• Tidak ada hasil yang ditemukan

SAMPEL DAN CARA PENARIKAN (Draft versi 10 Nov 2012) Iwan Ariawan dan Besral (Departemen Biostatistik FKM UI, 2012)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SAMPEL DAN CARA PENARIKAN (Draft versi 10 Nov 2012) Iwan Ariawan dan Besral (Departemen Biostatistik FKM UI, 2012)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

SAMPEL DAN CARA PENARIKAN (Draft versi 10 Nov 2012)

Iwan Ariawan dan Besral

(Departemen Biostatistik FKM UI, 2012) PENDAHULUAN

Riset pada umumnya hanya melakukan pengukuran pada sebagian dari populasi yang dianggap dapat mewakili populasi tersebut. Bagian dari populasi ini disebut dengan sampel. Tujuan bab sampel ini akan menjelaskan tentang dua hal, pertama “Konsep dasar dari sampel” dan kedua “Besar sampel dan cara penarikannya”. Bahasan pada bab ini akan dilengkapi pula dengan langkah-langkah dan contoh aplikasinya dalam riset kuantitatif dan riset kualitatif.

Topik yang akan dibahas akan dirinci dalam dua sub-bab yaitu A.Sampel pada riset kuantitatif, yang berisi penjelasan tentang konsep sampel pada riset kuantitatif (yang meliputi: peran sampel dalam riset, dasar teori penarikan sampel, dan cara penarikan sampel secara acak) kemudian penjelasan tentang langkah-langkah praktis (yang meliputi kaitan antara cara

penarikan sampel dan besar sampel, prinsip penetapan besar sampel, besar sampel untuk berbagai rancangan riset kuantitatif, besar sampel untuk situasi lainnya, dan anggapan yang salah tentang sampel).

Sub-bab B. Sampel pada riset kualitatif yang berisi penjelasan tentang Konsep sampel pada riset kualitatif (yang meliputi dasar teori pemilihan sampel kualitatif dan cara penarikan sampel secara kualitatif) dan penjelasan tentang langkah-langkah praktis (yang meliputi cara penarikan sampel kualitatif dan menentukan besar sampel kualitatif).

6A. SAMPEL PADA RISET KUANTITATIF 6.A.1. KONSEP

Pengantar

Dalam suatu riset, pada umumnya kita ingin menyimpulkan keadaan di populasi. Misalkan, kita melakukan riset untuk mengetahui cakupan imunisasi lengkap pada anak usia 12-23 bulan di Kabupaten Bogor. Secara ideal, kita harus melakukan sensus pada semua anak usia 12-23 bulan di Kabupaten Bogor dan menanyakan status imunisasinya. Dalam kenyataannya, hampir tidak mungkin kita melakukan sensus karena adanya keterbatasan sumber dana, daya dan waktu. Meskipun sumber dana dan daya tersedia, sensuspun tidak lepas dari kesalahan pengukuran. Pada sensus subyek yang harus diukur sangat banyak sehingga diperlukan banyak pewawancara. Menjamin dan menjaga kualitas pengukuran dari banyak pewawancara menjadi lebih sulit. Sehingga, peneliti umumnya melakukan pengukuran pada sampel yang merupakan bagian dari populasi yang dianggap dapat mewakili populasi tersebut.

(2)

Peran sampel dalam riset sangat penting karena ketepatan kesimpulan peneliti sangat bergantung pada keterwakilan populasi pada sampel riset kita. Sampel yang baik harus dapat mewakili populasi. Bab ini menjelaskan konsep tentang rancangan sampel serta langkah-langkah yang harus dilakukan agar sampel yang ditarik dapat mewakili populasi.

Peran Sampel Dalam Riset

Baik tidaknya sampel dalam riset kita tergantung pada 2 hal pokok: cara penarikan dan besar sampel. Cara penarikan sampel menentukan apakah sampel yang kita ambil sahih atau mengukur populasi yang kita ingin ukur. Sedangkan besar sampel menentukan presisi/ketepatan dari hasil pengukuran kita pada populasi.

Sebagai contoh, riset untuk mengetahui cakupan imunisasi lengkap pada anak umur 12-23 bulan. Jika 300 anak yang bertempat tinggal dekat dengan puskesmas saja diambil sebagai sampel, maka sampel tersebut sangat mungkin tidak dapat mewakili populasi anak umur 12-23 bulan di

Kabupaten Bogor. Mengapa? Karena ada banyak anak yang bertempat tinggal jauh dari puskesmas dan anak-anak ini tidak mungkin terpilih sebagai sampel. Artinya cara penarikan sampel yang dilakukan tidak sahih.

Presisi hasil pengukuran kita ditentukan oleh besar sampel riset. Pada riset tentang cakupan imunisasi lengkap pada anak 12-23 bulan, misalkan hasil pada 300 anak sebagai sampel memperlihatkan cakupan imunisasi lengkapnya 54%. Dalam menyimpulkan hasil riset ini, kita memahami bahwa cakupan imunisasi lengkap anak umur 12-23 bulan Kabupaten Bogor kecil sekali kemungkinannya sama persis dengan hasil dari sampel, yaitu persis 54%. Kita paham bahwa cakupan imunisasi lengkap di populasi berkisar sekitar 54% tersebut. Kisaran tersebut dapat dinyatakan dengan selang kepercayaan. Selang kepercayaan diukur pada derajat

kepercayaan tertentu, misalnya 95%. Misalkan hasil riset kita menunjukkan selang kerpercayaan 95% untuk cakupan imunisasi lengkap antara 50% sampai dengan 58%, berarti kita 95% percaya bahwa cakupan imunisasi lengkap pada anak 12-23 bulan di Kabupaten Bogor berada pada selang antara 50% sampai dengan 58%. Dengan kata lain, di populasi mungkin saja cakupan imunisasis lengkapnya 57%. Rentang selang kepercayaan (58-50% = 8%) disebut sebagai presisi. Semakin kecil rentangnya semakin baik presisi penelitian kita.

Sebelum kita melakukan penarikan sampel, kita harus mengetahui dahulu secara jelas batasan populasi kita. Misalkan kita ingin mengetahui prevalensi gizi buruk pada anak di Kabupaten Larantuka. Rancangan sampel tidak dapat dibuat sebelum kita menetapkan: (1) definisi anak dan (2) daerah Kabupaten Larantuka yang diikutsertakan dalam riset. Kita dapat menetapkan batasan umur anak, seperti 0-59 bulan atau anak balita.Penetapan syarat yang harus dipenuhi oleh subyek penelitian untuk dapat diambil sebagai sampel disebut kriteria inklusi. Semua subyek yang memenuhi kriteria inklusi dikumpulkan sebagai satu kelompok, dari mana penarikan sampel dilakukan. Kumpulan subyek yang memenuhi kriteria inklusi ini disebut sebagai kerangka sampel (sampling frame). Setelah seseorang memenuhi kriteria inklusi dan masuk dalam kerangka sampel, dia dapat dikeluarkan kembali karena memenuhi kriteria ekslusi. Kriteria eklusi adalah kriteria atau syarat yang digunakan untuk mengeluarkan subyek yang sudah masuk dalam

(3)

kerangka sampel. Pada contoh riset di atas, peneliti dapat menetapkan kriteria ekslusi telah tinggal di Kabupaten Larantuka lebih dari 6 bulan.

Unit di mana pemilihan sampel dilakukan disebut sebagai unit sampel, sedangkan unit di mana pengukuran dilakukan disebut sebagai unit elementer. Unit sampel dan unit elementer dapat berbeda. Misalnya riset untuk mengukur prevalensi penyakit tuberkulosis pada orang dewasa di propinsi Jawa Barat. Unit sampel dapat berupa rumah tangga karena peneliti memilih rumah tangga dari kerangka sampel rumah tangga, sedangkan unit elementer adalah orang dewasa yang tinggal di rumah tangga yang terpilih. Perbedaan unit sampel dan unit elementer dapat terjadi untuk kepraktisan penarikan sampel.

Dalam setiap riset, kita tidak dapat lepas dari kesalahan (error) ketika kita mengambil kesimpulan. Kesalahan ini dapat berupa sampling error dan non sampling error. Sampling error adalah

kesalahan prakiraan angka di populasi (seperti cakupan imunisasi, prevalensi gizi buruk) yang terjadi karena peneliti melakukan pengukuran pada sampel, bukan pada populasi. Besarnya sampling error dapat dihitung sepanjang pengambilan sampel dilakukan secara acak serta dapat diminimalkan dengan penggunaan rancangan sampel yang tepat.Non sampling error adalah kesalahan yang terjadi karena sebab lain, bukan karena pengambilan sampel. Non sampling error dapat terjadi karena kesalahan alat ukur, kesalahan cara ukur, dan lain-lain.

Hal-hal di atas harus kita perhatikan dalam merancang sampel karena kita menginginkan hasil penelitian dari sampel dapat menyimpulkan populasi dengan kesalahan sekecil mungkin. Namun dalam kenyataannya rancangan sampel yang dibuat dibatasi oleh ketersediaan sumber dana dan daya serta kepraktisan manajemen penelitian. Jadi rancangan sampel yang dibuat peneliti

akhirnya merupakan komprosi dari sampel yang sahih dan presisi tinggi tetapi tetap efisien dalam penggunaan sumber daya dan dana yang ada.

Dasar teori penarikan sampel

Penarikan sampel didasarkan pada teori limit sentral dalam distribusi sampel. Distribusi sampel merupakan distribusi dari hasil pengukuran pada sampel jika pengambilan sampel dilakukan secara berulang-ulang dari populasi yang sama. Pada tiap pengambilan sampel maka akan dihasilkan nilai rata-rata atau proporsi yang berbeda. Misalkan kita melakukan 3 kali penarikan sampel secara acak dari populasi untuk mengetahui rata-rata hemoglobin pada wanita hamil. Kemungkinan besar kita akan memperoleh 3 nilai rata-rata hemoglobin yang berbeda

Jika penarikan sampel dilakukan lebih banyak lagi sampai semua kemungkinan sampel habis maka akan diperoleh banyak nilai rata-rata. Nilai rata-rata yang diperoleh dari tiap pengambilan sampel pada pengambilan sampel berulang dapat ditampilkan dalam bentuk histogram, dengan sumbu X berupa nilai rata-rata dan sumbu Y berupa proporsi nilai tersebut muncul.Grafik ini dinamakan sebagai distribusi sampel, yang berbentuk seperti lonceng dan simetris.Bentuk distribusi seperti ini dalam statistik dikenal sebagai distribusi normal.

Insert contoh grafik distribusi sampel

Dari distribusi sampel, kita dapat menghitung nilai rata-rata dari rata-rata sampel (mean of the means). Jika penarikan sampel dilakukan berulang-ulang sampai semua kemungkinan sampel

(4)

sudah ditarik, maka nilai rata-rata dari rata-rata sampel ini akan sama dengan nilai rata-rata yang sebenarnya di populasi. Nilai rata-rata masing-masing sampel tentu berbeda dengan rata-rata dari rata-rata ini dan variasinya dapat diukur dengan menghitung variansnya. Akar kuadrat dari varians dapat dihitung juga untuk menghasilkan simpang baku. Tetapi simpang baku yang dihasilkan merupakan simpang baku dari rata-rata sampel terhadap rata-rata di populasi bukan simpang baku dari nilai individual terhadap nilai rata-ratanya. Simpang baku dari distribusi sampel ini disebut sebagai simpang galat (standard error).

Setelah kita mengetahui sifat distribusi sampel, bukan berarti kita harus melakukan pengambilan sampel secara berulang-ulang pada suatu riset.Teori limit sentral memungkinkan kita untuk melakukan pengambilan kesimpulan tentang keadaan populasi tapi perlu melakukan pengambilan sampel berulang-ulang.

Teori limit sentral mengatakan: jika ada satu populasi dengan rata-rata μ, atau proporsi π, dengan standar deviasi σ, maka distribusi parameter sampel berdasarkan pengambilan sampel n secara acak dan berulang-ulang memiliki beberapa sifat:

1. Rata-rata distribusi sampel untuk parameter akan sama dengan parameter populasi, θ (rata-rata, μ atau proporsi, π).

2. Standar deviasi distribusi sampel untuk parameter θakan sama dengan σ/√n. Ukuran ini juga dikenal sebagai simpang galat (standard error, SE). Simpang galat memegang peranan penting pada estimasi parameter dan uji statistik.

3. Jika distribusi nilai pada populasi normal, maka distribusi sampel juga normal. Tetapi yang lebih penting adalah jika distribusi nilai pada populasi tidak normal, dengan jumlah sampel yang cukup besar maka distribusi sampel akan mendekati normal, tanpa

tergantung oleh distribusi nilai pada populasi.

Maka dengan asumsi besar sampel yang cukup, distribusi sampel x – yang mengikuti distribusi normal - dapat digambarkan tanpa kita perlu mengambil sampel berulang-ulang.

Pada keadaan distribusi sampel mengikuti distribusi normal, maka jika kita membuat rentang nilai x + 1,96*SE, rentang tersebut akan mencakup nilai rata-rata populasi (μ, rata-rata dari rata-rata sampel) jika x terletak pada rentang μ+ 1,96*SE. Menurut sifat distribusi normal, probabilitas nilai x terletak pada μ+ 1,96*SE adalah 95%.

Insert gambar

Sehingga dari ketiga kondisi di atas, kita dapat menyimpulkan: probabilitas x+ 1,96*SE untuk mencakup paramater populasi adalah 95%. Pengertian ini merupakan konsep selang kepercayaan 95% dari rata-rata/proporsi sampel. Jadi jika dari suatu riset kita memperoleh rata-rata tekanan darah sistolik pada orang dewasa di Jakarta 120 mmHg dengan selang kepercayaan 95%: 110-130 mmHg, maka berarti peneliti 95% percaya bahwa rata-rata tekanan darah sistolik pada orang dewasa di Jakarta berada pada kisaran 110 sampai dengan 130 mmHg.

Uji Hipotesis

(5)

diketahui. Selain estimasi parameter, suatu penelitian juga dapat bertujuan untuk menguji hipotesis. Misalkan seorang peneliti ingin menguji perbedaan proporsi kejadian BBLR antara ibu anemia dengan ibu tidak anemia.Karena proporsi BBLR pada ibu anemia dan juga proporsi BBLR pada ibu tidak anemia diperoleh dari sampel, maka ada kemungkinan perbedaan yang terlihat pada kedua proporsi ini terjadi secara kebetulan belaka akibat pengambilan sampel.Uji statistik bermanfaat untuk memperlihatkan apakah perbedaan yang ada terlalu besar jika terjadi akibat kebetulan belaka.

Dalam melakukan uji statistik, peneliti akan menetapkan dahulu hipotesis nol (H0) yang

menyatakan tidak ada perbedaan antara parameter kedua populasi. Sedangkan hipotesis alternatif (Ha), yang sering kali juga merupakan hipotesis penelitian menyatakan adanya perbedaan

parameter kedua populasi.Uji statistik dilakukan untuk melihat jika hipotesis nol benar di

populasi, berapa probabilitas kita untuk memperoleh hasil seperti pada penelitian yang dilakukan atau lebih ekstrim. Jika probabilitas ini, yang sering kali ditulis sebagai nilai p, kecil nilainya, maka kita mengambil kesimpulan bahwa hipotesis nol tidak sesuai dengan hasil penelitian. Dan jika hasil penelitian dianggap “benar” maka hipotesis nol menjadi salah, atau kita menolak hipotesis nol. Seberapa besar nilai p yang dianggap “cukup kecil’ untuk menolak hipotesis nol tergantung dari seberapa besar peneliti mau menanggung risiko untuk salah mengambil kesimpulan.

Dalam pengujian hipotesis, ada 2 kesalahan yang mungkin terjadi dalam mengambil kesimpulan dari hasil penelitian.Peneliti dapat salah menolak hipotesis nol, padahal di populasi hipotesis nol adalah benar.Kesalahan ini disebut sebagai kesalahan tipe I (type I error) atau kesalahan alfa (alpha error).Probabilitas untuk membuat kesalahan ini dapat diatur oleh peneliti dan

dilambangkan dengan α. Di pihak lain, jika peneliti gagal menolak hipotesis nol juga mungkin terjadi kesalahan, dimana pada populasi hipotesis nol adalah salah. Kesalahan ini disebut sebagai kesalahan tipe II (type II error) atau kesalahan beta (beta error) dan dilambangkan dengan β. Dan akhirnya kekuatan uji (power) dari suatu uji statistik adalah probabilitas untuk menolak hipotesis nol jika hipotesis nol pada populasi salah. Konsep tentang kesalahan tipe I dan tipe II dalam penelitian dapat diringkas dalam tabel berikut:

Tabel xx. Ringkasan probabilitas terjadinya kesalahan pada uji statistik Kesimpulan

uji statistik

Keadaan sebenarnya di populasi H0 benar H0 salah Gagal tolak H0 1-α: Selang kepercayaan β: Kesalahan tipe II Tolak H0 α: Kesalahan tipe I 1-β: Kekuatan uji

Jadi pada satu uji hipotesis hanya satu kesalahan yang dapat terjadi. Jika kita menolak hipotesis nol, maka dapat terjadi kesalahan tipe I. Sedangkan jika kita gagal menolak hipotesis nol, maka dapat terjadi kesalahan tipe II.

(6)

Cara Penarikan Sampel Sampel acak sederhana

Metode pengambilan sampel secara acak sederhana merupakan metode pengambilan sampel terbaik dan paling mudah untuk dimengerti.Namum pengambilan sampel secara acak sederhana tidak selalu dapat dilakukan, bahkan seringkali tidak mungkin dilakukan pada penelitian survei, terutama survei pada populasi besar.

Dasar dari metode pengambilan sampel acak sederhana adalah memberikan kesempatan yang sama kepada unit sampel untuk terpilih sebagai sampel. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam memilih sampel dengan metode acak sederhana adalah memberi nomor 1 sampai dengan N untuk tiap unit sampel/elementer pada populasi. Langkah berikutnya adalah memilih sampel sejumlah n dengan menggunakan proses acak, seperti penggunaan tabel acak, generator angka acak dari kalkulator atau komputer. Prosedur apapun yang digunakan, konsep acak harus tetap terjaga dan tidak ada nomor yang lebih besar dari N.

Misalkan pada satu populasi, ada 20 orang dokter dan peneliti ingin mengetahui rata-rata kadar kolesterol HDL pada 20 orang dokter ini. Namun peneliti tidak ingin memeriksa ke 20 orang dokter tersebut, tetapi hanya ingin memeriksa 4 orang saja.Agar pemilihan subyek penelitian dapat berlangsung secara adil, peneliti memilih metode acak sederhana. Jadi pertama-tama, peneliti menyusun daftar dari ke 20 orang dokter ini dan memberinya nomor urut dari 1 sampai dengan 20, seperi tabel berikut:

Nama dokter Nomor Nama dokter Nomor

Dini Ella Rita Tris Budi Rina Santi Alan Joni Jacub 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Toha Lukman Susi Vivi Badu Yusrizal Tanto Wawan Wita Dedi 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Dengan menggunakan tabel angka acak seperti pada lampiran xx, peneliti dapat memilih 4 dokter sebagai sampel dengan metode acak sederhana.Peneliti harus menggunakan angka 2 digit dan mulai pada baris tertentu.Misalkan peneliti mulai pada baris 5, dan mengambil 2 digit pertama pada baris 1 kolom 1, diperoleh angka 37.Karena pada kerangka sampel hanya terdapat 20 unit sampel, maka angka ini tidak dipergunakan.Angka berikutnya (ke sebelah kanan) adalah 57, juga tidak dapat dipergunakan. Angka berikutnya 03, dapat digunakan.Demikian seterusnya, sampai peneliti memperoleh 4 angka yang termasuk dalam kerangka sampel.Jika satu baris telah habis, peneliti dapat berpindah pada baris berikutnya (pada contoh ini baris 6).Sehingga akhirnya

(7)

peneliti memperoleh sampel, yaitu dokter nomor 03, 06, 12, 19.Atau dokter Rita, Rina, Lukman dan Wita terpilih sebagai sampel.

Pada penggunaan tabel acak, peneliti dapat mulai pada baris atau kolom mana saja dan proses pemilihan dapat berlangsung secara horisontal ataupun vertikal. Pada contoh di atas, boleh saja peneliti mulai pada baris 9 kolom 2 dan memilih sampel secara vertikal.Dengan cara ini maka terpilih dokter nomor 14, 12, 20 dan 04.

Pemilihan sampel acak dengan menggunakan tabel sering dilakukan sebelum tersedianya fasilitas generator angka acak pada kalkulator dan komputer.Meskipun pemilihan sampel acak dengan menggunakan tabel tidak salah, namun cukup merepotkan, apalagi jika populasi besar. Dengan menggunakan komputer, peneliti dapat meminta komputer untuk langsung mengeluarkan nomor sampel terpilih pada kerangka sampel tertentu.

Sampel acak sistematik

Pada pemilihan sampel dengan metode sistematik, peneliti harus membagi populasi menjadi m kelompok dengan besar kelompok k=N/m. Pada kelompok pertama, pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana dengan selang angka acak antara 1 sampai dengan k. Sampel berikutnya dipilih dengan menambahkan k pada angka sebelumnya.

Misalkan peneliti ingin mengetahui status gizi balita yang datang ke puskesmas pada tahun 2011.Pada tahun tersebut ada 5000 balita yang datang dan peneliti hanya ingin mengambil 100 balita saja sebagai sampel.Maka peneliti membagi balita tersebut menjadi 5000/100=50

kelompok.Pada tiap kelompok terdiri dari 100 balita.Balita pertama dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan selang angka 1 sampai dengan 100.Misalkan terpilih balita nomor 57.Maka balita selanjutnya yang terpilih sebagai sampel adalah balita nomor (57+100=157),

(157+100=257), (257+100=357), dan seterusnya.

Pemilihan sampel secara sistematik memiliki keuntungan dibandingkan pemilihan sampel secara acak sederhana:

• Pemilihan sampel dapat dilakukan pada proses yang sedang berjalan, dimana jumlah populasi dan kerangka sampel belum tersedia. Misalkan untuk melakukan audit rekam medik rumah sakit pada tahun berjalan. Dalam keadaan ini sampel acak sederhana tidak mungkin dipergunakan, karena kerangka sampel belum ada dan jumlah populasi belum diketahui. Tetapi jika jumlah pasien yang berkunjung (N) dapat diperkirakan and besar sampel n telah ditentukan, maka sampel pertama dapat ditentukan antara pasien ke 1 dan ke k (disebut sebagai pasien ke i). Sedangkan sampel berikutnya adalah pasien ke i+2k, dan seterusnya.

• Penggunaan metode sampel sistematik menjamin sampel menjadi lebih tersebar ke seluruh anggota populasi.

• Formula yang digunakan untuk estimasi parameter, varians dan uji statistik pada sampel acak sederhana dapat pula digunakan pada metode sampel sistematik.

Pada keadaan tertentu penggunaan sampel sistematik sangat tidak dianjurkan. Misalkan untuk memilih sampel hari dengan k=7, karena sampel akan selalu jatuh pada hari yang sama.

(8)

Sampel Stratifikasi

Pada penelitian, seringkali populasi terbagi menurut tingkat tertentu.Misalkan masyarakat terbagi menurut tingkat pendidikan rendah, sedang dan tinggi, atau puskesmas terbagi menjadi

puskesmas dengan perawatan dan puskesmas tanpa perawatan.Jika sampel acak sederhana digunakan pada populasi dapat terjadi satu bagian populasi tidak terwakili. Misalkan penelitian untuk melihat kualitas pelayanan puskesmas, pengambilan sampel secara acak sederhana saja mungkin menyebabkan tidak terpilihnya puskesmas dengan perawatan. Agar semua kelompok populasi dapat terwakili, metode pengambilan sampel secara stratifikasi dapat digunakan.

Pada metode ini, populasi dibagi menjadi tingkat/stratum terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan stratum adalah bagian dari populasi (subpopulasi) yang memiliki karakteristik yang sama dan karakteristik ini diduga berhubungan dengan variabel utama yang diteliti. Jadi pada contoh di atas, puskesmas dibagi menjadi 2 kelompok, puskesmas tanpa perawatan dan puskesmas dengan perawatan.Dengan menggunakan stratum ada/tidaknya perawatan ini karena peneliti menduga terdapat hubungan antara ada/tidaknya perawatan dengan kualitas pelayanan puskesmas. Pada tiap stratum peneliti akan mengambil sampel dengan metode tertentu. Jika metode yang

digunakan adalah metode acak sederhana, maka pengambilan sampel dikatakan sebagai metode acak stratifikasi (stratified random sampling). Kemudian peneliti akan menggunakan sampel dari kedua strata ini untuk menghasilkan satu estimasi parameter populasi.

Dalam merencanakan pengambilan sampel secara stratifikasi, agar dihasilkan parameter populasi dengan presisi tinggi maka elemen di dalam stratum harus diusahakan homogen, sedangkan variasi antar stratum harus diusahakan setinggi mungkin.Atau di dalam stratum homogen dan antar stratum heterogen.

Pada penggunaan metode sampel stratifikasi, peneliti juga harus menentukan besar sampel untuk masing-masing stratum.Penetapan besar sampel untuk masing-masing stratum ini disebut juga sebagai alokasi sampel. Sistem alokasi yang paling mudah adalah memberikan besar sampel yang sama untuk tiap stratum. Jadi nh = n/L, di mana nh adalah besar sampel untuk tiap stratum, n besar

sampel keseluruhan dan L jumlah strata. Cara lain yang sering digunakan adalah alokasi proporsional atau probability proportionate to size (PPS). Dengan cara ini, fraksi sampel nh/Nh

untuk tiap stratum adalah sama. Jadi besar sampel untuk tiap stratum dihitung berdasarkan:

 

dimana nh adalah besar sampel untuk stratum h, Nh jumlah elemen (populasi) pada stratum h, n

adalah besar sampel keseluruhan dan N adalah jumlah elemen keseluruhan (populasi total). Pemilihan cara alokasi sampel mempengaruhi metode analisis hasil penelitian. Pada alokasi proporsional, estimasi parameter populasi (rata-rata dan proporsi) menjadi self weighted, sehingga peneliti tidak perlu menggunakan bobot dalam analisis. Sedangkan dengan alokasi sama, efek self weighted tidak diperoleh sehingga dalam perhitungan parameter populasi, peneliti perlu

(9)

 

dimanawh adalah bobot untuk subyek pada stratum h, nh adalah besar sampel untuk stratum h, Nh

jumlah elemen (populasi) pada stratum h, n adalah besar sampel keseluruhan dan N adalah jumlah elemen keseluruhan (populasi total).

Secara umum dapat dikatakan keuntungan sampel acak stratifikasi dibandingkan sampel acak sederhana adalah:

• Sampel acak stratifikasi menghasilkan estimasi dengan presisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sampel acak sederhana pada besar sampel yang sama. • Informasi untuk tiap stratum dapat diperoleh dengan mudah

• Namun kelemahan sampel acak stratifikasi adalah pengambilan sampel dengan metode ini tidak lebih sulit dari sampel acak sederhana. Pada tiap stratum, kerangka sampel harus dibuat sebelum pemilihan sampel dapat dilakukan. Karena alasan inilah, pada survei sampel acak stratifikasi tidak umum digunakan. Metode pengambilan sampel yang paling sering digunakan pada survei adalah metode klaster. Atau juga sering digunakan gabungan metode stratifikasi dan klaster.

Sampel Klaster

Metode pengambilan sampel secara acak sederhana dan acak stratifikasi memiliki kendala yang sama, yaitu harus tersedianya kerangka sampel yang berupa daftar dari semua unit sampel. Daftar seperti ini umumnya tidak tersedia dan untuk membuat daftar tersebut diperlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Pada populasi, masyarakat seringkali sudah terbagi menurut kelompok tertentu, seperti RT, RW, desa, dan lain-lain.Pembuatan kerangka sampel untuk kelompok populasi (kelurahan/desa, RW, RT) sangat mungkin untuk dibuat dan biaya serta waktu yang dibutuhkan relatif tidak terlalu banyak.Kelompok masyarakat ini disebut sebagai klaster dalam metode pengambilan

sampel.Berbeda dengan metode sampel stratifikasi, dalam pengambilan sampel secara klaster, dalam satu klaster diusahakan populasi heterogen dan variasi antar klaster homogen.

Pengambilan sampel dengan metode klaster merupakan pengambilan sampel bertingkat dimana pemilihan unit elementer dijauhkan satu atau lebih tingkat dari pengambilan sampel secara acak sederhana.Keuntungan dari pengambilan sampel dengan metode klaster adalah tidak

diperlukannya kerangka sampel dari unit elementer untuk seluruh populasi.Kerangka sampel dari unit elementer hanya diperlukan pada klaster yang terpilih saja, sehingga biaya dan waktu yang diperlukan untuk membuat kerangka sampel ini menjadi jauh berkurang dibandingkan dengan metode sampel acak sederhana.

Sebagai contoh suatu survei dilakukan untuk mengetahui cakupan pemeriksaan kehamilan pada kabupaten Tangerang.Pada survei ini subyek penelitian adalah ibu yang telah melahirkan bayi 1

(10)

tahun yang lalu atau kurang. Jika pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana maka peneliti harus memiliki daftar nama semua ibu yang melahirkan bayinya 1 tahun yang lalu atau kurang, yang akan digunakan sebagai kerangka sampel. Daftar seperti ini umumnya tidak tersedia dan jika peneliti ingin membuatnya maka diperlukan biaya dan waktu yang cukup besar.Dengan menggunakan metode klaster, peneliti hanya perlu membuat daftar klaster yang ada di kabupaten Tangerang.Misalnya, peneliti dapat menggunakan desa sebagai klaster, sehingga peneliti perlu membuat daftar dari semua desa yang ada di kabupaten Tangerang.Daftar seperti ini umumnya sudah tersedia, sehingga peneliti dapat memperolehnya dengan segera.Dari kerangka sampel berupa daftar desa peneliti memilih sejumlah desa sebagai sampel klaster.Misalkan salah satu desa yang terpilih adalah desa Tigaraksa.Pada desa Tigaraksa peneliti membuat kerangka sampel dari semua ibu yang pernah melahirkan bayinya 1 tahun yang lalu atau kurang.Dan dari kerangka sampel ini peneliti memilih sejumlah subyek secara acak sederhana sebagai sampel.

Pada contoh di atas, pengambilan sampel dapat diringkas dalam langkah sebagai berikut: • Langkah 1: Memilih sampel desa.

• Langkah 2: Memilih responden pada desa yang terpilih pada langkah 1.

Dalam terminologi sampel, langkah di atas disebut sebagai tingkat (stage) dan pengambilan sampel diberinama sesuai dengan banyaknya tingkat. Jadi contoh di atas adalah pengambilan sampel secara klaster 2 tingkat.

Pada pengambilan sampel klaster 1 tingkat, pada tingkat pertama dilakukan pemilihan sampel klaster dan kemudian pada klaster terpilih semua unit elementer diikutsertakan sebagai

sampel.Sedangkan pada pengambilan sampel 2 tingkat, pada tingkat pertama dilakukan pemilihan sampel klaster secara acak dan pada tingkat kedua dilakukan pemilihan sampel unit elementer secara acak sederhana.

Pengambilan sampel juga dapat dilakukan dengan banyak tahap (multistage). Sebagai contoh jika suatu survei dilakukan untuk mengetahui cakupan imunisasi campak pada anak sekolah dasar di kabupaten Cirebon, maka pengambilan sampel dapat dilakukan:

• Langkah 1: Memilih j kecamatan dari J kecamatan yang ada di kabupaten Cirebon. • Langkah 2: Pada j kecamatan terpilih, dipilih k kelurahan/desa dari K kelurahan/desa yang

ada di kecamatan terpilih.

• Langkah 3: Pada k kelurahan/desa terpilih, dipilih l sekolah dasar dari L sekolah dasar yang ada di kelurahan/desa terpilih.

• Langkah 4: Pada l sekolah terpilih, dipilih m kelas dari M kelas yang ada. • Langkah 5: Pada m kelas terpilih, dipilih semua murid yang ada di kelas terpilih. Pada contoh di atas, pemilihan sampel dilakukan dengan cara banyak tingkat.Kelas berfungsi sebagai unit sampel dan murid berfungsi sebagai unit elementer.Pada pengambilan sampel secara banyak tahap, klaster yang digunakan pada tahap pertama disebut sebagai unit sampel primer (primary sampling unit/PSU). Jadi pada contoh di atas, unit sampel primer adalah kecamatan.

(11)

Pada pembahasan di atas, pemilihan klaster dilakukan secara acak, m klaster dipilih secara acak dari M klaster yang ada. Cara lain untuk memilih klaster adalah dengan metode probability proportionate to size (PPS). Pada metode PPS, pemilihan klaster diberi bobot menurut besar klaster.Pada umumnya digunakan jumlah populasi sebagai bobot klaster. Metode ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pemilihan klaster secara acak, seperti dalam analisis data, subyek penelitian menjadi self-weighted sehingga tidak diperlukan pembobotan.

Pada pemilihan dengan cara PPS, peneliti perlu membentuk daftar klaster berikut besar masing-masing klaster.Misalkan untuk klaster desa, jumlah penduduk dapat digunakan untuk

menggambarkan besar/bobot klaster.Dari daftar yang terbentuk peneliti membuat jumlah penduduk kumulatif. Contoh daftar tersebut seperti tabel berikut:

Nama desa Jumlah penduduk Jumlah penduduk kumulatif Sukasari 1500 1500 Sukamanah 3000 4500 Sukajadi 2350 6850 Sukamakmur 4000 10850 Sukamaju 1350 12200 Gotong-royong 3200 15400 Telaga warna 1780 17180 Warna sari 1900 19080 Situ biru 2560 21640 Sari maju 3400 25040

Pemilihan klaster dilakukan dengan menggunakan metode acak dengan selang nomor 1 sampai dengan 25040. Jadi misalkan angka acak pertama adalah 1653, angka 1653 tersebut berada di antara 1501 dan 4500, jadi desa Sukamanah terpilih. Angka acak kedua dikeluarkan/dipilih, misalkan angka tersebut adalah 9201.Angka ini terletak pada selang 6851 sampai dengan 10850, berarti desa Sukamakmur terpilih.Dengan cara ini klaster yang lebih besar memiliki kesempatan untuk terpilih lebih besar pula, karena selang yang dimiliki lebih lebar.Ariawan dan Frerichs (1995) telah mengembangkan perangkat lunak CSurvey yang dapat digunakan untuk memilih klaster dengan metode PPS.

Pengambilan sampel dengan metode klaster akan menghasilkan estimasi parameter dengan presisi yang lebih rendah dibandingkan sampel acak stratifikasi dan sampel acak sederhana. Tetapi karena metode ini lebih murah dan mudah dilakukan untuk survei pada manusia, maka metode klaster sangat sering dipergunakan untuk penelitian survei.

Pada pengambilan sampel dengan banyak tahap, perhitungan estimasi parameter dan standard error menjadi lebih rumit karena tiap tahap pengambilan sampel harus diperhitungkan.Teknik estimasi varians dan perhitungan uji statistik sangat berbeda dengan sampel acak sederhana. Metode linearisasi Taylor banyak digunakan untuk estimasi varians dan uji statistik untuk sampel

(12)

dengan banyak tahap. Beberapa perangkat lunak statistik SPSS, Stata dan SAS menyediakan fasilitas untuk perhitungan estimasi varians dan uji statistik dari pengambilan sampel secara bertahap.

Secara umum dikatakan bahwa estimasi standar error yang diperoleh pada metode sampel klaster kurang-lebih

1

+

σ

x

(

m

1

)

lebih besar dari standar error yang diperoleh pada metode sampel

acak sederhana dengan besar sampel yang sama, dimana m adalah besar sampel rata-rata untuk tiap klaster dan σx adalah intraclass correlation coefficient (atau disebut juga rate of

homogeneity). Nilai koefisien σx dapat berkisar antara nilai negatif, jika populasi di dalam klaster sangat heterogen, sampai dengan 1, jika populasi dalam klaster homogen tetapi berbeda antar satu klaster dengan klaster yang lain. Standar error pada sampel klaster akan sama dengan standar error pada sampel acak sederhana jika koefisien σx = 1 (klaster heterogen), tetapi dapat lebih besar jika klaster homogen. Perbandingan antara varians pada metode sampel kompleks (termasuk klaster) dengan varians jika sampel diambil dengan cara acak sederhana dikenal sebagai design effect.

(13)

6A2.LANGKAH-LANGKAH PRAKTIS

Keterkaitan cara penarikan sampel dengan besar sampel

Pada bagian sebelumnya sudah diuraikan berbagai metode penarikan sampel. Bagian berikut akan menjelaskan perhitungan besar sampel. Besar sampel dihitung berdasarkan teori limit sentral pada distribusi sampel dan uji statistik. Rumus baku perhitungan besar sampel mengacu pada asumsi bahwa sampel ditarik dengan metode acak sederhana. Di lapangan, seringkali kita tidak memiliki kerangka sampel, walaupun ada namun tidak lengkap, sehingga sampel ditarik melalui beberapa tahap (disebut juga disain sampel kompleks). Pada disain sampel kompleks, perhitungan besar sampel harus dikoreksi dengan efek disain, yaitu perbandingan (ratio) antara varians yang diperoleh pada pengambilan sampel secara kompleks (seperti sampel klaster) dengan varians yang diperoleh jika pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (Levy and Lemeshow, 1999).

Semakin besar variasi atau keragaman antar klaster dibandingkan variasi atau keragaman di dalam klaster, semakin besar pula efek desainnya. WHO menggunakan efek desain = 2.0 untuk survei prevalensi imunisasi. Ariawan dan Frerichs (1995) menggunakan efek desain = 2.0 pada survei cepat untuk kejadian yang sering atau prevalensi diatas 15%.

Jadi, besar sampel sangat dipengaruhi oleh cara penarikannya, terutama jika penarikannya tidak dilakukan secara langsung satu tahap menggunakan metode acak sederhana tetapi sampel ditarik melalui beberapa tahap (disain sampel kompleks), maka besar sampel perlu dikalikan dengan efek disain.

Prinsip penetapan besar sampel

Pertanyaan yang sering diajukan adalah ”Berapa besar sampel yang dapat mewakili populasi?”. Pada riset kuantitatif, besar sampel sangat ditentukan oleh banyak komponen, antara lain tujuan penelitian, jenis outcome variabel yang ingin diukur dan presisinya, ukuran dampak yang ingin diukur, selang kepercayaan, kekuatan uji, dan cara penarikan sampel serta disain efeknya, seperti terlihat pada tabel # berikut.

(14)

Tabel #. Berbagai komponen yang menentukan besar sampel Tujuan penelitian Outcome variabel Presisi/ variasi Variasi Selang Kepercayaan Kekuatan Uji Cara penarikan sampel 1. Estimasi 1. Proporsi p, presisi Sp 90, 95, 99% 1. Acak sederhana (satu sampel) 2. Rata-rata x, presisi Sx 2. Kompleks sampel 2. Uji Hipotesis 1. Beda p1-p2 Ukuran

Dampak:

90, 95, 99% 80,90,95% 1. Acak sederhana

(dua sampel) proporsi 2. Kompleks sampel

OR,RR

2. Beda x1-x2 90, 95, 99% 80,90,95% 1. Acak sederhana

rata-rata 2. Kompleks sampel

OR=Odds Ratio, RR=Risk Ratio, p= Proporsi, x=Rata-rata, Sp = Standar deviasi proporsi; Sx = Standar deviasi rata-rata p1 = Perkiraan Proporsi kelompok-1, p2 = Perkiraan Proporsi kelompok-2,

x1 = Perkiraan rata-rata kelompok-1, x2 = Perkiraan rata-rata kelompok-2,

Dari Tabel # terlihat bahwa, pada penelitian yang bertujuan melakukan estimasi (pada satu sampel), besar sampelnya ditentukan oleh perkiraan parameter yang akan diukur (proporsi atau rata-rata) beserta variansnya, presisi atau deviasi antara nilai populasi dengan nilai sampel yang dapat ditolerir, selang kepercayaan, dan bagaimana cara penarikan sampelnya (acak sederhana atau kompleks).

Agar bisa menetapkan besar sampel minimum pada suatu riset, peneliti harus memiliki informasi awal tentang hal yang ingin ditelitinya, terutama outcome variabelnya. Informasi awal ini hanya bisa didapatkan melalui kajian literatur terkait hasil riset yang pernah dilakukan sebelumnya, baik di daerah yang sama ataupun di tempat lain. Sampel minimum untuk uji hipotesis memerlukan informasi tambahan berupa besaran perbedaan efek intervensi (yang akan diuji) yang dianggap bermakna secara substansi, selang kepercayaan dan kekuatan ujinya, dan bagaimana cara penarikan sampelnya (acak sederhana atau kompleks).

ƒ Besar sampel untuk survei (estimasi satu sampel)

Sebagai contoh, suatu survei dilakuan untuk mengetahui gambaran status gizi Balita di suatu Kabupaten, apabila sampel ditarik secara langsung dari daftar seluruh Balita di Kabupaten tersebut, maka besar sampelnya adalah sebagai berikut (Lwanga and Lemeshow, 1991; Paul dan Lemeshow, 1999).

Rumus perhitungan besar sampel untuk estimasi proporsi, sampel acak sederhana:

2 2 2 / * (1 ) d P P Z n= α −   Keterangan:   n = besar sampel 

(15)

      Zα/2 = Nilai Distribusi Normal Standar pada α/2 

      P = Perkiraan proporsi 

      d =Presisi

Di lapangan, seringkali kita tidak punya daftar Balita yang akurat di tingkat Kabupaten dan kita tidak dapat melakukakan pemilihan acak sederhana terhadap Balita. Sehingga penarikan sampel dilakukan secara cluster 2-bertahap, tahap pertama memilih beberapa Desa secara PPS dan tahap kedua memilih beberapa Balita di Desa terpilih secara acak sederhana. Perhitungan besar sampelnya perlu dikoreksi dengan mengalikan besar sampel dengan efek disain = 2.0, sehingga besar sampel minimum menjadi 196 x 2 = 392 Balita.

Rumus perhitungan besar sampel untuk estimasi proporsi rancangan klaster: deff d P P Z n * 2(1 )* 2 2 / − = α

ƒ Besar sampel untuk uji hipotesis (dua sampel)

Pada situasi tertentu survei dapat dilakukan untuk melakukan uji hipotesis, baik uji hipotesis beda rata-rata ataupun uji hipotesis beda proporsi. Misalnya suatu survei di Kabupaten Bogor bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan rata-rata kadar Hb ibu hamil antara sebelum dan setelah mengkonsumsi tablet Fe. Besar sampel dapat dihitung dengan rumus sampel uji hipotesis beda dua rata-rata kelompok dependen:

2 2 1 2 2 2 / ) ( * ] [ μ μ β α − + = Z Z S n   Keterangan:   n = besar sampel        Zα/2 = Nilai Distribusi Normal Standar pada α/2        S = Standar deviasi selisih nilai sebelum dan sesudah        u1, u2 = nilai rata‐rata sebelum dan sesudah  Contoh‐1 Tujuan riset: Mengetahui prevalensi gizi kurang pada Balita di Kabupaten  Bogor. Penelitian di Jawa Barat melaporkan angka gizi kurang pada Balita  15% (P=0,15). Peneliti 95% yakin (Zα/2 = 1,96)  bahwa angka gizi kurang di  Bogor berkisar 10—20% (d=0,05). Dengan menarik sampel secara acak dari  daftar Balita di Kabupaten (kerangka sampel tersedia), maka diperlukan  sampel minimum 196 Balita.  196 05 , 0 ) 15 , 0 1 ( * 15 , 0 * 96 , 1 ) 1 ( * 2 2 2 2 2 / − == = d P P Z n α  

(16)

Sampel minimum yang dibutuhkan adalah 35 ibu hamil, yang sebelum mengkonsumsi tablet Fe diukur kadar Hb-nya, kemudian setelah mengkonsumsi tablet Fe diukur kembali kadar Hb-nya untuk diuji secara statistik apakah peningkatannya signifikan atau tidak. Perlu diingat bahwa perbedaan rata-rata atau peningkatan (u1 dan u2) harus

didasarkan pada perbedaan/peningkatan yang dianggap bermakna secara subtansi, bukan hanya didasarkan pada penelitian terdahulu saja.

Besar sampel untuk berbagai rancangan riset kuantitatif

Pada bab sebelumnya telah diuraikan berbagai rancangan riset kuantitatif. Pertanyaan yang sering muncul terkait dengan besar sampel adalah “Apakah besar sampel di pengaruhi oleh rancangan riset?”. Dari uraian di Tabel # tentang berbagai komponen yang menentukan besar sampel terlihat tidak ada komponen rancangan riset. Rancangan riset bukanlah faktor yang menentukan besar sampel. Rancangan riset hanya menentukan cara perhitungan nilai proporsi dari estimasi parameter, misalnya penentuan P1 dan P2 pada rancangan kasus kontrol akan berbeda dengan survei kros-seksional atau kohor. ƒ Besar sampel pada uji klinik

Seorang peneliti ingin membandingkan efek penurunan gula darah antara obat anti diabetes “A” dan “B”. Hasil penelitian pendahuluan pada 5 pasien tiap kelompok selama 3 minggu pengobatan, obat “A” menurunkan kadar gula darah sebesar rata-rata 40 mg/dl dengan standar deviasi 20 mg/dl. Sedangkan obat “B” menurunkan kadar gula darah sebesar rata-rata 30 mg/dl dengan standar deviasi 15 mg/dl. Berapa sampel minimum yang diperlukan jika peneliti ingin menguji bahwa obat “A” lebih baik dalam menurunkan kadar gula darah dibandingkan obat “B” pada derajat kepercayaan 95% dan kekuatan uji 90% (Ariawan, 1998).

Rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda rata-rata, rancangan acak sederhana: Contoh‐2  Tujuan riset: Membuktikan apakah ibu hamil yang mengkonsumsi 90 tablet  atau lebih pil Fe, memiliki kadar Hb lebih tinggi dibandingkan dengan yang  mengkonsumsi kurang dari 90 tablet. Penelitian pendahuluan dengan sampel  20 ibu hamil (n1=20) sebelum mengkonsumsi tablet Fe didapatkan rata‐rata  kadar Hb 9,5 g/dl dan sesudah mengkonsumsi tablet Fe didapatkan rata‐rata  kadar Hb 12,5 ada peningkatan sebesar 3 g/dl dengan Standar Deviasi 6,0 g/dl 

(u1 – u2 =3.0 dan S=6). Pada tingkat kepercayaan 95% (Zα/2= 1,64) dan 

kekuatan uji 90% (Zb= 1,28). Maka diperlukan sampel minimum 35 ibu hamil   35 ) 5 . 9 5 . 12 ( 6 * ] 28 . 1 64 . 1 [ ) ( * ] [ 2 2 2 2 2 1 2 2 2 / = − + = − + = μ μ β α Z S Z n  

(17)

2 2 1 2 2 2 / ) ( * ] [ μ μ β α − + = Z Z Sp n   Dimana  ) 1 ( ) 1 ( ] ) 1 ( ) 1 [( 2 1 2 2 2 2 1 1 2 − + − − + − = n n S n S n Sp Keterangan:   n = besar sampel        Zα/2 = Nilai Distribusi Normal Standar pada α/2        S1, S2 = Standar deviasi kelompok 1 dan kelompok 2        Sp = Standar deviasi gabungan kedua kelompok        u1, u2 = nilai rata‐rata pada kelompok 1 dan kelompok 2 

Untuk menjamin kedua kelompok sehomogen mungkin, maka dilakukanlah pemilihan secara acak untuk menentukan apakah seorang responden masuk ke kelompok A atau kelompok B. Prosedur ini dikenal dengan nama randomisasi atau random alokasi. Dengan menggunakan tabel acak, peneliti memasukkan responden ke kelompok A jika muncul angka 0—4 dan kelompok B jika muncul angka 5—9. Misalnya dari tabel acak keluar angka sbb: 2, 5, 1, 3, 7, 4, 8, 3, 9 dst. Sehingga pengelompokan responden adalah: A, B, A, A, B, A, B, A, B dst. Dengan metode ini, jumlah kelompok A = 5 responden berbeda dengan jumlah kelompok B = yang hanya 4 responden.

Untuk menghidari alokasi yang tidak sama antara kelompok A dan B, digunakan metode randomisasi dengan blok permutasi. Misalnya untuk 2 kelompok atau 2 blok, jika muncul angka 0 sd 4 urutan pengelompokan responden adalah A dan B, jika muncul angka 5 sd 9 urutan pengelompokan responden adalah B dan A. Misalnya angka acak yang muncul sama dengan sebelumnya yaitu: 2, 5, 1, 3, 7, 4, 8, 3, 9 dst. Sehingga pengelompokan responden adalah: A-B, B-A, A-B, A-B, B-A, A-B, B-A, A-B, B-A dst.

Dengan metode random blok permutasi ini, jumlah kelompok A = 9 responden sama dengan jumlah kelompok B = 9 responden. Dengan cara ini alokasi sama untuk tiap kelompok dapat terpenuhi.

ƒ Besar sampel pada eksperimen di komunitas Contoh‐3 

Tujuan riset: Menguji apakah efek penurunan gula darah oleh obat A lebih besar  dibandingkan obat B. Studi pendahuluan (n1=n2=5), penurunan gula darah obat A 

(u1=40 dan S1=20) dan obat B (u2=30 dan S2=15). Perbedaan efek yang ingin 

dideteksi (u1‐u2=10). Pada kepercayaan 95% (Zα/2 = 1,96) dan kekuatan uji 90% 

(Zβ=1,28), maka sampel minimum yang diperlukan sebanyak 66 responden  (dengan rincian 33 diberi obat A dan 33 diberi obat B).  5 , 312 ) 1 5 ( ) 1 5 ( ] 15 ) 1 5 ( 20 ) 1 5 [( ) 1 ( ) 1 ( ] ) 1 ( ) 1 [( 2 2 2 1 2 2 2 2 1 1 2 = − + − − + − = − + − − + − = n n S n S n Sp 33 ) 30 40 ( 5 , 312 * ] 28 , 1 96 , 1 [ ) ( * ] [ 2 2 2 2 1 2 2 2 / = − + = − + = μ μ β α Z Sp Z n  

(18)

Kegiatan eksperimen di komunitas biasanya dilakukan secara massal pada suatu kelompok masyarakat. Riset berikut ini bertujuan untuk mengetahui efek intervensi program gizi di komunitas. Hipotesisnya adalah intervensi baru di bidang gizi yang diujicobakan di Kecamatan X,Y,Z (kecamatan intervensi) berdampak pada penurunan angka kurang gizi pada Balita dibandingkan dengan program standar yang sudah berjalan selama ini di Kecamatan A,B,C (kecamatan kontrol). Peneliti yakin 95% bahwa program baru dapat menurunkan angka kurang gizi sebesar 10% dibanding program standar. Selama ini prevalensi kurang gizi di Kabupaten tersebut adalah 15%. Dengan kekuatan uji 80% maka jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah 222 Balita, dengan rincian 111 Balita yang dipilih secara acak sederhana di Kecamatan intervensi dan 111 Balita yang dipilih secara acak sederhana di Kecamatan Kontrol, seperti contoh-4 berikut.

Rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda dua proporsi rancangan acak sederhana:

2 2 1 2 2 2 1 1 ) ( ] ) 1 ( ) 1 ( * ) 1 ( 2 * [ p p p p p p Z P P Z n − − + − + − = α β   2 2 1 p p P= +

Besar sampel minimum yang diperlukan adalah 222 responden bila pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana, namun jika pemilihan acak sederhana tidak mungkin dilakukan (karena kerangka sampel Balita tidak tersedia), dapat melakukan penarikan sampel dengan metode kluster 2-tahap. Tahap pertama memilih beberapa Desa secara PPS (di Kecamatan intervensi dan di Kecamatan kontrol), tahap kedua memilih beberapa Balita di tiap Desa secara acak sederhana. Besar sampel perlu dikalikan dengan disain efek, misalnya disain efek=2, maka besar sampelnya adalah 444 Balita, dimana 222 Balita kelompok intervensi dan 222 Balita kelompok kontrol.

ƒ Besar sampel pada rancangan riset kohor Contoh‐4 Tujuan riset: Mengetahui efek program intervensi gizi di suatu  Kabupaten. Prevalensi kurang gizi pada Balita dilaporkan 15%, peneliti  95% yakin (Zα/2= 1,96) bahwa program baru intervensi gizi dapat  menurunkan prevalensi gizi menjadi 5% (perbedaan efek p1‐p2=10%)  dengan kekuatan uji 80% (Zβ = 0,84) diperlukan sampel minimum 222  Balita. (111 kelompok intervensi dan 111 Balita kelompok kontrol)  10 , 0 2 05 , 0 15 , 0 + = = P   111 ) 05 , 0 15 , 0 ( ] ) 05 , 0 1 ( 05 , 0 ) 15 , 0 1 ( 15 , 0 * 84 , 0 ) 10 , 0 1 ( 10 , 0 * 2 * 96 , 1 [ 2 2 = − − + − + − = n  

Perlu diingat bahwa perbedaan proporsi (p1 dan p2) harus didasarkan

pada perbedaan yang dianggap bermakna secara subtansi, bukan hanya didasarkan pada hasil penelitian terdahulu saja 

(19)

Rancangan riset kohor biasanya digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu pajanan terhadap suatu dampak (kesakitan) yang muncul pada kelompok masyarakat. Ada kelompok terpajan dan tidak terpajan, dan ada insiden penyakit pada kedua kelompok. Ratio antara insiden ini dikenal dengan nama Relatif Risk/RR. Jika insiden penyakit lebih besar pada kelompok terpajan, maka kita katakan ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.

Misalnya seorang peneliti ingin membandingkan dua terapi (pembedahan dengan radiasi) untuk suatu jenis kanker. Dari penelitian terdahulu diketahui bahwa 35% pasien kanker yang menjalani pembedahan meninggal dalam waktu 5 tahun. Jika peneliti ingin melakukan penelitian kohort, dengan asumsi risiko kematian pada terapi radiasi adalah separuh dari terapi pembedahan, dan peneliti menginginkan derajat kemaknaan 5% serta kekuatan uji 90%, maka besar sampel dapat dihitung dengan memanfaatkan rumus besar sampel untuk uji hipotesis beda 2 proporsi: (Lwanga dan Lemeshow, 1991; Ariawan, 1998). 2 2 1 2 2 2 1 1 ) ( ] ) 1 ( ) 1 ( * ) 1 ( 2 * [ p p p p p p Z P P Z n − − + − + − = α β   Dimana: 2 2 1 p p P= + ; dan 2 1 p p RR = ; p1=insiden penyakit pada kelompok terpajan; p2=insiden penyakit pada kelompok tidak terpajan.

 

ƒ Besar sampel pada rancangan riset kasus control

Pada rancangan riset kasus kontrol, ada kelompok kasus (subjek dengan penyakit) dan kontrol (subjek tanpa penyakit), kemudian peneliti membandingkan proporsi kasus yang terpajan dan proporsi kontrol yang terpajan. Jika Odds kasus yang terpajan lebih besar

Contoh‐5 Tujuan riset: Membuktikan apakah risiko meninggal akibat terapi radiasi lebih  rendah dari terapi pembedahan. Proporsi meninggal pada terapi pembedahan  dalam waktu 5 tahun adalah 35% (p2=35%), peneliti menduga risiko kematian  pada terapi radiasi adalah separuh dari terapi pembedahan (RR=0,5), peneliti  menginginkan derajat kemaknaan 5% (Zα/2= 1,64) dan kekuatan uji 90% (Zb=  1,28), maka p1 dan P dapat dihitung sbb:  175 , 0 35 , 0 * 5 , 0 2 * 1=RR p = = p  dan  P=(0,35+0,175)/2=0,2625  dan besar sampel minimum adalah 262 sampel dengan rincian 131 sampel  terapi bedah dan 131 sampel terapi radiasi  131 ) 35 , 0 175 , 0 ( ] ) 35 , 0 1 ( 35 , 0 ) 175 , 0 1 ( 175 , 0 * 28 , 1 ) 2625 , 0 1 ( 2625 , 0 * 2 * 96 , 1 [ 2 2 = − − + − + − = n

(20)

dibanding Odds kontrol yang terpajan (dikenal dengan nama Odds Ratio/OR) maka kita katakan pajanan merupakan faktor risiko timbulnya penyakit.

Misalnya kasus berat bayi lahir rendah (BBLR), peneliti ingin menguji suatu hipotesis bahwa anemia pada ibu hamil merupakan faktor risiko BBLR. Hasil penelitian seblumnya memperlihatkan rasio odds sebesar 2,5. Prevalensi anemia pada ibu hamil sebesar 60%. Jika peneliti menginginkan tingkat kepercayaan 95% dan kekuatan uji 80% (Ariawan, 1998). Hitunglah besar sampel yang diperlukan.

Sebagian besar bayi lahir memiliki berat badan normal dan hanya sedikit yang BBLR, maka prevalensi anemia pada ibu hamil dapat merupakan estimasi proporsi anemia pada ibu yang melahirkan normal (P2) atau proporsi pajanan pada kelompok kontrol, dan nilai P1 dapat dihitung dari nilai OR dan P2. Sedangkan besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus sampel uji hipotesis beda 2 proporsi (Lwanga dan Lemeshow, 1991; Ariawan, 1998). 2 2 1 2 2 2 1 1 ) ( ] ) 1 ( ) 1 ( * ) 1 ( 2 * [ p p p p p p Z P P Z n − − + − + − = α β   Dimana: 2 2 1 p p P= + ; dan ) 1 ( ) * ( * 2 2 2 1 p p OR p OR p − + =

p1=proporsi terpajan pada kelompok kasus; p2= proporsi terpajan pada kelompok kontrol

ƒ Perhitungan p1 dan p2 pada rancangan kohor dan kasus control Contoh‐6  Tujuan riset: membuktikan risiko anemia terhadap BBLR dengan rancangan riset  kasus kontrol. Hasil peneliti di negara lain menunjukkan rasio odds sebesar 2,5  (OR=2,5). Prevalensi anemia pada ibu hamil diketahui dari hasil survei sebesar  60%. Peneliti menginginkan tingkat kepercayaan 95% (Zα/2= 1,64) dan kekuatan uji  80% (Zb= 0,84). Karena sebagian besar bayi yang lahir memiliki berat badan  normal, maka prevalensi anemia pada ibu hamil dapat dianggap sebagai proporsi  anemia pada ibu yang melahirkan bayi berat badan normal (p2=0,6), dan nilai p1 =  0,79 dari hasil perhitungan berikut:  79 , 0 ) 6 , 0 1 ( ) 6 , 0 * 5 , 2 ( 6 , 0 * 5 , 2 ) 1 ( ) * ( * 2 2 2 1= + = + = p p OR p OR p   dan besar sampel minimum adalah 144 dengan rincian 72 kasus dan 72 kontrol.  72 ) 79 , 0 6 , 0 ( ] ) 79 , 0 1 ( 79 , 0 ) 6 , 0 1 ( 6 , 0 * 84 , 0 ) 7 , 0 1 ( 7 , 0 * 2 * 64 , 1 [ 2 2 = − − + − + − = n  

(21)

Pada riset rancangan kohor, p1 adalah insiden sakit pada kelompok yang terpajan dan p2 adalah insiden sakit pada kelompok yang tidak terpajan. Dimana p1 = a / (a+b) dan p2 = c / (c+d).

Pajanan  Sakit  Total  Ya Tidak

Ya  a b a+b

Tidak  c d c+d

Pada riset rancangan kasus kontrol, p1 adalah proporsi pajanan pada kelompok kasus dan p2 adalah proporsi pajanan pada kelompok kontrol. Dimana p1 = a / (a+c) dan p2 = b / (b+d).

Pajanan  Kasus  Kontrol 

Ya  a b

Tidak  c  d 

Total a+c b+d

Besar sampel untuk situasi lainnya ƒ Besar sampel untuk multiple outcome

Ada kalanya riset dilakukan dengan tujuan untuk menilai berbagai kejadian (multiple a sebagai sampel minimum dalam riset yang akan dilakukan. Misalnya pada survei besar seperti Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, besar sampel dihitung untuk berbagai jenis outcome (kejadian sakit dan cakupan program) untuk mendapatkan gambaran di tingkat kabupaten/kota.

ƒ Besar sampel untuk multiple factor

Seringkali riset dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor (multiple factor) yang berhubungan dengan suatu kejadian. Maka perhitungan besar sampel harus dilakukan untuk semua faktor yang ingin diuji, kemudian diambil jumlah sampel terbesarnya sebagai sampel minimum dalam riset yang akan dilakukan.

Misalnya faktor yang berpengaruh terhadap kejadian BBRL, besar sampel dihitung untuk berbagai jenis faktor yang ingin diuji (seperti anemia, merokok, hipertensi, dan status ekonomi). Maka perlu informasi tentang: proporsi BBLR pada ibu anemia dan pada ibu non-anemia, proporsi BBLR pada ibu perokok dan pada ibu non-perokok, proporsi BBLR pada ibu hipertensi dan pada ibu non-hipertensi, serta proporsi BBLR pada ibu miskin dan pada ibu tidak miskin. Kemudian dihitung besar sampel untuk tiap variabel dan diambil jumlah sampel terbesarnya sebagai sampel minimum dalam riset yang akan dilakukan.

(22)

ƒ Besar sampel untuk analisis multivariabel

Ada kalanya dalam menjawab tujuan penelitian dilakukan analisis multivariat, agar pengaruh variabel perancu dan variabel interaksi dapat dikontrol. Maka perhitungan besar sampel harus dilakukan untuk dinilai kecukupannya dalam model multivariat.

Model multivariat (regresi logistik, regresi linier, atau regresi cox, dan regresi lainnya) memiliki batasan jumlah maksimum variabel covariat yang boleh masuk agar didapatkan perkiraan yang akurat dari model tersebut. Aturan praktis (role of thumb) mempersyaratkan setidaknya harus ada 10 (sepuluh) responden yang mengalami kejadian (event) per variabel (Elashoff dan Lemeshow, 2005). Jumlah kejadian atau event merujuk pada frekuensi terkecil dari outcome. Sepuluh responden yang mengalami (event) per variabel berlaku untuk variabel kontinyu atau variabel diskrit.

Misalnya untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan BBLR, ada 4 faktor yang ingin diuji dalam model multivariat yaitu anemia, merokok, hipertensi, dan status ekonomi, paling tidak diperlukan 40 responden yang mengalami BBLR dan 40 non-BBLR, dan tanpa model interaksi. Bila ada interaksi maka jumlah sampel perlu ditambah.

ƒ Besar sampel untuk studi pendahuluan atau untuk ujicoba kuesioner

Ada kalanya topik riset yang akan dilakukan sama sekali masih baru dan belum pernah ada riset sebelumnya, sehingga peneliti tidak memiliki informasi awal untuk perhitungan besar sampelnya. Dalam situasi seperti ini peneliti dapat melakukan studi pendahuluan (pilot study) kemudian hasilnya dapat digunakan untuk perhitungan besar sampel minimum dalam studi lengkapnya. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”berapa besar sampel yang diperlukan untuk studi pendahuluan tersebut?”.

Pada situasi lain, peneliti memerlukan ujicoba instrumen (kuesioner) untuk menguji apakah instrumen tersebut sudah valid dan reliabel. Pertanyaan yang sering muncul adalah ”berapa besar sampel yang diperlukan untuk ujicoba kuesioner tersebut?”.

Tidak ada batasan yang pasti tentang jumlah sampel minimum untuk studi pendahuluan atau untuk ujicoba kuesioner. Beberapa ahli menyarakan untuk studi pendahuluan atau ujicoba kuesioner dibutuhkan paling tidak 30 responden dengan asumsi 30 responden dapat membentuk distribusi normal. Ahli lain berpendapat bahwa sampel 20 responden sudah cukup untuk studi pendahuluan atau ujicoba kuesioner.

ƒ Besar sampel untuk studi evaluasi sistem (populasi terbatas)

Pada riset yang bertujuan untuk mengevaluasi program layanan kesehatan atau sistem layanan kesehatan, unit sampelnya adalah pelayanan kesehatan seperti Puskesmas atau Rumah Sakit. Jumlah puskesmas atau rumah sakit di suatu wilayah biasanya terbatas. Sehingga perhitungan besar sampelnya perlu koreksi dengan populasi terbatas.

(23)

Sebagai contoh, suatu survei dilakukan untuk mengetahui kesiapan Puskesmas memberikan pelayanan antenatal sesuai standar (tenaga, sarana, & pra-sarana). Di suatu Kabupaten, diperkirakan baru 70% puskemas yang siap memberikan pelayanan antenatal, dari 50 puskesmas yang ada, jumlah puskesmas untuk disurvei dapat dihitung sebagai berikut (Lwanga and Lemeshow, 1991).

Rumus perhitungan besar sampel untuk estimasi proporsi, populasi terbatas: ) 1 ( * ) 1 ( * ) 1 ( * 2 2 / 2 2 2 / P P Z N d N P P Z n − + − − = α α   Keterangan:   n = besar sampel        Zα/2 = Nilai Distribusi Normal Standar pada α/2        P = Perkiraan proporsi        N = Besar populasi        d =Presisi   

ƒ Besar sampel untuk analisis data sekunder

Ada kalanya riset dilakukan dengan melakukan analisis terhadap data sekunder yang sudah ada seperti data Susenas (survei sosial dan ekonomi nasional), Riskesdas (riset kesehaan dasar), SDKI (survei demografi dan kesehatan indonesia, atau data survei lainnya. Pada kondisi ini, perhitungan besar sampel tidak perlu dilakukan, tetapi harus dilakukan perhitungan presisi atau sampling error (untuk estimasi satu sampel) atau perhitungan kekuatan uji statistiknya (untuk uji statistik dua sampel) dari jumlah sampel yang ada.

Misalnya pada survei Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, di DKI Jakarta ada 750 responden ibu bersalin (dalam periode 2002 sd 2007) dan sebanyak 100 ibu melakukan persalinan dengan metode sesar (p = 0,13). Pada interval kepercayaan 95% dan efek disain (deff) = 2,0 maka presisi atau sampling error angka perkiraan persalinan sesar di DKI Jakarta sebesar 3,4% (d = 0,034), yang didapat dari rumus berikut.

Contoh‐7  Tujuan riset: Mengetahui kesiapan puskesmas memberikan pelayanan  antenatal. Diperkirakan puskesmas yang siap hanya 70% (P=0,7). Peneliti  95% yakin (Zα/2 = 1,96)  bahwa puskesmas yang siap berkisar 60—80%  (d=0,10). Dari 50 puskesmas yang ada (N=50), diperlukan sampel minimum  32 Puskesmas.  32 ) 15 , 0 1 ( 7 , 0 * 96 , 1 ) 1 50 ( 05 , 0 50 * ) 15 , 0 1 ( 7 , 0 * 96 , 1 ) 1 ( * ) 1 ( * ) 1 ( * 2 2 2 2 2 / 2 2 2 / = − + − − = − + − − = P P Z N d N P P Z n α α  

(24)

Jika deff d P P Z n * 2(1 )* 2 2 / − = α ,    maka 0,034 750 2 * ) 13 , 0 1 ( * 13 , 0 * 96 , 1 * ) 1 ( * 2 2 2 / − == = n deff P P Z d α

Jika peneliti ingin mengetahui apakah pemeriksaan antenatal pada dokter spesialis kebidanan berhubungan dengan tindakan persalinan sesar, dengan asumsi 20% persalinan sesar terjadi pada ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya ke dokter spesialis kebidanan, dan hanya 10 % persalinan sesar pada ibu yang memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan lain. Pada interval kepercayaan 95% didapatkan kekuatan uji sebesar 99%, artinya jumlah sampel tersebut cukup untuk mendeteksi adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara pemeriksaan antenatal ke dokter spesialis kebidanan dengan tindakan persalinan sesar.

Kekuatan uji dihitung dengan menggunakan rumus berikut. Setelah didapat nilai Z, kemudian dengan menggunakan tabel distribusi normal standar dikonversi ke nilai probabilitas untuk mendapatkan angka kekuatan uji dalam satuan %.

Jika 2 2 1 2 2 2 1 1 ) ( ] ) 1 ( ) 1 ( * ) 1 ( 2 * [ p p p p p p Z P P Z n − − + − + − = α β Maka .

a. Anggapan yang salah tentang sampel

• Anggapan-1: menaikkan besar sampel akan mengurangi semua bias • Anggapan-2: peningkatan besar sampel akan menurunkan SE secara linier

• Anggapan-3: penarikan besar sampel secara proporsional (misalnya 10% dari populasi) sudah dianggap cukup

PENUTUP

Perhitungan besar sampel yang dicontohkan di atas merupakan besar sampel minimum untuk keperluan analisis data, sehingga dalam pengambilan sampel di lapangan perlu diperhitungkan efek dari non-response, missing data, atau drop out. Pada kondisi normal, menaikkan sampel sebesar 10% sudah dianggap cukup untuk mengantisipasi adanya non-response, missing data, atau drop out. Namun pada kondisi tertentu seperti studi kohor atau penelitian di wilayah konflik mungkin diperlukan peningkatan besar sampel sampai 20% .

BAHAN RUJUKAN

[

] [

]

) 1 ( 2 ) 1 ( 2 * * 0 1 P P P P Z P P n Z − − − − = α β

(25)

Elashoff JD and Lemeshow S. Part II.1. Sample Size Determination in Epidemiologic Studies in Ahrens W and Pigeot I, 2005. Handbook of Epidemiology. Bremen, Germany, Springer.

Lwanga SK and Lemeshow S, 1991. Sample Size Determination in Health Studies: A Practical Manual. Geneva, WHO

Levy PS and Lemeshow S, 1999. Sample of Population . 3rd eds. Geneva, WHO Ariawan I, 1998. Besar sampel pada penelitian kesehatan. Modul Kuliah FKM UI. Chow SC, Shao J, Wang H. 2008. Sample Size Calculations in Clinical Research. Second

edition. Chapman & Hall/CRC.

Lachin, JM. Introduction to Sample Size Determination and Power Analysis for Clinical Trials. Controlled Clinical Trials 2, 93-113 (1981).

ftp://ftp.biostat.wisc.edu/pub/chappell/641/papers/paper28.pdf

Machin D, Campbell M.J., Tan S.B., dan Tan S.H. 2009 Sample Size Tables for Clinical Studies. Third edition. Willey-Blackwell.

FriedeTdanKieser M. 2006. Sample Size Recalculation in Internal Pilot Study Designs: A Review. Biometrical Journal. Volume 48, Issue 4, pages 537–555, August 2006 ….. jurnal belum diambil…. Di EBSCO…UI

Website:

http://home.ubalt.edu/ntsbarsh/Business-stat/otherapplets/SampleSize.htm

http://www.healthknowledge.org.uk/public-health-textbook/research-methods/1a-epidemiology/methods-of-sampling-population

Gambar

Tabel xx. Ringkasan probabilitas terjadinya kesalahan  pada uji statistik  Kesimpulan

Referensi

Dokumen terkait