• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tumbuh kembang anak prasekolah 1.1 Pengertian tumbuh kembang

Pertumbuhan adalah peningkatan jumlah dan ukuran sel pada saat membelah diri dan mensintesis protein baru, menghasilkan peningkatan ukuran dan berat seluruh atau sebagian bagian sel (Wong, 2009).

Perkembangan adalah bertambahnya fungsi tubuh, seperti pendengaran, penglihatan, kecerdasan dan tanggung jawab. Masa perkembangan anak merupakan suatu hal yang khusus, sebagai masa bertumbuh dan berkembangnya semua aspek dan fungsi yang ada dalam diri anak, termasuk perkembangan fisik, intelektual dan sosial yang berlangsung secara serentak dan seimbang (multidimensional) dalam Pedodonsia dasar, 2008.

1.2 Tumbuh kembang anak prasekolah a. Pertumbuhan fisik

Masa prasekolah adalah anak-anak dengan rentang usia 3- 6 tahun (Wong, 2009). Pada masa prasekolah berat badan rata- rata pada usia 3 tahun adalah 14, 6 kg, pada usia 4 tahun adalah 16, 7 kg, dan pada usia 5 tahun adalah 18,7 kg. Rata- rata tinggi badan anak pada usia 3 tahun adalah 95 cm, pada usia 4 tahun adalah 103 cm, dan pada usia 5 tahun adalah 110 cm.

(2)

Sebagian sistem tubuh telah matur dan stabil serta dapat menyesuaikan diri dengan stress dan perubahan moderat ( Wong, 2009).

Perkembangan motorik terjadi pada sebagian besar peningkatan kekuatan dan penghalusan keterampilan yang telah dipelajari sebelumnya seperti berjalan, berlari, dan melompat. Namun perkembangan otot dan pertumbuhan tulang masih jauh dari matur. Aktivitas berlebihan dan kelebihan berolahraga dapat mencederai jaringan yang masih halus. Postur yang baik, latihan yang tepat dan nutrisi yang adekuat serta istrahat sangat penting untuk perkembangan sistem muskuloskeletal yang optimal (Wong, 2009).

b. Perkembangan motorik kasar dan motorik halus

Berjalan, berlari, memanjat dan melompat telah tercapai dengan baik pada usia 36 bulan. Penghalusan koordinasi mata- tangan dan otot jelas terbukti di beberapa area. Pada usia 3 tahun anak prasekolah mampu mengendarai sepeda roda tiga, berjalan jinjit, berdiri dengan satu kaki selama beberapa detik dengan seimbang dan lompat jauh. Pada usia 4 tahun anak mampu melakukan lompat dengan satu kaki dengan lancar. Pada usia 5 tahun anak melompat tali dengan kaki bergantian, dan mulai bermain di papan luncur dan berenang (Wong, 2009).

c. Perkembangan psikososial

Tugas psikososial utama masa prasekolah adalah menguasai rasa inisiatif. Anak berada dalam stadium energik, dimana anak bermain, bekerja, dan hidup serta merasakan rasa pencapaian dan kepuasan yang sebenarnya

(3)

dalam kemampuan aktivitas yang dilakukan. Konflik yang timbul ketika anak melampaui batas kemampuan yang dimilikinya sehingga anak akan mengalami rasa bersalah. Pada masa ini akan timbul rasa persaingan antara anak dengan orang tua tau teman sebaya yang jenis kelaminnya sama dengan anak tersebut dan berusaha untuk menyingkirkan sainganya (Wong, 2009). d. Perkembangan kognitif

Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah adalah kesiapan untuk sekolah dan ditentukan bahwa usia anak mulai sekolah pada usia 5 dan 6 tahun. Salah satu transisi utama dalam pola pikir anak adalah perpindahan dari pikiran egosentris total menjadi kesadaran sosial dan kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain.

Bahasa terus berkembang selama periode ini. Berbicara masih menjadi pembawa komunikasi egosentris. Anak prasekolah beranggapan bahwa setiap orang berpikir seperti yang mereka pikirkan dan penjelasan singkat mengenai pikirannya membuat pemikirannya dipahami orang lain. Untuk anak kelompok usia prasekolah metode yang paling menyenangkan dan efektif untuk memahami, menyesuaikan, dan mengembangkan pengalaman hidup adalah melalui bermain (Wong, 2009).

e. Perkembangan moral

Perkembangan penilaian moral anak berada pada tingkat paling dasar. Anak berperilaku sesuai dengan kebebasan atau batasan yang berlaku pada suatu tindakan. Pada orientasi hukuman dan kepatuhan, anak (berusia sekitar

(4)

2 sampai 4 tahun) menilai apakah suatu tindakan baik atau buruk bergantung pada hasilnya berupa hukuman atau penghargaaan.

Pada usia 4 sampai 7 tahun segala tindakan anak ditujukan ke arah pemuasan kebutuhan sendiri dan jarang ditujukan kepada orang lain. Pada masa ini anak memiliki rasa keadilan yang sangat konkret ( Wong, 2009). f. Perkembangan sosial

Selama periode prasekolah proses individualisasi, perpisahan sudah konkret. Anak prasekolah telah mengatasi banyak ansietas yang berhubungan orang asing dan ketakutan akan perpisahan. Anak dapat berhubungan dengan orang yang tidak dikenal dengan mudah dan menoleransi perpisahan singkat dari orang tua dengan sedikit atau tanpa protoes. Perpisahan yang lama yang diakibatkan hospitalisasi, sudah dapat direspon anak dengan mudah.

Anak dapat mengalami perubahan rutinitas harian lebih baik, anak memperoleh kenyamanan dari benda-benda yang sudah dikenal seperti mainan, boneka, atau foto anggota keluarga. Anak dapat mengatasi ansietas, ketakutan, dan fantasi yang tidak terselesaikan melalui bermain (Wong, 2009).

g. Perkembangan bahasa

Perkembangan bahasa pada masa ini sudah lebih kompleks. Baik kemampuan kognitif maupun lingkungan, terutama model peran yang konsisten, mempengaruhi pembendaharaan kata, percakapan dan pemahaman (Huttenlocher, 1998 dalam Wong, 2009).

(5)

Bahasa menjadi model komunikasi dan interaksi sosial yang utama. Peningkatan pembendaharaan kata mulai dari 300 kata pada usia 2 tahun, menjadi 2100 kata pada akhir tahun kelima. Struktur kalimat, penggunaan tata bahasa, dan inteligibilitas juga meningkat sampai ke tingkat yang lebih dewasa.

Anak berusia antara 3 dan 4 tahun membentuk kalimat yang terdiri dari sekitar tiga samapai empat kata dan hanya memasukkan kata- kata terpenting dalam menyampaikan sebuah makna yang diistilahkan telegrafik karena kalimatnya singkat. Anak berusia tiga tahun banyak bertanya dan menggunakan bentuk jamak, kata ganti yang benar. Anak dapat menyebutkan nama objek nama objek yang dikenal seperti bintang, bagian tubuh, kerabat, dan teman.

Anak dapat mengikuti perintah sederhana, dan berbicara berulang-ulang tanpa memperhatikan apakah ada orang yang mendengarkan, dan anak juga sering menirukan kata-kata baru dengan fasih. Dari usia 4 sampai 5 tahun anak prasekolah menggunakan kalimat yang lebih panjang dan menggunakan lebih banyak kata untuk menyampaikan pesan, seperti kata depan, kata sifat, dan bermacam-macam kata kerja. Pada usia ini anak sudah mematuhi perintah dan arahan sederhana. Pada akhir usia 5 tahun anak dapat menggunakan semua bentuk percakapan dengan benar dan mendefenisikan hal-hal yang sederhana dengan menjelaskan kegunaan, bentuk, atau kategori klasifikasi yang umum (Wong, 2009).

(6)

h. Perkembangan tingkah laku anak

Pola tingkah laku dan perkembangan kepribadian di masa ini, perlu perhatian khusus dalam memperkuat sifat, sikap, kebiasaan, dan perilaku baik, cara berbicara sopan, agar memasuki masa sekolah lebih menyenangkan, sehingga terbentuk suatu pola tingkah laku yang sesuai dengan moral yang ada di masyarakat dan sikap serta pola sosial yang baik di luar lingkungan keluarga. Tingkah laku yang timbul mengarah ke moral (baik dan buruk) serta sikap dan cara berbicara dan bersosialisasi (Robert, 2000 dalam Anisa, 2012 ).

Pada umur 1,5 – 3 tahun, tingkah laku anak yaitu anak mempunyai kebutuhan sosial, belajar atau mengenal bahaya, mengetahui peraturan dan disiplin, belajar mematuhi peraturan sosial dan mengetahui kebersihan, anak belajar adanya hadiah atau hukuman (Reward and Punishment).

Pada umur 4 – 5 tahun, tingkah laku anak yaitu sudah dapat menggunakan konsep bahasa, mengenal lingkungan diluar rumah/ bermain dengan anak lain, membedakan laki-laki dan perempuan, berkembang kebutuhan akan pujian dan hadiah, tingkah lakunya mulai menghindarkan celaan dan hukuman. Sikap yang pemurung akan membuat anak sulit untuk bergaul dengan lingkungannya dan terus berlanjut sampai anak tumbuh dewasa (Asrori, 2004).

(7)

2. Tingkah laku

2.1 Pengertian tingkah laku

Tingkah laku merupakan suatu bentuk aksi dan reaksi organisme terhadap lingkungannya. Tingkah laku sebagai respon terhadap stimulus akan sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya (Suryani & Widyasih, 2005).

Bentuk perilaku manusia terdiri dari perilaku yang tidak tampak (covert behavior) dan perilaku tampak (overt behavior). Perilaku yang tidak tampak dapat berupa: berpikir, tanggapan, sikap, persepsi, emosi, pengetahuan. Sedangkan perilaku tampak misalnya berjalan, berbicara, bereaksi, berpakain, dan lain sebagiannya (Suryani & Widyasih, 2005). 2.2 Jenis tingkah laku

Skinner (1997) dalam (Suryani & Widyasih, 2005) membedakan perilaku menjadi 2 yaitu perilaku yang alami (innate behavior) yaitu perilaku yang dibawa organisme semenjak dilahirkan, yaitu berupa refleks-refleks dan insting dan perilaku operan (operant behavior) yaitu, perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.

Perilaku refleks merupakan perilaku yang spontan muncul ketika adanya stimulus yang mengenai organisme. Perilaku yang refleksif merupakan perilaku yang pada dasarnya tidak dapat dikendalikan. Pada perilaku non refleks atau operan merupakan perilaku yang diperintah dan diatur oleh otak. Proses yang terjadi diotak disebut proses psikologis, dimana terjadinya proses pembelajaran di dalam otak. Pada manusia

(8)

perilaku psikologis ialah yang dominan, sebagian besar perilaku manusia yang dibentuk, perilaku yang dipelajari melalui proses belajar.

2.3 Faktor pembentukan tingkah laku 2.3.1 Perkembangan psikologis

Perkembangan psikologis anak merupakan suatu tahapan yang rumit dan sulit dipahami, walaupun manifestasinya terlihat dari luar berupa aksi, sikap dan kepribadian anak. Perkembangan psikologis juga erat hubungannya dengan usaha untuk memiliki pengetahuan, keahlian dan kebutuhan emosional.

Suasana pematangan psikologis dan fisik disusun menurut suatu rencanan dan urutan yang sesuai dengan bawaan dan tidak mudah dipengaruhi oleh faktor yang dapat mempercepat perkembangan itu. Seorang anak tidak dapat dilatih untuk mempunyai tingkah laku tertentu, sebelum anak cukup matang atau sebelum ia sampai pada suatu taraf tertentu yang memungkinkan latihan itu dapat berhasil.

Meskipun urutan dan kecepatan proses pematangan ditentukan oleh faktor-faktor keturunan, keadaan sekitarnya lingkungan juga mempunyai peranan sebagai pendorong dan penyesuaian dari tahap-tahap perkembangan. Perkembangan psikologis merupakan hasil perpaduan antara kekuatan faktor keturunan yang ada pada diri anak dan lingkungannya. Keadaan lingkungan yang baik akan mencapai hasil yang optimal dari

(9)

kekuatan yang diperoleh dari segi keturunan dari seorang anak. Sebaliknya bila suasana lingkungan tidak baik dapat menghambat bakat-bakat yang ada.

2.3.2 Pengaruh orang tua

Pola asuh orang tua sangat berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Pola asuh yang diterapkan orang tua akan sangat mempengaruhi pembentukan tingkah laku anak (Sunarti, 2004 dalam Purba.H.I, 2011). Dalam keluarga orang tua mengajarkan anak untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, dengan mengajarkan aturan baik dan buruk yang dimulai dari lingkungan dalam rumah.

2.3.3 Keadaan fisik anak

Keadaan fisik anak seperti sehat sakit. Anak yang sakit cenderung lebih manja dan membutuhkan perhatian yang lebih dari orang tuanya.

2.3.4 Rasa takut.

Kekhawatiran atau ketakutan yang didapat pada orang dewasa awalnya dibentuk pada masa kanak-kanak. Rasa takut merupakan salah satu emosi primer dari bayi yang baru lahir, berupa reaksi yang mengejutkan dan merupakan salah satu dari kekuatan pokok yang terus mendorong dalam membentuk tingkah laku anak. Akan tetapi si anak tidak menyadari bentuk perangsang yang menimbulkan rasa takut. Jika anak bertambah besar dan kekuatan jiwa yang bertambah, maka ia

(10)

sadar akan perangsang-perangsang yang menimbulkan rasa takut dan dapat mengenalnya satu demi satu. Seorang anak berusaha menyesuaikan diri terhadap pengalaman yang berbeda-beda dan mencoba menghindarkan diri jika ia tidak mengupas masalahnya secara lain. Jika anak merasa tak sanggup untuk mengatasi keadaan dan melarikan diri dari masalah tersebut, maka rasa takut menjadi sensitif. Anak memperoleh rasa takut yang baru sedangkan yang lama belum terpecahkan.

2.4 Pembentukan tingkah laku

2.4.1 Pembentukan perilaku dengan kebiasaan (kondisioning) Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya terbentuk perilaku. Pembentukan perilaku ini didasarkan teori belajar kondisioning yang dikemukakan oleh Pavlov maupun Thorrndike dan Skinner bahwa pemberntukan perilaku dilaksanakan dengan kondisioning atau kebiasaan.

2.4.2 Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight)

Cara ini berdasarkan atas teori kognitif, yaitu belajar dengan disertai pengertian. Pembentukan perilaku ini didukung eksperimen Kohler yang mengatakan bahwa hal penting dalam proses belajar adalah pengertian atau insting.

2.4.3 Pembentukan perilaku dengan menggunakan model

Pembentukan perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan model atau contoh. Pemimpin dijadikan model atau contoh oleh yang

(11)

dipimpinnya. Teori yang mendukung pembentukan perilaku ini adalah teori belajar sosial (social learning theory) atau observational learning theory yang dikemukakan oleh Badura (1997) dalam (Suryani & Widyasih, 2005).

2.5 Proses pembentukan tingkah laku

Tingkah laku bukanlah warisan orang tua, namun terjadi setelah melalui interaksi dengan lingkungannya. Tingkah laku sebagai sesuatu yang baru, terbentuk melalui proses panjang. Menurut Krathwohl (Hikmah, 2004) bahwa proses pembentukan sikap yang merupakan permulaan terbentuknya tingkah laku melalui tahapan-tahapan: a) Penerima, pada taraf ini anak akan menyadari nilai-nilai tersebut dalam menerimanya. b) Memberikan jawaban atau respon, pada taraf ini anak tidak hanya menerimanya saja, tetapi telah memberi jawaban. c) Menilai, pola taraf ini akan mulai membentuk suatu sistem nilai pada dirinya, kemudian sistem ini dijadikan bagian dari dunianya. d) Organisasi, anak mengorganisasikan sistem nilainya sehingga menjadi keutuhan yang bulat. Ini meneliti semua nilai yang telah diambilnya tadi mungkin ada yang ditambah atau yang dibuang, sehingga dengan demikian sikap yang menjadi teguh dan konsisten, tidak akan digoyahkan.

Taraf perbuatan atau pengalaman-pengalaman pada taraf ini terlihat tingkah laku sebagai penjelmaan sikap mental atau pendiriannya. Selain itu, terdapat pendapat lain menurut teori Operant Conditioning (Hikmah, 2004) mengatakan bahwa proses pembentukan tingkah laku meliputi : a) Menentukan hadiah bagi tingkah laku yang diinginkan. b) Mengidentifikasi

(12)

komponen-komponen yang dianggap bisa membentuk tingkah laku tersebut. c) Menyusun komponen-komponen tersebut secara sistematis. d) Mengidentifikasi hadiah (penguat) tiap-tiap komponen secara sistematis. e) Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan memakai urutan komponen-komponen yang telah disusun.

Pembentukan tingkah laku ini timbul dan berkembang diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu kemudian timbulnya respon. Respon ini bersifat memperkuat, misalnya anak melakukan perbuatan belajar menyanyi setelah selesai lalu diberi hadiah, maka saat-saat berikutnya akan lebih giat menyanyi. Cara pemberian hadiah tidak berlaku terus menerus, melainkan terbatas sampai terbentuknya komponen tingkah laku. Tetapi ada juga bagi anak, bahwa pembentukan dengan jalan pembiasaan dan pengalaman hidup yang ditanamkan sejak kecil dengan cara pembiasaan pada diri anak dan pemberian keteladanan, merupakan faktor yang paling dominan dalam pembentukan pribadi anak pada kehidupan kelak. Ross (1908) dalam Hikmah (2004) mengatakan faktor situasional dan sosial merupakan faktor utama pembentuk perilaku.

3. Ibu

Manusia dilahirkan dalam keadaaan yang sepenuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan dirinya pada orang lain, terutama ibunya. Dalam keluarga ibu merupakan jantung keluarga, tanpa jantung seseorang tidak akan dapat hidup. Begitu juga ibu, tanpa ibu tidak akan ada kehidupan (Singgih

(13)

1995, dalam Purba.H.I, 2011). Dalam keluarga ibu memiliki banyak peran. Peran ibu dalam keluarga adalah:

a. Memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikologis

Manusia dilahirkan dalam keadaan seutuhnya tidak berdaya dan harus menggantungkan diri kepada orang lain terutama ibu (Purwanto, 2003). Kedudukan ibu dikeluarga sangat penting , pentingnya seorang ibu terlihat sejak kelahiran anaknya, ibu harus memberikan susu untuk kelangsungan hidup anaknya. Singgih mengemukakan bahwa ibu berperan sebagai pusat logistik di awal kelahiran anak, untuk memenuhi kebutuhan fisik, fisiologis, agar anak dapat bertahan hidup. Seiiring tumbuh kembang anak, peran ibu juga berkembang tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik dan fisiologis semata, tetapi berkembang untuk memenuhi kebutuhan sosial dan psikis.

b. Peran ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan anak

Ibu berperan dalam mendidik anak dan mengembangkan kerpibadiannya. Dalam menerapkan disiplin pada anak, ibu harus konsisten dengan peraturan dan kebiasaan yang telah dilakukan.

c. Peran ibu sebagai teladan

Dalam mengembangkan kepribadaian dan membentuk sikap-sikap anak, seorang ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang dapat diterima. Dalam pengembangan kepribadian, anak belajar dari melalui peniruan terhadap orang lain.

(14)

d. Pemberi rangsangan dan pelajaran

Seorang ibu juga memberi rangsangan sosial bagi perkembangan anak. Sejak bayi pendekatan ibu dan percakapan ibu memberi rangsangan bagi perkembangan anak, kemampuan berbicara, dan pengetahuan lainnya. e. Sebagai istri

Selain peran utama ibu dalam keluarga, ibu juga memiliki peran mencari nafkah untuk penghasilan tambahan bagi keluarga (Effendy, 2000). Selain bekerja di luar rumah, ibu juga harus mengasuh anak dengan memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

3.1 Ibu bekerja

Ibu bekerja adalah ibu yang melakukan suatu kegiatan di luar rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu salah satu tujuan ibu bekerja adalah suatu bentuk aktualisasi diri guna menerapkan ilmu yang telah dimiliki ibu dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya (Santrock, 2007).

Alasan yang mendorong ibu untuk bekerja (Gunarsa, 2000) adalah:

a) Karena keharusan ekonomi, untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Hal ini terjadi karena ekonomi keluarga yang menuntut ibu untuk bekerja. Misalnya saja bila kehidupan ekonomi keluarganya kurang, penghasilan suami kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari- hari keluarga sehingga

(15)

ibu harus bekerja, b) karena ingin mempunyai atau membina pekerjaan. Hal ini terjadi sebagai wujud aktualisasi diri ibu, misalnya bila ibu seorang sarjana akan lebih memilih bekerja untuk membina pekerjaan, c) proses untuk mengembangkan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang lain dan menambah pengalaman hidup dalam lingkungan pekerjaan, d) karena kesadaran bahwa pembangunan memerlukan tenaga kerja baik tenaga kerja pria maupun wanita. Hal ini terjadi karena ibu mempunyai kesadaran nasional yang tinggi bahwa negaranya memerlukan tenaga kerja demi melancarkan pembangunan, e) pihak orang tua dari ibu yang menginginkan ibu untuk bekerja, f) karena ingin memiliki kebebasan finansial, dengan alasan tidak harus bergantung sepenuhnya pada suami untuk memenuhi kebutuhan sendiri, misalnya membantu keluarga tanpa harus meminta dari suami, g) bekerja merupakan suatu bentuk penghargaan bagi ibu, h) bekerja dapat menambah wawasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pola asuh anak.

Dengan adanya peran ganda ibu dalam keluarga, akan memberi pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, karena waktu ibu telah terbagi antara mengasuh anak dan pekerjaannya. Seorang ibu yang bekerja di luar rumah harus pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada umumnya tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Peran ibu dalam menerapkan pola asuh pada anak merupakan hal yang berpengaruh pada sikap keseharian anak. Menurut Child dan Whiting (Purba H.I, 2011) yang harus diperhatikan dalam proses mengasuh anak

(16)

adalah orang – orang yang mengasuh dan cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam tetapi, prinsipnya adalah cara pengasuhan anak harus mengandung sifat: pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 2004 dalam Purba, H.I, 2011).

Pengaruh ibu yang bekerja pada hubungan anak dan ibu, sebagian besar bergantung pada usia anak pada waktu ibu mulai bekerja. Jika ibu mulai bekerja sebelum anak telah terbiasa selalu bersamanya, yaitu sebelum suatu hubungan tertentu terbentuk, maka pengaruhnya akan minimal. Tetapi jika hubungan yang baik telah terbentuk, anak itu akan menderita akibat deprivasi maternal, kecuali jika seorang pengganti ibu yang memuaskan tersedia, yaitu seorang pengganti yang disukai anak dan yang mendidik anak dengan cara yang tidak akan menyebabkan kebingungan atau kemarahan di pihak anak (Hurlock, 2007).

Dampak ibu bekerja terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, status ibu bekerja tentu saja memilki dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak, khususnya anak balita. Dampak tersebut dibagi menjadi dua yaitu dampak positif dan dampak negatif.

a. Dampak positif ibu bekerja

Dampak positif ketika ibu menjalankan dua pekerjaan sekaligus dengan sebaik- baiknya dan tanpa keluhan, sebenarnya akan mengajarkan rasa tanggung jawab kepada anak (Rezky, 2012).

(17)

Ibu yang bekerja akan memiliki penghasilan yang dapat menambah pendapatan rumah tangga. Essortment, 2002 dalam McIntosh dan Bauer (2006), mengatakan bahwa dengan pendapatan rumah tangga yang ganda (suami dan istri bekerja), banyak wanita lebih mampu menentukan banyak pilihan untuk keluarga mereka di dalam hal nutrisi dan pendidikan.

b. Dampak Negatif Ibu Bekerja

Akibat jam kerja, waktu kebersamaan (quality time) antara ibu dan anak pun akan berkurang (Glick, 2002). Sehingga perkembangan mental dan kepribadian anak akan terganggu, mereka lebih sering mengalami cemas akan perpisahan (separation anxiety) merasa dibuang dan cenderung mencari perhatian di luar rumah serta kenakalan remaja. (Mehrota, 2011). Hal ini dikarenakan akibat jadwal kerja yang terlalu sibuk, mengakibatkan para ibu tidak dapat mengawasi dan ikut berpartisipasi dalam setiap kegiatan anak. Menurut penelitian yang dilakuka n oleh Soekirman dalam Glick (2002), ibu yang bekerja selama lebih dari 40 jam perminggunya memiliki dampak negatif bagi tumbuh kembang anak.

Selain kualitas, kuantitas interaksi antara ibu dan anak juga akan berkurang. Menurunnya frekuensi waktu kebersamaan ibu dan anak juga disebabkan oleh tipe kerja ibu. Ibu yang memiliki pekerjaan yang dikategorikan berat dapat mengalami kelelahan fisik. Akibatnya sesampainya ibu di rumah terdapat kecenderungan mereka lebih memilih untuk berisitirahat daripada mengurus anaknya terlebih dahulu.

(18)

3.2 Ibu tidak bekerja

Ibu yang tidak bekerja memiliki tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga. Dalam konteks inilah peran seorang ibu berlaku, yaitu mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya (Santrock, 2007).

Ibu yang tidak bekerja dapat lebih memahami bagaimana sifat dari anak - anaknya. Karena sebagian besar waktu yang dimiliki ibu yang tidak bekerja dihabiskan di rumah sehingga bisa memantau kondisi perkembangan anak. Kebanyakan pekerjaan yang dilakukan ibu di rumah meliputi membersihkan, memasak, merawat anak, berbelanja, mencuci pakaian, dan mendisiplinkan. Dan kebanyakan ibu yang tidak bekerja seringkali harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus (Santrock, 2007). Namun, karena ikatan kasih sayang dan melekat dalam hubungan keluarga pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh ibu memiliki arti yang kompleks dan juga berlawanan (Villiani, 1997 dalam Santrock, 2007). Banyak perempuan merasa pekerjaan rumah tangga itu tidak cerdas namun penting. Mereka biasanya senang memenuhi kebutuhan orang - orang yang mereka kasihi dan mempertahankan kehidupan keluarga, karena mereka merasa aktivitas tersebut menyenangkan dan memuaskan.

Pekerjaan keluarga bersifat positif dan negatif bagi perempuan. Mereka tidak diawasi dan jarang dikritik, mereka merencanakan dan

(19)

mengontrol pekerjaan mereka sendiri, dan mereka hanya perlu memenuhi standart mereka sendiri. Namun, pekerjaan rumah tangga perempuan sering kali menyebalkan, melelahkan, kasar, berulang-ulang, mengisolasi, tidak terselesaikan, tidak bisa dihindari dan sering kali tidak di hargai (Santrock, 2007)

Namun semua perempuan secara kodrat harus menerima peran yang harus dijalankan, yaitu sebagai istri sekaligus ibu dari anak- anaknya dan menjalankan perannya sebagai ibu dalam keluarga yang memiliki tanggung jawab penuh untuk megatur rumah tangga.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga berkaitan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa sebanyak 86 (52,1%) responden memiliki kualitas hidup domain lingkungan baik. Tidak adanya

Pada saat melaksanakan rencana pemecahan ma- salah, subjek impulsif dan subjek reflektif melakukan aktivitas evaluasi, yaitu keduanya memeriksa kesesuai- an pelaksanaan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036) sebagaimana telah diubah

Alhamdulillahirobbil ‘alamin atas rahmat dan berkah dari Allah SWT yang telah dianugerahkan kepada penulis sehingga mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “ JUAL

İ mdi, dervî ş -i tâlib dahi öyledir ki, kendi vücûdunda tabîat-i mahz olup, gizli olan s ı fât- ı zemîmeleri te ş hîs edip, hiç iz‘ânda hatâ etmeyip, her birin

Semakin baik kepemimpinan transformasional yang dijalankan seorang pemimpin dan semakin tinggi self efficacy yang dimiliki oleh bawahan maka kinerja pegawai akan

Melihat berbagai permasalahan di atas diperlukan itikad baik pemerintah dan usaha maksimum dari umat Islam sendiri, terutama dari tokoh-tokoh pendidikan Islam,