• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Pendahuluan Pada Pasien Dengan Cidera Otak Berat Dan Fraktur Impresi (Repaired)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Pendahuluan Pada Pasien Dengan Cidera Otak Berat Dan Fraktur Impresi (Repaired)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN CIDERA OTAK BERAT DAN FRAKTUR IMPRESI

Oleh : Yulfa Intan Lukita, S.Kep

I. KONSEP PENYAKIT

a. Anatomi Otak dan Sistem saraf tepi

Secara garis besar otak terdiri dari : 1) Cerebrum (otak besar)

Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.

a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah,

(2)

memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.

b) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

c) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.

d) Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

2) Cerebellum (otak kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.

3) Brainstrem (batang otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. 4) Limbic system (sistem limbik)

(3)

Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.

5) Sistem Saraf Tepi

Sistem saraf tepi terdiri dari 12 saraf kranial dan 31 saraf spinal. Saraf kranial

Saraf kranial langsung berasal dari otak dan keluar meninggalkan tengkorak melalui lubang-lubang pada tulang yang disebut foramina (tunggal, foramen). Terdapat 12 pasang saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), okulomotorius (III), troklearis (IV), trigeminus (V), abducens (VI), fasialis (VII), vestibulokoklearis (VIII), glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), dan hipoglosus (XII).

Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial SARAF

KRANIAL KOMPONEN FUNGSI

I Olfaktorius Sensorik Penciuman

II Optikus Sensorik Penglihatan

III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas, konstriksi pupil, sebagian besar gerakan ekstraokular

IV Troklearis Motorik Gerakan mata ke bawah dan ke dalam

V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter

(menutup rahang dan

mengunyah) gerakan rahang ke lateral

Sensorik - Kulit wajah, 2/3 depan kulit kepala, mukosa mata, mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi

- Refleks kornea atau refleks

mengedip, komponen

sensorik dibawa oleh saraf kranial V, respons motorik melalui saraf kranial VI VI Abdusens Motorik Deviasi mata ke lateral

VII Fasialis Motorik Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling

(4)

mata serta mulut, lakrimasi dan salivasi

Sensorik Pengecapan 2/3 depan lidah (rasa, manis, asam, dan asin) VIII Cabang

Vestibularis Sensorik Keseimbangan

Cabang

koklearis Sensorik Pendengaran

IX

Glossofaringeus

Motorik Faring: menelan, refleks muntah

Parotis: salivasi

Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit

X Vagus Motorik Faring: menelan, refleks

muntah, fonasi; visera abdomen Sensorik Faring, laring: refleks muntah,

visera leher, thoraks dan abdomen

XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot trapezius: pergerakan kepala dan bahu

XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah

(5)

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.

c. Epidemiologi

Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan sebanyak 296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang (20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%).

Dari sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah Sakit. Angka kejadian cidera kepala di RSUD Dr. Moewardi dari bulan Januari-Oktober 2012 sebanyak 453 kasus., sedangkan di IGD sendiri berdasarkan kenyataan yang dilihat penulis selama praktek dari tanggal 2 Juli-29 Juli 2012 (1 bulan) di RSUD Dr.Moewardi Surakarta terdapat 43 pasien cidera kepala yang terdiri dari 29 ( 68,4%) laki-laki dan 14 (31,5%) perempuan yang mengalami cedera kepala ringan sampai berat. Pasien dengan cidera kepala ringan (CKR) sebanyak 21 (48,8%), cidera kepala sedang (CKS) 8 (18,6%) dan cidera kepala berat (CKB) 14 (32,5%). Cedera ini mayoritas disebabkan oleh kecelakaan lalulintas.

d. Etioogi

Penyebab cidera kepala adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:

1. Trauma Primer

Terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung (akselarasi dan deselerasi).

(6)

Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.

e. Klasifikasi

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya cedera kepala.

1. Berdasarkan mekanisme

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu :

a) cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak

b) Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. 2. Berdasarkan morfologi

Cedera kepala terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi, a) Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.

b) Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi : 1) Fraktur linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja

(7)

pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

2) Fraktur diastasis

Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum epidural.

3) Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4) Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat. Fraktur impresi adalah fraktur pada tulang tengkorak di mana terdapat fragmen yang tertekan di bawah permukaan normal dan mengarah ke otak. Penyebab dari fraktur impressi ini adalah trauma yang biasa disebabkan akibat terjatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, perkelahian fisik, dan olahraga. Tipe fraktur ini sering menyebabkan penekanan pada otak atau trauma langsung pada otak, ditambah lagi, patahan tulang dapat merusak duramater, selaput yang melindungi otak, sehingga dapat menyebabkan kebocoran cairan serebrospinal. Gejala-gejala yang muncul akibat fraktur impresi dipengaruhi pada bagian otak mana yang terkena imbas langsung dari penekanan fraktur tersebut, diantaranya dapat terjadi mual-muntah, gangguan pandangan, pembengkakan, bicara pelo, kehilangan kesadaran, pusing, sakit kepala, perubahan pupil, serta keluarnya cairan jernih maupun

(8)

berdarah dari hidung maupun telinga. Untuk menegakkan diagnosa sebuah fraktur impresi dibutuhkan anamnesis yang penting berupa adanya riwayat trauma yang menyebabkan kepala terbentur, pemeriksaan fisik yang khas yakni terdapatnya salah satu fragmen tengkoran yang patah dan menekan ke arah otak. Selain itu gold standar untuk menegakkan sebuah fraktur impresi adalah dengan CT-scan kepala.

5) Fraktur basis krani

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media)

c) Cidera kepala di area intrakranial

Menurut yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal dan cedera otak difus.

1) Cidera otak fokal meliputi

(a) Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Epidural hematom (EDH) adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula interna tulang tengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan kesadaran adanya interval lusid selama beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

Indikasi pembedahan :

(1) Pasien epidural hematoma dengan volume >30 cc, tanpa melihat GCS

(2) Perdarahan epidural dengan volume <30 cc dan ketebalan <15 mm dan pergeseran struktur midline <5mm dengan GCS >8 tanpa defisit fokal dapat dilakukan penatalaksanaan

(9)

nonoperatif dengan CT scan kepala serial dan observasi neurologis secara ketat di pusat perawatan neurologis.

(b) Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH)

Perdarahan subdural akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural

Indikasi Pembedahan

(1) Pasien subdural hematoma, tanpa melihat GCS dengan ketebalan >10mm atau pergeseran struktur midline > 5mm pada CT scan

(2) Semua pasien subdural hematoma dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring tekanan intrakranial.

(3) Pasien subdural hematoma dengan GCS < 9

- Ketebalan subdural hematoma < 10mm dan pergeseran struktur midline

- Mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit dan/atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetris atau fixed dan/atau TIK > 20mmHg.

(c) Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik.

Subdural hematom kronik adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah trauma.

(d) Perdarahan intra cerebral (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya

(10)

pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah kortikal dan subkortikal.

Indikasi pembedahan :

(1) Pasien dengan lesi masa parenkimal

- Tanda-tanda deteorisasi neurologis yang progresif dan sesuai dengan lesi,

- Hipertensi intrakranial yang refrakter dengan pengobatan - Atau ada anda-tanda efek masa pada CT kepala.

(2) Pasien dengan GCS 6-8

- dengan kontusio frontal atau temporal volume >20 ml, dengan pergeseran struktur

- midline ≥ 5mm

- dan atau kompresi sisterna pada CT - lesi ≥ 50ml..

(3) Pasien dengan intra cerebral hematoma yang tidak menunjukkan tanda-tanda neurologis yang menjelek, dan telah dilakukan kontrol terhadap TIK, dan tidak menunjukkan efek massa yang bermakna pada CT, dapat dilakukan penatalaksanaan non operatif dengan monitor yang intensif dan foto serial

(e) Perdarahan subaraknoid traumatik (SAH)

Perdarahan subarahnoit diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut sebagai perdarahan subarahnoit (PSA).

2) Cidera Otak Difus

Cedera kepala difus adalah terminologi yang menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselarasi gaya rotasi dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam. Cidera kepala difus dikelompokkan menjadi :

(11)

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu hemisfer (asosiasi) danserabut yang menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan. Kerusakan sejenis ini lebih disebabkan karena gaya rotasi antara initi profunda dengan inti permukaan. (b) Kontusio cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab kontosio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercoup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak

(c) Edema cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

(d) Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang atau terhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degeneratif pembuluh darah otak.

3. Berdasarkan beratnya

Cidera kepala berdasarkan beratnya dapat dikelompokkan menjadi : a) Cidera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15

1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi. 2) Tidak ada kehilangan kesadaran

3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang 4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala b) Cidera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13

(12)

Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan

1) Amnesia paska trauma 2) Muntah

3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)

4) Kejang

c) Cidera kepela berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8 1) Penurunan kesadaran sacara progresif

2) Tanda neorologis fokal

3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium f. Patofisiologi

Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2% dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20% dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80% dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu. Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.

Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian. Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Cidera kepala primer

Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

(13)

2. Cidera kepala sekunder

Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi dapat dijelaskan sebagai berikut : CPP = MAP – ICP

CPP = Cerebral Perfusion Pressure MAP = Mean Arterial Pressure ICP = Intra Cranial Pressure

CPP normal adalah 60-70 mmHg. Penurunan CPP kurang dari 60 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

3. Edema sitotoksik

Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan membran sel

Dipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan

(14)

terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. Apoptosis

Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).

g. Manifestasi klinis

Manifestasi klinik dari cidera kepala tergantung dari berat ringannya cidera kepala :

1) Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator yang paling sensitive yang dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glascow Coma Scale) Hilang kesadaran < 30 menit atau lebih

2) Peningkatan TIK yang mempunyai trias klinis seperti: nyeri kepala karena regangan dura dan pembluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyekti 3) Pucat

4) Mual muntah 5) Pusing kepala 6) Terdapat hematoma 7) Kecemasan

8) Sukar untuk dibangunkan

9) Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Tanda dan gejala sesuai fase cidera adalah sebagai berikut : 1) Fase emergensi

(a) Memar (b) Hematom

(c) Pendarahan telinga (d) Penurunan kesadaran

(e) Penurunan reflek batuk dan menelan 2) Cidera kepala ringan

(15)

(b) Tidak ada contunision cerebral hematom (c) Pusing dapat diadaptasi

3) Cidera kepala sedang a) Disorientasi ringan b) Amnesia post trauma c) Sakit kepala

d) Mual dan muntah e) Verfigo

f) Gangguan pendengaran 4) Cidera kepala berat

a) Tidak sadar 24 jam b) Fleksi dan ektensi c) Abnormal ekstrermitas d) Edema otak e) Hemiparase f) Kejang h. Pemeriksaan penunjang 1. CT-Scan

Mengidentifikasi adanya hemorragic, ukuran ventrikuler, infark pada jaringan mati.

2. Foto tengkorak atau cranium

Untuk mengetahui adanya fraktur pada tengkorak. 3. MRI (Magnetic Resonan Imaging)

Gunanya sebagai penginderaan yang mempergunakan gelombang elektomagnetik.

4. Laboratorium

Kimia darah: mengetahui ketidakseimbangan elektrolit.

Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

(16)

Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

6. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis 7. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

8. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil 9. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

10. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

11. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial

i. Penatalaksanaan

Setelah penilaian awal dan stabilitasi tanda vital,keputusan segera pada pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsultasikan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera kepala berat sebaiknya perawatan dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang dapat dilakukan untuk kerusakan primer akibat cedera kepala, tetapi sebaiknya dapat mengurangi kerusakan otaksekunder akibat hipoksia, hipertensi, atau tekanan intrakranial yang meningkat.

Dalam unit rawat intensif dapat dilakukan hal-hal berikut : 1. Penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi

2. Monitor tekanan darah

3. Pemasangan alat monitor tekanan intraktranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila memungkinkan.

4. Penatalaksanaan cairan : hanya larutan isotonis (salin normal dan ringer laktat)

5. Temperatur badan

6. Anti kejang fenitoin 15 – 20 mg/kg BB bolus intravena

7. Steroid deksametason 10 mg intravena setiap 4 – 6 jam selama 48 – 72 jam

(17)

9. Pemeriksaan

Dapat menberikan manfaat terhadap kasus yang ragu-ragu. Harus dilakukan pemeriksaan sinar X tulang kepala, bila bertujuan hanya untuk kepentingan medikolegal.

Penolongan pertama pada fraktur impresi adalah :

1. Periksa airway, breathing, dan circulation pada korban. Jika perlu mulai bantuan nafas buatan dan CPR

2. Cegah untuk memindahkan korban (kecuali jika benar-benar diperlukan) sampai petugas kesehatam datamg. Instruksikan kepada seseorang untuk meminta bantuan dengan menelpon 118 (atau nomor imergensi lokal) untuk pertolongan medis.

3. Jika korban harus dipindahkan, perhatikan untuk menjaga stabilisasi kepala dan leher, letakkan kedua tangan anda pada kedua sisi kepala hingga dibawah bahu. Jangan biarkan terjadinya pergerakkan kepala kearah depan maupun belakang, ataupun perputaran kepala.

4. Secara hati-hati periksa bagian yang terluka, tetapi jangan memeriksa bagian dalam maupun sekitaran luka dengan menggunakan benda asing. 5. Jika terdapat perdarahan, lakukan penekanan ringan dengan menggunakan

kain yang bersih untuk mengontrol perdarahannya.

6. Jika kain tersebut sudah basah seluruhnya, jangan pindahkan kain tersebut, tetapi tambahkan kain lain diatas kain tersebut dan teruskan melakukan penekanan.

7. Jika pasien muntah, stabilisasi kepala dan leher (seperti langkah ke 3), dan secara perlahan miringkan korban untuk menghindari tersedak ataupum aspirasi.

8. Jika pasien sadar dan mengalami hal-hal diatas, segera antar ke pusatkesehatan terdekat (bahkan jika korban merasa tidak perlu).

Terapi bedah pada fraktur impresi dibutuhkan jika :

1. Besarimpresi yang terjadi sekitar 8-10 mm (atau lebih besar dari ketebalan tulang tengkorak)

2. Gangguan fungsi otak yang diakibatkan oenekanan oleh fragmen tengkorak yang mengalami cidera

3. Kebocoran cairan serebrospinal

4. Fraktur impresi terbuka, atau fraktur dengan terputus maupun lepasnya bagian kulit kepala.

(18)

j. Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya pada cidera kepala meliputi :

1. Koma

2. Kejang/ seizure 3. Infeksi

4. Hilangnya kemampuan kognitif 5. Penyakit alzhaimer dan parinson

Komplikasi pada fraktur impresi yakni infeksi, dan kejang. Secara keseluruhan angka terjadinya kejang kecil, namun akan meningkat jika korban tidak sadar selama lebih dari 2 jam.

(19)

II. Pathwway

Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas jaringan kulit, otot, dan vaskuler

Perdarahan Gangguan suplai darah

Risiko infeksi Nyeri akut Risiko syok Perubah an sirkulasi CSS Peningkatan TIK Iskemia Hipoksia Kerusakan memori Gangguan perfusi jaringan otak

Gilus medialis lobus temporalis tergeser Herniasi unkus - Mual muntah - Papilodema - Pandangan kabur - Penurunan fungsi pendengaran - Nyeri kepala Risiko kekurangan volume cairan

Jaringan otak rusak (kontusio laserasi) - Perubahann autoregulasi - Oedem serebral Kejang - Obstruksi jalan nafas - Bersihan jalan nafas - Dispnea - Henti nafas - Perubahan pola nafas Gangguan neurologis vokal Defisit neurologis Gangguan persepsi sensori Mesenfalon tertekan Gangguan kesadaran Risiko cidera

Imobilisasi Hambatan mobilitas fisik

Tonsil cerebrum bergeser Kompresi medula oblongata

Supine terlalu lama Kerusakan integrtas kulit

(20)

III. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian

1. Breathing

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

2. Blood

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,disritmia).

3. Brain

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :

a) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

b) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.

c) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. d) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

e) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

f) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

(21)

4. Blader

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

5. Bowel

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.

6. Bone

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

b. Diagnosa Keperwatan

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, 3. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan,

penekanan reseptor nyeri

4. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret

5. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran

6. Resiko kerusakan integritas kulit berhubuingan dengan imobilisasi dalam waktu yang lama

(22)

b.

Implementasi

No.

Diagnosa

Tujuan

Intervensi

Rasional

1. Gangguan perfusi

jaringan serebral berhubungan dengan penurunan aliran darah ke otak

NOC: Tissue Perfusion: Cerebral

Kriteria hasil:

1. menunjukkan perfusi jaringan membaik TD dalam batas normal, tidak ada keluhan sakit kepala. 2. Tanda-tanda vital stabil 3. Tidak menunjukkan adanya gangguan perfusi meliputi disorientasi, kebingungan,

maupun nyeri kepala

NIC:

Circulatory Precaution

1. Kaji sirkulasi perifer secara komprehensif (nadi perifer, edema, CRT, warna, dan suhu ekstremitas) 2. Kaji kondisi ekstremitas meliputi

kemerahan, nyeri, atau pembengkakan 3. Hindarkan cedera pada area dengan

perfusi yang minimal

4. Hindarkan klien dari posisi trendelenberg yang meningkatkan TIK 5. Hindarkan adanya penekanan pada

area cedera

6. Pertahankan cairan dan obat-obatan sesuai program

7. Health education tentang keadaan dan kondisi pasien kepada keluarga

8. Kolaborasi pemberian terapi medikamentosa

1. Mengetahui status sirkulasi perifer dan

adanya kondisi

abnormal pada tubuh 2. Mengetahui adanya perubahan akibat gangguan sirkulasi perifer 3. Menghindari cedera untuk meminimalkan luka 4. Posisi trendelenberg akan meningkatkan TIK sehingga memperparah kondisi klien

5. Mengurangi penekanan agar perfusi tidak terganggu 6. Obat-obatan untuk meningkatkan sattus perfusi 7. Mengurangi kecemasan keluarga 8. Membantu

(23)

mempercepat kesembuhan klien

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan

neuromuskuler

Respiratory status : Ventilation

Status sistem pernapasan : ventilasi

Pola napas pasien adekuat ditandai dengan: 1. Pasien bernapas tanpa kesulitan 2. Menunjukkan perbaikan pernapasan 3. Paru-paru bersih pada pemeriksaan auskultasi

4. Kadar PO2 dan PCO2 dalam batas normal

Respiratory monitoring

1. Monitor kecepatan, frekuensi, kedalaman dan kekuataan ketika pasien bernapas

2. Monitor hasil pemeriksaan rontgen dada

3. Monitor suara napas pasien

4. Kaji dan pantau adanya perubahan dalam pernapasan

5. Monitor sekret yang dikeluarkan oleh pasien

6. Health education tentang keadaan dan kondisi pasien kepada keluarga 7. Kolaborasi pemberian terapi

medikamentosa

1. Mengetahui kondisi pernapasan pasien 2. Mengetahui

keadaaan paru dan jantung pasien 3. Mengetahui suara napas pasien 4. Mengetahui kondisi pasien untuk menentukan intervensi selanjutnya sesuai indikasi 5. Untuk memantau kondisi pasien (suara napas pasien) untuk menentukan intervensi sesuai indikasi 6. Mengurangi kecemasan keluarga 7. Membantu penyembuhan klien

(24)

Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan NOC : - Pain level - Pain control - Comfort level Kriteria hasil: a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab

nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri) b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) d. Menyatakan rasa

nyaman setelah nyeri berkurang

NIC :

Pain Management

a. Kaji karakteristik pasien secara PQRST

b. Lakukan manajemen nyeri sesuai skala nyeri misalnya pengaturan posisi fisiologis

c. Ajarkan teknik relaksasi seperti nafas dalam dan distraksi pada saat rasa nyeri datang (jika pasien sadar dan kooperatif)

d. Beri manajemen sentuhan berupa pemijatan ringat pada area sekitar nyeri

e. Kolaborasi dengan pemberian analgesik secara periodik

a. Membantu dalam menentukan status nyeri pasien dan menjadi data dasar untuk intervensi dan monitoring keberhasilan intervensi b. Meningkatkan rasa nyaman dengan mengurangi sensasi tekan pada area yang sakit

c. Hipoksemia lokal dapat menyebabkan rasa nyeri dan peningkatan suplai oksigen pada area

nyeri dapat

membantu

menurunkan rasa nyeri

d. Meningkatkan respon aliran darah pada area nyeri dan merupakan salah

satu metode

(25)

e. Mempertahankan kadar obat dan menghindari puncak periode nyeri

Gambar

Tabel 1. Ringkasan fungsi saraf kranial

Referensi

Dokumen terkait

Firm size dengan ukuran total aktiva berpengaruh negatif signifikan terhadap debt ratiodan debt to equity ratio artinya semakin tinggi nilai aset perusahaan maka

Hasil penelitian menunjukkan Varietas kentang DTO-33 dengan pemberian pupuk biologi menghasilkan batang tanaman terpanjang yaitu 65 Cm waktu umur 115 hari, walaupun secara

bahwa agar kegiatan lembaga sasaran tersebut dapat berjalan dengan baik dan lancar, maka dipandang perlu menyusun Pedoman Pengajuan dan Penyaluran Dana Penguatan

Kertas karya yang berjudul Sistem Pengadaan Barang dan Bahan Untuk Kelancaran Operasional Dapur di Grand Swiss-belhotel Medan.. Metode penelitian yang digunakan sistem

pertumbuhan dan produksi adalah pada air tanah kapasitas lapang.terdapat interaksi sangat nyata antara varietas dan kadar air tanah terhadap tinggi tanaman umur 45

informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya

Untuk penurunan Nilai IHD arus yang dihasilkan sudah mengalami penurunan pada fasa S, terlihat pada Gambar 18 menunjukan spektrum harmonisa setiap orde kelipatan