• Tidak ada hasil yang ditemukan

3168/PID.SUS/2018/PN.MDN),

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "3168/PID.SUS/2018/PN.MDN),"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

76

Analisis Yuridis Hak Kebebasan Berpendapat Bagi Pengguna Media Sosial

Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi

Elektronik (Studi Putusan No. 3168/PID.SUS/2018/PN.MDN)

Miptahul

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

E-mail: Miptaul@gmail.com

Abstract

Setiap Warga Negara mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya. Hal itu tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum menjelaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah setiap warga negara untukmenyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi dengan kemajuan teknologi informasi saat ini telah muncul cara baru untuk menuangkan pikiran yaitu dengan adanya media sosial seperti FaceBook, Twiter, Instagram dan lainnya. Penyampaian pendapat melalui media sosial sering kali dijadikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana bagi para pihak yang merasa tidak nyaman dengan adanya komentar yang menyebutkan nama atau pihaknya. Undang-Undang mengenai penggunaan media sosial sendiri diatur dalam Undang Nomor19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Metode penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif yang diambil dari data sekunder dengan mengolah data dari bahan hukum primer yaitu Undang-Undang Dasar 1945, kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum. dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.Bahan hukum sekunder yaitu buku-buku, karya ilmiah, berita-berita, tulisan-tulisan, dan bahan hukum tersier yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian dipahami bahwa kebebasan berpendapat itu merupakan Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh Undang-Undang,akan tetapi terdapat batasan-batasan dalam menyampaikan pendapat itu sendiri

Kata Kunci:

Hak Kebebasan Berpendapat, Media Sosial

How to cite:

Miptahul, M (2020), “Analisis Yuridis Hak Kebebasan Berpendapat Bagi Pengguna Media Sosial Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Studi Putusan No. 3168/PID.SUS/2018/PN.MDN), Vol 1(2),76-87.

A.Pendahuluan

Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap individu sejak dilahirkan yang telah dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum dan demokratis berwenang untuk mengatur dan melindungi pelaksanaannya. Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat tersebut diatur dalam perubahan keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28 E ayat (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berekspresi termasukkebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1) kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perkembangan teknologi informasi yang berwujud internet, telah mengubah pola interaksi masyarakat, seperti interaksi bisnis, ekonomi, sosial dan budaya. Internet selalu memberikan kontribusi yang besar bagi masyarakat, perusahaan/industri maupun pemerintah.Dalam hal ini diperlukan pembenahan sektor hukum dibidang lain, dengan cara membuat hukum di bidang ini,

(2)

77 dengan cara membuat hukum positif terkait dengan aktivitas cyber yang disebut dengan cyber law (Zudan Arif Fakrullah, 2009: 178). Derasnya informasi dapat menjamah hampir seluruh negeri. Mulai dari berita terbaru sampai berita lawas yang sudah ketinggalan zaman pun dapat dengan mudah diakses. Perkembangan teknologi ini menjadikan daya kreasi dan inovasi manusia seakan telah menemukan wadahnya. Kebebasan berekspresi pun dapat dituangkan melalui beragam media baik media elektronik maupun media cetak.

Kebutuhan manusia akan teknologi juga didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Pesatnyaperkembangan teknologi itu telah membentuk masyarakat internasional, termasukdi Indonesia. Sehingga satu sama lain menjadikan belahan dunia ini sempit dan berjarak pendek (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris, 2009: 3). Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya penemuan-penemuan baru seperti internet, merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan sosial, disamping penyebab lainnya seperti bertambah atau berkurangnya penduduk, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadinya pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Hal yang sama dikemukakan oleh Satjipto Raharjo bahwa “Dalam kehidupan manusia banyak alasan yang dapat dikemukakan sebagai penyebab timbulnya suatu perubahan di dalam masyarakat, tetapi perubahan dalam penerapan hasil-hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab terjadinya perubahan sosial” (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris, 2009: 3).

Perubahan bukan hanya terjadi pada tatanan sosial tetapi juga telah merambat pada sistem hukum yang ada sebelumnya, dimana penggunaan media sosial tersebut seharusnya memberikan perlindungan terhadap penggunanya akan tetapi pada kenyataannya berbanding terbalik, terutama dalam hal menyampaikan pendapat melalui media sosial, walaupun hal tersebut tidak terlepas dari oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan, tetapi juga disebabkan kurangnya pemahaman terhadap suatu peraturan perundang-undangan tentang informasi dan Tranaksi Elektronik. Pada saat ini telah hadir hukum baru yang dikenal sebagai hukum cyber sebagai padanandari hukum cyber law yaitu suatu hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi atau disebut Hukum Dunia Maya serta HukumMayantarayang dirangkum di dalam sebuah peraturan Perundang-Undangan yaitu undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(UU ITE). Dengan adanya cyber law banyak terjadi permasalahan atau problematik permasalahan pembuktian dan penegakan hukum, karena penegak hukum akan mengasumsikan sebagai sesuatu yang tidak terlihat, semu atau maya. Kegiatan cyber sekarang sudah tidak sederhana lagi, dengan kegiatan yang tidak dapatdibatasi wilayah negara, aksesnya dapat dilakukan dengan mudah dari negara manapun. Kerugian dapat terjadi baik pada pelaku internet maupun orang lain yang sama sekali tidak pernah berhubungan. Setiap ada masyarakat pasti ada peraturan atau hukum (ubi societas ibi ius). Hukum merupakan sarana untuk mencegah kejahatan hukum dibuat oleh negara yang mempunyai kekuatan memaksa melalui penegakan hukum yang harus tegas dan konsisten dalam melaksanakan hukum tersebut. Aparat penegak hukum harus dapat memberdayakan fungsi hukum untuk menanggulangi kejahatan yang makin lama makin maju dan profesional (Zudan Arif Fakrullah, 2009: 179).

Dengan lahirnya Undang-undan Informasi dan Transaksi Elektronik banyak terjadi kasus yang dianggap mengangkangi Hak Kebebasan Berpendapat bagi pengguna media sosial, padahal hal tersebut telah diatur didalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Dasar 1945.Contoh kasusnya adalah: kasus Prita Muliya Sari, Prita dikenakan pasal berlapis yaitu Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencemaran nama baik dengan ancaman hukuman 1,4 tahun, Pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP)tentang pencemaran nama baik jo. Pasal 27 ayat (3) undang-undang Nomor 19 tahun 2016 jo. Undang-Undang 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, kasus Buni Yani yang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan telah melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), kasus Alfian Tanjung, yang dituduh telah melakukan perbuatan Ujaran Kebencian terhadap suatu partai politik di Indoesia dengan dakwaan pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU ITE.Kejadian yang baru terjadi di medan yaitu terkait kasus yang menimpa seorang dosen

(3)

78 salah satu perguruan tinggi di Sumatera Utaraberawal dari ungkapan kekecewaannya melalui media sosial yang berujung pada penjatuhan sanksi pidana yaituhukuman 2 (dua) tahun percobaan sebagaimana tertuang didalam putusan perkara Nomor: 3168/Pid.Sus/2018/PN.Mdn.

Menurut Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD1945) hak kebebasan berpendapat merupakan hak asasi yang dimiliki oleh manusia. Setiapindividu berhak menggunakan kebebasan berpendapat termasuk hak untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, baik dalam bentuk lisan, tulisan, cetakan, karya seni atau melalui media lain yang dipilihnya. Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi, Seseorang dapat menggunakan hak kebebasan berpendapat di media online. Salah satu fasilitas media onlineyang marak digunakan oleh masyarakat saat ini adalah media sosial. Kebebasan berpendapat melalui mediaonline.Negara Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sekarang telah dirubah menjadi Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 yang didalamnya terdapat pengaturan terkait penyampaian pendapat melalui media sosial. Penerapan UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) menimbulkan banyak polemik dalam masyarakat, karena Pasal yang dimaksud dianggap telah membungkam hak kebebasan berpendapatpengguna media sosial. Atas dasar itu diperlukan edukasi serta upaya perlindungan hukum untuk menjamin hak kebebasan berpendapat bagi pengguna media sosial

A. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat ditari pokok permasalahan yaitu: 1. Bagaimana pengaturan hukum pidana mengenai penggunaan media sosial?

2. Bagaimana kajian hukum terhadap putusan perkara register Nomor

3168/Pid.Sus/2018/PN.Mdn?

3. Bagaimana perlindungan hukum bagi pengguna media sosial dalam hal menyampaikan pendapat melalui media sosial?

B. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana mengenai penggunaan media sosial

2. Untuk mengetahui kajian hukum terhadap putusan perkara register Nomor 3168/Pid.Sus/2018/PN.Mdn

3. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pengguna media sosial dalam hal menyampaikan pendapat melalui media sosial

C. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahwa pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum kepustakaan (Ediwarman, 2009: 24).

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah adalah dengan melakukan pendekatan hasil kajian empiris teoritik dengan melihat berbagai pendapat para ahli, penulis dan kajian-kajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat bagi pengguna media sosial.

E. Pembahasan

1. Pengaturan Hukum Pidana Mengenai Penggunaan Media Sosial

Penggunaan media sosial memang mempunyai implikasi berbagai macam pelanggaran hukum yang mungkin terjadi akan tetapi penulis hanya membahas yang berkaitan dengan hal penyampaian pendapat melalui media sosial yang sering sekali di indikasikan dengan perbuatan ujaran kebencian (Hate Speech), maka untuk itu perlu dikaji bagaimana pengaturan mengenai hal tersebut di dalam hukum pidana.

(4)

79 Berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech),disebutkan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat berupa tindak pidana yang di atur dalam KUHP dan ketentuan-ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk:

a. Penghinaan

b. Pencemaran nama baik c. Penistaan

d. Perbuatan tidak menyenangkan e. Memprovokasi

f. Menghasut

g. Menyebarkan berita bohong.

Tindakan yang disebut diatas memiliki dampak akan terjadinya penghilangan nyawa, kekerasan, diskriminasi, atau konflik sosial. Tujuan dari ujaran kebencian sebagaimana yang disebutkan di atas adalah untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas. Dalam huruf (h) Surat Edaran tersebut, Ujaran Kebencian (Hate Speech) dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain dalam orasi kegiatan kampanye,spanduk atau banner, jejaringmedia sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media masa cetak atau elektronik serta Pamflet (Hwian Christianto, 2018: 2).

Dalam Kitab Undang-Undangan Hukum Pidana (KUHP), terdapat beberapa Pasal yang mengatur tentang hate speech, Menurut Wirjono Prodjodikoro, arti penghinaan dapat dilihat dengan terlebih dahulu merujuk rumusan Pasal 315 KUHP. Berdasarkan rumusan Pasal 315 KUHP, maka diketahui bahwa menista merupakan suatu pengkhususan dari penghinaan. Oleh karena itu perlu dicari pengertian secara umum tentang penghinaan. Dalam Pasal 310 KUHP ditegaskan bahwa penistaan adalah dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduhkan melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan nyata untuk menyiarkan tuduhan itu kepada khalayak ramai (Wirjono Prodjodikoro, 2003: 97).

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 jo. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008ini, secara rinci menjelaskan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang atau segala perbuatan yang digolongkan tindak pidana kejahatan komputer diatur di Bab VII dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37. Sedangkan di Bab IX yang terdiri atas Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 menentukan kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang atau segala perbuatan yang digolongkan tindak pidana komputer.Selain dampak positif undang-undang ini juga memberikan dampak negatif bagi pengguna media sosial, adapun dampak negatifnya dari diberlakukannya aturan tentang Informasi dan Transaksi Eletronik adalah sebagai berikut:

a. Isi sebuah situs tidak boleh ada muatan yang melanggar kesusilaan. Kesusilaan identik bersifat normatif. Mungkin situs yang menampilkan foto-foto porno secara vulgar bisa jelas dianggap melanggar kesusilaan. Namun, apakah situs-situs edukasi AIDS dan alat-alat kesehatan yang juga ditujukan untuk orang dewasa dilarang. Apakah forum-forum komunitas gayatau lesbian yang hampir tidak ada pornonya juga dianggap melanggar kesusilaan. Apakah foto seorang masyarakat Papua bugil yang ditampilkan dalam sebuah blogjuga dianggap melanggar kesusilaan.

b. Kekhawatiran para penulis blogdalam mengungkapkan pendapat. Karena undang-undang informasi dan transaksi elektonik, bisa jadi para bloggersemakin berhati-hati agartidak menyinggung orang lain, menjelekkan produk atau merek tertentu, membuat tautan referensi atau membahas situs-situs yang dianggap ilegaloleh undang-undang. Ketakutan menjadi semakin berlebihan, bukanlah malah semakin mengekang kebebasan berpendapat. c. Seperti biasa, yang lebih mengkhawatirkan bukan undang-undangnya, tapi lebih kepada

pelaksanaannya. Undang-undang ini tidak menjadi alat bagi aparat untuk melakukan investigasi berlebihan sehingga menyentuh ranah pribadi. Undang-undang ini tidak akan menyentuh wilayah pribadi. Hanya menyentuh wilayah yang bersifat public.

Media Sosial merupakansarana yang banyak digunakan dalam kejahatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Apalagi berita dalam dunia maya dalam hitungan detik tersebar dengan cepat, sehingga sangat efektif bagi pelaku untuk membentuk opini sesuai dengan tujuannya. Pasal 27 ayat (3)

(5)

80 undang nomor 11 tahun 2008,jo Pasal 45 ayat (3) danPasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A Undang-undang nomor19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (ITE), adalah pasal yang paling banyak diterapkan terhadap perbuatan pelanggaran UU ITE. Pasal 310 KUHP menjelaskan bahwa unsur “Menyerang kehormatan atau nama baik seseorang” dapat dikatakan sebagai pengertian penghinaan secara umum. Ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu (1) kehormatan dan (2) nama baik.Sepanjang perbuatan penghinaan itu menyerang nama baik seseorang maka tampak sifat objektif dari penghinaan, yaitu sampai dimana nama baik seseorang itu dimata masyarakat (khlayak ramai) menurun atau tercemar sebagai akibat perbuatan penghinaan tersebut.

Menurut R. Soesilo dan Wirjono Prodjodikoro perbuatan yang dituduhkan tidak perlu perbuatan yang dapat dihukum seperti di atas, tetapi cukup menuduhkan perbuatan yang biasa saja yang dapat memalukan seseorang. Misalnya menuduh seseorang pada waktu tertentu telah masuk ke tempat pelacuran Yang jelas, tuduhan ini harus bersifat kurang baik dalam pandangan masyarakat umum. Sifat kurang baik ini sangat relatif dan sering muncul dari cara mengucapkan suatu tuduhan. Benar atau tidaknya suatu perbuatan yang dituduhkan itu, tidak menjadi persoalan. Kalau itu dipermasalahkan, maka pemeriksaan perkara dialihkan kepada tindak pidana memfitnah (Pasa 311 KUHP) (Mahmud Mulyadi, 2009: 77).

Pasal 28 ayat (2) UU No. 11 tahun 2008, jo Pasal 45A ayat (2) UU No. 19 tahun 2016 tentang ITE, ditujukan untuk pelaku ujaran kebencian (hate speech).Pasal 28 ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.Pasal 45A ayat (2) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 1 angka 1 UU ITE menjelaskan bahwa Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Pasal 1 angka 4 UU ITE Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal,atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

2. Kajian Hukum Terhadap Putusan Perkara Register Nomor 3168/Pid.Sus/2018/Pn.Mdn

Sebelum membahas penerapan hukum, penulis menguraikan posisi kasus tersebut sebagai berikut. Terdakwa Himma Dwiyana Lubis, pada tanggal 12 dan tanggal 13 Mei 2018 atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Mei 2018, bertempat dijalan melinjo 2 No. 11 LK VIII Komplek johor Permai Gedung johor Medan johor kota Medan Prov, Sumut. Dan akun Facebook Himma Dewiyana dibuat oleh Terdakwa sekitar tahun 2009. Dan seorang yang bernama Himma Dewiyana Lubis dan merupakan seorang Dosen di Universitas Sumatera Utara yang mengajardi Fakultas ilmu bahasa, telah membuat status diakun facebooknya dibuat olehnya sendiri yang bertuliskan “Skenario pengalihan yang sempurna #2019Ganti Presiden’” dan “ini dia pemicunya sodara, kitab Al-quran dibuang”.

Bahwa yang bersangkutan membuat dan mengetik melalui media elektronik Handphone 0815338707888 yang sudah didaftarkan dengan quota internet, bahwa Himma Dewiyana membuat caption/tulisan di dalam akun FacebookHimma Dewiyana tersebut karena merasa kesal, jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia dimana sembako pada naik/mahal, tarif listrik naik/mahal dan semua keperluan/kebutuhan sehari-hari pada naik/mahal dan ia sangat mengagung-agungkan bapak Jokowi sebelum menjadi Presiden RI dimana janji-janji

(6)

81 Bapak Jokowi pada saat kampanye pemilihan Presiden RI Tahun 2014 sangat mendukung dirinya dalam kehidupan sehari-hari.

Hari Kamis tanggal 17 Mei tahun 2018 Saksi Personel Subdit II Cyiber CrimeDitreskrimsus Polda Sumut sedang melakukan patrol siber dengan sasaran media sosial yang menyebarkan hoax, dengan meneyebarkan informasi yang tidak sesuai fakta dan yang mengandungSARA serta hate speech di Kantor Ditreskrimsus Polda sumut dan saksi menemukan akun Facebook Himma Dewiyana yang sudah viral di medsos sehingga saksi melakukan penyelidikan terhadap akun facebook untuk mendapatkan pemilik dan pengguna akun facebook tersebut, setelah dilakukan penyelidikan terhadap akun facebook HIMMA DEWIYANA tersebut, petugas patroli melakukan penyelidikan terhadap alamat di Jalan. Melinjo II No.LK VIII Komp.johor Permai Gedung johor Medan johor kota Medan Prov, Sumut tersebut dan benar ditinggali oleh HIMMA DEWIYANA. Selanjutnya sekira pukul 15.00 Wib Saksi yang bertugas di Unit Jatanras Subdit II Ditreskrimsus Polda Sumut bersama petugas lainnya melakukan interogasi terhadap HIMMA DEWIYANA dan beliau mengakui dan membenarkan bahwa akun facebook HIMMA DEWIYANA adalah miliknya, selanjutnya ia dibawa dan diamankan di Polda Sumut untuk dimintai keterangan.

Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam Pidana melangar Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A Undang-undang RepublikIndonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan dan diserahkan dalam persidangantanggal 22 April 2019 yang pada pokoknya menuntut majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan:

a. Menyatakan Terdakwa HIMMA DEWIYANA LUBIS als HIMMA. S.T., M.Hum., secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Setiap orangdengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) “Sebagaimana dalam dakwaan pertama melanggar Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (3) UU RI No. 19 Tahun 2016 perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;

b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa HIMMA DEWIYANA LUBIS als

HIMMA.S.T,M.Hum., dengan pidana selama 1 (satu) tahun dan/atu denda Rp. 10.000.000.-(sepuluh juta rupiah) Subs 3 (tiga) bulan kurungan;

c. Menyatakan Barang Bukti berupa:

1) 1 (satu) unit Handphone Iphone 6 S warna silver. 2) 1 (satu) buah Simcard Mentari nomor 081533807888.

3) 1 (satu) buah Flashdisk Toshiba 4 GB yang berisikan screenshoot facebook Himma Dewiyana dan File akun facebbok Himma Dewiyana.

4) 3 (tiga) screenshoot facebook akun Himma Dewiyana

d. Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp. 5.000.00 (lima ribu rupiah). Kasus di atasmenarik untuk dianalisismengenai asfek hukum yang ditimbulkan dari perkara tersebut, jika dilihat berdasarkanTeori HukumPerbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidanaapakah sudah wajar seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana kronologis di atas ditetapkan bersalah ?, mengingat Negara Republik Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,dimana setiap warga negara diberikan hak dan kebebasan untuk berekspresi serta menyampaikan pendapat. Dalam mempertanggungjawabkan seseorang telah melakukan pelanggaran dalam hukum pidana, harus terbuka kemungkinan bagi pelakuuntuk menjelaskan mengapa dia berbuat demikian. Jika sistem hukum tidak membuka kesempatan demikian, maka dapat dikatakan tidak terjadi proses yang wajar (due proses) dalam mempertanggungjawabkan pembuat tindak pidana (Chairul Huda. 2013: 65).

Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari pasal atau aturan yang mengatur dimana perbuatan tersebut dinyatakan dilarang. Dalam hal adanya suatu dugaan tindak pidana, penegak hukum harus dapat menyidik untuk memperoleh kejelasan bahwa perbuatandilakukan oleh pelaku benar merupakan suatu tindak pidana. Proses hukum lalu berlanjut dengan upaya pembuktian untuk mengetahui peraturan apa

(7)

82 saja yang telah dilanggar serta sejauh mana perbuatan pelaku melanggar peraturan tersebut. Pada akhirnya, setelah melalui proses pembuktian, diputuskanlah tindakan hukum yang akan diterapkan kepada pelaku.

Menurut Barda Nawawi Ariefdalam tulisan Syamsul Matoni. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya mengandung makna pencelaan terhadap pembuat (subjek hukum)atas tindak pidana yang dilakukannya. Oleh karena itu pertanggungjawaban pidana di dalamnya mengandung pencelaan objektif dan pencelaan subjektif. Artinya, secara objektif si pembuat telah melakukan tindak pidana (perbuatan terlarang/melawan hukum) dan secara subjektif si pembuat patut dicela atau dipersalahakan/dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya sehingga ia patut dipidana (Syamsul Fatoni, 2016: 39). Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana. Sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidanatersebut menjadi persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana (Tjadra Sridjaja Pradjonggo. 2015).

Seperti yang dibicarakan di atas pertangtanggungjawaban pidana diperlukan beberapa syarat agar perbuatan pidana atau peristiwa pidana tersebut dapat dipertanggungjawabkan terhadap si pembuat. Pelaku harusmempunyai unsur kesalahan atau kealpaan. Masalah pertanggungjawaban pidana terdapat suatu asasyang berhubungan dengan kesalahan yakni “geen straf zonder sculd” asas ini merupakan asas yang terdapat dalam lapangan hukum pidana dan berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Makna dari asas ini adalah meskipun seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan telah memnuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam delik, perlu dibuktikan pula apakah dia dapat dipertanggungjawabkan atau tidak atas perbuatannya tersebut. Artinya apakah seseorang tersebut telah melakukan kesalahan atau tidak.

Sedangkan menurut Moeljatno, kesalahan adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, hingga orang tersebut dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya kesalahan harus dipikirkan 2 (dua) hal disamping melakukan perbuatan pidana, yaitu: pertama, adanya keadaan psikis (bathin) yang tertentu, dan kedua, adanya hubngan yang tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan loerbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan tadi.

Posisi kasus yang diuraikan dalam mendakwa Himma Dewiyana Lubis tentunya diambil dari berbagai proses mulai adanya laporan/aduan sampai kepada proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan di Pengadilan. Sebagaimana yang terungkap dalam persidangan yang diuraikan dalam putusan menyebutkan bahwa proses penangkapan Terdakwa dimulai dari proses adanya laporan yaitu dari polisi, namun pada saat diminta keterangan pelapor sebagai saksi di Pengadilan tidak hadir dengan alasan yang tidak jelas sehingga tidak jelas apa yang melatari laporan tersebut. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah dan dihukum dengan percobaan selama 2 (dua) tahun dan denda Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah). Maka vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim terlihat adanya kebimbangan. Dimana satu sisi Majelis Hakim telah berusaha secara baik untuk dapat menjerat terdakwa terbukti melakukan tindak pidana ujaran kebencian, namun di sisi lain hakim seakan ragu dengan dalam membuat pertimbangan hukum dimana terdakwa hanya dihukum masa percobaan dengan alasan karena single parentyang memiliki anak kecil butuh perhatian dan dosen yang dianggap masih dapat merubah diri. Padahal dalam hukum tidak ada alasan pemaaf sebagaimana dikemukakan oleh Majelis Hakim, yaitu alasan yang dapat menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif).

Majelis Hakim telah menjadikan dasar putusannya menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan ujaran kebencian terhadap Presiden Republik Indonesaia, Lembaga kepolisian (Brimob) dan Masyarakatberdasarkan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam pasal tersebut terdapat beberapaunsur yang harus dibuktikan dalam menentukan seseorangtersebuttelahmelakukan perbuatan pidanasalah satunya adalah unsur “tanpa hak”. Sebagaimana diketahui terdakwa menuliskan captiontersebut adalahekspresi kekecewaannya terhadap

(8)

83 pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai Kepala Negara Republik Indonesia dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok seperti sembako, tarif listrik dan keperluan sehari-hari.Dimana diketahuiekpresi dalam menyampaikan pendapat merupak Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dihalangi oleh siapapun.

Menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Menurut Jimly Asshiddiqiehak-hak yang dijamin di dalam dan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang merupakan prinsip-pinsip Hak Asasi Manusia telah tercantum dalam konsitusi Indonesia sebagai ciri khas prinsip konstitusi modern. Oleh karena itu prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah merupakan Hak konstitusional Warga Negara Indonesia (Jimly Asshiddiqie. 2005: 91). Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.

Di dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan:Ayat (1): Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.Ayat (2): Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Kemanusiaan manusia diakui sebagai konsensus universal yang justru tetap melekat sebagai pemilik asasi mutlak atas dasar kemanusiaan, terlepas dari perbedaan jenis kelamin, warna kulit, status ekonomi, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. Inilah selanjutnya yang menghasilkan lahirnya konsepsi Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan kata lain, HAM merupakan puncak konseptualisasi pemikiran manusia tentang hakekat dirinya. Sebagai pengemban fitrah kemanusiaan yangbersifat universal dan eternal. Bertolak belakang dengan Undang-Undang HAM, maka kelahiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dianggap telah mengangkangi hak kebebasan berpendapat seseorang, hal ini di sebabkan adanya Pasal 28 ayat (2).

3. Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Media Sosial Dalam Hal Menyampaikan Pendapat Melalui Media Sosial

Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) alinea ke-4, oleh karena itu perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum berdasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam wadah negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi mencapai kesejahteraan bersama.

Perlindungan hukum adalah pengayoman terhadap hak asasimanusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikankepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan olehhukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yangsifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif danantisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuatsecara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial (Satjipto Rahardjo, 2000: 55). Pada prinsipnya perlindungan hukum tidak membedakan terhadap kaum pria maupun wanita, Sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945 di antaranya menyatakan prinsip “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar). Elemen pokok negarahukum adalah pengakuandan perlindungan terhadap “fundamental rights” tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap “fundamental rights”. Dalam kehidupan dimana hukum dibangun dengan dijiwai oleh moral konstitusionalisme, yaitu menjamin kebebasan

(9)

84 dan hak warga negara, maka menaati hukum dan konstitusi pada hakekatnya menaati imperatif yang terkandung sebagai substansi maknawi di dalamnya imperatif: “hak-hak warga yang asasi harus dihormati dan ditegakkan oleh pengemban kekuasaan negara dimanapun dan kapanpun, juga ketika warga menggunakan kebebasannya untuk ikut serta atau untuk mempengaruhi jalannya proses pembuatan kebijakan publik”. Istilah Hak Asasi Manusia (HAM) itu sendiri di Indonesia penggunaannya sudah sangat luas digunakan, bahkan juga sudah diresmikan dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM).

Manusia terlahir ke dunia oleh Tuhan dikaruniai sesuatu yang orang lain tidak dapat mengusiknya, yaitu yang lebih dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan berpendapat merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang fundamental. Selain memperoleh pengakuan secara internasional melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia(DUHAM) Tahun 1948 atau Universal Declaration of Human Right, dalam Pasal 19 dan 20 disebutkan “setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan bererikat tanpa kekerasan”. Secara nasional Indonesia sangat tegas mencantumkan penghargaan kebebasan berpendapat dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Pasal 28 menyatakan: “setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat atau mengeluarkan pendapat. Hak itu meliputi kebebasan mempertahankan pendapat dengan tanpa gangguan, serta mencari, menerima, dan meneruskan segala informasi dan gagasan, melalui media apapun dan tanpa memandang batas”. Kebebasan untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat adalah prinsip universal di dalam negara demokratis. Dalam perkembangannya, prinsip ini mengilhami perkembangan demokrasi di negara-negara yang sedang berkembang, bahwa pentingnya menciptakan kondisi baik secara langsung maupun melalui kebijakan politik pemerintah atau negara yang menjamin hak publik atas kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat sebagai salah satu barometer penegakan demokrasi dalam masyarakat suatu bangsa.

Kebebasan berpendapat sendiri di Indonesia memang memiliki aturan yang terbatas. Selama ini koridor mengenai kebebasan berpendapat hanya diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang notabenelebih banyak mengatur mengenai pers cetak. Undang-undang ini belum akomodatif untuk media penyiaran dan media massa lainnya. Dapat dikatakan bahwa media onlinebelum mempunyai aturan mengenai kebebasan pers. Selain itu di berbagai instrumen seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dijelaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan ruh dari kebebasan pers. Bebas untuk mencari, mengolah dan menulis serta menyampaikan berita melalui media cetak atauelektronik serta media online (internet) sekalipun.

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Setiap orang, baik terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun kejamnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut.

Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan absolutenegara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakekatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia ataumenghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertamaini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.

Hak kebebasan berekspresi adalah kategori hak Non The Equitable atau hak yang bisa dikesampingkan oleh sebuah kondisi tertentu dengan demikinan hak atas kebebasan bereskpresi bukan hak absolut dan hak kebebasan berekspresi bisadibatasi, pembatasan yang disepakati oleh forum-forum ahli HAM internasional yaitu pembatasan melalui Siracusa Principles 1984 atau prinsip-prinsip

(10)

85 Siracusa dan kemudian diperkuat dengan The Johannesburg Principles 1995 sebagai limitasi terhadap kebebasan berpendapat. Perlunya pembatasan undang-undang karenaundang-undang harus mampu mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dan demokrasi karena tidak sedikit perangkat hukum dan undang-undang menjadi alat penyelenggara Negara untuk mendistorsi atau untuk membatasi hak-hak mendasar yang dimiliki manusia atau dengan kata lain tidak jarang menjadi alat kekuasan, oleh karenanya dalam rumusan pembentukan undang-undang harus mengandung prinsip-prinsip demokrasi, prinsip demokrasi yang dimaksud diantarannya adalah dalam proses pembentukan undang-undang mengandung konten dan berdimensi Hak Asasi Manusia.

Undang-undang ITE diberlakukan sejak 24 April 2008, merupakan terobosan bagi dunia hukum di Indonesia, karena untuk pertama kalinya dunia maya di Indonesia mempunyai perangkat. Karena sifatnya yang berisi aturan main di dunia maya, UU ITE ini juga dikenal sebagai Cyber Law. Sebagaimana layaknya Cyber Law di negara-negara lain, UU ITE ini juga bersifat ekstra teritorial, jadi tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia tapi juga berlaku untuk setiap orang yang berada di wilayah hukum di luar Indonesia, yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Penggunaan media sosial yang sedang marak pada saat ini seolah-olah menjadi pisau bermata dua yang mana disatu sisi memberikan kebebasan yang tak terbatas kepada para penggunanya dan disatu sisi malah menjadi hal yang sangat menakutkan bagi para penggunanya dimana hal tersebut apabila dihadapkan dengan ancaman-ancaman pidana bagi mereka yang salah dalam menggunakan media sosial tersebut. Pada akhir-akhir ini banyak kasus yang terjadi seseorang merasakan pedihnya hidup di balik jeruji besi disebabkan kecerobohannya dalam menggunakan teknologi informasi (media sosial).

Mengemukakan pendapat dimuka umum baik lisan dan tulisan serta kebebasan untuk berorganisasi merupakan hak setiap warga negara yang harus diakui, dijamin, dan dipenuhi oleh negara. Indonesia sebagai sebuah negara hukum telah mengatur adanya jaminan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik lisan maupun tulisan dalam UUD 1945 Pasal 28 menyebutkan: “Bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat strategis dalam menopang jalan dan bekerjanya demokrasi. Sulit membayangkan sistim demokrasi bisa bekerja tanpa adanya kebebasan menyatakan pendapat, sikap dan berekspresi.

Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hadir, pengguna media sosial banyak yang khawatir. Undang-undang ini pada awalnya untuk melindungi kepentingan negara, publik, dan swasta dari kejahatan (cyber crime). Saat itu ada 3 pasal yaitu Pasal 27 ayat (3) mengenai defamation (pencemaran nama baik), Pasal 28 ayat (2) hate speech (Ujaran kebencian), dan Pasal 29 mengenai ancaman online. Semula, ketiga pasal itu dimaksudkan untuk menangkap para penjahat cyber. Namun, pada kenyataannyamalah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah.

Undang-Undang 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak menyebutkan secara jelas bagaimana tata cara menyampaikan pendapat melalui media sosial, akan tetapi ada beberapa pasal yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menyampaikan pendapat yaitu Pasal 27 sampai dengan Pasal 37, di dalam pasal-pasal tersebut terdapat perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam menggunakan media sosial yang bila ingin terlepas dari risiko hukum Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka sepatutnya perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut dihindari.

D. Penutup

1. Kesimpulan

Hukum pidana telah mengatur beberapa hal yang berkaitan dengan penggunaan media sosial.Khusunya yangsering dikaitkandengan hak kebebasan berpendapat baik didalam undang-undang umum yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun yang

(11)

86 diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).Ada beberapa Pasal dalam KUHP yaitumengenai Ujaran Kebencian Pasal 154, Pasal 155, Pasal 156 dan Pasal 157KUHP.Penghinaan Pasal 310, Pasal 311, Pasal 315, Pasal 317 danPasal318,sertadiaturjuga didalam UU ITE terkait Peghinaan yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3) sedangkan ujaran kebencian diatur dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2). Kajian hukum dalam putusan perkara register nomor 3168/Pid.Sus/2018/Pn Mdn.Jika dipandang dari Teori Sistem Pembuktian mungkintelah sesuaiyaitudengan terpenuhinyasusunan acara pembuktian yang dilakukan majelis hakim, akan tetapi jika ditinjau dari Teori Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana serta Teori Keadilan.Penulis menemukan hal yang tidak sesuai yaitu adanya kelemahanmajelis hakimdalam memperhatikanunsur-unsurdalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE yaitu unsur “Tanpa Hak” padahal menyampaikan pendapat ataupun bereksperesi dengan lisan maupun tulisan merupakan hak. HakAsasi Manusiayang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan,akan tetapi apabila majelis hakim memperhatikan unsur tersebut maka apa yang dilakukan oleh terdakwa adalah merupakan haknya sebagai warga negara untuk memberikan ekspresi kekecewaannya dalam bentuk tulisan melalui media sosial terhadap pemerintah dalam hal ini Presiden. Perlindungan Hukum bagi penggugna Media Sosial terkait menyampaikan pendapat memang tidak disebutkan dalam Pasal-Pasal yang tercantum di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga dalam berbagai kasus Pengguna Media Sosial merasa hak kebebasannya dalam menyampaikan pendapat dikangkangi oleh Undang-Undang ITE, akan tetapi jika dilihat dari berbagai peraturan perundang-undangan lain sepertiUndang-Undang Dasar1945, sepertiUndang-Undang-sepertiUndang-UndangNomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusiadan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

2. Saran

Terhadap pengaturan hukum pidana penggunaan media sosial terutama yang sering dikaitkan dengan hak kebebasan bagi seseorang yang telah diatur didalam berbagaiperaturan perundang-undangan seharusnyalebih dipertegas lagi mengenai pengaturannya agar tidak memberikan celah bagi orang yang ingin memanfaatkan keadaan, agar terpenuhi serta terjamin hak pengguna media sosial, karena yakinlah orang yang saat ini memanfaatkan celah tersebut suatu saat akan dimanfaatkan oleh orang lain. Putusan perkara register Nomor 3168/Pid.Sus/2018/Pn Mdn. Penulis memberikan saran bagi para penegak hukum terutama majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut agar supaya lebih mempertimbangkan unsur Tanpa Hak untuk memeberikan pendapat serta ungkapan ekspresi kekecewaan Terdakwa karena dengan mengabaikan unsur tersebut ada Hak Asasi Manusiayang seharusdihormati dan dijunjung ting tetapi malah dilanggar dan diabaikan, sebagai bahan pertimbangan Penulis telah mencantumkan Putusan perkara Nomor 1527/Pid.Sus/2017/PN Jkt.Pstyang mempertimbangkan Hak Asasi Manusia bagi Terdakwa. Perlindungan hukum bagi Pengguna Media Sosial seharusnya menjadi perhatian yang serius bagi pembuat Undang-Undang, karena disamping memberikan perlindungan bagi korban yang ditujukan oleh Pengguna Media Sosial ada hal yang harus dilindungi juga yaitu bagi Pengguna Media Sosial itu sendiri, mengingat banyaknya kasus-kasus yang terjadi terkait ujaran kebencian, penghinaan, pencemaran nama baik serta lain-lain yang sering dikait-kaitkan dengan hak kebasan berpendapat bagi seseorang, akan tetapi itu semua bukansemata-mata karena kelemahan Undang-Undang tetapi juga kelalaian pengguna media sosial itu sendiri

.

(12)

87

REFERENSI

Andi Sofyan.2013. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar.Yogyakarta: Rangkang Education Bambang Poernomo. 1985. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia Bambang Waluyo. 1996. Penelitian Hukum Dalam Praktek.Jakarta : Sinar Grafika

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris. 2009. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi.Bandung: PT Refika Aditama

Hari Sasongko dan Lili Rosita. 2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi. Bandung: Mandar Maju

Josua Sitompul. 2012. Cyiber Space, Cyibercrimes, Cyiberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa

Mukti Fajar. N.D dan Yulianto Ahmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Peter Mahmud Marzuki. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup

Zudan ArifFakrullah. 2009. Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi. Jakarta: Rajawali Pers

Ediwarman. 2009. Monograf Metode Penelitian Hukum, edisi Ke-II. Medan

Mahmud mulyadi,dalam tulisannyayang berjudul Kejahatan Dalam Dunia Maya: Hate Speech Dalam UU ITE

Undang-Undang Dasar 1945Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tetang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yaitu (1) indeks ketahanan pangan rumah tangga miskin di Desa Tanjang dan Desa Kosekan termasuk kategori rumah tangga tahan pangan dan (2)

Perilaku moralis Indonesia yang membiarkan lautnya dieksplorasi serta fakta bahwa laut Indonesia memiliki potensi sedemikian besar dinilai telah membuat Amerika Serikat

Potensi agowisata di kawasan wisata bukit Piantus kecamatan Sejankung merupakan produk wisata unggulan yang dapat dikembangkan sesuai dengan pola pemanfaatan lahan yang sejalan

Sebab selain menyediakan lapangan kerja, juga diharapkan akan timbul kegiatan lain yang nantinya akan lebih bermanfaat bagi masyarakat (misalnya adanya warung di sekitar

Untuk kegiatan sholat wajib dhuhur dan ashar berjamaah siswa berada di tanggung jawab pihak sekolah karena setiap waktunya sholat dhuhur dan sholat ashar siswa di

Jangka waktu maksimal 95 tahun yang diberikan UUPM sebenarnya jika dilihat dari sudut pandang investasi maka akan memberikan keuntungan bagi negara dalam hal

KISAH ASMARA SEBAGAI IDE PENCIPTAAN SENI GRAFIS diajukan oleh Bahaudin, NIM 0911984021, Program Studi Seni Rupa Murni, Jurusan Seni Murni, Fakultas Seni Rupa, Institut

Aplikasi yang digunakan oleh penumpang bus menggunakan aplikasi berbasis android, artinya hanya bisa di jalankan diatas platform android. Aplikasi ini digunakan