1 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
PENDIDIKAN, ILMU DAN
KEBUDAYAAN
Teuku Muda Aryadi
Abstrak
Masalah serius yang perlu dikaji bahwa pada kenyataannya nilai-nilai budaya yang disampaikan lewat proses pendidikan bukan nilai-nilai budaya yang diperlukan oleh anak didik kita kelak dimana dia akan dewasa dan berfungsi dalam masyarakat, melainkan nilai-nilai konvensional yang sekarang berlaku untuk didalami dan dipraktekkan oleh orang tua dan guru mereka selaku pendidik. Kesimpulan sementara menyebutkan bahwa kegiatan pendidikan disana tidak memberikan pengetahuan, nilai, sikap yang diperlukan peserta didik untuk hidup dalam abad XXI.
Kata Kunci: pendidikan, ilmu, kebudayaan I. PENDAHULUAN
Kebudayaan didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B. Taylor (1871), dimana kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, sent, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Meskipun Kroeber dan Kluckholm (1952) menginventarisasikan lebih dari 150 definisi tentang kebudayaan, namun pada
dasarnya tidak terdapat perbedaan yang bersifat prinsip dengan definisi Taylor (G.M. Forter, 1962). Kuntjaraningrat (1974) secara lebih terperinci membagi kebudayaan menjadi unsur-unsur yang terdiri dari sistem religius dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang
2 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 banyak sekali. Adanya
kebutuhan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini, menurut Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya (1961: 85). Manusia berbeda dengan binatang bukan saja dalam banyaknya kebutuhan namun juga dalam cara memenuhi kebutuhan tersebut. Kebudayaanlah, dalam konteks ini yang memberikan garis pemisah antara manusia dan binatang. Maslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri dan pengembangan profesi. Binatang kebutuhannya terpusat kepada dua kelompok pertama da_ri kategori Maslow, yakni
kebutuhan fisiologis dan rasa aman serta memenuhi kebutuhan ini secara instinktif Sedangkan manusia tidak mempunyai kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan instink tersebut, dan oleh sebab itu dia berpaling kepada
kebudayaan yang
mengajarkan cara hidup. Pada hakikatnya, menurut Movies dan John Beisanz, kebudayaan merupakan alat penyelamat (survival kit) kemanusiaan di muka bumi (1973 :113).
Ketidakmampuan manusia
untuk bertindak instinktif
ini diimbangi oleh
kemampuan lain yakni
kemampuan untuk belajar,
berkomunikasi dan
menguasai obyek-obyek yang bersifat fisik. Kemampuan
untuk belajar ini
dimungkinkan oleh
berkembangnya inteligensi
dan cara berfikir simbolik. Terlebih-lebih lagi manusia
3 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 merupakan pola kejiwaan
yang didalamnya
terkandung
dorongan-dorongan hidup yang dasar, insting, perasaan, dengan
pikiran, kemauan dan
hubungan yang bermakna
dengan alam sekitarnya
dengan jalan memberi
penilaian terhadap obyek dan kejadian. Pilihan nilai inilah yang menjadi tujuan dan isi kebudayaan (Sutan Takdir , 1975 :6).
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan
menjadi dasar dari
segenap wujud
kebudayaan. Di samping nilai-nilai kebudayaan ini
kebudayaan diwujudkan
dalam tata hidup yang
merupakan kegiatan
manusia yang yang
mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada
dasarnya tata hidup
merupakan pencerminan yang kongkret dari nilai
budaya yang bersifat
abstrak : kegiatan manusia yang dapat ditangkap oleh
pancaindra, sedangkan nilai budaya hanya tertangguk
oleh budi manusia.
Disamping itu maka nilai budaya dan tata hidup
manusia ditopang oleh
perwujudan kebudayaan
yang ketiga yang berupa sarana kebudayaan. Sarana
kebudayaan ini pada
dasarnya merupakan
perwujudan yang bersifat
fisik yang merupakan
produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan
kemudahan dalam
berkehidupan. Keseluruhan
fase dari kebudayaan
tersebut diatas sangat erat
hubungarmya dengan
pendidikan, sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat kegiatan belajar inilah diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada
generasi selanjutnya.
Dengan demikian maka
kebudayaan diteruskan dari
4 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 kebudayaan yang telah
lalu bereksistensi pada
masa kini dan kebudayaan masa kini disampaikan ke masa yang akan datang
Atau menurut Alfred
Korzybski, kebudayaan
mempunyai kemampuan
mengikat waktu. Tanaman
mengikat bahan-bahan
kimiawi, binatang mengikat
ruang, tetapi hanya
manusia seorang yang
mampu mengikat waktu (Montagu, 1961 : 85).
II. KEBUDAYAAN DAN PENDIDIKAN
Allport, Vernon dan Lindzey
(1951), mengidentifikasikan
enam nilai dasar dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik dan agama. Yang dimaksudkan dengan nilai
teori adalah hakikat
penemuan kebenaran lewat
berbagai metode, seperti
rasionalisme, empirisme,
dan metode ilmiah. Nilai ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam
memenuhi kebutuhan
manusia. Nilai estetika
berhubungan dengan
keindahan dan segi-segi artistik yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni, dan wujud kesenian lainnya
yang memberikan
kenikmatan kepada manusia.
Nilai sosial berorientasi
kepada hubungan antar
manusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai politik berpusat
kepada kekuasaan dan
pengaruh baik dalam
kehidupan bermasyarakat
maupun dunia politik.
Sedangkan nilai agama
merengkuh penghayatan
yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi (Edward, 1959 : 39).
Menurut
Koentjaraningrat (1981 :
5), kebudayaan
mempunyai paling sedikit 3 (tiga) wujud, yaitu :
5 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 1. Wujud kebudayaan
sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari
manusia dalam
masyarakat.
3. Wujud kebudayaan
sebagai bendabenda
hasil karya manusia. budaya apa saja yang harus dikembangkan dalam din anak kita. Pendidikan yang dapat diartikan secara luas sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam membantu anak didik untuk mengembangkan pikiran, kepribadian dan kemampuan fisiknya.
III. ILMU DAN KEBUDAYAAN
Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan
unsur dari kebudayaan. Kebudayaan disini merupakan seperangkat sistem nilai, tata hidup dan sarana bagi manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan nasional merupakan kebudayaan yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita suatu bangsa yang diwujudkan dengan kehidupan bernegara. Pengembangan kebudayaan nasional merupakan bagian dari kegiatan suatu bangsa, baik disadari atau tidak maupun dinyatakan secara eksplisit atau tidak.
Ilmu dan kebudayaan berada dalam posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. Pada satu pihak pengembangan ilmu dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi kebudayaannya. Sedangkan di pihak lain, pengembangan ilmu akan mempengaruhi jalannya kebudayaan. Ilmu terpadu secara intim dengan keseluruhan struktur sosial dan tradisi kebudayaan, kata Talcot Parsons, mereka
6 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 saling mendukung satu
sama lain. Dalam beberapa tipe masyarakat ilmu dapat berkembang dengan pesat, demikian pula sebaliknya, masyarakat tersebut dapat berfungsi dengan wajar tanpa didukung perkembangan yang sehat dari ilmu dan penerapan (1965 : 82).
Ilmu merupakan suatu cara berfikir dalam menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Berfikir bukan satu-satunya cara dalam mendapatkan pengetahuan, demikian juga ilmu bukan satu-satunya produk dari kegiatan berfikir. Ilmu merupakan produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah. Jujun S. (1955: 274) menjelaskan bahwa hakikat berfikir ilmiah tersebut maka kita dapat menyimpulkan beberapa
karakteristik dari ilmu. Pertama adalah bahwa ilmu mempercayai rasio sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Walaupun demikian maka berfikir secara rasional inipun harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar samapi kepada kesimpulan yang dapat diandalkan. Untuk itu maka ilmu mempunyai karakteristik yang kedua, yakni alur jalan pikiran yang logis yang konsisten dengan pengetahuan yang telah ada. Walaupun demikian maka tidak semua yang logis itu didukung fakta atau mengandung kebenaran secara empiris. Untuk itu maka ilmu mensyaratkan
karakteristik yang ketiga yakni pengujian secara empiris sebagai kriteria kebenaran obyektif. Pernyataan yang dijabarkan secara logis dan telah teruji secara empiris lalu dianggap benar secara ilmiah dan memperkaya khazanah
7 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 pengetahuan ilmiah.
Walaupun demikian maka tidak ada jaminan bahwa pernyataan yang sekarang benar secara ilmiah kemudian lalu tidak sahih lagi. Untuk itu maka ilmu mensyaratkan
karakteristik keempat yalcni mekanisme yang terbuka terhadap koreksi. Dengan demikian maka manfaat nilai yang dapat ditarik dari karakteristik ilmu ialah sifat rasional, logis, obyektif dan terbuka. Disamping itu sifat kritis merupakan karakteristik yang melandasi keempat sifat tersebut. Selanjutnya Jujun S. (1995 : 278) menjelaskan diperlukan langkah-langkah sistemik dan sistematis untuk meningkatkan peranan dan kegiatan keilmuan, antara lain :
Pertama, ilmu merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan harus
memperhatikan situasi kebudayaan masyarakat kita. Hakikat ilmu itu sendiri adalah universal namun peranannya dalam kehidupan tidaldah terlepas dari matriks kebudayaan secara keseluruhan. Langkah-langkah yang gegabah dalam mempromosikan ilmu, bukan saja akan berakhir dengan kegagalan, namun lebih penting lagi akan menimbulkan perasaan antipati terhadap segenap yang berkonotasi keilmuan. Untuk itu harus ditempuh pendekatan yang bersifat edukatif dan persuasif dengan menghindarkan konflik-konflik yang tidak perlu. Re-interpretasi dari nilai-nilai yang ada harus merupakan titik tolak dalam pengajuan argumentasi mengenai keilmuan.
Kedua, ilmu merupakan salah satu cara dalam menemukan kebenaran. Disamping itu ilmu masih terdapat cara-cara lain yang sah sesuai dengan lingkup
8 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
pendekatan dan
permasalahnnya masing-masing Asas ini hams digaris bawahi agar usaha mempromosikan ilmu tidak menjurus kepada timbulnya gejala yang disebut scientisme, suatu gej ala yang disebut Gerald Holton, sebagai kecanduan terhadap ilmu dengan kecenderungan untuk membagi semua pemikiran kepada dua golongan yangni Ilmu dan omong kosong. Pendewaan terhadap akal sebagai satusatunya sumber kebenaran harus dihindarkan.
Ketiga, asumsi dasar dari semua kegiatan dalam menemukan kebenaran adalah rasa percaya terhadap metode yang dipergunakan dalam kegiatan tersebut. Pertanyaan ini berlaku pula bagi kaum ilmuwan. Mengapa mereka menggunakan metode ilmiah dalam menemukan kebenaran? Jawabannya
tentu saja ialah karena mereka percaya kepada metode ilmiah sebagai cara menemukan kebenaran yang dapat dihandalkan. Demikian juga halnya dengan mereka yang menggunakan cara-cara lain dalam menemukan kebenaran. Dalam masyarakat kita maka percaya kepada cara berfikir seseorang dilandasi dengan kepercayaan terhadap pribadi orang tersebut. Oleh sebab itu maka salah satu langkah yang penting dalam meningkatkan peranan keilmuan dalam masyarakat kita adalah dengan jalan meninggikan integritas ilmuwan dan lembaga keilmuan. Dalam hal ini maka modus operandinya adalah melaksanakan dengan konsekuen kaidah moral dari keilmuan.
Keempat, pendidikan keilmuan harus sekaligus dikaitkan dengan
9 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003
pendidikan moral. Makin pandai seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya. Harus digaris bawahi bahwa etika dalam kegiatan keilmuan merupakan kaidah imperatif dengan pelanggaran mempunyai akibat yang serius. Kebudayaan nyontek hasil pemikiran orang lain dan membajak hasil karya orang lain, yang sekarang ini masih merajalela dalam bidang pendidikan dan penciptaan., tidaklah bersifat mendidik dan harus segera dihilangkan. IV. KESIMPULAN a. Kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan hidupnya yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
b. Unsur-unsur
kebudayaan terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organis asi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan.
c. I l m u m e r u p a k a n b a g i a n d a r i pengetahuan dan pengetahuan
merupakan unsur dari kebudayaan. Ilmu dan kebudayaan berada pada posisi yang saling tergantung dan saling mempengaruhi. d. Pendidikan adalah suatu proses mempengaruhi dan mengembangkan sumber daya manusia
10 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta mengem-bangkan unsur-unsur kebudayaan sesuai dengan hakekat dan tujuan pembangunan
nasional.
e. Pendidikan, ilmu dan kebudayaan
merupakan sesuatu yang utuh yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya dan saling mempengaruhi.
11 Wacana Seni Rupa, Jurnal Seni Rupa dan Desain Vol.3, 6, 2003 DAFTAR PUSTAKA
Ashley Montagu, (1961), Man : His First Million Years, Newyork, Menton Edward T. Hall (1959), The Silent Language, Greenwick,.conn : Fawcett. Jujun S. Suria Sumantri (1995), Filsafat Ilmu, Pustaka Sinar Terapan,
Jakarta.
Koenjtaraningrat (1981), Kebudayaan Mentalitas d a n P e m b a n g u n a n , P T . G r a m e d i a , Jakarta.
Movies L. Biesanz dan John Biesant (1973), Introduction to Sociology, Englewood Cliffs, Newyork, Prentice. Hall.
Sutan Takdir Alisyahbana (1975), Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yayasan Idayu, Jakarta.
Sheldon F. Shactter (1977), Educational Research in Kabupaten Malang.
Talcot Parson (1965), The Social Systems, Glencoe III : The Free Press.