan unsur-unsur pop. Sesungguhnya pakeliran dalang Nardayana bentuk penyajiannya tradisi, namun yang membedakan adalah musik pengiringnya merupakan gabungan dari instrumen konvensional seperti, gamelan batel suling dipadu dengan gamelan gender rambat (unsur palegongan); cengceng kopyak (unsur beleganjur); rebab (unsurgamelan gambuh); dan kulkul bambu (unsur tektekan).

9 Jenis Wayang Kulit Bali

1

2

(10)

Wayang Kulit Arja

Wayang arja adalah sebuah wayang ciptaan baru yang diciptakan pada tahun 1975 oleh dalang I

Made Sidja dari desa Bona, atas dorongan almarhum I Ketut Rindha. Permunculan wayang ini banyak dirangsang oleh kondisi kehidupan Dramatari Arja yang ketika itu memprihatinkan, didesak oleh Drama Gong. Walaupun masih tetap mempertahankan pola pertunjukan wayang tradisional Bali, Wayang Arja menampilkan lakon-lakon yang bersumber pada cerita Panji (Malat). Dalam Wayang Arja, peran utama yang memegang pokok cerita adalah tentang kerajaan-kerajaan yang terbagi dalam sisi “kanan” dan “kiri”. Kerajaan-kerajaan yang terangkum dalam sekutu “kanan” antara lain adalah seperti Daha, Koripan, Singasari, dan Gegelang, sementara pihak “kiri”-nya adalah Lasem Metaum, Pajang Mataram, Cemara, dan Pajarakan.

Wayang Kulit Tantri

Wayang Kulit Tantri diciptakan pada tahun 1987 oleh Dalang I Wayan Wija (52 tahun) dari Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Wija menciptakan Wayang Kulit Tantri berawal dari keinginan menampilkan khasanah yang berbeda dari bentuk pewayangan Bali yang sudah ada. Lebih jauh ia ingin memvisualisasikan ceritera tantri (Tantri Kamandaka) yang banyak berkisah tentang tabiat/perilaku hewan dan binatang. Dalang Wija sepertinya berjodoh dengan satwa (ceritera) tantri, karena ia bisa bebas berkreativitas diluar norma pakem pewayangan tradisi yang ketat.

Wayang Kulit Cupak

Wayang Cupak termasuk wayang kulit Bali yang sangat langka, adalah pertunjukan wayang kulit yang melakonkan cerita Cupak Grantang yang mengisahkan perjalanan hidup dari dua putra Bhatara Brahma yang sangat berbeda wataknya. Bentuk pertunjukan wayang ini tidak jauh berbeda dengan wayang kulit Bali lainnya hanya saja tokoh-tokoh utamanya terbatas pada Cupak dan Grantang, Men Bekung dan suaminya Pan Bekung, Raksasa Benaru, Galuh Daha, Prabu Gobagwesi dan lain sebagainya. Pertunjukan wayang Cupak pada dasarnya masih tetap berpegang kepada pola serta struktur pementasan wayang kulit tradisional Bali (wayang Parwa).

Sumber: https://agussurya15.wordpress.com/

4

5

(11)

Wayang Kulit Gambuh

Wayang ini mengambil lakon dari cerita Malat (siklus Panji). Bentuk wayangnya merupakan transisi antara bentuk wayang Bali dengan bentuk wayang kulit Jawa (wayang Madya). Fungsinya sebagai pelengkap upacara dewa yajnya dan manusa yajnya. Iringan seperti dramatari Gambuh yaitu : suling besar 3 atau 4 buah, 2 buah kendang kecil, masing-masing 1 buah kajar, klenang, klenong, kemanak, kangsi, gentorag, dan 1 buah kempul. Kapan jenis wayang ini lahir dan berkembang di Bali, sulit diketahui karena sumber-sumber tertulis yang menyinggung hal itu hampIr tidak diketemukan. Kalau ada anggapan bahwa wayang gambuh bersamaan lahir dengan dramatari gambuh, maka dapat dikirakan wayang gambuh lahir sekitar abad XV (Bandem dkk, 1974:7). Sedang menurut I Ketut Rinda, dalam penjelasannya mengatakan bahwa Wayang Kulit Gambuh yang ada di Bali berasal dari Blambangan (Jawa Timur). Pada jaman dahulu raja Mengwi berhasil menaklukkan raja Blambangan yang bernama Mas Sepuh dan Mas Sedah (dalem Tawang Ulun). Setelah ditaklukkan oleh raja Mengwi tahun 1634, wayang beserta dalangnya diboyong ke Bali, dan raja Mengwi kemudian bergelar I Gusti Agung Blambangan. Saat itu daerah Blahbatuh yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Jelantik masih termasuk daerah kekuasaan raja Mengwi, sehingga raja Mengwi tidak keberatan memenuhi permohonan Ngurah Jelantik agar wayang beserta dalangnya yang bernama Arya Tega dikirim ke Blahbutuh bersama Mpu kekeran (pedanda Sakti Kekeran).

Wayang Kulit Calon Arang

Wayang Calon arang juga sering disebut sebagai Wayang Leyak, adalah salah satu jenis wayang kulit Bali yang dianggap angker karena dalam pertunjukannya banyak mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pangiwa dan panengen. Wayang ini pada dasarnya adalah pertunjukan wayang yang mengkhususkan lakon-lakon dari ceritera Calonarang. Sebagai suatu bentuk seni perwayangan yang dipentaskan sebagai seni hiburan, wayang Calonarang masih tetap berpegang pada pola serta struktur pementasan wayang kulittradisional Bali (Wayang parwa). Pagelaran wayang kulit Calon arang melibatkan sekitar 12 orang pemain yang terdiri dari 1 orang dalang, 2 orang pembantu dalang, 9 orang penabuh.

Sumber: https://agussurya15.wordpress.com/

7

(12)

Wayang Kulit Lemah

Kesenian Wayang Lemah, sesuai dengan namanya (dalam bahasa Bali, salah satu pengertian “lemah” adalah siang hari karena lebih sering dipentaskan pada siang hari atau ketika matahari terbit dan sebelum matahari terbenam. Dalam pertunjukan Wayang Lemah, tidak diperlukan panggung khusus. Cukup beralaskan tikar, menggunakan satu gadebog (batang pohon pisang) yang masing-masing ujungnya ditancapkan batang kayu dadap. Kedua kayu tersebut dihubungkan dengan benang putih yang disebut benang tukelan atau di beberapa atempat disebut benang pipis. Tidak perlu memasang kelir (layar) karena benang tukelan itu digunakan untuk menyandarkan wayang, penggati kelir. Di masing-masing ujung benang, digantunglah pis bolong satakan (uang kepeng berjumlah 200 keping) atau ada pula yang menggunakan 11 kepeng. Oleh karena pertunjukannya berlangsung di siang hari dan tanpa kelir, maka tidak diperlukan lampu blencong atau alat penerangan lainnya. Namun di Daerah Buleleng, ada dalang memakai lampu blencong dalam pertunjukan Wayang Lemah. Di Tabanan, selain ada yang memakai lampu blencong, juga juga dalang memakai lampu sentir atau pelita. Namun lampu itu dibuat dari kulit telu rsebagai tempat bahan bakar minyak kelapa, serta sumbunya dibuat dari sigi kompor minyak tanah atau benang tukelan.

9

(13)
(14)

Jero Dalang Nyoman Putra, Gianyar Bali

Wayang Parwa adalah Wayang kulit yang membawakan lakon - lakon yang bersumber dari wiracarita Mahabrata yang juga dikenal sebagai Astha Dasa Parwa. Wayang Parwa adalah Wayang Kulit yang paling populer dan terdapat di seluruh Bali. Wayang Parwa dipentaskan pada malam hari, dengan memakai kelir dan lampu blencong dan diiringi dengan Gamelan Gender Wayang. Walaupun demikian, ada jenis Wayang Parwa yang waktu penyelenggaraannya tidak harus pada malam hari. Jenis itu adalah Wayang Upacara atau wayang sakral, yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Waktu penyelenggaraannya disesuaikan dengan waktu upacara keseluruhan.

(15)
(16)
(17)
(18)

ACARA MEPEED

Nilai TRADISI

Warisan Budaya

Tak Benda

Kab. Gianyar, Provinsi Bali

(19)

Mepeed adalah tradisi seperti parade yang diikuti oleh para perempuan Bali yang mengusung Gebogan yaitu rangkaian buah dan aneka jajanan tradisional Bali yang dihiasi dengan aneka janur setinggi kurang lebih 1 meter yang dibawa secara berjalan kaki dari Banjar menuju ke Pura Kahyangan Desa. Upacara Mepeed merupakan upacara persembahan untuk Tuhan masyarakat Hindu Bali bernama Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Upacara Mepeed merupakan salah satu rangkaian kegiatan upacara di pura yang bertujuan sebagai ungkapan rasa terima kasih umat Hindu Bali kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghanturkan persembahan. Piodalan biasanya dilaksanakan setiap 6 bulan sekali jadi jika ingin melihat upacara ini pastikan jadwalnya karena biasanya upacara ini berbeda di setiap desa. Acara iring-iringan dimulai dari jam 3 sore, semua masyarakat desa memenuhi jalan untuk mengikuti upacara ini. Yang menarik bukan cuma perempuan dewasa yang ikut parade tersebut tetapi anak-anak kecil desa juga ikut di dalam barisan.

Iring-iringan perempuan Bali yang membawa persembahan berupa buah-buahan dijunjung di atas kepala, berbaris dengan memakai kostume kebaya dan berkain sarung serta ikat pinggang khas Bali. Memang cantik dan penuh disiplin. Dikawal oleh para lelaki yang berkeris di pinggang berbaju putih,berkain putih dan berdestar putih.

Istilah 'Mepeed' bermakna berjalan beriringan, karena warga tidak boleh datang secara perorangan. Adapun prosesi 'Mepeed' dibagi menjadi dua gelombang yaitu tempek kauh, yakni warga yang bermukim di barat desa, dan tempek kanginan, warga di timur desa. Jika ada sesajen yang dipersembahkan dalam keadaan kotor atau ada yang patah, akan dikembalikan ke warga yang membawa, karena dinilai tidak ikhlas dalam melakukan persembahan, tidak sampai disitu ada sanksi adat berupa denda dengan menyerahkan uang kepeng sebanyak 1.800 buah.

Sumber: http://pariwisatab.blogspot.co.id/2011/08/tradisi-mepeed-di-bali.html

Tradisi Mepeed

(20)

Tradisi Mepeed adalah parade

berjalan berbaris memanjang

yang diikuti ratusan perempuan

Bali sebagai ungkapan rasa

terimakasih kepada Tuhan yang

diikuti

perempuan

dewasa

(21)
(22)

Pura

Panataran Sasih,

Kab. Gianyar

(23)
(24)
(25)
(26)

Referensi

Dokumen terkait

Pemerataan ekonomi di Indonesia masih menjadi kendala // Hal ini dapat dilihat dari perbedaan yang sangat mencolok baik antar kabupaten maupun antar provinsi // Namun demikian /

- Meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Sumatera Utara, termasuk dalam rangka kunjungan bisnis. JUDUL: HOTEL BISNIS

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui hubungan secara parsial antara pengetahuan, keterampilan, motivasi, jarak tempat tinggal, dan fasilitas dengan kinerja

a. Menenamkan dalam hati nurani individu maupun kelompok bahwa bekerja itu merupakan nilai ibadah. Gregor adalah teori dengan pendekatan humanistik dalam pendekatan

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji tingkat ketelitian interpretasi struktur geologi pada daerah penelitian dengan memanfaatkan teknik penginderaan jauh

Berdasarkan latar belakang, permasalahan yang akan dibahas dalam tugas akhir ini adalah ” Bagaimana membuat suatu aplikasi Sistem Informasi Dinas Pendapatan Daerah Kota

Untuk dapat mewujudkan visi ini, BPS Kabupaten Pontianak telah merumuskan 3 pernyataan misi, yakni: (1) menyediakan data statistik berkualitas melalui kegiatan

He couldn’ t decide, but somehow from his face I was so sure he started to believe Eva’ s family was the suspect because he thought that Eva’s behavior was suspicious all